Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

59. Respon Tak Sesuai

Vanessa marah nggak ya?

Pasti marah mah. Nggak mungkin nggak marah.

Liat aja gimana cara dia ngeliat kamu sepanjang sisa waktu praktikum tadi, Yan.

Nggak berasa kayak itu mata dia mengeluarkan sinar laser?

Yang kayak dia mau ngiris-ngiris badan kamu sampe tipis gitu? Kayak irisan bawang buat bumbu tumisan?

Mampuslah aku.

Jangan-jangan aku beneran bakal dimasak balik ntar.

Begitulah ....

Isi pikiran Ryan benar-benar tidak bisa tenang. Rasa takut benar-benar membuat ia tidak bisa berpikir jernih. Dan tentu saja rasa takut Ryan bukan tanpa alasan. Karena sejak teguran Vanessa tadi, Ryan bisa melihat bagaimana tingkat ketajaman mata Vanessa meningkat dua kali lipat dari biasanya. Dan kalau itu belum cukup, ada bukti lainnya. Yaitu ketika tadi Vanessa lebih memilih untuk menegur Abid dan Lola, sementara dirinya diacuhkan!

Vanessa kembali ke mejanya tanpa mengatakan sepatah kata pun lagi pada dirinya.

Ya Tuhan.

Ini cobaan apa lagi?

Baru aja semalam Vanessa udah mulai baik ke aku, eh ... malah ada cobaan seperti ini.

Hiks.

Ryan menoleh ke sebelah.

Matanya menyipit melihat pada Lola. Seakan ingin meluapkan rasa kesalnya pada cewek itu. Tepat ketika ponselnya bergetar. Membuat ia dengan segera membaca pesan yang masuk di sana. Dan pesan itu adalah dari Vanessa!

Gawat!

Seumur hidup, Ryan ingat betul bahwa tak pernah ada kejadian di mana Vanessa yang duluan mengirim pesan padanya. Dan kali ini, untuk pertama kali sepanjang sejarah hidupnya justru Vanessa yang mengirim pesan padanya. Ryan yakin. Itu pasti bukan pesan yang baik. Dan ... memang benar.

[ Vanessayang ]

[ Nggak usah segitunya mandang itu cewek, Yan. ]

[ Ntar copot itu mata. ]

[ Sabar ya. Bentar lagi praktikum selesai kok. ]

Mata menyipit Ryan langsung berubah mata pelototan. Tak percaya dengan apa yang ia baca di sana. Maka buru-buru Ryan membalas pesan itu.

[ Vanessayang ]

[ Dinda ..., bukan seperti itu. ]

[ Kamu salah paham ini mah ceritanya. ]

[ Jangan mikir yang nggak-nggak ya sama Kanda? ]

Selesai mengirimkan pesan itu, Ryan menunggu balasan dari Vanessa. Namun, tak kunjung ada pesan apa pun yang dikirimkan oleh wanita itu lagi padanya. Membuat Ryan meneguk ludahnya dengan gemetaran. Mau melihat ke depan, eh ... dia sudah keburu ciut duluan. Ia tidak ingin sedikit tindakannya menyulut emosi gadis itu. Siapa yang bisa menebak? Jangan-jangan tatapan matanya nanti akan dianggap sebagai sinyal perang oleh Vanessa. Kan gawat.

Ryan memutuskan, ia tidak ingin mengambil risiko memancing kemarahan Vanessa. Terutama karena mereka sekarang masih berada di ruang praktikum. Risikonya terlalu besar. Ryan akan selalu ingat bagaimana kebiasaan Vanessa ketika marah atau kesal. Mencubit, memukul, hingga melempar mangkok melamin pada dirinya. Sekarang, kalau Vanessa melemparkan preparat praktikum pada dirinya bagaimana? Bisa gawat dong. Apalagi siang itu preparat praktikum yang digunakan adalah tanaman utuh. Ryan tidak bisa membayangkan kalau pohon jagung manis yang lengkap dengan akarnya itu mendarat di wajahnya.

Sakit mungkin tidak. Tapi, malu sudah pasti iya.

"Oke. Praktikum hari ini sampai di sini. Untuk minggu depan, praktikum akan diliburkan untuk persiapan kalian UTS. Kita bertemu lagi bulan depan. Dan saya harapkan ketika kita praktikum nanti, tidak ada yang main-main seperti hari ini."

Mak jlebbb!

Ryan merasakan ada peluru meriam yang melesat dan menghujam tepat di jantungnya.

Nggak salah lagi ini mah.

Pasti aku yang dimaksud Vanessa.

Hiks.

Kelas praktikum bubar. Ryan diam-diam memberanikan diri melihat kepergian Vanessa yang diiringi oleh Farrel.

Masih duduk di kursinya dan belum berniat untuk beranjak, Ryan kembali mengeluarkan ponselnya. Mengirim pesan lagi pada Vanessa.

[ Vanessayang ]

[ Dinda ..., kamu marah ya ke Kanda? ]

[ Tadi itu sumpah. Aku ngeliatin dia bukan ada maksud apa-apa. ]

[ Ehm .... Kamu cemburu ya? ]

Ryan mengerjapkan matanya.

Setelah mengirimkan pesan itu mendadak satu pikiran terbersit di benak Ryan. Tapi, ia menepisnya. Tapi, pikiran itu datang lagi. Tapi ....

Masa iya Vanessa cemburu gitu ke Lola?

Kan katanya dia nggak ada perasaan apa-apa gitu ke aku.

Senyum perlahan ingin terbit di wajah Ryan.

Tapi, kalau nggak cemburu ya ... dia nggak bakalan marah gitu dong.

Sampe ngasih sindiran terang-terangan di depan kelas praktikum.

"Ehm!"

Ryan mendehem.

Dugaan itu dengan cepat merebak di benaknya. Membuat ia semakin sulit untuk menahan senyumnya yang semakin lebar.

"Kamu gila?"

Ryan menoleh dan tak heran sama sekali kalau Abid sampai bertanya seperti itu.

"Tadi juga pas kena tegur Bu Vanessa muka kamu udah pucat gitu. Sekarang? Eh ..., malah senyum-senyum nggak jelas."

Ryan memasukkan ponsel ke saku celana jeans yang ia kenakan. Alih-alih menampik perkataan Abid, Ryan justru bertanya.

"Menurut kamu, Bid, kalau cewek mendadak ngubungi duluan padahal biasanya nggak pernah ... dan dia ngubungi karena ngomongi itu cowok yang terlihat kayak lagi ada something sama cewek lain ... itu artinya si cewek lagi cemburu kan?"

"Eh?"

Abid menatap temannya itu. Mengerutkan dahi. "Kamu ngomongin apaan sih?" tanya Abid. "Cewek, cowok, cewek lain." Abid geleng-geleng kepala. "Makanya kalau disuruh praktikum itu preparat praktikum jangan dimakan. Ini nih akibat kamu ngemilin kacang tanah mentah. Eror kan siang-siang."

Ryan manyun sekilas. Mengabaikan perkataan Abid, Ryan justru menarik kesimpulannya sendiri.

"Aku yakin. Dia pasti cemburu sama Lola."

"Eh?" Abid terkesiap. "Cewek stres mana yang bakal cemburu gara-gara kamu?"

"Cewek stres yang ternyata diam-diam juga memperhatikan aku." Ryan terkikik. "Hihihihi. Aku cuma perlu menunggu saja. Kalau dia nggak balas pesan aku, padahal aku udah dua kali ngirim pesan ke dia ... nah! Itu artinya dia beneran cemburu."

"Hahahaha. Aku nggak nyangka banget punya temen gila kayak kamu, Yan."

"Eh! Ini bukan gila. Ini namanya---"

Ucapan Ryan terhenti. Pahanya terasa geli karena getar dari ponselnya. Ia pun merogoh kantung, mengambil benda itu. Melihat hal tersebut, Abid pun menyeletuk.

"Cie .... Ternyata dia nggak cemburu."

"Asem!" rutuk Ryan.

Ia membuka pesan yang Vanessa kirim padanya.

[ Vanessayang ]

[ Aku? Cemburu? ]

[ Nggak sama sekali. ]

[ Aku cuma heran saja dengan cowok. ]

[ Bisa mudah ngomong cinta ke siapa aja sementara mata masih aja jelalatan ngeliatin yang lain. ]

Glek.

Oke.

Kali ini ada dua hal yang timbul di benak Ryan. Pertama, Ryan semakin yakin kalau Vanessa tengah kesal pada dirinya. Cemburu? Anggaplah memang tidak cemburu. Tapi, setidaknya dari pesan yang Vanessa kirim padanya Ryan sudah menerka bahwa gadis itu sedang dalam suasana yang tidak baik-baik saja. Lihat saja seberapa pedas kata-kata Vanessa.

Kedua, Ryan menyadari bahwa Vanessa benar-benar keliru menilai situasi. Andaikan Vanessa melihat dengan jelas, tadi itu Ryan bukannya jelalatan. Melainkan melirik kesal pada Lola. Eh, tatapan intens itu malah dianggap tatapan jelalatan.

Gawat!

Tapi, Ryan mencoba untuk tetap bersabar.

Tetap berusaha merendah, Yan. Kalau dibalas bakal terjadi perang mangkok balik ntar.

[ Vanessayang ]

[ Syukurlah kalau Dinda tidak cemburu. ]

[ Itu artinya Dinda percaya sama Kanda. ]

[ Hiks. Kanda terharu. ]

[ Btw. Siang ini mau makan apa, Dinda? ]

[ Biar Kanda anterin ke ruangan deh. ]

Ryan menunggu. Mengabaikan Abid yang geleng-geleng kepala dan memutuskan untuk meninggalkan Ryan seorang diri di kelas praktikum itu. Memilih untuk menunggu di parkiran saja. Terutama karena kelas itu sebentar lagi akan dipakai kembali.

Kalau kamu nggak cemburu dan emang ngerasa biasa-biasa aja, kamu nggak bakal nolak tawaran makan siang aku, Sa.

Kamu nolak artinya kamu cemburu.

Maka Ryan menunggu dengan jantung yang berdebar-debar. Lalu, pesan Vanessa masuk.

[ Vanessayang ]

[ Bebek goreng kayaknya enak. ]

[ Yang banyak sambel dan lalapannya ya. ]

[ Sama minumnya es teh aja. ]

Dan Ryan tidak tau. Balasan pesan Vanessa membuat ia senang atau tidak. Yang pasti, ia bangkit dari duduknya.

Mungkin dia emang nggak ngerasa cemburu sedikit pun.

Hiks.

Aku aja yang udah kelewat pede duluan.

*

Sementara itu di ruangannya, Vanessa membaca balasan pesan dari Ryan.

[ Ryancur ]

[ Baiklah, Dinda. ]

[ Akan segera Kanda laksanakan. ]

[ Tunggu bentar ya. ]

Vanessa mengembuskan napas panjang. Duduk dan meraih gelasnya. Meneguk air minum itu untuk membasahi tenggorokannya yang terasa kering kerontang.

Kalau aku mau menuruti rasa marah aku, Yan ..., nggak bakal mau aku ngebalas pesan kamu lagi.

Tapi, kalau aku nggak balas, pasti dong kamu mikir aku beneran cemburu.

Tipikal cewek ababil?

Ha ha ha ha.

Untuk apa aku kayak gitu?

Nggak ada manfaatnya sama sekali buat aku.

Lagian ya.

Aku anggap aja yang tadi itu sebagai bukti.

Kalau omongan kamu itu benar-benar nggak bisa dipercaya.

Lagi kita satu tempat aja bisa-bisanya kamu ngeliatin dia kayak gitu.

Yang mata nggak pake kedip lagi.

Vanessa kembali meneguk air minumnya hingga tandas. Ketika gelas itu ia letakkan kembali di atas meja, ia melirik pada pendingin ruangan yang terpasang di dinding atas ruangannya.

"Ini udah suhu enam belas derajat Celscius, tapi kok masih panas ya?"

Vanessa meraih satu buku tipis. Mengipas-ngipasi wajahnya. Bahkan tak hanya itu. Ia pun kemudian meraih kerah dan leher kemejanya. Berulang kali sedikit mengibasnya. Bermaksud agar angin benar-benar menyapu kulitnya di sana.

"Dunia emang makin panas deh kayaknya."

Menyerah karena rasa panas itu, Vanessa memutuskan untuk keluar dari ruangannya. Di depan pintu ia langsung disambut semilir angin. Namun, tak berarti apa pun.

"Bu Vanessa ...."

Vanessa menoleh. Mendapati suara Nathan yang menegur dirinya. Mata gadis itu mengerjap sekali. Lalu mencoba tersenyum di tengah-tengah kegerahan yang sedang melanda dirinya.

"Oh ..., Pak Nathan."

Vanessa meneguk ludahnya. Dalam hati ia berpikir.

Ini cowok kenapa jadi sering ke lantai atas sih? Kayak yang kurang kerjaan aja. Lagian kapan hari itu aku udah ngomong terang-terangan deh ke dia. Masa sih nggak ngerti juga?

"Sudah selesai praktikumnya?" tanya Nathan seraya mendekati Vanessa.

Vanessa mengangguk. Bersikap sopan seadanya. "Sudah, Pak. Sudah dari tadi."

"Ah ..., iya iya." Nathan terlihat menarik napas sejenak. "Ngomong-ngomong, saya minta maaf untuk kelancangan saya tempo hari."

Mata Vanessa mengerjap. "Yang mana?"

Satu senyum terukir di wajah Nathan. "Yang saya seperti mendesak Ibu waktu itu."

Vanessa mulai merasa tidak nyaman. Membicarakan hal seperti itu di depan ruangannya? Siapa saja yang lewat di lorong bisa mendengar percakapan mereka.

Tapi, mengajak Nathan masuk ke ruangannya? Oh, itu bukan pilihan yang ingin diambil oleh Vanessa.

"Sebagai permintaan maaf saya," lanjut Nathan kemudian, "Bagaimana kalau sekarang saya traktir Ibu makan? Saya tau Ibu belum makan siang kan?"

Tipikal cowok yang nggak mudah menyerah juga ya?

Ehm ....

Vanessa menghirup napas panjang sejenak. Seolah itu mampu membuat ia mengambil jeda untuk berpikir.

"Saya---"

"Permisi, Ibu. Ini makan siangnya. Maaf, saya agak lama."

Ucapan Vanessa terhenti. Ia langsung berpaling dan mendapati Ryan yang telah tiba dengan satu bingkisan di tangannya.

Tanpa sadar, Vanessa mengembuskan napas lega. Mensyukuri kedatangan Ryan yang tepat waktu. Hingga tanpa sadar, untuk sejenak Vanessa beradu pandang pada Ryan. Lalu setelah beberapa detik barulah ia tergugah. Vanessa mendehem. Tersenyum dan meraih bingkisan itu.

"Terima kasih, Ryan. Nggak apa-apa agak telat, yang penting sampe."

Ryan membalas senyuman itu. "Sama-sama, Bu," balasnya. "Nanti kalau ada perlu lainnya saya siap membantu, Bu."

Ryan dengan begitu sengaja mengatakan hal tersebut dengan begitu jelas. Entah mengapa ia merasa ingin menyombongkan diri. Setidaknya Vanessa lebih memilih makan makanan yang ia beli dibandingkan menerima ajakan Nathan.

Dasar ya ini Bapak-Bapak nggak tau malu.

Belum tau ya aku ini masih keturunan Raja Raden Wijaya Kerajaan Majapahit dulu?

Awas aja kalau sampe berani menggoda istri aku.

Mau hamil kawat duri atau muntah paku?

Menanggapai perkataan Ryan, Vanessa hanya mengangguk sekali. Memposisikan dirinya sebagai dosen dan Ryan adalah mahasiswanya.

"Saya permisi, Bu."

"Silakan."

Lantas mengabaikan Ryan yang perlahan beranjak dari sana, Vanessa justru beralih pada Nathan. Ia berkata dengan penuh rasa kemenangan di wajahnya.

"Maaf, Pak. Sebenarnya dari tadi itu saya nunggu Ryan mengantar pesanan saya."

Nathan tak bisa berkata apa-apa lagi. Tak mungkin ia lanjut mengajak Vanessa sementara gadis itu telah mendapat makan siangnya.

Di lain pihak, dengan sengaja memperlambat tempo langkah kakinya, Ryan masih memantau keberadaan Nathan dan Vanessa di depan pintu.

Bisa-bisanya ini cowok tau waktu yang tepat buat merayu Dinda.

Pas Dinda lagi kesal ke aku coba.

Ryan memutuskan untuk melihat apa saja yang akan dilakukan Nathan kali ini. Maka dari itu sekarang Ryan terlihat mengeluarkan ponsel. Di depan lorong, tempat ia berdiri ia berpura-pura seolah tengah menunggu seseorang. Hingga kemudian ada satu suara yang menyapa gendang telinganya.

"Kak Ryan."

Ryan menoleh.

Begitu pun dengan Vanessa dan Nathan yang spontan melihat ke sumber suara juga. Pada Lola yang mendadak muncul.

Lola mendekati Ryan.

"Ada waktu bentar, Kak? Ada yang mau aku omongin."

Oh-My-God.

Lidah Ryan kelu. Sementara tanpa sadar ia justru melayangkan tatapannya pada Vanessa. Di mana Vanessa tengah menatap datar pada dirinya.

Dan begitulah situasi yang terjadi saat itu. Ada Lola yang menatap pada Ryan. Ada Nathan yang menatap pada Vanessa. Serta ada Ryan dan Vanessa yang saling menatap.

Semuanya memiliki pikirannya masing-masing.

Tapi, untuk Ryan cukup diwakilkan oleh satu kata.

Sial!

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro