64. Mau Tak Mau
Dan seumur hidup, rasanya aku nggak pernah berada di situasi secanggung ini sebelumnya.
Vanessa merutukkan hal itu di dalam hatinya. Tak berani mengangkat wajahnya. Ehm ... sebenarnya bukan tidak berani mengangkat wajahnya. Bukan. Hanya saja masalahnya adalah Vanessa tidak tau kata yang tepat untuk mewakili keadaannya sekarang. Kalau bukan tidak berani ... apakah itu malu?
Vanessa tidak ingin berspekulasi dengan perasaannya sendiri. Tidak mau mengambil risiko, ia lebih memilih untuk tetap saja menundukkan wajahnya. Menatap pada meja makan di hadapannya. Yang semula kosong, pelan-pelan terisi dengan berbagai macam makanan.
"Ini ... selagi nunggu, kamu makan mangga sama pepayanya aja dulu. Aku masaknya bentaran doang kok."
Vanessa tidak mengatakan apa pun ketika Ryan menyodorkan sepiring buah mangga dan pepaya yang telah cowok itu kupas dan potong-potong. Ketika Ryan beranjak, gadis itu segera mengembuskan napas panjang.
Astaga!
Bahkan ia tanpa sadar menahan napas ketika Ryan datang mengantarkan dirinya buah tersebut. Sekarang, Vanessa memacu dadanya untuk menarik oksigen sebanyak yang ia bisa. Sedikit merasa sesak napas.
Tadi ... setelah keadaan dirinya yang berantakan bersama Ryan di kamarnya, Vanessa merasakan lapar. Perutnya bergemuruh.
Wajah memerah karena teramat malu, Vanessa justru bingung harus mensyukuri gemuruh perutnya atau sebaliknya. Karena ... hanya dengan suara itulah maka ciuman mereka tadi selesai.
Vanessa butuh makan.
Dan ia ingat sekali ketika tadi di kamar Ryan bertanya pada dirinya. Beberapa saat setelah Ryan mengurai ciuman mereka.
"Kamu lapar? Mau makan sesuatu? Atau cukup dengan makan bibir aku?"
OH ... MY ... GOD!
Kebayang malunya Vanessa?
Dia merasa berada di titik paling memalukan seumur hidupnya. Sudah merupakan prestasi mengingat Vanessa tidak langsung menguburkan diri karena itu.
Hal seperti itu ... bukan Vanessa sama sekali. Terang saja membuat ia kelabakan. Dan ia menyadari. Ia seperti itu karena telah terlanjur mengungkapkan semua apa yang ia rasakan selama ini. Alasan di balik tindakannya pada Ryan. Ia merasa seperti menelanjangi dirinya dengan sukarela di hadapan cowok itu. Hasilnya, Ryan menjadi ... menjadi .... Entahlah. Vanessa tidak tau menjelaskannya seperti apa.
Yang pasti, Vanessa merasa kalau itu adalah pertandingan, maka jelas Ryan adalah pemenangnya.
Dia ... berhasil ngebuat aku kelepasan kayak gitu.
Dan lebih parahnya, aku berasa kayak ... udah masuk ke dalam genggaman dia.
Sementara Vanessa merasa salah tingkah, layaknya tidak pernah terjadi apa-apa, Ryan malah tertawa. Bersikap seperti di antara mereka tidak terjadi apa-apa. Padahal, baru beberapa saat yang lalu mereka bertengkar dengan hebat. Vanessa rasanya perlu angkat topi untuk Ryan. Bagaimana bisa cowok itu sesantai itu? Setelah keributan mereka? Vanessa tidak habis pikir.
Benar-benar seperti mengabaikan hal yang telah terjadi, lantas Ryan justru menarik Vanessa. Membawa gadis itu untuk duduk di meja makan sementara Ryan berkata akan menyiapkan sarapan dan makan siang mereka.
Sekarang inilah yang Vanessa lakukan. Menunggu di meja makan sementara Ryan menyiapkan makanan untuk mereka berdua. Dimulai dari sepiring buahan.
Tangan Vanessa terulur. Meraih satu garpu kecil di atas piring tersebut. Mulai menikmatinya.
Sembari menikmati buah mangga dan pepaya, Vanessa bisa mendengar riuh Ryan di dapur. Diselingi oleh aroma wangi khas bumbu-bumbu iris yang ditumis.
Ryan bolak-balik. Dapur ke meja makan, dapur ke meja makan. Beberapa kali. Seraya membawa makanan untuk mereka tentunya.
"Kamu tunggu aja. Nggak apa-apa. Ini bentar lagi selesai."
Larangan Ryan datang menghampiri ketika Vanessa berniat untuk bangkit. Cowok itu jelas menyadari kalau sekarang Vanessa sedikit merasa risi dan tidak nyaman dengan keadaan itu. Di mana Vanessa duduk sementara Ryan hilir mudik menyiapkan makan mereka. Dan nyatanya memang begitu. Menurut Vanessa, yang Ryan lakukan memang membuat ia sedikit tidak nyaman. Kalau saja situasi antara dirinya dan Ryan masih sekitar seminggu yang lalu, Vanessa pasti akan dengan leha-leha bersantai ketika Ryan melayani dirinya seperti saat ini. Bahkan lebih dari itu, Vanessa dengan tebal muka justru akan menunjuk-nunjuk agar Ryan melakukan apa yang ia suruh.
Sekarang berbeda. Dia benar-benar tidak bisa melakukan itu semua.
"Ta ... pi ..."
Ryan mencomot sepotong mangga di garpu yang Vanessa pegang. Mengunyahnya sejenak sebelum menelannya.
"Cuma numis kol sama sosis, Sa. Anak SMP juga sambil mejem mata bakal selesai lima menit doang."
Vanessa mengangguk kaku. Memilih untuk menuruti perkataan Ryan saja daripada memperpanjang perdebatan mereka.
Tak lama kemudian, Ryan membawa lauk dan sayur mereka. Ada omolet telur –dengan warna yang sedikit aneh di mata Vanessa-, tumisan kol sosis, dan semangkok kecil sambal.
Ryan duduk di hadapan Vanessa. Tersenyum lebar. "Dah! Semua udah siap."
"Ah ... iya."
Vanessa menggigit bibir bawahnya. Merasa benar-benar canggung dengan situasi itu. Terutama karena ia menyadari bahwa sedikit pun Ryan tidak merasakan hal yang sama. Cowok itu terlihat santai seperti biasanya.
"Sini piring kamu."
Vanessa hanya bisa mengerjap sekali. Tak melarang ketika Ryan mengambil alih piringnya. Meletakkan nasi untuk dirinya. Dan tak hanya itu. Ryan pun meletakkan sepotong omelet dan tumisan kol sosis, serta sambal. Baru meletakkan kembali piring itu di hadapan Vanessa.
Pelan-pelan, Vanessa mengambil sendok dan garpunya sementara Ryan menyiapkan makan untuk dirinya sendiri.
Satu suapan masuk ke mulut Vanessa.
"Enak kan?"
Vanessa diam sejenak. Meresapi makanan itu di lidahnya. Ia mengangguk.
"Enak kok." Lalu, kerutan di dahinya muncul. "Omeletnya ...."
Ryan terkekeh. Vanessa sontak mengangkat wajahnya.
"Ah itu. Kornet tadi aku masukin semua ke omeletnya. Hahahaha. Lebih kerasa kornetnya kan daripada telurnya?" Ryan tertawa-tawa. "Ini aslinya bukan omelet telur sih. Tapi, omelet kornet."
"Semua kornet tadi kamu masukkan?" tanya Vanessa.
Ryan mengangguk. "Iya. Biar tau rasa itu kornet aku masak sekaligus," kata Ryan seraya mulai menikmati makanannya.
"Biar tau rasa?"
Ryan kembali mengangguk. "Iya. Sembarangan aja buat jari kamu luka lagi. Tuh. Tau rasa deh itu kornet udah aku masak semua. Ha ha ha ha."
Mata Vanessa membesar. Melongo mendengar penjelasan Ryan.
Ryan tak menghiraukan raut bengong Vanessa. Malah kembali bicara seraya melihat Vanessa yang mulai melanjutkan makannya.
"Aku pikir-pikir, Sa, ntar pas kita belanja, kita nggak usah beli kornet lagi. Makanan itu membahayakan kamu."
"Huekkk!"
Ryan buru-buru memberikan minum pada Vanessa. Tapi, seperti ucapannya biasa saja dan ia tidak mengerti penyebab Vanessa yang mendadak tersedak, Ryan kembali berkata.
"Baru ada seminggu, Sa, eh ... udah dua kali jari kamu luka gara-gara kaleng kornet. Yang ketiga kali, mungkin bisa dapat piring cantik deh. Jadi, aku putuskan. Besok-besok nggak usah beli kornet kita. Beli daging sapinya aja sekalian."
"Beli daging sapi?" tanya Vanessa bengong. Meletakkan gelas minumnya kembali di atas meja. "Kamu pikir masak daging sapi itu cepet? Masaknya lama kali. Kalau kornet kan siap saji."
"Kamu suka banget sih makan daging sapi, sampe ngebelain kornet."
"Eh? Yang ngebelain kornet siapa, Yan?" tanya Vanessa bingung. "Aku bukannya ngebelain kornet. Tapi, kan masak daging sapi itu lama. Beda dengan kornet."
Ryan mengusap-usap ujung dagunya. "Ya udah. Kalau emang segitunya kamu mau makan sapi, beli aja rendang sekilo. Aku ada kenalan orang Padang asli. Udah biasa buat rendang asli. Bahkan bisa tahan sampe tiga bulan, Sa. Ntar kita pesan aja. Nama dia Uni Ros." Ryan menelengkan kepalanya sejenak. "Sekilo kayaknya nggak cukup ya? Berapa? Tiga kilo? Lima kilo?"
"Lima kilo?" Vanessa histeris. "Untuk makan kita atau untuk hajatan?" tanya Vanessa syok dengan tawaran Ryan.
Vanessa merinding. Membayangkan rendang sebanyak lima kilogram. Memangnya siapa orangnya yang memesan rendang sampai lima kilogram sementara yang memakannya hanya ada dua orang?
"Kepalang, Yan. Pesan aja langsung lima puluh kilo. Biar bisa ngundang orang sekota."
"Praaang!"
Sendok terlepas dari tangan Ryan. Sekilas membuat Vanessa kaget juga. Tapi, sejurus kemudian ia mendapati Ryan menatap pada dirinya dengan sorot yang berbeda.
Mata cowok itu terlihat berbinar-binar. Tampak seperti Ryan yang susah untuk bicara.
"Ka- ka-kamu nggak yang lagi ngasih kode ke aku kan?"
Wajah Vanessa seketika berubah. "Ngasih kode?"
"Iya ..., ngasih kode." Ryan mengulum senyum. "Untung aku jadi cowok agak peka."
Tu-tunggu dulu.
Vanessa mendadak bingung.
"Peka?"
Ryan mengangguk. "Kamu beneran mau resepsi sekarang?"
Ya salam.
Vanessa merinding. "Kamu mikir aku lagi ngasih kode buat kita ngadain resepsi? Gitu?"
"Emang iya kan?" balas Ryan dengan super percaya dirinya. "Selain rendang lima puluh kilo ..., kamu mau apa lagi?"
Pembicaraan itu membuat perut Vanessa bergejolak.
"Bu-buruan kamu makan, Yan. Kayaknya tubuh kamu kekurangan tenaga buat menyuplai darah bersih ke otak. Pikiran kamu ngawur siang bolong kayak gini."
Ryan tertawa. "Hahahaha. Nggak usah malu, Sa."
"Aku nggak malu." Mata Vanessa melotot. "Tapi, kamu itu yang salah mikir."
"Beneran nggak malu?" tanya Ryan lagi.
"Emang nggak."
Lantas, Ryan mengembuskan napas panjang. "Syukur deh kalau kamu nggak malu," kata Ryan dengan senyum kecil di wajahnya. "Kan jadi enak."
Setengah cemberut, Vanessa melanjutkan makannya. "Apanya yang enak?" tanya Vanessa acuh tak acuh. "Makanannya?"
Mengistirahatkan sejenak kedua tangannya di atas meja, Ryan berkata dalam senyumannya.
"Bukan makanannya, tapi kamu."
Dahi Vanessa berkerut. "Aku?"
Lalu, Ryan memberikan tatapan yang membuat Vanessa sontak pelan-pelan menghentikan kunyahannya. Entah mengapa, ia jadi ikut-ikutan mendiamkan kedua tangannya di atas meja.
"Kalau kamu udah ngomong ketus lagi kayak gini ... kan enak."
Mata Vanessa mengerjap-ngerjap. Mencoba mengartikan maksud perkataan Ryan.
"Karena kalau kamu masang tampang salah tingkah atau malu atau bahkan jadi pendiam ...," lanjut Ryan. "... itu keliatan buat gemes. Rasa-rasanya mau aku remes-remes deh."
Sontak saja wajah Vanessa berubah.
Remes-remes?
Dia pikir aku ini sebangsa santan apa?
Dasar!
Lagipula, emangnya aku bisa diremes-remes?
Mata Vanessa mengerjap sekali. Pertanyaan di benaknya itu membuat ia meneguk ludah dengan susah payah.
Ma-maksud dia?
Vanessa merinding seketika akibat pikirannya sendiri. Tapi, tak cukup sampai di sana. Selanjutnya Ryan justru menuntaskan perkataannya dengan satu kalimat pamungkas yang benar-benar tak mampu dilawan oleh gadis itu.
"Aku khawatir aku nggak bisa nahan diri."
Vanessa membeku.
Alarm mendadak berbunyi di benaknya
Ya salam!
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro