Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

62. Runtuh

"Dinda ..., sampai kapan coba kamu bakal diamin aku kayak gini?"

Tangan Vanessa yang semula bergerak demi untuk mengambil satu kaleng kornet di dalam kulkas, mendadak terhenti seketika. Layaknya ada bahaya dan alarm otomatis berbunyi, begitulah respon tubuhnya.

Vanessa merasa tubuhnya sontak menegang seketika. Ditambah pula dengan meremangnya bulu kuduknya. Membuat ia meneguk ludah. Kecepatan detak jantungnya sontak naik. Seakan ia sekarang tengah bersiaga.

Mengembuskan napas perlahan, Vanessa seolah baru mendapatkan kembali kesadaran. Seperti suara Ryan yang menyapa gendang telinganya tadi membuat ia tertarik ke alam bawah sadar. Membuat ia membeku, terdiam.

Tangan Vanessa kembali bergerak. Meraih kaleng kornetnya. Mengabaikan Ryan, gadis itu berjalan. Beranjak ke kitchen island. Pada mangkok yang telah ia isi dengan nasi hangat dan sambal botol.

"Sa ...."

Vanessa mengerjapkan matanya. Masih bertahan untuk mengabaikan Ryan layaknya cowok itu tidak ada. Padahal nyata sekali Ryan sekarang telah berdiri di hadapannya. Terpisah kitchen island, Vanessa lebih memilih untuk melihat kaleng kornet saja dibandingkan wajah memelas Ryan.

Mengatakan Ryan memelas bukanlah hal yang berlebihan karena memang hal itulah yang terjadi. Bermalam-malam tidur tidak nyenyak membuat wajah Ryan di Minggu pagi itu terlihat begitu letih. Bagai wajahnya menua sepuluh tahun lebih cepat. Sekarang Ryan terlihat seperti wajah bapak-bapak yang pusing memikirkan uang sekolah anaknya.

Menyedihkan sekali.

"Sa ...."

Vanessa tetap mengabaikan Ryan. Lebih dari itu, ia memilih untuk fokus membuka kaleng kornet di tangannya saja. Perutnya lapar. Dan mendapati Ryan di pagi harinya membuat Vanessa semakin merasa kelaparan.

"Sa ...."

Vanessa mengeraskan wajahnya. Jari telunjuknya menarik kait penutup kaleng kornet itu.

"Sa ...."

Mata Vanessa mengerjap.

"Sa ...."

"Awww!"

Kaleng kornet terlepas, setengah terbanting. Vanessa menjerit sakit. Ryan melotot seketika. Darah tampak menetes membasahi kitchen island.

"Vanessa!"

Vanessa tidak tau, entah apa pernah Ryan memanggil namanya seperti itu. Lengkap. Tanpa ada embel-embel Dinda atau Vanessayang. Namun, dengan intonasi yang membuat aliran darahnya menjadi menderas.

Sekejap mata, Ryan sudah berpindah tempat. Mengitari kitchen island, menghampiri Vanessa, dan meraih jari gadis itu yang berdarah.

Ryan menekan jari tengah Vanessa sementara gadis itu terlihat berusaha untuk menarik tangannya.

"Astaga, Sa. Jari kamu baru sembuh dan sekarang malah luka lagi?"

Vanessa mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Masih berusaha melepaskan tangannya. Tapi, Ryan masih tetap bertahan. Menyerah, akhirnya Vanessa bersuara pula.

"Lepasin, Yan!" sentak Vanessa.

Ryan yang tengah berusaha menghentikan pendarahan di jari Vanessa tertegun. Ia tau, bukan hal yang asing lagi mendapati suara kasar dan intonasi tinggi Vanessa. Tapi, yang ini berbeda. Suara Vanessa benar-benar menyiratkan rasa tak suka. Seolah jijik pada dirinya.

"Sa ...."

Bahkan Ryan sendiri pun bisa merasakan serak dan parau di suaranya. Lebih dari itu, Ryan sendiri pun merasakan bagai ada bongkahan besar nan pahit yang terasa menyumpal di pangkal tenggorokannya. Rasa pahit yang ingin ia usir sejauh mungkin.

Vanessa melarikan tatapannya ke arah lain. Menghindari tatapan Ryan yang menuju ke matanya.

"Lepasin, Yan."

Vanessa kembali bersuara. Walau kali ini terdengar lebih lirih dibandingkan suaranya tadi. Namun, justru yang ini yang membuat mata Ryan terasa panas.

Vanessa memohon padanya.

"Kamu tega banget sih sama aku, Sa."

Ryan meringis menatap gadis itu.

"Aku udah jujur sama kamu, tapi kamu nggak percaya. Aku harus gimana coba biar kamu percaya?"

Layaknya Ryan tak menanyakan apa-apa, Vanessa tetap berusaha melepaskan tangannya dari Ryan. Tapi, Ryan benar-benar tidak memberi celah pada dirinya. Dan sayangnya, Vanessa pun tidak menyerah.

Mereka berdua sama-sama bertahan pada pendiriannya masing-masing. Tidak ada yang ingin mengalah satu sama lain. Hingga membuat Ryan merasa dirinya ingin meledak. Dan memang itulah yang terjadi di detik selanjutnya.

"Sa!"

Vanessa tersentak. Pada suara Ryan yang tinggi menyebut namanya. Sontak membuat ia berpaling dan menatap pada cowok itu. Terlihat, wajah Ryan mengeras. Kedua matanya terlihat memerah.

Gadis itu tau. Untuk pertama kalinya Ryan menaikkan nada suara pada dirinya. Tapi, Vanessa tidak memiliki waktu untuk berlama-lama merasakan kekagetannya. Karena pada detik selanjutnya Ryan kembali membentak dirinya. Seperti ia yang sudah melampaui batas dirinya sendiri.

"Jangan diam aja! Jawab pertanyaan aku. Kamu mau selamanya nggak menyelesaikan masalah ini? Iya? Itu yang kamu mau?"

Kali ini, Vanessa tak menghindari Ryan lagi. Membiarkan Ryan tetap menahan tangannya dengan tubuh keduanya yang berjarak tak seberapa, Vanessa justru membalas tatapan tajam Ryan.

"Menurut kamu apa yang aku lakukan sekarang ini, Yan? Ini adalah penyelesaian masalah di antara kita!"

Balasan Vanessa membuat Ryan tertegun. Wajah kerasnya langsung berganti raut tak percaya.

"Serius?"

Ryan meringis. Tak melepas tatapan Vanessa. Bahkan yang ada ia malah semakin mengikis jarak.

"Dengan mendiamkan aku berapa hari ini?" tanyanya lagi. "Bahkan tanpa aku bicara aja kamu udah yang kayak jijik aja menghirup oksigen yang sama dengan aku. Ini yang kamu sebut dengan penyelesaian?" Wajah itu semakin meringis. "Bisa kamu jelaskan penyelesaiannya ada di mana?"

Vanessa terlihat bergejolak. Menarik napas dalam-dalam seraya berkedip sekali.

"Dengan kita tidak saling berhubungan lagi, itu menyelesaikan semua masalah," ujar gadis itu dengan suara dalam dan penuh penekanan. "Please, Yan. Kamu jangan egois."

Ryan terhenyak. Ringisan di wajahnya seketika berubah menjadi seringai terluka –yang mungkin baru kali ini Ryan rasakan.

"Egois? Pardon?" Ryan terkekeh sekilas. Miris. "Kamu ngomong aku egois? Kamu nyadar nggak sih siapa yang egois di antara kita? Bukannya kamu? Kamu mikir nggak? Aku tau kamu lebih dewasa dari aku, tapi menilai aku tanpa bersedia menimbang pembelaan aku ... apa itu nggak egois?"

Mata beragam emosi milik Vanessa menatap Ryan. "Kamu masih ingin membela diri?"

"Tentu saja aku masih ingin membela diri. Dan jangan kamu mikir aku membela diri karena aku salah. Aku membela diri justru karena aku nggak pernah melakukan apa pun seperti yang kamu tuduhkan!" sentak Ryan. "Aku sama Lola? Kamu merendahkan selera aku aja, Sa! Aku bilangin ya. Aku nggak ada apa-apa sama dia."

"Di saat dengan mata kepala aku sendiri ngeliat kamu natap dia dengan begitu intens?"

Ryan menggeram. Tanpa sadar memperkuat genggamannya pada tangan Vanessa. Mengabaikan ringisan gadis itu.

"Astaga, Sa! Itu bukan yang kayak kamu kira. Aku emang natap dia. Tapi, itu bukan tatapan intens." Ryan kebingungan. Harus dengan cara apa ia menjelaskan semua kekeruhan itu. "Itu cuma sekadar tatapan kosong aja. Dengar. Siang itu Abid memang ngomong ke aku kalau Lola naksir aku."

Mata Vanessa membesar. Tapi, Ryan tidak ingin kehilangan kesempatannya bicara begitu saja.

"Jangan dipotong dulu."

Vanessa terpaksa menelan kata-katanya kembali.

"Makanya aku spontan ngeliat dia. Hanya itu," lanjut Ryan menuntaskan penjelasannya.

"Dan yang di lorong? Bukannya kalian berdua kan?"

Ryan melongo sekejap. "Jelas-jelas kamu tau, Sa, aku di lorong itu gara-gara apa? Gara-gara nganterin makanan kamu! Dan bagian itu terlupakan sama kamu kan? Kamu cuma ingat tentang pertemuan aku yang nggak sengaja dengan Lola di sana."

Vanessa diam.

"Lagipula, di waktu dan tempat yang sama ... apa itu artinya aku bisa mengatakan hal yang serupa dengan apa yang terjadi antara kamu dan Pak Nathan?

Gadis itu serta merta memelototkan matanya. "Jangan nuduh aku ada apa-apa dengan Pak Nathan."

"Dengan semua gosip yang beredar? Bahkan dengan dia yang terang-terangan selalu berusaha mendekati kamu?" tanya Ryan perih.

Vanessa mengerjapkan matanya.

"Kamu nggak tau kan kalau untuk di satu waktu aku benar-benar merasa rendah? Nggak pantas buat kamu?"

Ryan berhasil membuat Vanessa tertegun. Tanpa sadar cowok itu melepaskan jari tangan Vanessa yang secara ajaib telah berhenti berdarah dengan sendirinya. Kedua tangan cowok itu meraih lengan atas Vanessa.

"Aku cuma mahasiswa. Nggak ada apa-apa dibandingkan dengan dia. Bukannya banyak yang ngomong kalau kalian itu pasangan yang ideal?"

"Kamu jangan asal ngomong, Yan. Aku sama dia nggak ada apa-apa," lirih Vanessa datar.

Ryan mengangguk kasar. "Aku tau. Aku percaya itu. Tapi, kenapa kamu nggak bisa percaya dengan aku yang posisinya sama persis dengan kamu saat ini?"

"Itu ...."

"Itu alasan kamu aja kan?" tanya Ryan pada akhirnya. Di suara Ryan yang bisa terdengar nada jenaka, kali ini menyiratkan rasa kecewa. "Alasan buat mengakhiri hubungan kita yang bahkan belum pernah dimulai ini?"

Kata-kata itu terasa bagai menghunjam jantung Vanessa dengan begitu telak. Kalau pun ia mengingkarinya, yang terlihat memang seperti itu adanya. Yang dikatakan Ryan ... benar.

Vanessa memejamkan matanya.

"Segitunya kamu nggak mau nerima aku, Sa? Coba bilang deh. Aku kurang di mana sampe kamu giniin aku?"

Kepala Vanessa menggeleng. "Please, Yan. Kita nggak usah bahas ini." Ia menarik napas dengan susah. "Jangan buat semuanya makin sulit."

"Semuanya udah menjadi sulit dari awal. Dari kamu yang nggak pernah ngasih aku kesempatan, Sa. Kamu benar-benar menutup hati kamu buat aku." Cengkeraman tangan Ryan mengeras. "Dan timing kali ini pas bukan? Ada Lola yang bisa dijadikan alasan?"

Vanessa menggeleng.

"Kalau nggak, kenapa kamu nggak percaya sama aku?!"

Bentakan Ryan serta guncangan di tubuhnya membuat Vanessa membuka mata. Dan itu seketika membuat Ryan terhenyak. Jantungnya terasa tidak berdetak lagi. Menatap pada mata Vanessa. Kali itu untuk pertama kali, Ryan melihatnya. Bukan Vanessa yang biasanya. Yang terlihat kasar, keras, dan datar. Sekarang ada beragam emosi berkecamuk di mata itu.

Vanessa memperlihatkannya.

Ada kerapuhan. Rasa sakit akibat luka yang belum mengering. Keinginan untuk percaya, tapi kenyataan justru melakukan hal yang sebaliknya.

Gadis itu ... hanya ingin membantengi diri sendiri.

"Bahkan tanpa Lola ..., suatu saat kamu pun akan menemukan yang lain, Yan." Satu butir air mata, terjatuh. "Hanya masalah waktu ...."

"Vanessa ...."

Vanessa menarik napas dalam-dalam. Terlihat berusaha untuk menenangkan gejolak di dadanya. Ia tersenyum.

"Tenang saja. Aku nggak masalah sama sekali, Yan. Itu hak kamu untuk menyukai siapa pun. Kita bisa memikirkan nanti tentang pernikahan ini. Tapi ...." Vanessa menggigit sekilas bibir bawahnya. "Setidaknya jangan membohongi aku, Yan. Jangan berkata seolah-olah kamu menginginkan aku, sementara bukan itu yang terjadi."

Ryan tertegun. Mencoba mencerna baik-baik perkataan itu di benaknya.

"Jangan peduli ke aku, sementara kamu justru menatap pada gadis lain."

Segitu terlukanya dia?

Ryan menggeram.

"Sa ...."

Tangan Ryan bergerak. Kali ini menangkup wajah gadis itu. Menahan di depan wajahnya.

"Apa dia pernah memberikan kamu bunga mawar dengan potnya?"

Mata Vanessa mengerjap. "Dia?"

"Pria bajingán itu ..., yang meninggalkan kamu." Jakun Ryan naik turun dengan emosi. Seperti ia yang mendadak ingin meninju seseorang. "Dia pernah memberikan kamu bunga mawar dengan potnya?"

Bingung dengan maksud pertanyaan itu, nyatanya Vanessa justru menjawab dengan gelengan kepalanya.

Lantas, Ryan kembali bertanya. "Dia pernah menyiapkan candle light dinner dengan kearifan lokal?"

Lagi, Vanessa menggeleng. Namun, sekarang Vanessa mulai bisa mengira ke mana Ryan tengah menuntun dirinya.

"Dia pernah mengajak kamu berlarian di kebun jagung?"

Air mata menetes. Tepat ketika Vanessa kembali menggeleng.

"Dan apa dia pernah tetap bertahan pada kamu setelah kamu melempar dahinya dengan mangkok?"

"Nggak ...."

Suara itu nyaris tidak terdengar oleh Ryan. Tapi, pergerakan bibir Vanessa tidak akan luput dari mata Ryan.

"Kalau begitu, jangan samakan aku dengan dia," kata Ryan dengan penuh penekanan. "Bahkan kalau pun kamu ngelempar aku dengan kompor gas, aku bisa pastiin. Aku nggak akan pernah meninggalkan kamu, Sa."

Tangis Vanessa pecah.

"Aku nggak mau lagi ngerasa gitu, Yan. A-a-aku ...."

Semua benteng runtuh.

Vanessa yang keras, yang kasar, yang datar ..., lenyap.

Seketika membuat Ryan langsung menarik Vanessa. Memeluk gadis itu dengan begitu erat. Di dada Ryan, Vanessa menanggalkan semua tameng yang ia kenakan.

"Jangan buat aku cinta kamu, Yan. Jangan ...," isak Vanessa. "Jangan kalau hanya untuk membuat aku merasakan sakit yang sama lagi."

Pelukan Ryan semakin mengerat. Cowok itu merasakannya. Tangan Vanessa yang mencengkeram dadanya. Menumpahkan semua air mata di sana. Terisak kepadanya.

"Jangan, Yan, jangan."

Mengiba.

"Aku mohon."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro