66. Pasangan Serasi
"Cie .... Ternyata Bos bisa bonceng cewek juga ya?"
"Kirain cuma bisa bonceng karung pupuk aja."
"Ngomong-ngomong, nemu di mana, Bos?"
"Kok bisa dapat yang bening gitu?"
"Bos nikung siapa nih, Bos?"
"Soalnya agak nggak yakin juga kalau Bos bisa nemu si Nyonya cantik dengan usaha sendiri."
"Kayak yang nggak paham aku sama si Nyonya kalau dengan sukarela mau dengan Bos."
"Bener banget. Bos pasti pake pelet kan ya?"
Sudahlah!
Ryan sudah tidak bisa menahan dirinya lagi. Sementara itu Vanessa –yang menebalkan muka saat berkenalan dengan Anton dan Sahrul, terutama karena mereka berdua lagi-lagi memanggil dirinya Nyonya Bos- tampak mengikuti isyarat mata Ryan. Cowok itu mengisyaratkan Vanessa untuk terus melangkah menuju ke rumah kecilnya. Lantas tanpa basa-basi Ryan malah mengambil sapu lidi yang kebetulan ada di sana. Geram, ia menggunakan sapu lidi itu untuk menghajar dua karyawannya itu. Anton dan Sahrul kompak tertawa-tawa seraya melindungi bokοng mereka yang diincar oleh Ryan.
"Ka ... li ... an ini ...!" kata Ryan menggeram. "Sembarangan aja kalau ngomong!"
Anton dan Sahrul terpingkal seraya mengelak memasuki barisan pot-pot besar. Membuat Ryan tidak bisa bergerak leluasa lagi. Tidak. Tidak kalau Ryan ingin tetap melihat tanamannya berdiri dengan sempurna.
"Hahahaha. Maaf, Bos, maaf," kata Sahrul kemudian. "Lagian sih. Bos mau bawa si Nyonya nggak pake acara ngomong dulu ke kita sih."
Mata Ryan melotot. "Ngapain juga aku harus ngomong ke kalian?"
Tawa mereka meledak lagi.
"Eh. Benar juga. Ngapain Bos ngomong dulu ke kita?"
Anton terpingkal hingga memegang perutnya yang terasa sakit. Di lain pihak, Ryan malah meremas-remas gagang sapu lidi itu. Napasnya sedikit terengah.
"Tapi, Bos. Beneran deh. Nemu si Nyonya di mana?" tanya Anton lagi. "Bening banget."
Mata Ryan menyipit. "Mau aku colok itu mata pake lidi hah?" tanya Ryan seraya mengangkat sapu lidi itu.
"Nggak," jawab Anton cepat. Beranjak ke belakang tubuh Sahrul, seakan mencari perlindungan.
"Sekali lagi nanya aku nemu dia di mana, awas aja. Aku potong gaji kalian bulan depan."
Mendapat ancaman seperti itu, Anton dan Sahrul bukannya menjadi ciut, melainkan sebaliknya. Mereka semakin terbahak.
"Cie .... Bos ngancam. Mainannya ngancam."
"Ngancamnya mau motong gaji coba."
Ryan merutuk. "Sialan."
"Hahahaha. Tapi, Bos. Kali ini serius." Sahrul menghentikan tawanya dengan susah payah. "Itu ... beneran cewek Bos?"
Dan pertanyaan bernada serius dari Sahrul seketika membuat wajah Ryan yang sempat manyun, berubah seketika. Langsung tersenyum malu-malu. Membuat Anton dan Sahrul yang sudah mau berhenti tertawa, eh ... menjadi terpingkal lagi.
Ryan menggaruk kepalanya. "Emangnya kalian percaya kalau aku bilang dia itu teman aku gitu?"
Kepala Anton dan Sahrul kompak geleng-geleng kepala.
"Nggak dong."
"Apalagi tadi pas Bos baru sampe. Ngeliat Nyonya turun sambil megang Bos."
"Beuuuh! Masa teman semesra itu?"
Sudah deh!
Ryan semakin tidak mampu menahan senyumnya. Kali ini sapu lidi sudah dipeluk oleh cowok itu. Menggelikan.
"Berasa banget kok kalau ada sesuatu gitu."
"Cie cie cie .... Berarti udah nggak jomlo lagi dong."
"Dan kami akui Bos. Nyonya dan Bos adalah pasangan yang serasi."
"Emang kalau cowok baik-baik mah dapatnya pasti cewek bening."
Ryan mengulum senyumnya. Mata berkedip-kedip berusaha untuk tidak salah tingkah. Susah payah ia berkata.
"Udah. Nggak usah muji-muji aku. Bulan depan gaji kalian nggak bakal naik kok."
"Hahahaha."
Masih dengan rona merah di wajahnya, Ryan berusaha untuk menenangkan dirinya sendiri. Tapi, bagaimana ya? Masalahnya ini adalah kali pertama Ryan membawa Vanessa menemui orang di sekitar dirinya. Keluarga tidak terhitung ya.
Nah! Jadi kebayang dong betapa antusiasnya Ryan? Terutama ketika Anton dan Sahrul tadi memuji soal kecocokan mereka berdua.
Emang banget. Perhitungan Eyang nggak salah.
Hihihihi.
"Udah udah. Kalian ini malah ketawa aja." Mata Ryan memandang ke pintu. Melihat ada segerombolan ibu-ibu datang memasuki depotnya. "Itu ada pembeli. Kalian layani. Aku mau ke belakang."
Anton dan Sahrul saling lirik.
"Alasan. Paling mau berduaan."
"Iya kan, Bos?"
Sekilas mendengus, Ryan menjawab. "Kepo aja."
Tapi, nyatanya ... hal itu memang terbersit di benak Ryan. Dan menyadari hal tersebut, rasa-rasanya Ryan ingin meledak rasanya.
Bukan hal yang mudah bagi Ryan ketika ia berusaha menahan diri untuk tidak benar-benar meloncat dan berlari menghampiri Vanessa. Alih-alih, ia meletakkan sapu lidi dengan benar di satu pohon. Menjaga agar langkah kakinya tidak terburu-buru. Tapi, ketika melihat Vanessa yang duduk di satu kursi rotan yang ada di teras, tak urung juga Ryan mempercepat langkah kakinya.
Wah!
Sekarang Ryan merasa seperti Shah Rukh Khan yang berlari menghampiri Kajol di taman bunga. Sayang saja tidak ada lagu yang mengiringinya.
Hahahaha.
"Sorry kelamaan," kata Ryan sesaat setelah menghampiri Vanessa. "Ngasih arahan bentar ke mereka."
Vanessa mengerutkan dahi. "Ngasih arahan?" tanya Vanessa mengerutkan sedikit dahinya. "Yang aku liat dari tadi kalian cuma ketawa-ketawa aja."
Ups.
Ryan malu.
Dia nggak ngeliat tadi aku meluk-meluk sapu lidi kan ya?
Ryan mendehem.
"Mereka memang sering becanda sih. Kamu jangan ambil hati omongan mereka."
Vanessa mengembuskan napas panjang. Bersedekep. "Harusnya aku nggak usah terkejut sih." Matanya melirik sekilas pada Ryan sebelum menatap lagi lurus ke depan. "Kalau Bosnya aja semacam kamu, ya masa aku berharap anak buahnya pada waras? Kan nggak mungkin?"
"Eh? Kamu mau bilang kalau aku nggak waras? Gitu."
Bahu Vanessa naik sekilas. Bibir bawah mencibir sedikit. "Aku nggak ngomong gitu ya. Kamu aja yang menyimpulkannya begitu."
"Itu namanya menggiring opini," kata Ryan seraya bangkit.
Vanessa tersenyum kecil melihat respon Ryan. Melalui ekor matanya, ia melihat Ryan mengeluarkan satu anak kunci.
Ryan membuka pintu. "Mau ikut masuk nggak? Atau kamu mau di sini aja? Ngeliatin Anton sama Sahrul?"
"Mending ngeliatin mereka timbang ngeliatin kamu."
"Ih ...."
Ryan cemberut. Lantas masuk tanpa menghiraukan Vanessa. Gadis itu juga terlihat mengabaikan Ryan yang sempat mengirimkan sinyal pada Vanessa. Seperti tengah berkata.
'Ayoh dong. Ikutan masuk.'
Vanessa bergidik. Memilih cara aman untuk tetap menunggu di luar saja. Namun, beberapa menit kemudian Vanessa menyadari kalau menunggu di luar juga bukan ide yang bagus.
"Nyonya Bos udah lama ya kenal dengan Bos?"
"Ketemu sama Bos pertama kali di mana?"
"Ehm .... Pasti suka sama Bos gara-gara Bos humoris ya?"
"Atau gara-gara Bos cakep? Katanya dia pinter juga loh."
Vanessa benar-benar memaksa dirinya sekuat tenaga untuk tersenyum dan menjawab semua pertanyaan itu.
"Be ... lum lama kok kenalnya."
"Per ... tama kali ketemu di rumah."
"Aku ... lebih suka kalau dia diem sih sebenarnya."
Anton dan Sahrul manggut-manggut.
"Memang seperti yang diharapkan dari Bos."
"Sekalinya deketin cewek, langsung samperin ke rumah."
"Itu baru laki!"
"Bukan malah ngajak ketemuan di simpang remang-remang."
Anton mendorong kepala Sahrul. "Dikira Bos itu sama kayak kamu?"
"Ha ha ha ha."
Vanessa tertawa kaku.
Ya ampun. Mimpi apa aku semalam? Kenapa aku harus ketemu tiga orang stres sekaligus sih?
Masih mempertahankan senyum terpaksa di wajahnya, Vanessa bangkit.
"A-aku ke dalam dulu."
Anton dan Sahrul angguk-angguk kepala. Namun, mereka berdua belum beranjak. Masih memperhatikan Vanessa. Membuat gadis itu berjalan dengan salah tingkah.
Melangkah sekali, berhenti. Menoleh ke belakang dan Vanessa mendapati mereka masih di dekat teras.
"Silakan, Nyonya Bos."
"Ke dalam aja."
"Ah ... iya, iya .... Aku memang mau ke dalam."
Vanessa melangkah lagi sekali. Berhenti lagi. Ketika menoleh, ia masih mendapati Anton dan Sahrul yang belum beranjak.
Astaga!
Menyerah, pada akhirnya Vanessa benar-benar masuk ke dalam rumah itu. Mendorong pintu untuk tertutup sebagian. Ia tidak nyaman dilihat seperti orang aneh yang tersasar di sana.
Vanessa mengembuskan napas panjang.
Ruang tamu berukuran kecil adalah ruangan yang pertama Vanessa temukan. Ada satu sofa panjang yang bewarna merah maroon, lengkap dengan meja kacanya. Terlihat rapi walau jarang ditempati. Yang pastinya terlihat lapang karena tak ada banyak perabotan di sana.
Melangkahkan kakinya, Vanessa terus masuk. Langsung mendapati ada satu ruangan santai. Di ruangan ini malah nyaris tidak ada apa-apa. Hanya ada televisi di atas raknya sementara di lantai ada karpet yang menutupinya. Tanpa ada kursi atau pun meja.
Vanessa kembali berjalan. Menemukan ruangan lainnya. Satu kamar yang pintunya setengah terbuka dan di dalam sana ada ...
"Haaah!!!"
... Ryan yang tengah melepas celana jeans-nya.
Teriakan Vanessa langsung membuat Ryan terlonjak kaget. Gerakan refleks cowok itu langsung mendorong dirinya untuk menghambur pada Vanessa. Gadis itu melotot. Berusaha mengelak, namun Ryan sudah keburu menahan dirinya. Telapak tangan cowok itu membekap mulut Vanessa.
"Kamu mau nyuruh kita digerebek Pak RT atau gimana sih? Masuk-masuk langsung teriak aja. Ntar Anton dan Sahrul denger, bisa dikira aku ngapa-ngapain kamu coba. Atau kamu mau dunia tau kalau kamu udah nikah diam-diam dengan mahasiswa kamu sendiri?"
"Uf ... uf ... uf ...."
Vanessa tak bisa bicara dan ia langsung mendorong tubuh Ryan. Karena memang tidak bermaksud menahan Vanessa, Ryan menerima saja ketika Vanessa mendorong dirinya.
"Aku nggak bakal teriak kalau kamu nutup pintu pas kamu ganti celana!" sentak Vanessa.
"Timbang ngeliat aku lepas celana aja histeris," sungut Ryan. "Apalagi kalau aku ngelepas celana dalam ..."
Wajah Vanessa memerah.
"... dan kamu ngeliat isi di dalamnya coba."
Tangan Vanessa bergerak. Mencubit perut Ryan.
"Adudududuh!"
Ryan sampai berjingkat gara-gara rasa sakit cubitan itu. Ketika Vanessa melepaskan cubitannya, Ryan seketika mengusap-usap perutnya.
"Kamu sembarangan aja nyubit perut aku, Sa. Kepleset dikit jari kamu, bisa-bisa kamu nyubit aset masa depan kamu."
"Ka ... mu ...."
Ryan langsung mundur. Kedua tangannya naik ke dadá. Seperti ancang-ancang untuk melindungi diri dari serangan dadakan Vanessa.
"Mau apa? Kamu mau ngapain aku? Mentang-mentang aku lagi nggak pake celana ..."
Vanessa teringat lagi tentang hal yang sempat ia lupakan beberapa detik itu. Refleks saja pandangannya turun.
"... eh, malah nyari kesempatan ya."
Vanessa langsung membalikkan tubuhnya. "Lagian, ngapain kamu buka celana? Matahari masih terang gini pake acara lepas celana?"
Di belakang tubuh Vanessa, Ryan mengerjap-ngerjap bodoh. Polos sekali ia ketika bertanya.
"Berarti kalau aku lepas celana pas nggak ada matahari ... boleh ya?"
Beruntung Vanessa membelakangi Ryan. Karena saat itu Vanessa merutuki ketololannya sendiri. Saking merutuknya, mata Vanessa memejam dan mulutnya komat-kamit.
Di luar ada anak buah yang stres.
Eh ... di dalam malah ketemu Bosnya yang lebih stres lagi.
"Analogi kamu itu bermasalah!" tukas Vanessa gugup. "Buruan sana pake celana."
Ryan mendehem menggoda. "Nilai MK Metodologi Penelitian aku A coba, Sa. Masalah analisis masalah itu aku ahli banget. Teori 'kalau A dan B berbeda, maka bila bukan A, ya pasti B.' itu udah ada di luar kepala aku banget."
Vanessa mengembuskan napas panjang yang terasa panas di cuping hidungnya.
"Hipotesis itu selalu dua. Kalau bukan ya berarti tidak. Hihihihi. Gitu aja kok lupa sih. Padahal kan dosen."
Rasa-rasanya Vanessa ingin pulang saat itu juga. Merasa menyesal mengikuti ajakan Ryan untuk ke sana kalau hanya untuk mendapatkan malu bertubi-tubi.
"Dah! Aku udah pake celana."
Suara Ryan kembali terdengar setelah hening beberapa detik.
"Aku juga udah ganti baju."
Vanessa bergeming.
"Ikut aku yok."
"Ikut ke mana lagi? Ini aku udah ikut!" tukas Vanessa kesal.
"Hahahaha. Langsung marah," goda Ryan.
Tanpa basa-basi, cowok itu meraih tangan Vanessa. Mengajaknya melalui pintu belakang menuju ke teras di sana. Ryan menunjuk ke seberang.
"Temenin aku ngeliat bibit bunga-bunga aku. Siapa tau kalau ada cewek cantik yang ngeliat, itu bibit pada cepet gedenya."
Vanessa melirik.
"Ih ..., dipuji cantik aja wajahnya masih sedatar itu."
Berganti alas kaki dengan sandal jepit yang ada di sana, Vanessa berkata dengan santai.
"Dipuji cantik udah biasa sih. Nggak ngaruh lagi sama aku."
Ryan melongo melihat Vanessa yang dengan penuh rasa percaya dirinya melenggang meninggalkan dirinya di sana.
"Tapi, kan yang muji aku, Sa!" teriak Ryan seraya buru-buru mengenakan sepatu tabungnya. "Masa nggak ngaruh sih?"
Di depan sana, Vanessa menghentikan langkah kakinya. Membalikkan badan dan menatap pada Ryan seraya berkacak pinggang.
"Justru kalau kamu yang ngomongnya aku malah ragu. Kamu kan sebangsa orang yang suka bercanda. Mana yang tau kalau omongan kamu itu serius?"
Wah!
Tangan Ryan terangkat, menunjuk pada Vanessa.
"Kamu meragukan aku. Nggak bisa dibiarkan ini!" seru Ryan seraya berlari. Dalam hitungan detik ia sudah menghampiri Vanessa yang tertawa. "Kamu tuh harusnya tau. Semua omongan aku ke kamu itu serius."
Bibir Vanessa mencibir. Mengirimkan sorot menantang pada cowok itu. Hingga membuat Ryan geregetan.
"Udah ah. Aku mau liat bibit aja."
Tawa Vanessa menyertai langkah Ryan yang manyun menuju ke rumah kawatnya.
"Cie .... Kanda ngambek."
Masih manyun, Ryan masuk. Berusaha tak menghiraukan suara langkah kaki Vanessa yang menyusul dirinya dari belakang.
Ketika Vanessa masuk pula ke rumah kawat itu, mata gadis itu serta merta terbelelalak. Tanpa sadar terkesiap kagum. Manyun di wajah Ryan hilang seketika. Tergantikan oleh raut bangga.
"Takjub kan ya?"
Vanessa melangkahkan kakinya. Mengitari rumah kawat itu. Melihat rak-rak yang tersusun rapi dengan pot-pot kecil. Calon tanaman beraneka jenis tampak tumbuh di sana. Sementara tanaman dengan ukuran lebih besar berjajar rapi di lantai semen itu. Setiap kelompok memiliki papan nama. Tak hanya itu, ada tanggal pula –yang Vanessa yakini sebagai tanggal pembibitan.
"Kerja kamu rapi banget."
Mata Ryan berbinar-binar. "Iya?"
"Iya." Vanessa mengangguk. "Nggak heran sih kalau jadinya depot kamu besar." Ia melangkah. Mendekati satu kelompok bibit bunga Adenium di sana. "Kamu beneran menerapkan ilmu kuliah kamu."
Senyum di wajah Ryan melebar. "Iya dong. Percuma aja pintar kalau ilmunya nggak diterapkan."
Mungkin terdengar sepele, tapi pembibitan tanaman tidak pernah menjadi hal yang remeh. Vanessa tau itu. Untuk mendapatkan tanaman yang bagus, harus dimulai dari pembibitan yang tepat. Keliru memilih calon indukan, metode perbanyakan, atau waktu pembibitan, bisa mengakibatkan calon tanaman baru tidak optimal pertumbuhannya.
Dan selagi ada Vanessa di sana, Ryan tak segan-segan bertanya tentang beberapa hal yang tidak ia ketahui seputar tanamannya.
"Kemaren sih aku pikir sambungan ini udah berhasil, taunya malah busuk. Dan kamu liat aja. Di sini nggak ada yang bocor."
Vanessa sedikit menunduk. Melihat pada satu cabang Adenium yang berbalut plastik sambung. Tampak tunas yang disambung itu bewarna kecoklatan.
"Pisaunya udah oles pake alkohol kan ya?"
Ryan mengangguk. "Udah dong, Sa. Malah beruntung itu bibit nggak mabuk aku kasih alkohol."
Vanessa tak menggubris perkataan Ryan.
"Kamu pake metode sambung apa? V?"
Ryan mengangguk. "Iya. Biasanya juga pake itu sih untuk yang lain. Dan juga kemaren-kemaren bisa. Nggak tau aja kenapa yang ini lumayan banyak yang gagal."
"Ehm .... Aku buka satu ya."
"Silakan aja."
Vanessa membuka satu bibit sambungan itu. Melihat kondisinya dan lalu berkata.
"Coba tambahkan sedikit lilin deh."
"Lilin?" tanya Ryan.
Vanessa mengangguk. Berpaling pada Ryan yang sama seperti dirinya. Jongkok di depan polibag itu.
"Untuk menutupi sekitaran sayatan sambungan. Soalnya sambungan V itu kalau nggak bener-bener tepat, tetap aja menyisakan celah. Dikit aja celah, bisa muncul itu air-air embun."
Ryan manggu-manggut. "Oh ... begitu. Oke oke. Besok kebetulan aku nggak ada kelas sih. Biar aku beli lilinnya," kata Ryan. "Ngomong-ngomong, makasih buat sarannya."
Vanessa mendapati Ryan menatap dirinya. Lantas gadis itu menyuarakan pertanyaan yang dari tadi sedikit mengganggu dirinya.
"Kamu nggak ngerasa gimana gitu minta pendapat aku?"
Mata Ryan mengerjap-ngerjap. "Karena kamu lebih tua? Jadi aku merasa rendah gitu?" tanya Ryan.
Vanessa bergeming.
Ryan lalu menggeleng. "Nggak. Lagipula, bukannya sah-sah aja ya suami minta pendapat istri? Apalagi ini bidang kamu beneran. Masa cuma gara-gara itu aku ngerasa rendah?"
"Ehm ...."
"Lebih dari itu, aku justru beruntung," sambung Ryan.
"Beruntung?"
Ryan mengangguk. "Tuhan tau banget yang aku butuhkan. Istri yang bisa jadi penasehat untuk usaha suaminya coba. Sebanyak apa cowok yang beruntung kayak aku?"
Wajah Vanessa membeku seketika. Sementara Ryan tersenyum.
"Kayaknya kita emang pasangan serasi deh."
Ucapan Ryan benar-benar membuat Vanessa tak mampu mengatakan apa-apa. Wajahnya yang terlihat damai ketika bicara dengan senyuman tipis itu membuat lidah Vanessa kelu.
Ia ingat. Baru beberapa jam yang lalu mereka berdamai dari pertengkaran selama seminggu, tapi sekarang di sinilah mereka berdua berada. Berjongkok di rumah kawat dengan saling menatap.
Vanessa bingung. Mengapa secepat itu Ryan kembali bersikap santai padanya? Benar-benar tak ada lagi sisa emosi kemaren. Ryan benar-benar seperti Ryan yang biasanya. Yang tanpa tedeng aling-aling merayu dirinya. Bahkan ketika mereka di rumah kawat sekali pun.
Lalu, tangan Ryan beranjak. Naik untuk menyentuh anak rambut Vanessa yang berada di sisi wajahnya. Membawa sejumput rambut itu ke balik daun telinganya.
Mungkin lebih baik Ryan ngoceh aja deh. Kalau dia diam gini, kenapa rasanya jadi lebih aneh ya?
Ryan menatap Vanessa. Menyadari bahwa dirinya benar-benar menggelikan.
Ya ampun.
Padahal aku dan dia baru baikan, tapi aku udah kelewat berani kayak gini. Terang-terangan merayu dia. Mana pake acara nggak liat-liat tempat lagi. Tapi, mau gimana ya? Jaga gengsi sementara dalam hati udah meledak-ledak?
Aku mana tahan ulur-ulur waktu kalau sama Dinda.
Hiks.
Tapi, ketika keheningan itu tengah melingkupi mereka berdua, mendadak saja terdengar satu suara wanita yang membuat tubuh keduanya kaku seketika.
"Kan udah aku bilangin sih, Besan. Mereka berdua baik-baik aja. Kita nggak perlu khawatir. Lihat? Kita malah ngeliat mereka mesraan di sini coba."
Ryan dan Vanessa kompak langsung bangkit. Balik badan dan melotot. Keduanya sama-sama berseru.
"Mama!"
"Mama!"
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro