57. Terasa Beda
Ryan mengunyah makan malam itu dengan begitu perlahan. Sepertinya satu suapan dirinya kali ini benar-benar dikunyah sebanyak tiga puluh tiga kali, baru kemudian ia telan. Seolah ia sedang sangat peduli dengan organ pencernaannya. Yang mana itu merupakan hal yang tidak biasanya Ryan lakukan. Sedikit aneh.
Namun, berbicara mengenai keanehan Ryan, ternyata tidak cukup sampai di situ. Selanjutnya seraya mengunyah makan malamnya, Ryan terlihat tampak berulang kali mengerjapkan matanya. Terutama ketika sendoknya terangkat. Menyuap nasi beserta perkedal kentang yang terasa sekali kornet di sana.
Mata Ryan mengerjap lagi.
Makin menyesap rasa nikmat itu.
Sadar atau tidak, tapi tingkah lakunya yang berbeda kala itu dirasakan pula oleh Vanessa. Gadis itu mengerutkan dahinya. Merasakan ada sesuatu yang tak biasanya pada Ryan kala itu.
Vanessa berusaha menahan keinginannya untuk bertanya. Tapi, ya ampun. Keheningan yang menemani mereka menikmati makan malam itu justru membuat Vanessa bergidik takut. Tak biasanya Ryan diam. Pada akhirnya, ia pun bertanya.
"Ehm ... kenapa?"
Suara Vanessa menyapa indra pendengaran Ryan, menggugah diri cowok itu. Membuat Ryan mengangkat wajah dan menatap Vanessa di hadapannya, alih-alih terus menerus menatap piringnya yang berisi aneka lauk seperti yang ia lakukan sedari tadi. Seolah makanan di piringnya itu bisa meloncat dan berlari kalau tatapan matanya berpaling sedikit saja.
"Ya?"
Ryan justru balik bertanya. Wajahnya menyiratkan kebingungan akan pertanyaan Vanessa yang tiba-tiba.
"Kenapa apa?"
Vanessa terlihat menelan makanannya sebelum bertanya seraya melirik piring Ryan. Memperjelas maksud pertanyaannya.
"Kamu kenapa? Lagi mikirin sesuatu? Kok berasa dari tadi kamu makan sambil mikir gitu?" Lalu pandangannya jatuh kembali pada piring Ryan. "Ada yang salah dengan makanannya?"
Mata Ryan mengerjap lagi. Lalu menarik napas sejenak. Terlihat seperti orang bingung yang perlu mencerna maksud dari pertanyaan Vanessa terlebih dahulu.
"Oh ... itu ...."
"Kenapa?" tanya Vanessa lagi. Terlihat tak sabaran untuk menunggu lanjutan jawaban Ryan hingga kembali bertanya. Kali ini sedikit menebak. "Makanan ini nggak enak ya?"
Ryan menarik napas dalam-dalam. Bisa melihat bagaimana sepasang sendok dan garpu di tangan Vanessa tampak berhenti bergerak sekarang. Gadis itu menatap dirinya seraya meletakkan sendoknya di piring. Menunggu jawaban darinya.
Mata Vanessa berkedip dua kali. Terlihat meneguk ludahnya sekilas. Seolah orang yang sedang gugup.
"Ka-kalau nggak enak ya kita bisa delivery makanan lain sih," kata Vanessa pelan. "Aku tadi pikir karena promo makanya beli di sana. Aku pikir makanannya enak."
Ryan menatap mata Vanessa untuk beberapa detik. Tapi, gadis itu justru melarikan tatapannya ke arah lain. Hal itu membuat Ryan sejenak terdiam. Lalu, ia tersenyum.
"Bukan gitu sih sebenarnya."
Mata Vanessa kembali pada Ryan. "Terus?"
Tak langsung menjawab pertanyaan itu, Ryan justru mengulurkan tangannya. Ia mengambil sepotong perkedel kentang lainnya. Meletakkannya di piringnya, tepat di sebelah sepotong perkedel kentang lainnya yang sudah tinggal sedikit itu.
Menatap perkedel kentang, Ryan baru kemudian menjawab.
"Perkedel ini mengingatkan aku sama acara arisan Mama tempo hari."
Ia menatap pada Vanessa. Terlihat seperti menunggu respon gadis itu. Yang mana Vanessa kemudian mengalihkan tatapannya seraya menyendok tumisan buncis, tempe, dan hati ayam ke piringnya.
"Oh ... kenapa emangnya?"
Ryan masih tersenyum. Menikmati waktu ketika mengamati pergerakan Vanessa dengan makan malamnya.
"Nggak kenapa-napa sih sebenarnya. Cuma heran aja. Kayaknya akhir-akhir ini aku sering banget makan perkedel. Hehehehe." Cowok itu terkekeh sekilas. "Dan ini bukannya nggak enak. Rasa masakan rumahan ini enak kok. Tenang aja. Pilihan rumah makan kamu nggak keliru. Dan aku pikir, mungkin lain kali kita bisa order lagi."
Vanessa mengerjapkan matanya sekali. "Order lagi?"
Ryan meneguk air minumnya sejenak. "Apa rumah makan ini buka jasa catering harian, Sa?" tanya cowok itu kemudian. "Mungkin kita bisa order catering harian kan ya di sana? Daripada repot tiap hari kan?"
"Eh?" Kali ini mata Vanessa mengerjap berulang kali. "Ti-tiap hari?"
"Iya." Ryan mengangguk. "Catering tiap hari. Jadi, kita nggak repot."
Kepala Vanessa meneleng ke satu sisi. "Ehm ... itu kayaknya nggak bisa deh."
"Kenapa?"
"Soalnya dia nggak buka catering harian," jawab Vanessa. Dan gadis itu meminum airnya beberapa tegukan.
"Yaaah ... sayang sekali." Wajah Ryan terlihat kecewa. "Tapi, nggak apa-apa deh. Paling nggak besok-besok kita order di sana aja lagi."
Terlihat Vanessa menarik napas sekilas. Matanya beralih lagi pada piringnya sendiri. Meraih kembali sendoknya.
"Kalau ada promo lagi ya. Soalnya masakan di sana rada mahal."
Perkataan Vanessa membuat Ryan spontan terkekeh. "Seberapa mahal sih?" tanyanya geli. Kembali melanjutkan makannya. "Apa sampe menghabiskan gaji kamu sebulan atau omset aku dua minggu?"
Vanessa mencebik. Ia mendengus mendapati Ryan yang sudah membahas soal gaji di antara mereka.
"Nggak usah banyak omong ah. Kamu mau pamer penghasilan kamu?" tanya Vanessa ketus. "Aku tau kok pendapatan pengusaha memang jauh di atas pendapatan dosen muda kayak aku."
"Ehm ... nggak kok. Untuk apa aku banding-bandingkan penghasilan kita?" Ryan masih mengulum senyum di sela-sela mulutnya yang asyik mengunyah.
Vanessa melirik. Menatap sekilas pada Ryan dan memutuskan untuk tidak menggubris perkataannya lagi. Alih-alih, ia berkata.
"Sudah ah. Diam dan makan aja makan malam kamu."
Setelah mengatakan itu, Vanessa kembali menyuap makanan ke mulutnya. Seraya mengunyah, ia lalu merasa ada yang aneh. Maka Vanessa membawa matanya untuk melihat Ryan di hadapannya. Cowok itu tampak tak mengatakan apa pun lagi, melainkan benar-benar melanjutkan makan malamnya.
Tapi, yang membuat Vanessa jengah adalah bagaimana senyum di bibir Ryan yang tak menghilang walau ia tengah mengunyah. Membuat gadis itu menarik napas panjang sekali. Ia hanya ingin melanjutkan menikmati makan malam itu. Tak peduli bagaimana intensnya senyuman Ryan.
Hanya saja, sesuatu membuat Vanessa menjadi penasaran. Hingga selang semenit kemudian Vanessa melirik lagi. Dan ia mendapati senyum di wajah Ryan tidak memudar. Dan bahkan kalau ingin ditambahkan efek dramatis, Vanessa justru merasa ia mendapati mata Ryan yang turut tersenyum pula.
Gadis itu menelan makanannya.
Maksud Vanessa adalah ia melihat sepasang bola mata Ryan terlihat berkilat dalam binar-binar. Yang mana itu tampak dengan begitu jelas di mata Vanessa. Binar yang membuat gadis itu melayangkan tatapan penuh curiga pada Ryan. Terutama karena Vanessa menyadari bahwa senyuman dan binar-binar itu benar-benar bertahan sepanjang mereka menyantap makan malam.
Dahi Vanessa berkerut. Tak yakin bahwa makan malam bisa membuat Ryan terlihat begitu sumringah malam itu. Hingga membuat benaknya bertanya-tanya, apa yang membuat cowok itu terus tersenyum sepanjang makan malam mereka. Jujur saja, senyuman Ryan terasa sedikit berbeda. Akibatnya, Vanessa tak tenang selama menikmati makan malamnya.
Berbeda dengan Vanessa, di lain pihak Ryan justru menjadi orang yang begitu menikmati makan malam itu. Bahkan kalau bisa dikatakan, tak hanya makan malam yang Ryan nikmati. Situasi di antara dirinya dan Vanessa pun ia nikmati.
Memang, selanjutnya mereka tak ada yang bicara. Tapi, ada sesuatu yang menggelitik benak Ryan. Hal yang membuat cowok itu tak memindahkan barang sedetik pun tatapan matanya pada Vanessa. Entah gadis itu menunduk, melihat ke seberang ruangan, atau menatap pada lauk pauk di atas meja makan, pokoknya Ryan tetap melihat Vanessa. Menikmati kebingungan dan respon alamiah gadis itu yang terlihat bertanya-tanya dalam gerak-gerik salah tingkah.
Menggemaskan di mata Ryan.
Kamu ini benar-benar kelewatan ya, Dinda.
Beneran jadi suka ngerjain aku ya kamu sekarang?
Menurut kamu, aku bakal percaya gitu?
Apa kamu pikir aku itu begok banget ya, Sa? Sampe nggak kenal rasa masakan kamu kayak gimana?
Walau cuma sekali, tapi aku sensor perasa lidah aku udah ingat dengan baik gimana rasa masakan kamu.
Ryan kembali menyuap ke mulutnya.
Bahkan sebelum aku makan juga, ngeliat masakan ini di atas meja jantung aku udah kayak yang nggak berdetak lagi loh.
Nggak tau kenapa bisa.
Tapi, kayak ada suara yang ngomong ke aku.
Katanya: ini pasti Dinda yang masakin.
Sekilas, Ryan mendapati sorot mata Vanessa yang melirik cepat –lagi- pada dirinya. Terlihat dahi gadis itu kembali berkerut. Tapi, Vanessa tak mengatakan apa pun. Demikian pula halnya dengan Ryan.
Dalam benaknya Ryan bertanya-tanya, apa Vanessa akan benar-benar memainkan sandiwara itu? Karena kalau iya, maka Ryan memutuskan ia akan berbaik hati. Yang mana itu akan menjadi menyenangkan bagi cowok itu. Berpura-pura bahwa dirinya tidak tau.
"Kamu kalau mau kerja apa istirahat, ya nggak apa-apa, Sa. Ini biar aku aja yang beresin."
Ryan mengatakan hal itu ketika beberapa menit kemudian ia dan Vanessa selesai menyantap makan malamnya. Seraya mengelap mulutnya dengan sehelai tisu, Vanessa bertanya.
"Beneran?"
Ryan mengangguk. Tampak berdiri dan mulai bersiap mengumpulkan piring kotor mereka. Menumpuknya menjadi satu.
Namun, anggukan itu justru membuat kerutan curiga yang tidak menghilang dari dahi Vanessa sejak tadi semakin bertambah. Kali ini bahkan Vanessa tak menutupi lagi sorot mata curiganya.
"Kok aku agak curiga ya?"
Tangan Ryan yang semula akan mengangkat piring kotor itu jadi terdiam kembali di atas meja. Menatap pada Vanessa yang masih duduk. "Curiga kenapa?"
"Perasaan aku ... dari kamu balik tadi kamu kayak yang beda gitu." Mata Vanessa menyipit. "Iya .... Berasa beda."
"Beda?" Kali ini Ryan yang bingung. "Beda gimana?"
Vanessa menarik napas dalam-dalam. Refleks menelengkan wajahnya ke satu sisi. Tapi, ia sendiri pun tak yakin. "Yah ... beda aja. Nggak kayak biasanya gitu."
"Nggak kayak biasanya?" tanya Ryan. "Emang aku biasanya kayak gimana?"
"Ehm ...." Vanessa mendehem seraya bersedekap. Menatap Ryan lebih lekat. "Biasanya kan kamu itu nggak bisa diomongi sekali doang. Harus diomongi beberapa kali sampe berdarah-darah baru deh kamu denger."
"Eh? Maksud kamu?"
Dan Vanessa ingat betul. "Tadi waktu aku nyuruh kamu diam dan lanjut makan ...," jawab Vanessa, "... kamu langsung yang diem. Nggak pake acara naik banding atau gimana gitu. Seperti yang sering kamu lakukan, tetap ngoceh."
"Ih." Ryan mencibir sekilas. "Naik banding. Kayak yang aku jadi penjahat aja. Seolah kelakuan aku kayak yang bermasalah gitu."
"Kan emang kenyataannya gitu," tukas Vanessa. "Mana pernah kamu nurut kalau cuma sekali dibilangin? Kamu itu kan banyak ngomong, suka jumpalitan, nggak bisa diem."
Ryan geleng-geleng kepala mendengar kata-kata Vanessa. "Segitunya? Kenapa aku berasa kayak badut sirkus aja di mata kamu."
"Sebenarnya lebih dari itu kalau mau jujur." Kali ini justru sorot mata Vanessa yang intens menatap pada Ryan. "Karena setelah aku pikir-pikir, kamu kayak yang emang beda banget malam ini. Berasa kayak bukan kamu aja."
Vanessa mengamati Ryan. Menatap Ryan yang malam itu tampak santai dengan satu kaos oblong rumahan bewarna biru muda dengan celana katun selutut. Wajahnya terlihat sedikit memerah. Mungkin efek di kebun jagung kemaren atau efek di depot tadi. Atau justru efek keduanya.
"Malam ini kamu keliatan lebih tenang. Sedikit pendiam malah."
Ryan terkekeh kecil mendengar hal itu. Lalu, ia mendehem. "Ehm ... kalau aku agak pendiam, keliatan lebih cool nggak? Lebih keren?"
Wajah serius Vanessa langsung menghilang. "Ih! Cool apaan. Nggak keren sama sekali."
"Hahahaha." Tawa Ryan berderai. "Segitunya nggak mau muji suami sendiri. Apa kamu justru mau muji suami orang ya?"
Mata Vanessa melotot. "Sembarangan aja kalau ngomong. Buat apa aku muji suami orang? Kayak yang nggak ada kerjaan aja," rutuknya. "Daripada aku muji suami orang ..." Vanessa bangkit dan mengulurkan tangannya. "... mendingan aku nyuci piring."
"Hahahaha." Ryan semakin tertawa, tapi tangannya menahan piring kotor itu. "Iya, Sa, iya. Tapi, ini beneran. Kamu balik aja ke kamar atau apa gitu. Mungkin kamu ada kerjaan. Ini biar aku yang beresin semuanya."
"Kamu serius?" tanya Vanessa menimbang.
Walau pada dasarnya Vanessa memang tau Ryan tipe cowok yang tidak berpantang untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Tapi, biasanya Ryan melakukan itu semua seraya tetap melancarkan kecerewetan mulutnya. Membicarakan banyak hal atau bahkan sambil menggoda dirinya. Pokoknya, Ryan kan memang tidak pernah diam.
Malam ini? Mendapati Ryan yang lebih pendiam dari biasanya membuat Vanessa jadi bingung. Hingga membuat ia tak yakin untuk membiarkan Ryan yang membereskan sisa makan malam mereka. Perasaan Vanessa tidak tenang.
"Ya elah, Sa. Perkara nyuci piring doang. Nggak buat aku patah tulang tangan kali."
Kali ini Ryan benar-benar beranjak dari sana. Membawa tumpukan piring kotor dan menuju ke dapur. Meletakkannya ke wastafel. Dan ketika ia akan berbalik, ia mendapati Vanessa yang ternyata mengikuti dirinya. Bahkan ia telah memegang spon cuci piring.
"Loh? Kok malah ikut ke sini juga?" tanya Ryan. "Aku beneran kali, Sa. Ini biar aku yang beresin."
Vanessa merasa ada alarm peringatan berbunyi di benaknya. Ragu, tapi ia tetap menyerahkan spon di tangannya pada Ryan.
"Ehm ... ya udah kalau gitu. Ini sponnya."
"Nah, gitu dong," kata Ryan seraya menyambut spon itu. Dan ketika itulah jari Ryan menyentuh benda asing di jari tangan Vanessa.
Perban.
"Kamu luka, Sa?" Ryan mengabaikan spon dan justru mengangkat jemari Vanessa ke depan wajahnya. Melihat ada perban yang melingkari ujung jari tengah Vanessa. "Ini luka kena apa?"
Vanessa mengerjapkan matanya. Berusaha menarik jarinya dari genggaman Ryan. Tapi, yang ada malah cowok itu mempertahankan jari Vanessa di genggamannya.
"Kena apa? Semalam ini nggak ada loh."
Tentu saja Ryan ingat kalau kemaren luka itu belum ada. Alasannya hanya satu, karena semalam Vanessa membedaki tubuhnya dengan sagu.
Vanessa terlihat jengah. "I-ini kena kaleng kornet tadi siang."
Ryan menatap Vanessa. Menunggu kelanjutan jawaban Vanessa.
"Pas aku mau makan siang. Yah, kan kaleng kornet emang tajam sih."
"Dalam lukanya?"
Vanessa meneguk ludah. Kali ini benar-benar menarik tangannya hingga terlepas dari genggaman Ryan. Ia menggeleng.
"Nggak," jawabnya cepat. Ia menunjuk piring kotor. "Itu ... buruan kamu beresin. Aku mau ngerjain kerjaan aku aja."
Mulut Ryan membuka. Ingin mengatakan sesuatu, tapi Vanessa sudah lebih cepat berlari dari sana.
Dan ditinggal seperti itu, Ryan merutuk.
"Dasar kaleng kornet sialan. Lagi aku suami dia aja berusaha nggak buat luka."
Ryan meremas spon cuci piring di tangannya. Memalingkan wajahnya ke belakang walau jelas tak akan bisa membuat ia mampu melihat kamar Vanessa.
"Hiks. Maafkan Kanda, Dinda. Gagal menjaga kemulusan kulitmu."
Ckckck.
Sepertinya yang dikatakan Vanessa memang benar.
Ryan sedikit berbeda malam ini.
Tapi, bukan dia yang lebih pendiam.
Melainkan otaknya yang semakin eror.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro