60. Usaha Mendamaikan
Vanessa memang selalu memandangnya seperti itu, pada banyak kesempatan. Datar, tanpa ekspresi. Hanya saja setelah beberapa hari bersama, seperti mulai timbul emosi ketika mereka bertatapan. Ryan ingat benar, ia pernah membuat dua bola mata itu menyorotkan kekagetan, berkilat geli, atau mengerjap karena malu. Pernah. Dan itu bukan hal yang mudah untuk Ryan dapatkan. Ryan tak akan melupakan bagaimana Vanessa yang selalu datar ketika awal mula mereka bersama. Bahkan di malam pernikahan Vanessa terlihat bagai tak merasakan apa pun ketika mengatakan akan memadamkan lampu. Seperti gadis itu tengah menjaga emosinya untuk tidak terlihat oleh Ryan.
Hal itu membuat Ryan tak suka. Cowok itu senang melihat Vanessa yang berfluktuasi. Memekikkan namanya dengan sekuat tenaga. Balas mengerjai dirinya. Dan apa pun. Namun, kali ini Vanessa seolah kembali menjadi Vanessa beberapa bulan yang lalu.
Matanya tanpa emosi, menatap datar pada Ryan.
Seharusnya Ryan sudah terbiasa ditatap seperti itu. Tapi, kali ini berbeda. Tatapan tanpa emosi itu justru seolah mengirimkan berbagai peringatan pada dirinya. Membuat ia gemetar.
Susah payah aku mau mendekati dia, eh pas udah mau dekat malah ada cewek lolo buat masalah.
"Kak ...."
Suara Lola terdengar. Membuat Ryan refleks memalingkan wajahnya. Lola terlihat menatapnya dengan penuh harap.
Sial!
Tewas beneran ini aku ceritanya.
Berusaha untuk tetap bernapas dan menjaga akal sehatnya, Ryan mencoba untuk bersabar. Padahal di dalam benaknya ia sudah ingin berlari. Menahan Vanessa dan berkata seperti ini: Dinda Vanessayang, hanya Dinda yang Kanda cinta.
Tapi, Ryan tau ia tidak mungkin melakukan itu di sini. Salah-salah, Vanessa justru semakin mengamuk. Dan ---
"Kak."
Rengekan Lola menyadarkan Ryan dari pikirannya yang kalut.
"Ehm .... La ..., itu ...." Ryan terlihat kesusahan untuk bicara. Bahkan boro-boro untuk lancar bicara, saat ini Ryan bisa lancar bernapas saja sudah merupakan prestasi.
"Saya permisi, Pak. Saya mau ke ruangan saya."
Suara Vanessa yang sebenarnya pelan itu nyatanya bisa didengar pula oleh Ryan. Membuat cowok itu berpaling lagi. Mengintai. Mengawasi setiap pergerakan Vanessa. Tangan gadis itu terlihat meremas kantong plastik makan siangnya.
Glek.
Ryan merasa lehernya yang saat itu diremas Vanessa.
Ya salam!
Di sana, Nathan tampak mengangguk. "Baik, Bu. Selamat menikmati makan siangnya."
Vanessa mengangguk pelan sekali, lalu masuk ke ruangannya. Sementara itu Nathan beranjak. Melintasi Ryan dan Lola seraya berkata.
"Kalau mau pacaran, jangan di kampus. Jalan ke mana gitu."
Ya-Tuhan!
Ryan meneguk ludahnya. Belum sempat ia klarifikasi, Nathan sudah keburu terus melangkah. Dan ketika ia ingin mengumpati Lola, mendadak ia mendengar suara Vanessa di sana.
Gadis itu keluar lagi dari ruangannya. Membuat Ryan bertanya-tanya, ada apa gerangan hingga Vanessa keluar lagi dengan masih membawa bungkusan makanannya.
Lalu, Ryan tau apa yang terjadi. Itu ketika Vanessa bergumam dengan nada mengumpat.
"Kok rasanya gini sih? Terpaksa beli makan siang lagi nih ceritanya."
Glek!
Ryan berkeringat dingin.
Melihat bagaimana Vanessa yang dengan entengnya membuka tempat sampah di luar ruangannya. Lalu membuang bungkusan makanannya. Bungkusan nasi bebek goreng yang ia bawakan tadi!
"Braaak!"
Bahkan Vanessa setengah membanting bungkusan itu. Lalu, gadis itu putar badan. Mencegat satu mahasiswa yang lewat. Seakan tidak cukup membuat nyawa Ryan terbang satu persatu, Vanessa justru bertanya pada mahasiswa itu.
"Bisa tolong belikan saya makan siang?"
Dan pertanyaan itu langsung dibalas anggukan, serta jawaban. "Oh, bisa, Bu."
Vanessa menyerahkan selembar uang seratus ribu rupiah. "Tolong belikan saya ayam goreng ya. Saya nggak suka bebek goreng."
Satu nyawa Ryan terbang lagi. Kali ini Ryan benar-benar yakin seratus persen. Vanessa sedang marah pada dirinya.
Persetan dengan dia cemburu atau nggak. Dia ada perasaan sama aku atau nggak. Tapi, gara-gara Lola, nyawa aku jadi terancam.
Maka ketika Vanessa sudah kembali masuk ke ruangannya, Ryan melotot sejadi-jadinya pada Lola.
"Ada apa sih? Mau ngomong apa?!"
Lola kaget. Terhenyak di tempatnya berdiri. Tidak percaya mendapati Ryan yang terlihat selalu cengar-cengir dan bercanda dengan teman-temannya justru membentak dirinya.
"Kak ..., itu ...."
"Apa?! Ngomong yang jelas!"
Lola meneguk ludahnya. Jantungnya berdegup kencang. Tapi, ini bukan degupan jatuh cinta. Ini adalah degupan ketakutan.
Ryan meradang. Tak peduli di mana saat itu mereka berada, Ryan justru mendesak.
"Apa kamu mau nembak aku sekarang? Iya? Kayak yang Abid bilang? Kamu suka aku?!"
Beberapa mahasiswa yang tampak lewat di sana terlihat mencuri pandang pada mereka berdua. Terutama karena kelas praktikum selanjutnya akan dimulai, terang saja suasana mulai ramai kembali.
"Sorry, La. Bukan zamannya lagi aku mau sibuk pacaran. Kalau aku suka sama cewek, nggak pake pacaran. Langsung aku nikahi dia. Dan itu cewek bukan kamu."
Mata Lola membesar. "Kak .... Ini banyak orang."
"Terus kamu mau ngajak aku berdua mojok gitu?" Ryan melotot. "Please, jangan ganggu aku lagi ya. Sumpah. Aku udah ada cewek."
Lola ingin mengatakan sesuatu, namun Ryan keburu beranjak dari sana. Menghiraukan bisik-bisik mahasiswa yang mengomentari tontonan sore itu, Ryan berjalan cepat. Menuju ke ruangan Vanessa.
Persetan deh mau nyari alasan apa.
Yang penting aku harus ketemu dia dulu.
Tepat di depan pintu ruangan, Ryan baru akan mengetuk pintu yang terbuka itu. Namun, Vanessa berkata seraya bangkit dari duduknya.
"Maaf, saya ingin istirahat siang. Konsultasinya lain waktu saja."
Ryan ingin bicara ketika Vanessa beranjak menghampiri dirinya di depan pintu. Tapi, kemudian Ryan menyadari bahwa Vanessa bukan ingin menemuinya, melainkan meraih daun pintu. Kemudian ....
"Braaakkk!!!"
Pintu ditutup tepat di depan wajah Ryan!
Ryan membeku.
Jadi duda beneran kamu, Yan!
*
Ryan mengumpat habis-habisan. Rasa-rasanya ia begitu sial hari itu. Bagaimana tidak? Tadi setelah tragedi pintu dibanting di depan wajah, Ryan berencana untuk langsung pulang. Tapi, baru setengah jalan, ban motornya pecah. Maka terpaksalah dia mendorong motornya sementara matahari tengah bersinar dengan terik di atas sana.
Belum makan siang, kena marah istri, eh ... dorong motor lagi.
Apes banget sih aku hari ini!
Setelah mendorong motor nyaris setengah jam lamanya, Ryan akhirnya menemukan bengkel juga. Cowok itu terburu-buru meminta agar bannya langsung saja diganti alih-alih mengikuti rekomendasi ditampal oleh pemilik bengkel itu.
Mana sempat aku hitung-hitungan duit di saat nyawa aku terancam kayak gini?
Emangnya duit masih berguna kalau aku keburu mati?
Setelah selesai, Ryan langsung melajukan motornya kembali. Ketika ia fokus dengan jalanan, mendadak terdengar suara menggelegar. Membuat ia kaget. Sekilas ia melihat ke atas, pada langit yang dengan serta merta berubah warna menjadi gelap kelabu.
Angin bertiup kencang. Disusul oleh petir selanjutnya.
Sial banget!
Tadi pas dorong motor aja panas membara. Ini pas naik motor udah tanda-tanda mau hujan aja.
Maka Ryan semakin menaikkan kecepatan motornya. Layaknya pebalap yang tengah melintasi sirkuit balapan. Berpacu dengan waktu. Atau untuk kasus Ryan berpacu dengan nyawa yang lebih tepatnya.
Hujan pun turun. Disertai angin dan petir yang menggelegar. Menggeraskan rahangnya, Ryan berdoa di dalam hati.
Mudah-mudahan ini bukan pertanda alam bahwa aku akan mati bentar lagi.
Hiks.
Beruntung. Tak lama setelah hujan turun, Ryan sampai di gedung apartemennya. Membuang air hujan di tubuhnya dengan sekilas lalu, Ryan tak membuang waktu lebih lama lagi. Ia bergegas. Memasuki lift dan langsung menuju ke unitnya.
Ryan melangkah masuk. Sekilas mendapati sepasang sepatu Vanessa di lemari sepatu. Cukup menjadi tanda bagi dirinya bahwa Vanessa sudah pulang.
Acuh tak acuh meletakkan tas ransel di atas sofa ruang tamu, Ryan lanjut berjalan. Lalu, langkah kakinya bergerak dalam ritme yang pelan. Seolah-olah ia tengah menilai situasi saat itu.
Vanessa di mana ya?
Di kamar atau ...?
Ryan memutuskan untuk memeriksa ruangan lain terlebih dahulu. Kamar akan menjadi pilihannya yang terakhir.
Ketika Ryan sampai di ruang menonton dan ia akan beranjak ke dapur, ia mendapati pintu balkon terbuka. Menghentikan langkah kakinya, menghadap ke sana, tatapan Ryan lalu beradu pada tatapan datar tanpa emosi milik Vanessa yang melangkah masuk.
Mendapati Ryan di hadapannya, langkah kaki Vanessa serta merta terhenti pula. Hingga membuat keduanya saling berdiam diri di posisi masing-masing. Tak melakukan apa pun. Seolah bagai sepasang predator yang sedang mengamati kekuatan masing-masing.
Vanessa menatap lurus pada mata Ryan. Dan mata Ryan kemudian membelalak. Melihat bagaimana tangan Vanessa tengah memegang mawar merah dengan pot tanah liat asli itu.
Di-dia nggak maksud buat ngelempar aku pake itu kan?
Ryan gemetaran.
"Sa ...." Lidah Ryan terasa begitu kelu sekarang. "Ke ... pala aku ... kayaknya nggak cukup kuat buat dilempar ... dengan pot tanah liat ...."
Vanessa bergeming.
"Itu ... dari tanah liat ... asli, Sa."
Vanessa masih diam. Membuat Ryan meneguk ludah. Namun, di detik selanjutnya Vanessa bergerak.
"A ... ku beneran bisa ... tewas kalau ka---"
Vanessa berjongkok. Meletakkan pot itu di lantai. Mengabaikan Ryan yang menggantung perkataannya, ia berdiri lagi dan berjalan. Melewati Ryan. Meninggalkan cowok itu seorang diri di sana.
Ryan terbengong. Mendapati angin dan air hujan yang berusaha masuk melalui pintu yang Vanessa biarkan terbuka.
Ryan bergegas. Menutup pintu balkon dan menyadari mengapa Vanessa memegang pot itu tadi.
Dia cuma mau masukin ke dalam. Biar nggak rusak ditiup angin kencang kali, Yan.
Ryan meringis.
Efek ngerasa bersalah gini amat sih? Was-was mulu.
Tapi ....
Sial!
Ryan kembali mencari Vanessa. Dan menemukan keberadaan gadis itu di dapur. Tampak membuat secangkir coklat hangat.
Ryan mendekatinya. Menguatkan hatinya, Ryan mencoba untuk bersikap biasa saja.
"Ehm ..., kayaknya enak tuh, Sa."
Vanessa diam. Tak menghirauakan perkataan Ryan –atau bahkan keberadaan Ryan malah. Hingga membuat Ryan menarik napas. Ia pikir akan lebih mudah bila Vanessa justru membabi buta memarahi dirinya. Ryan merasa suasana diam seperti ini justru membuat semua menjadi serba salah. Ryan tidak bisa menerka tindakan apa yang harus ia lakukan.
Maka Ryan tak bisa melakukan apa-apa ketika Vanessa berlalu dari sana. Meninggalkan dirinya sendiri di dapur. Termenung duduk di kitchen island.
Mengusap wajahnya, Ryan membesarkan hatinya sendiri.
"Seenggaknya dia masih pulang ke unit, Yan. Kalau dia balik ke rumah orang tuanya, itu lebih gawat lagi. Bisa aku pastikan sekarang Mama yang menghajar aku pake pot tanah liat itu."
Berbicara mengenai pot tanah liat ... Ryan jadi terpikir sesuatu.
"Walau dia marah ke aku, tapi ia tetap memperhatikan bunga yang aku kasih coba."
Mata Ryan mendadak panas.
"Gini amat jadi suami, Tuhan. Padahal Vanessa udah menghargai kamu kayak gitu, kamunya justru ngebuat dia salah paham. Cewek mana yang nggak bakal salah paham kalau ngeliat yang tadi itu?"
Ryan bangkit.
"Aku emang nggak bener. Bisa-bisanya aku menyakiti hati Dinda Vanessayang," rutuk Ryan pada akhirnya.
Lalu, mendadak satu tekad muncul di benaknya. Apa pun akan ia lakukan demi mendamaikan amarah Vanessa.
Ryan akan mencobanya. Dan hal pertama yang terlintas di benaknya adalah menyiapkan makan malam. Ia akan mencoba mendamaikan Vanessa dengan makanan terlebih dahulu.
Ide yang bagus kan?
Ponsel Ryan pun langsung aktif bekerja. Menyasar ke restoran-restoran yang masih menyediakan jasa delivery di saat hujan angin seperti sore itu. Bukan hal yang mudah sebetulnya. Namun, pencarian Ryan membuahkan hasil.
Sejurus kemudian, Ryan telah memesan sepaket makan malam untuk mereka berdua. Dan selagi menunggu pesanannya sampai, Ryan memutuskan untuk mandi. Membersihkan diri dan mendinginkan kepalanya yang terasa berasap.
Kunci mendamaikan orang yang sedang panas adalah kamu jangan ikut-ikutan panas, Yan. Mandi keramas, biar kepala dingin.
Sepuluh menit kemudian Ryan sudah keluar dari kamar mandi dengan rambut yang basah. Langsung ke kamarnya dan berpakaian, Ryan kemudian mendapati ada pesan Abid masuk ke ponselnya. Alih-alih pesan dari kurir seperti dugaannya.
[ Abid ]
[ Kamu gila, Yan? ]
[ Tau nggak? Lola ke kos aku nangis-nangis. ]
[ Berasa kayak apa aku diliatin penghuni kos yang lain. ]
Ryan mengembuskan napas panjang. Duduk di tepi tempat tidur dan mengirim balasan untuk pesan itu.
[ Abid ]
[ Bilangin ke dia deh. Sumpah, Bid. ]
[ Aku udah punya cewek. ]
Balasan Abid datang secepat kilat. Dan bukan hal yang aneh bila pesan itu berisi kesanksian akan kebenaran pesan Ryan.
[ Abid ]
[ Pacar dari Hongkong? ]
[ Kamu mana punya pacar? ]
"Argh!"
Ryan menggeram. Lalu melempar ponsel itu ke atas kasur tanpa berniat untuk membalas pesan itu. Ryan lebih memilih menghabiskan waktunya untuk mondar-mandir di kamar. Menunggu pesanannya datang. Dan tepat ketika jam nyaris menunjukkan jam enam sore, Ryan mendengar suara bel berbunyi.
Pasti pesanan aku!
Penuh semangat, Ryan tergesa-gesa keluar dari kamar. Namun, ia justru dibuat bingung ketika mendapati Vanessa yang telah lebih dahulu membuka pintu itu. Terlihat Vanessa menyerahkan sejumlah uang sementara ada satu bungkusan di tangannya.
Hidung Ryan mengendus.
Matanya melotot.
Aroma makanan!
"Terima kasih, Pak."
Vanessa menutup pintu. Membalikkan badan dan terlihat kaget sekilas mendapati ada Ryan di sana, namun sejurus kemudian ia beranjak. Melewati Ryan dan langsung saja meninggalkan cowok itu.
Ryan langsung tersadar. Menyusul Vanessa yang sudah keburu masuk ke dalam kamarnya.
Ryan meraih daun pintu, menekannya dan---
Mata Ryan melotot. Menyadari bahwa pintu itu tidak terbuka.
Dikunci?
Seumur hidup tinggal berdua dan dia baru ngunci pintu kamarnya sekarang?
Bukan pertanda bagus untuk Ryan. Seharusnya sudah cukup menjadi pertanda untuk Ryan. Tapi, Ryan tidak mundur. Ia justru mengetuk pintu itu, alih-alih langsung pergi.
"Tok! Tok! Tok!"
"Sa ..., buka bentar."
Tak ada sahutan dari dalam kamar Vanessa. Membuat Ryan benar-benar merasa dirinya tak punya pilihan lain.
"Sa, buka pintunya. Aku bakal ngetok terus kalau kamu nggak buka pintunya."
Dan Ryan membuktikan perkataannya. Ia benar-benar bertahan mengetuk pintu itu.
Semenit ....
Lima menit ....
Sepuluh menit ....
Di balik sifat jenakanya, Ryan benar-benar cowok yang memegang perkataannya. Walau tangannya sudah mulai pegal karena terus menerus mengetuk, tapi ia tidak mundur. Hingga pintu itu kemudian terbuka. Menampilkan wajah kesal Vanessa yang langsung membuat Ryan mempertanyakan kewarasannya.
Beneran kamu mau ngusik singa betina yang lagi marah, Yan?
Tapi, Ryan tidak bisa mundur sekarang. Terutama ketika Vanessa menatap pada dirinya. Tanpa kedip.
"Apa?"
Vanessa langsung melayangkan satu pertanyaan itu. Membuat Ryan mengerjap sekali.
"Ka-kamu beli makanan? Ehm ... soalnya aku juga mesan makanan buat kita."
Mata Vanessa masih tak berkedip ketika berkata. "Itu makanan kamu. Aku udah beli makanan sendiri."
Glek.
"Ya ... nggak gitu, Sa. Kan a---"
"Udah! Urus aja urusan kamu. Aku mau ngurusin urusan aku," potong Vanessa cepat.
Tubuh Ryan melemas. "Sa ...., jangan kayak gini dong."
Mata Vanessa menajam. "Kamu yang jangan kayak gini," ujar Vanessa dengan tangan yang meremas daun pintu dengan kuat. "Jangan ngomong A kalau kenyataannya B."
Ya salam.
"Sa," lirih Ryan seraya berniat untuk masuk ke kamar Vanessa. "Dengar dulu. A---"
"Braaakkk!!!"
"Awww!"
Ryan mengaduh kesakitan merasakan pintu membentur dahi dan ujung hidungnya. Tepat ketika Vanessa kembali membanting pintu di depan wajahnya!
Mengusap wajahnya yang terasa nyeri, Ryan mengaduh.
"Ya Tuhan. Dalam sehari dua kali pintu dibanting di depan muka?"
Yang benar saja!
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro