67. Bukti Kemesraan
"Begini loh. Aku ini sebenarnya dari kemaren mau menghubungi."
"Loh? Emang ada apa, Besan?"
Lastri yang siang itu baru saja selesai menikmati makan siang bersama sang suami, ayah, dan putrinya, mendapat telepon dari Ilana. Dan seketika saja telepon itu membuat perasaan Lastri bertanya-tanya.
"Ehm ... begini. Apa Vanessa ada menghubungi keluarga di sana?"
Mata Lastri mengerjap-ngerjap. Perasaannya semakin tidak mengenak.
"Akhir-akhir ini sih Ryan dan Vanessa memang nggak ada ngubungi. Terakhir tiga minggu yang lewat. Itu pun sebenarnya nggak bisa dibilang ngubungi sih." Lastri mengingat saat tiga minggu yang lalu. "Waktu itu aku menghubungi keduanya. Karena di sini ada acara arisan keluarga. Setelah itu ..." Lastri mencoba mengingat lagi. Khawatir memberikan informasi yang keliru. "... nggak ada."
Di telinga Lastri, terdengar begitu jelas suara embusan napas Ilana yang panjang. Seperti menyiratkan kekhawatiran.
"Memangnya kenapa, Besan?"
"Itu .... Sebenarnya dari kita bertemu malam itu, Vanessa sama sekali nggak ada menghubungi rumah."
Mata Lastri seketika membesar.
"Padahal Vanessa itu pasti rajin menghubungi. Paling nggak ya seminggu sekali. Dan ini sudah sekitar sebulan, dia belum ada menghubungi kami. Aku khawatir ada apa-apa dengan dia."
Ryan!!!
Anak itu buat ulah atau gimana?
Jangan-jangan, sampe tertekannya Vanessa tinggal sama Ryan, ngebuat Vanessa takut ngomong sama orang tuanya lagi. Takut ulah Ryan ketahuan sama keluarga Vanessa.
"Ehm ...."
Lastri mencoba menenangkan diri.
Emang sih. Orang waras mana yang bisa tahan hidup sama Ryan? Dia buat ulah, awas aja itu anak.
"Mu-mungkin Vanessa sedang sibuk, Besan."
Bahkan Lastri sendiri bisa merasakan nada keraguan di nada bicaranya. Hingga wanita paruh baya itu mengembuskan napas dan lanjut berkata dengan cepat.
"Gimana kalau kita datangi Ryan dulu? Biasanya akhir pekan kayak gini Ryan selalu ke depot loh. Kita tanyain dulu ke Ryan."
"Nggak apa-apa, Tri?"
"Nggak apa-apa. Nanti kita bisa aja ngomong lagi mau nyari bunga baru. Setelah itu baru kita tanyain ke Ryan keadaan Vanessa."
"Oh. Iya iya."
"Aku jemput ke rumah ya, Lan. Aku siap-siap dulu."
Sejurus kemudian, setelah mendapatkan kesepakatan Ilana, panggilan itu pun berakhir. Segera saja Lastri meletakkan ponselnya di atas nakas, kemudian membuka lemari pakaiannya. Handoko yang kala itu baru saja masuk ke kamar, terheran-heran mendapati sang istri yang tampak bersiap. Menunjukkan bahwa istrinya itu akan pergi.
"Mau ke mana, Ma?"
Lastri menoleh. Mendapati Handoko mendekatinya. "Mama mau ke depot bareng Ilana, Pa. Pergi bentar aja kok."
"Eh? Ke depot?" tanya Handoko lagi. "Mau beli bunga atau mau ngeliat Ryan?"
Bola mata Lastri berputar sekilas seraya ia mengembuskan napas. "Ya ngeliat Ryan sebenarnya."
"Ada masalah?"
Lastri mempertimbangkannya sejenak. Tapi, memilih untuk mencari jawaban aman.
"Nggak ada masalah sih, Pa. Cuma ya kami mau tau aja gimana kabar mereka."
Handoko menghela napas. Tampak mengusap lembut lengan atas Lastri.
"Jangan sampai kelewatan," pesannya. "Ingat. Mereka itu sudah menikah. Orang tua cuma bisa memantau. Selagi mereka baik-baik saja, jangan terlalu dikhawatirkan. Ryan itu walau sering main-main, tapi bisa diandalkan."
Lastri mengangguk. "Iya, Pa."
Maka sekitar sejam kemudian, Lastri dengan mengendarai mobilnya telah sampai di rumah Ilana. Kedua orang wanita itu pun tak berbasa-basi. Langsung saja menuju ke Floral Garden. Dan walaupun sepanjang perjalanan mereka berbincang-bincang, nyatanya perasaan keduanya sama-sama tidak enak. Was-was. Sama menduga-duga keadaan keduanya.
"Ehm .... Aku rasa mereka berdua nggak ngubungi kita karena mereka sedang sibuk menyesuaikan diri satu sama lain, Lan," kata Lastri.
Ilana menarik napas sekilas. "Tapi, Vanessa itu orangnya nggak mudah akrab dengan orang sebenarnya. Aku khawatir dia ngebuat Ryan kelabakan."
"Nggak nggak nggak. Itu nggak mungkin," kata Lastri cepat. "Justru aku yang takut Vanessa mendadak tertekan tinggal sama Ryan."
Dalam hati, Lastri menambahkan.
Aku yang ibu kandungnya aja kadang mikir buat masukkin lagi itu anak ke dalam perut. Kayak ada bagian otak dia yang ketinggalan pas lahiran dulu.
"Ah .... Nggak mungkin, Tri. Ryan itu anak baik. Nggak mungkin dia ngebuat Vanessa tertekan. Ini takutnya Vanessa yang macam-macam."
"Cewek seperti Vanessa macam-macam?" tanya Lastri mengerutkan dahi. "Vanessa itu mantu baik. Nggak bakal macam-macam. Waktu arisan kemaren, aduuuh. Aku sampe nggak ngerjain apa-apa loh. Vanessa semua yang ngerjain."
Mata Ilana mengerjap-ngerjap. "Iya?"
Lastri langsung mengangguk. "Bahkan Vanessa sampe ngajarin Elin masak loh. Selama ini Elin mana mau kerja di dapur."
Perkataan Lastri yang tulus langsung berefek pada besannya itu. Raut kelegaan langsung menguar di wajah Ilana. Wanita paruh baya itu terlihat senyum sekarang. Sedikit kekhawatiran yang dari tadi melingkupi dirinya, perlahan berangsur memudar.
Tak berapa lama kemudian, pada akhirnya kedua orang ibu-ibu tersebut sampai juga di tempat tujuan. Lastri dengan segera menghentikan laju mobilnya di depan depot –karena ketika ia ingin memasukkan mobilnya, ia menyadari bahwa keadaan di depot tengah ramai oleh pengunjung. Lastri dan Ilana turun, langsung masuk ke sana.
"Eh, ada Ibu."
Lastri tersenyum mendapati Anton dan Sahrul yang langsung menghampiri dirinya setelah mengucapkan permisi singkat mereka pada pengunjung tersebut. Mempersilakan mereka untuk melihat-lihat dulu selagi keduanya menyapa ibu dari Bos mereka.
"Rame hari ini?"
"Begitulah, Bu," kata Anton. "Hari ini rame."
"Ehm .... Ibu mau nyari bunga? Atau mau ketemu Bos?" tanya Sahrul kemudian.
Lastri bisa melihatnya. Ada motor Ryan yang terparkir. Dan dahinya mengerut ketika mendapati dua helm di sana. Sontak saja tangannya terangkat menunjuk.
"Ryan datang dengan siapa?"
Pertanyaan itu sontak membuat Anton dan Sahrul saling pandang. Mata mereka mengerjap-ngerjap. Seolah-olah sedang melakukan percakapan dengan suara batin.
Mampus. Ibu Bos nanyain Bos. Kita harus jawab apa?
Kira-kira kalau kita jujur Bos bawa cewek ... Ibu Bos bakal marah nggak ya?
Kerutan di dahi Lastri sekarang bertambah. Jelas menangkap raut gelisah kedua karyawan putranya itu.
"Kenapa nggak dijawab? Ryan datang sama siapa?"
Maafkan kami, Bos.
Mudah-mudahan Bos nggak dapat masalah deh ya.
"Itu, Bu ...." Anton menarik napas panjang terlebih dahulu. "Bos datang sama Nyonya Bos---"
Sahrul memukul tekuk Anton. Membuat temannya itu buru-buru menutup mulutnya seketika.
"Ups."
Lastri dan Ilana saling pandang.
"Ma-maksudnya, Bos datang sama pacarnya, Bu," ralat Sahrul kemudian.
"Pacar?" tanya Lastri dengan jantung berdebar.
Tadi ngomong Nyonya Bos, aku udah mikir Vanessa. Sekarang ngomong pacar. Ini maksudnya siapa sih yang dibawa sama Ryan?
Anton dan Sahrul mengangguk.
"Ceweknya cantik, Bu. Rambutnya panjang sepinggang."
"Namanya?" lanjut Lastri.
"Vanessa."
Fyuhhh!
Jawaban Anton membuat Lastri langsung mengembuskan napas lega. Untuk beberapa saat tadi, jelas sekali ia takut kalau sampai Ryan membawa wanita lain sementara ada mertuanya datang ke sana.
Nggak mungkin. Ryan nggak mungkin bakal cari cewek lain. Dia kan saraf sensitifnya ketinggalan pas lahiran dulu.
Ha ha ha ha.
Maka sekarang Lastri merasa percaya diri. Setidaknya sampai di sini Lastri sudah bisa meraba bahwa Ryan dan Vanessa dalam keadaan yang baik-baik saja.
"Tuh, Lan. Ternyata Vanessa main ke sini sama Ryan," kata Lastri kemudian dengan Ilana. "Kayaknya semua baik-baik aja deh."
"Syukurlah, Tri. Aku pikir mereka berdua nggak bisa akur."
Anton dan Sahrul sama-sama bingung.
"Kenapa?" tanya Ilana kemudian. "Mereka berdua tadi ribut?"
Mereka kompak menggeleng.
"Mana ada mereka ribut, Bu. Orang mereka aja tadi mesra-mesraan di motor. Auuu!"
Anton kembali memegang belakang tekuknya yang kembali dipukul oleh Sahrul.
"Bos sekarang kayaknya ada di rumah kawat, Bu. Biar aku panggilkan bentar."
Lastri mengulum senyum. "Nggak usah. Biar kami aja yang ke sana." Lastri beralih pada Ilana. "Ayoh, Besan. Kita ke belakang."
Ilana mengangguk. Mengikuti ajakan Lastri sementara Sahrul garuk-garuk kepala.
"Kamu denger nggak pas Ibu Bos manggil ibu satunya itu tadi?" tanya Sahrul. "Besan?"
Anton bersungut-sungut seraya masih mengusap tekuknya. "Kayaknya hubungan Bos udah direstui deh ya?"
Sahrul semakin garuk-garuk kepala. Berdehem. "Ehm ...."
Sementara itu, karena informasi yang disampaikan oleh Anton dan Sahrul, maka sekarang Lastri dan Ilana sama-sama tenang. Setidaknya mereka tau bahwa kedua anak mereka tidak ribut. Kekhawatiran mereka sepanjang perjalanan tadi sama sekali tidak terbukti.
"Denger kan tadi, Lan? Mereka bilang Ryan dan Vanessa mesra-mesraan di motor."
Senyum tak mampu ditahan oleh Ilana. "Manja-manjaan sebenarnya bukan sifat Vanessa, Tri. Dia itu anak yang keras. Kalau sampai ada yang ngomong dia mesra-mesraan ..." Ilana tak bisa meneruskan ucapannya.
Vanessa baik-baik saja, pikirnya.
"... berarti dia udah dekat dengan orangnya."
Memulas senyum di wajahnya, Lastri justru berdoa di dalam hati.
Semoga aja Vanessa emang udah deket dengan Ryan. Bukan karena dia tertular sifat nggak waras itu anak.
"Iya, Lan."
Lastri yang memang mengetahui seluk beluk keadaan di depot Ryan, tanpa merasa kesulitan sama sekali mengajak Ilana melewati rumah Ryan. Mereka berjalan terus hingga ke belakang. Sejenak Lastri bingung Ryan ada di rumah kawat yang mana. Namun kemudian ia mendapati ada satu rumah kawat yang pintunya setengah terbuka. Dengan isyarat tangannya, Lastri mengajak Ilana ke sana. Dan tepat sesuai perkiraannya, dari luar terlihat kedua anak manusia itu tengah berjongkok. Seperti sedang membicarakan sesuatu.
"Oh .... begitu. Oke oke. Besok kebetulan aku nggak ada kelas sih. Biar aku beli lilinnya. Ngomong-ngomong, makasih buat sarannya."
Lastri menghentikan langkah kakinya. Dan begitupun dengan Ilana. Mereka berdua saling pandang. Seakan berpikir.
Mereka lagi diskusi hal penting ya?
Lalu, suara Vanessa terdengar.
"Kamu nggak ngerasa gimana gitu minta pendapat aku?"
"Karena kamu lebih tua? Jadi aku merasa rendah gitu?"
Lastri bergeming mendengar pertanyaan Ryan. Dalam hati ia justru berdebar-debar karena mendengarkan perbincangan itu.
"Nggak. Lagipula, bukannya sah-sah aja ya suami minta pendapat istri? Apalagi ini bidang kamu beneran. Masa cuma gara-gara itu aku ngerasa rendah?"
Satu senyum terbit di wajah Lastri.
"Ehm ...."
"Lebih dari itu, aku justru beruntung."
"Beruntung?"
"Tuhan tau banget yang aku butuhkan. Istri yang bisa jadi penasehat untuk usaha suaminya coba. Sebanyak apa cowok yang beruntung kayak aku? Kayaknya kita emang pasangan serasi deh."
Ucapan Ryan membuat senyum Lastri benar-benar mengembang. Ia menatap pada Ilana. Dan bisa merasakan kelegaan di wajah besannya itu. Kalau tadi mereka sempat meragukan hubungan keduanya, maka mereka sudah ditenangkan oleh informasi Anton dan Sahrul. Sekarang, semua hal terbukti di depan mata.
Andaikan perbincangan itu belum cukup kuat untuk membuktikan, setidaknya saat ini Lastri dan Ilana melihat bagaimana kedua insan itu saling pandang untuk waktu yang lama. Siapa pun bisa melihat, sorot yang terpancar dari mata keduanya bukanlah sorot mata orang yang saling membenci. Justru sebaliknya.
Namun, Lastri tersadar.
Ini Ryan nggak mungkin mau ngapa-ngapain Vanessa di rumah kawat kan ya?
Ya Tuhan.
Lihat itu.
Tangan Ryan mulai aktif bergerak ya, Bun.
Eh?
Perasaan gelisah dan tak enak langsung melingkupi kedua wanita paruh baya itu. Melihat anak mereka memadu cinta di depan mata ... sepertinya bukan ide yang bagus.
Lastri memutuskan untuk mengambil tindakan.
"Kan udah aku bilangin sih, Besan. Mereka berdua baik-baik aja. Kita nggak perlu khawatir. Lihat? Kita malah ngeliat mereka mesraan di sini coba."
Ucapan Lastri yang terdengar begitu kuat –lebih kuat dari kebiasaannya bicara- seketika berefek pada dua anak manusia itu. Ryan dan Vanessa kompak langsung bangkit. Membalikkan badan dan syok. Bukan hal yang mengherankan bila keduanya sama berseru.
"Mama!"
"Mama!"
*
Lastri menyeruput teh manis yang terhidang di atas meja. Begitu pun dengan Ilana. Mereka tampak menikmati minuman itu sembari duduk di ruang tamu. Di satu-satunya sofa yang berada di sana. Sementara Ryan dan Vanessa duduk melantai.
"Maaf ya, Lan. Ryan memang nggak peka soal rumah. Ini aja untuk ada sofa buat kita duduk."
Ilana meletakkan cangkir tehnya. "Namanya juga anak cowok. Ini aja rumahnya udah enak kok. Bersih dan rapi."
"Kalau rumah nggak ada perabotan masih berantakan, emang kebangetan juga Ryan."
Ryan meneguk ludahnya.
Ini ibu kandung aku yang mana sih sebenarnya?
"Ehm .... Mama-Mama tumben bisa barengan ke depot," kata Ryan kemudian. "Mau nyari bunga atau---"
"Mau ngeliatin kamu," tukas Lastri.
Jantung Ryan terasa berhenti berdetak. "Ngeliatin aku?" Mata Ryan mengerjap-ngerjap. "Maksudnya?"
"Bukan bukan," kata Ilana. "Tadi Mama memang mau nyari bunga. Sekalian mau ngeliat keadaan kamu. Eh, ternyata di sini malah ada Vanessa juga."
Vanessa merasa pipinya memanas. "Itu ... tadi ...."
Ryan melirik. Merasakan bahwa Vanessa bingung membalas perkataan ibunya sendiri.
"Tadi aku yang ngajak Vanessa ke sini, Ma. Sekalian kan. Soalnya Vanessa belum pernah main ke sini."
Lastri dan Ilana saling pandang. Tersenyum. Menyadari bahwa semakin lama mereka di sana semakin banyak hal yang menenangkan perasaan mereka akan keadaan Ryan dan Vanessa.
"Tampaknya kalian baik-baik saja," simpul Ilana.
Ryan mengangguk cepat. "Nggak pernah merasa lebih baik dari ini sebelumnya, Ma. Sumpah."
Vanessa melotot. Sementara Lastri dan Ilana tertawa mendengar perkataan Ryan.
"Iya iya iya. Mama tau sekarang," kata Ilana.
Masih memegang cangkir teh di atas pangkuannya, Lastri kemudian berkata.
"Tapi, walau keadaan kalian baik-baik saja, seenggaknya kamu ngabarin kami, Ryan. Kami was-was aja karena Vanessa nggak ngubungi rumah selama ini. Kami pikir Vanessa diapa-apain sama kamu."
"Wah!" Ryan menoleh pada Vanessa. "Aku dituduh ngapa-ngapain kamu coba. Kamu kenapa belum ada ngubungi rumah?"
Vanessa menggigit bibir bawahnya. Akhirnya baru menyadari hal sepenting itu selama ini. Tentu saja sebenarnya bukan hal yang aneh bila ia sampai melupakan hal tersebut. Nyatanya tinggal bersama Ryan benar-benar membuat ritme kesehariannya yang teratur menjadi berfluktuasi. Naik turun bergantian secara drastis. Membuat ia pusing dan akhirnya melupakan kebiasaannya yang rutin mengabari orang tuanya.
"Kayaknya aku lupa," lirih Vanessa pelan. "Ini juga kan gara-gara kamu."
Dahi Lastri mengerut. Sementara Ilana melirik Ryan dan Vanessa bergantian.
"Kamu sih ngebuat aku jadi lupa buat ngubungi rumah."
"Kok aku?" tanya Ryan. "Kamu yang lupa malah nyalahin aku."
"Sebenarnya aku itu udah berapa kali mau ngubungi Mama."
"Tapi, nggak kan?"
"Ya gimana lagi. Soalnya pas aku mau ngubungi, kamu udah yang langsung muncul ke kamar."
Mata Lastri dan Ilana sama-sama membesar.
Ke kamar?
Sontak saja percakapan Ryan dan Vanessa membuat pikiran keduanya melanglang buana.
"Ya ampun. Timbang masuk ke kamar doang."
"Eh, emang kamu kalau ke kamar ngapain aja coba?"
Glek.
"Lagian kan seenggaknya pas malam kita baru sampe unit, kamu bisa kek ngubungi Mama dulu."
"Mana kepikiran, Yan. Soalnya pas malam kita pindah itu kan kita berdua langsung---"
"Ehm!"
Wajah Lastri terlihat memerah. Sengaja mendehem memutus perkataan Vanessa. Melalui sudut matanya, ia juga bisa melihat wajah Ilana yang tampak berubah waspada.
"Nggak apa-apa," kata Ilana sedikit terbata. "Yang penting kalian baik-baik saja."
Ryan dan Vanessa saling bertukar pandang. Sedikit bingung dengan perubahan raut wajah kedua ibu mereka. Namun, tak urung juga keduanya mengembuskan napas panjang. Saling lirik dan lalu melihat pada Lastri dan Ilana lagi.
"Selain itu," sambung Ilana. "Mama cuma mikirin kesehatan kamu aja sih, Sa. Jangan keseringan begadang."
Spontan, Ryan berkata. "Vanessa sering begadang sih, Ma. Apalagi akhir-akhir ini."
"Oh ya?" Lastri melihat pada Vanessa. "Sepertinya iya sih. Lihat aja mata kamu, Sa. Ckckckck. Keliatan bengkak begitu. Mana ada bayangan hitamnya lagi."
Ryan terlihat mencibir sedikit pada Vanessa yang langsung dibalas pelototan sekilas oleh gadis itu.
"Eh. Tapi, Ryan juga sih," kata Ilana kemudian.
Mata Ilana tampak mengamati wajah menantunya itu. Dan hal itu sontak saja membuat Lastri dan Vanessa turut memandang pada Ryan. Mengamati keadaan wajah Ryan yang memang terlihat sama seperti wajah Vanessa.
"Aku juga?" tanya Ryan meraba matanya sekilas. Lalu, tanpa sadar menguap. "Ah ... iya. Malam tadi aku juga begadang kayaknya."
Lastri dan Ilana meneguk ludah tak enak. Begitu cangkir teh Lastri telah berpindah ke atas meja, ia menggamit tangan besannya.
"Lan, kayaknya memang wajar kalau mereka suka begadang dan melupakan keluarga akhir-akhir ini."
Ilana mengangguk kaku. "Se ... sepertinya iya. Mereka juga keliatan agak letih sih."
"Eh?"
Baik Ryan maupun Vanessa tampak bingung bersamaan. Tak mengerti arah perbicaraan Lastri dan Ilana.
"Maksudnya apa ya, Ma?" tanya Ryan.
Baik Lastri maupun Ilana tampak tersenyum kompak.
"Nggak apa-apa kok."
"Kalian pokoknya jaga aja kesehatan."
"Kami tunggu kabarnya dua bulan lagi."
"Atau satu bulan juga nggak apa-apa."
Ryan dan Vanessa saling memandang satu sama lain. Untuk beberapa detik mereka hanya diam. Sama-sama berpikir.
Apa yang ditunggu?
Hingga kemudian sesuatu melintas dan wajah keduanya memerah seketika.
"Mamaaa!!!"
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro