65. Fakta Yang Menunjukkan
Tak hanya menyajikan makan siang untuk mereka, Ryan pun seketika langsung merapikan bekas makan mereka berdua. Hal itu membuat Vanessa merasa benar-benar salah tingkah. Rasa-rasanya ia ingin menggaruk kepala saat ini juga. Hanya demi merilekskan tubuhnya yang menegang. Tapi, ia bertahan. Menggaruk kepala? Oh. Vanessa menepis dorongan itu. Setidaknya ia tidak ingin sampai benar-benar mempermalukan diri di depan Ryan.
Toh. Ryan emang sering kok beres-beres.
Buat apa aku merasa nggak enakan sama dia?
Vanessa beranjak.
Mengabaikan Ryan yang membersihkan meja makan, gadis itu pindah duduk ke ruang menonton. Menyalakan televisi dan menekan-nekan tombol di remot televisi itu. Mencoba mencari tayangan yang menarik. Tapi, sepanjang mata Vanessa melihat, ia tidak menemukannya.
"Gosip, buat nambah dosa aja. Reality show, nggak ada faedahnya. Sinetron, kayak orang baik pada begok semua dan harus tertindas. Ehm ...."
Vanessa masih berupaya mencari. Tapi, tak menemukan yang menarik.
"Ini."
Vanessa yang masih fokus melihat ke layar televisi, menoleh. Pada Ryan yang telah duduk di sebelahnya. Cowok itu menyodorkan ponsel miliknya pada Vanessa. Gadis itu melihatnya.
"Apa?" tanya Vanessa bingung.
Herannya, Vanessa tetap menyambut ponsel itu. Melihat ke layar ponsel dan mendapati Ryan membuka satu kolom obrolan di aplikasi Whatsapp-nya. Vanessa membaca nama kontak di sana.
"Abid." Vanessa menoleh. "Siapa?"
"Temen aku. Dia juga praktikan Biologi kamu kok. Yang sama-sama ngulang dengan aku," jawab Ryan menjelaskan. "Coba aja kamu baca chat itu. Udah berapa hari yang lewat."
Vanessa tak mengerti, tapi pada akhirnya ia membaca pula chat itu.
[ Abid ]
[ Kamu gila, Yan? ]
[ Tau nggak? Lola ke kos aku nangis-nangis. ]
[ Berasa kayak apa aku diliatin penghuni kos yang lain. ]
Membaca pesan itu, Vanessa akhirnya menyadari. Itu adalah riwayat pesan dia dengan Abid yang mana topiknya adalah Lola. Melihat pada tanggal di sana, Vanessa langsung ingat. Pesan itu terjadi pada sore hari, setelah kejadian di kampus.
Vanessa menarik napas. Merasa tidak enak. Lalu, Ryan berkata.
"Baca aja semua."
Maka Vanessa pun lanjut dengan membaca balasan dari Ryan.
[ Bilangin ke dia deh. Sumpah, Bid. ]
[ Aku udah punya cewek. ]
Vanessa merasa pipinya memanas. Tapi, matanya mengerjap ke pesan selanjutnya.
[ Pacar dari Hongkong? ]
[ Kamu mana punya pacar? ]
Dan Ryan pun membalas begini.
[ Kejauhan nyari pacar sampe ke Hongkong! ]
[ Lagipula, aku emang udah ada cewek kok. ]
[ Please deh. Aku nggak mau buat dia salah ngira kalau aku ada hubungan dengan Lola. ]
[ Kamu nggak tau kan? Cewek aku itu kalau marah bisa gawat, Bid. ]
[ Gunung Merapi bisa dia pindahin ke muka aku. ]
Panas di pipi Vanessa terasa membakar saat ini. Ia melirik tajam pada Ryan. Sementara cowok itu hanya memutar-mutar bola matanya ke sembarang arah.
[ Kamu ini serius atau nggak sih, Yan? ]
[ Kamu tau nggak? ]
[ Itu Lola dari kapan hari udah nanya macam-macam ke aku. ]
[ Bahkan dia pernah cerita ke aku. ]
[ Dia ngajak kamu kenalan, tapi malah kamu kacangin. ]
Vanessa menarik napas sejenak terlebih dahulu sebelum lanjut membaca pesan itu. Heran. Vanessa tidak mengira cowok bisa juga merumpi sepanjang itu lewat pesan.
[ Kapan dia ngajak aku kenalan? ]
[ Aku nggak ingat. ]
[ Lagian ya. Kalau dia udah tau aku kacangin dia, harusnya dia sadar diri dong. ]
[ Sadar kalau aku itu nggak minat sama dia. ]
[ Tipe aku itu bukan dia. ]
Balasan pesan Abid selanjutnya membuat Vanessa mengerjapkan mata sekali.
[ Hwahahahaha. ]
[ Kamu ada tipe? ]
[ Yang kayak gimana? ]
[ Taylor Siwft? ]
Mencoba untuk tetap santai, tapi tak urung juga Vanessa menjadi terburu-buru membaca lanjutan pesan itu.
[ Tipe aku itu harus cantik dan pintar. ]
[ Rambutnya panjang bergelombang. ]
[ Suka dan tahan begadang. ]
[ Hobi minum kopi tengah malam. ]
[ Suka makan kornet mentah. ]
[ Ahli soal melempar mangkok. ]
[ Dan kalau malu dia bakal teriak: RYAAANNN!!! ]
Vanessa terdiam seketika. Pada akhirnya, Vanessa memutuskan untuk mengembalikan ponsel itu pada Ryan. Tidak berniat untuk membaca sampai selesai.
"Udah dibaca semua?" tanya Ryan.
Acuh tak acuh, Vanessa kembali meraih remotnya yang semula ia letakkan di atas meja. Cuek saja, ia berkata.
"Nggak ngaruh juga."
Dahi Ryan berkerut. "Eh? Nggak ngaruh?" Cowok itu serta merta merebut remot televisi. Memadamkan benda layar datar itu.
"Kok dipadamkan?" tanya Vanessa menoleh pada Ryan.
Tak menghiraukan pertanyaan Vanessa, Ryan malah balik bertanya. "Kok nggak ngaruh sih? Ini kan bukti kalau aku beneran nggak ada apa-apa dengan Lola. Malah kamu bilangin nggak ngaruh?"
Vanessa mengembuskan napasnya. Menatap wajah gusar Ryan. Menyerah. Vanessa geleng-geleng kepala.
"Ini bukan pengadilan. Kamu nggak perlu ngasih aku bukti apa pun."
Wah!
Mata Ryan membesar.
"Tapi, kan ... ini penting buat menunjukkan fakta ke kamu kalau aku beneran nggak ada apa-apa dengan Lola."
Sekali, Vanessa mengerjapkan matanya. "Mau sebanyak apa pun bukti, orang yang nggak percaya akan tetap nggak percaya. Mau tidak ada bukti sedikit pun, orang yang percaya akan tetap percaya."
Kalimat itu membuat Ryan terdiam.
"Kalau aku nggak percaya kamu, aku bisa saja mengatakan ini pesan setingan. Mungkin kamu sendiri yang membalas pesan dengan nomor Abid ini. Atau kamu punya nomor lain yang kemudian kamu kasih nama seperti nama teman kamu." Vanessa berkata panjang lebar. "Kalau pun ini emang nomor Abid, siapa yang menjamin kamu nggak menyuap Abid untuk mengikuti permainan kamu?"
Ryan mencerna perkataan Vanessa. "Apa itu artinya ..." Ryan menggantung ucapannya sejenak. Ada timbul sedikit keraguan di benaknya.
Kalau iya, kenapa ia masih marah-marah nggak jelas?
Tapi, Ryan memutuskan untuk benar-benar mempertanyakannya.
"... kamu percaya aku?"
Vanessa tertegun. Sama sekali tidak terkejut kalau Ryan sampai menanyakan hal itu pada dirinya.
Ia menggeleng.
"Eh?"
Setitik rasa kecewa timbul di hati Ryan.
"Kamu nggak percaya atau percaya aku sih, Sa?"
"Aku hanya berusaha melihat fakta aja. Dan aku sadar ... kamu emang nggak ada apa-apa dengan Lola," lirih Vanessa. "Siang itu, aku mengakui. Kamu emang nggak niat buat ketemu dia."
"Memang!" tukas Ryan. "Tapi, kamu masih aja marah-marah."
"Mungkin pengaruh belum makan siang. Makanya aku emosi," lirih Vanessa terlalu pelan. Berusaha menyembunyikan wajahnya yang memerah dari sorot mata Ryan. "Tapi, bukan berarti kamu harus natap dia selama itu pas praktikum."
Ryan manyun. Lalu, mengembuskan napas panjang.
"Aku bakal berusaha melihat faktanya aja. Fakta yang akan menunjukkan kamu bisa dipercaya ... atau nggak."
"Ckckckckck." Ryan berdecak. "Pertama kali seumur hidup. Baru sekarang aku ketemu cewek yang berusaha menggunakan logikanya."
Aku belajar dari pengalaman.
"Kamu nggak ada romantis-romantisnya coba, Sa. Biasanya ya ... di film-film, tokoh cewek bakal ngomong: aku percaya kamu, apa pun yang terjadi akan selalu percaya."
Satu senyum geli terbit di bibir Ryan.
"Tapi, nggak apa-apa. Fakta akan membuat kamu yakin kalau aku beneran bisa dipercaya."
Vanessa melihat sorot percaya diri yang seringkali muncul di mata Ryan. Membuat gadis itu geleng-geleng kepala.
"Ngomong-ngomong ...," kata Vanessa kemudian. "Kamu nggak ke depot? Biasanya akhir pekan kamu selalu ke depot kan?"
Ryan melirik.
"Kemaren kamu nggak ke depot. Hari ini juga nggak?"
Ryan sedikit mengerutkan dahinya. "Ternyata diam-diam kamu memperhatikan jadwal aku ya?"
"Eh?"
"Hahahaha." Ryan tertawa. "Aku nggak ngira loh."
Kesal, Vanessa merebut kembali remot televisi. Tapi, kali ini bukan untuk menyalakan televisi. Melainkan untuk memukulkan benda itu ke dahi Ryan.
"Aku bukannya perhatian, tapi ya spontan aja keingat kebiasaan kamu."
"Eh! Malah diingat!" kata Ryan telak. "Ini juga bisa dibilang: fakta yang akan menunjukkan kamu juga perhatian atau nggak."
Vanessa menggigit bibir bawahnya.
"Hahahaha." Susah payah, Ryan menghentikan tawanya. "Gimana kalau kita siap-siap?"
"Siap-siap?"
Ryan mengangguk. "Ikut aku ke depot yuk?"
Vanessa merinding. "Nggak."
"Ayohlah ...." Ryan meraih tangan Vanessa. Setengah merengek. "Kemaren aku ikut kamu ke kebun jagung. Masa kamu nggak mau ikut aku ke depot?"
Vanessa memikirkan perkataan itu.
"Lagipula, aku punya satu bunga yang cantik banget." Mata Ryan menyipit. "Kamu pasti bakal terpesona deh. Yakin."
"Ehm ...."
Deheman Vanessa membuat senyum Ryan terbit. Ia tau. Vanessa menerima ajakannya
*
Bukan hal yang aneh bila Anton dan Sahrul siang menjelang sore itu melongo bersamaan. Ketika jam setengah tiga sore, mereka mendapati suara deru motor yang khas memasuki depot, mereka berdua tau bahwa Ryan datang.
Tapi, melihat ada sesosok gadis duduk di jok belakang motor Ryan, nah ... ini yang membuat mereka berdua melongo kompak.
Anton dan Sahrul sama-sama mengucek mata mereka berdua. Berkali-kali hingga mata mereka terasa perih.
"Rul. Bos bonceng cewek?"
Sahrul mengangguk.
"Bukan bonceng karung pupuk kan?"
Sahrul menggeleng.
Hening sejenak. Lantas mereka berdua mengangkat wajah. Melihat ke langit. Terlihat awan gelap tampak perlahan menutupi sinar matahari.
"Ya ampun. Padahal dari tadi matahari cerah banget. Eh, sekarang langsung redup."
"Nggak salah lagi ini mah. Sekalinya bawa cewek, Bos malah memicu perubahan alam."
Anton dan Sahrul sama-sama meneguk ludah. Mereka sama-sama bergeming. Tepat ketika Ryan terlihat memutar kontak motornya.
Mata mereka berdua tidak berkedip. Melihat seorang wanita berambut panjang bergelombang tampak menahan kedua tangannya di pundak Ryan saat mencoba untuk turun. Dan tak hanya itu, Ryan terlihat begitu lembut ketika membantu melepaskan helm dari kepalanya. Membuat Anton dan Sahrul sama geleng-geleng kepala.
"Beneran deh Bos. Emang keren."
"Nggak cuma masalah bunga aja."
"Ternyata nyari cewek juga ahli."
"Dan juga ... nggak cuma sama bunga coba. Sama cewek malah lebih perhatian lagi si Bos."
Dari tempat mereka berdiri, Anton dan Sahrul melihat Ryan yang menggamit tangan Vanessa dengan senyum malu-malu. Bibirnya bergerak. Bicara lirih pada gadis itu. Tanpa basa-basi, Anton dan Sahrul langsung menghampiri keduanya. Mereka kompak berkata.
"Selamat datang, Nyonya Bos."
Ryan melongo.
Vanessa terbengong.
Lantas benak Vanessa berkata.
Nggak Bos nggak anak buah. Pada stres semua.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro