Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

6. Pelepasan Orang Tua

Dan sekarang, kalau Ryan mengingat kembali kejadian pada hari itu, ia selalu saja merasa berbagai rasa berkumpul menjadi satu dan bergejolak. Ya malu, ya senang, ya lucu, ya miris pun ada. Pokoknya semuanya paket komplit tambah kerupuk deh. Itu baru yang dinamakan pernikahan bukan kaleng-kaleng.

Nah, jadi pada pagi itu setelah tragedi jeritan Vanessa yang entah bagaimana panik karena mendapati dirinya tertidur di pelukan seorang cowok, yang sebenarnya adalah suaminya sendiri, mereka lantas berdiskusi singkat. Ryan, Vanessa, Ilana, dan Herman membicarakan mengenai kehidupan mereka selanjutnya.

Diskusi pagi itu dilakukan di meja makan dan dilalui dengan santai. Hingga kemudian berujung pada satu kesepakatan, untuk beberapa saat Vanessa masih akan tinggal bersama dengan orang tuanya selagi menunggu rumah yang akan ditempati mereka berdua siap untuk dihuni.

Ryan dan Vanessa saling tatap untuk beberapa saat kala itu. Mereka bertanya-tanya apakah mereka akan tinggal bersama di rumah depot Ryan atau bagaimana. Dan ternyata tanda tanya di benak mereka langsung terjawab sudah.

Gusnandar, sebagai orang yang merasa begitu paling bahagia untuk pernikahan itu memberikan mereka satu apartemen. Tidak tanggung-tanggung. Apartemen mewah untuk pengantin baru.

Karena pernikahan mereka dilakukan mendadak, jadi ya otomatis ketika mereka menikah apartemen itu belum siap. Maka mereka harus menunggu dua minggu lagi agar apartemen itu siap dari listrik, air, gas, hingga semua perabotan rumah tangga lainnya. Saat itu Ryan benar-benar merasa tidak enak, namun Gusnandar berkata.

"Selagi orang tua mampu dan mau ngasih ya diterima. Jangan ditolak. Ini namanya rezeki orang nikah. Pamalik nolak rezeki pengantin baru. Bisa-bisa malah susah rezeki ntar. Lagipula, susah payah Eyang nyari apartemen itu. Jendelanya menghadap ke timur. Anginnya pas. Tepat juga untuk menyambut bulan purnama. Itu rumah yang penuh keberkahan. Pas untuk pengantin baru."

Ryan akhirnya ya manggut-manggut seraya menjawab.

"Nggih, Ndoro, nggih."

Ryan sih lebih memilih mengangguk kalau Gusnandar sudah bicara membawa segala macam bentuk perhitungannya itu. Daripada ribet.

Mengenai makan malam hari ini, sebenarnya ini semacam pelepasan kalau Ryan mengatakannya. Pelepasan orang tua mereka untuk membiarkan Ryan dan Vanessa pindah ke tempat mereka yang baru. Maka jangan ditanya betapa antusiasnya Ryan saat itu.

Setelah bercermin secukupnya, Ryan segera beranjak ke kamar mandi yang berada di dekat dapur. Tanpa merasa perlu menutup pintu kamar mandi itu, Ryan santai saja membuka kemejanya.

Dua tangan Ryan meremas kemeja itu, membentuknya hingga menyerupai bola, dan lalu ia melompat kecil.

"Syuuut!"

Bola kemeja meluncur mulus dan masuk ke keranjang pakaian kotor.

"Yes!"

Cowok itu kemudian pun beralih menanggalkan celana jeans yang ia kenakan dan juga melemparkannya ke keranjang itu. Yah, termasuk dengan pakaian dalamnya. Lalu, byur ... byur .... Ryan pun mandi.

Dia mandi dengan begitu teliti dan bersih. Telinga ia bersihkan, kuku ia potong, ia pun cukuran. Wah wah wah!

Ryan tersenyum pada cermin di sana.

Ckckckck. Aku nggak heran sih kalau nanti Taylor Swift beneran naksir aku.

Aduh!

Ryan menepuk dahinya.

Maaf, Taylor.

Aku sudah terlanjur dimiliki Vanessa.

Kamu harus bisa mencari pengganti aku.

Hiks.

Ryan kembali melanjutkan mandi keramasnya. Hingga selesai, ia meraih handuk dan beranjak ke kamarnya.

Di kamar, Ryan langsung membuka lemari. Mencoba mencari pakaian yang sekiranya pantas untuk ia kenakan dalam rangka menjemput Sang Pengantin. Tapi, sebenarnya pakaian apa yang dimiliki oleh mahasiswa tingkat akhir yang merangkap sebagai pemilik depot bunga?

"Jeans, jeans, jeans, jeans," lirih Ryan seraya melihat deretan celananya. "Dan celana gunung."

Ryan memejamkan matanya.

"Mungkin lebih baik aku pake bokser aja kali ya?" tanyanya pelan pada dirinya sendiri. "Atau pake sarung aja? Biar semriwing-semriwing gitu pas naik motor?"

Cowok itu lantas menarik napas dalam-dalam. Mengambil celana jeans hitamnya dan berpikir setidaknya itu lebih netral.

Sebagai atasan, Ryan sih sebenarnya ingin mengenakan kemeja putih. Tapi, ia meringis.

"Aku nggak mau dianggap kayak kotoran cicak atau pun sales nyasar."

Pada akhirnya, dia justru meraih selembar kemeja bewarna hitam. Setelah mengenakan kemeja itu, ia celingak-celinguk ke kanan ke kiri berulang kali.

"Kopiah mana kopiah? Mau melayat aku malam ini."

Tapi, jam terus berputar, membuat Ryan tak bisa memilih pakaian lainnya. Berusaha membangkitkan rasa percaya dirinya, Ryan pun bergumam seraya becermin.

"Ehm ... hitam ngebuat kamu terlihat makin macho, Yan. Aman aja."

Ryan langsung menyambut kunci motor dan jaket kulitnya. Dan sejurus kemudian setelah memastikan rumahnya terkunci dengan baik dan aman, Ryan bersama motor Ninja merah hitamnya itu pun melaju menuju ke restoran tempat mereka akan bertemu.

*

Vanessa menarik napas dalam-dalam. Entah mengapa malam itu merasa dirinya menjadi lebih gugup.

Apa karena tadi siang aku ketemu sama dia di kelas praktikum ya? Atau karena dia mendadak datang ke ruangan aku buat konsultasi skripsi dia?

Argh!

Entahlah yang mana yang menjadi penyebabnya. Yang pasti saat ini wanita itu merasa grogi. Dia merasa begitu bingung dengan situasi yang ia alami saat ini. Benar-benar berada di luar nalar dan akal sehatnya.

Terlebih lagi ketika mobil yang dikendarai Herman telah berhenti. Mereka bertiga bersama-sama lantas masuk ke restoran itu. Disambut hangat oleh petugas di sana dan langsung diantarkan menuju ke ruangan VVIP yang menjadi tempat pertemuan mereka.

Vanessa meremas kedua tangannya. Ia merasakan tubuhnya bergetar parah. Terutama ketika langkahnya semakin mendekati meja itu. Melihat kedua orang mertuanya dan juga ... glek. Mahasiswanya atau suaminya?

Lastri, Handoko, dan juga Ryan tampak berdiri menyambut kedatangan mereka. Terlihat saling jabat dan memberikan pelukan singkat sebelum mereka kembali duduk. Vanessa duduk di sebelah Ryan. Lumayan dekat hingga ia mampu merasakan saat cowok itu melirik pada dirinya.

Ryan menarik napas dalam-dalam.

Sial!

Kok bau parfumnya ikut kehirup sih?

Sejurus kemudian, makan malam pun dimulai. Ada dua orang pelayan yang datang dan menyajikan makanan ke meja besar itu.

"Ngomong-ngomong," kata Herman kemudian, "Eyang kenapa nggak ikut?"

Handoko meminum airnya sebelum menjawab. "Eyang memang nggak terlalu suka acara malam. Takut masuk angin katanya."

"Ehm ... itu sebenarnya karena Eyang bisa melihat makhluk halus loh."

Ilana, Herman, dan Vanessa kompak membeku dan melihat pada Ryan. Hingga Ryan jadi salah tingkah dan kedua orang tuanya tertawa kaku.

"Ha ha ha ha." Lastri melambaikan tangannya sekali di depan wajah. "Tenang aja. Udah lama juga Eyang nggak ngeliat yang aneh-aneh. Maklum, udah tua. Udah mulai rabun."

"Hahahahaha."

Sementara itu, Lastri malah mendelik pada Ryan.

"Padahal kan yang merencanakan acara malam ini sebenarnya Eyang," kata Ilana kemudian. "Sayang saja justru tanpa ada Eyang."

"Eyang nitip salam kok buat Om dan Tante," kata Ryan kemudian.

Tapi, sejurus kemudian cowok itu malah dapat pelototan lagi dari Lastri.

"Sama mertua manggil om dan tante?"

Mata Ryan mengerjap-ngerjap.

Waw!

Perubahan kehidupan dari bujangan ke suami orang memang bukan main-main. Bahkan dari sekadar panggilan pun bisa bermasalah.

Ryan tersenyum. "Maaf, Ma ..., Pa .... Soalnya aku baru nikah kali ini, jadi belum ada pengalaman."

Setidaknya Ryan cukup memiliki bakat untuk mencairkan suasana. Membuat meja itu dalam keadaan hangat kembali. Tapi, hanya ada satu orang yang tidak tertawa.

Ryan melirik ke sebelah.

Ini dia lagi sakit gigi atau lagi sariawan? Kok diem mulu sih?

Dan hal itu sepenuhnya disadari oleh Ilana yang kemudian berkata pada Ryan.

"Yan, ini Vanessa suka sama ikan saos yang ada di depan kamu loh."

"Oh ... kamu mau---"

Ryan mengerjap dan menggantung ucapannya di udara. Menyadari bahwa ada empat pasang mata sekarang sedang mengamati dirinya seperti ia adalah target yang siap untuk ditembak.

Glek.

Otak Ryan berpikir dan kemudian ia tersenyum seraya mengambil sepotong ikan itu. Menaruhnya di atas piring makan Vanessa.

"Ini enak, dicoba deh."

Empat hidung mengembuskan napas lega. Dan secepat mungkin Ryan meraih gelasnya, meneguk habis air di dalamnya hingga mendorong seorang pelayan untuk langsung mengisi gelas itu kembali.

Gila!

Ini kenapa makan malam berasa jadi kayak makan malam terakhir sih?

"Ehm ... jadi, apartemen itu kan sudah siap untuk ditunggu," kata Handoko kemudian setelah makan malam itu selesai dan para pelayan telah mengangkat semua piring kotor dan menggantinya dengan hidangan penutup.

Lastri mengangguk. "Mereka berdua sudah bisa menempati unit itu kapan pun mereka mau."

Ilana dan Herman terlihat menggenggam tangan satu sama lain.

"Oh iya. Barang-barang Vanessa kemaren juga sudah dirapikan di sana," lanjut Lastri. "Semoga saja Vanessa bisa senang tinggal di sana."

Untuk pertama kalinya, Vanessa terlihat mengangguk dan menjawab.

"Makasih, Ma. Pasti aku suka kok."

Lastri tersenyum.

"Jadi, kalian rencananya mau mulai tinggal di sana kapan?" tanya Ilana pada anak dan menantunya.

Pertanyaan itu spontan membuat Vanessa dan Ryan saling menoleh satu sama lain. Saling menatap dan seolah menunggu jawaban masing-masing.

Dan Ryan menyadari, tatapan Vanessa padanya terasa beda saat di kampus dan di luar kampus. Hal itu sontak saja mendorong Ryan untuk berkata pada Vanessa.

"Aku sih terserah kamu aja maunya kapan. Malam ini juga aku juga nggak apa-apa."

Mata Vanessa membesar.

Eh?

Ryan juga baru menyadari perkataannya.

Ini kayak aku yang semangat banget buat cepet-cepet satu rumah sama dia nggak sih? Ya ampun, Ryaaan! Mbok ya agak cool dikit jadi cowok kenapa?

Tapi, lain halnya dengan Ryan yang merasa omongannya benar-benar memalukan, orang tua mereka justru saling pandang dengan wajah tersenyum sumringah tak terkira.

"Bagus itu," kata Lastri kemudian. "Gimana?"

Ilana mengangguk. "Aku sih juga sebenarnya setuju kalau mereka bisa serumah secepatnya. Nggak baik suami istri pisah rumah kalau nggak ada hal yang mendesak."

"Sekalian biar mereka bisa saling belajar juga," imbuh Herman.

Handoko mengangguk-angguk. "Jadi, kalian dari sini langsung saja ke unit ya?"

Vanessa sontak tak bisa berbuat apa-apa selain menoleh dan melihat pada Ryan. Sementara cowok itu hanya mengedip-ngedipkan matanya dengan canggung dan salah tingkah. Dalam hati ia bertanya.

Ini harus aku syukuri atau aku takuti yak?

*

Kedua keluarga itu berjalan bersama-sama keluar dari restoran tersebut. Sejenak mereka sama-sama menghentikan langkah di pelataran restoran. Seolah ingin melepas kepergian kedua anak mereka.

Ryan dan Vanessa menyalami orang tua mereka. Ketika cowok itu ingin berpamitan pada Lastri, wanita paruh baya itu berbisik pelan padanya.

"Ingat baik-baik apa pesan Mama, Nak. Vanessa udah jadi istri kamu. Perlakukan dia dengan baik."

Ryan mengangguk-angguk.

Handoko pun menimpali. "Tenang, Ma. Selama ini Ryan selalu melihat bagaimana Papanya memperlakukan Mamanya."

"Ha ha ha ha."

Ryan meringis.

Sementara itu, Vanessa pun mendapat nasihatnya.

"Kamu nggak bakal tau sebaik apa suami kamu kalau kamu nggak membuka diri untuk dia. Mudah-mudahan dia pria yang tepat untuk kamu."

Vanessa menarik napas dalam-dalam. Mengangguk samar.

Pada akhirnya, kedua anak muda itu bersiap untuk pergi.

"Kamu bawa helm cadangan kan, Yan?" tanya Lastri kemudian.

Ryan mengangguk. "Bawa kok, Ma." Lalu ia melirik pada Vanessa. "Sekarang aja yuk. Biar nggak kemalaman."

"Oke."

Sejurus kemudian para orang tua itu hanya terdiam melihat anak mereka pergi bersama-sama meninggalkan mereka.

Lastri tampak memeluk Ilana. Mengusap lengan wanita itu. Ia berkata.

"Makasih banyak loh. Kami nggak nyangka bisa dapet mantu seperti Vanessa. Anaknya baik, cantik, dan pintar lagi."

Ilana tampak berlinang. Mengangguk dengan keharuan.

"Tenang saja. Nanti kalau Ryan nggak bisa membahagiakan Vanessa, aku sendiri yang bakal menghajar anak itu."

Sementara itu, Ryan yang baru saja akan menyalakan motornya tampak berseru kaget. Ia dan Vanessa melihat ke langit gelap di atas sana, di mana kilat baru saja datang menyambar. Suara petirnya bahkan membuat cowok itu terlonjak seraya mengusap dadanya berulang kali.

Ini kenapa perasaan aku kayak yang nggak enak ya?

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro