56. Akibat Rasa
Suara siulan yang bersenandung dalam irama salah satu lagu Bollywood yang fenomenal di masanya itu terdengar mengalun tiada henti. Lagu yang menjadi ikon dari film yang dibintangi oleh Shah Rukh Khan dan Aishwarya Rai. Apalagi kalau bukan lagu Humko Humise Chura Lo di film Mohabbatein?
Ckckck.
Dan sebagai peringatan, tidak perlu bertanya bibir siapa yang bersiul sedari tadi itu. Jawabannya hanya satu. Ryan.
Aneh bin ajaib, tapi memang Ryan-lah orang yang mewarnai pagi cerah di Floral Garden dengan senandung lagu India tersebut. Seraya mengaduk-aduk sekam bakar dengan kompos dan tanah dalam perbandingan yang seimbang, ia terus saja bersiul. Hingga membuat dua orang karyawannya menjadi saling lirik. Sesekali melihat ke atas langit sana. Khawatir mendadak akan turun hujan lebat disertai oleh petir menggelegar. Amit-amit, jangan sampai mendadak ada kiamat lokal di sana.
"Bos ...."
Pada akhirnya, Sahrul buka suara juga. Membuat Ryan menoleh, tapi tak menghentikan siulannya. Hanya matanya saja yang menyiratkan sorot: apa?.
"Bos lagi dapat rezeki nomplok ya?"
Ryan terdiam. Siulannya berhenti seketika. "Eh? Maksudnya?"
Sahrul melirik pada Anton dan temannya itu pun menimpali.
"Bos dari datang tadi keliatan yang seneng banget gitu. Siul-siul nggak tau nyanyiin lagu apa aja."
"Benar kan? Bos lagi dapat rezeki nomplok kan?"
Mendapati pertanyaan seperti itu dari Sahrul dan Anton, mau tak mau membuat siulan Ryan tergantikan oleh tawa
"Hahahaha. Kalian ini ada-ada aja."
Kedua orang karyawan Ryan itu hanya mencibir seraya terus mengaduk-aduk media tanam tersebut dengan menggunakan tangannya.
"Bos, ada rezeki nomplok nggak bagi-bagi ... bisa pamalik," kata Anton. "Ntar rezekinya nggak berkah."
"Sembarangan aja!" tukas Ryan.
Mata cowok itu mengerjap beberapa kali sementara benaknya berpikir.
Aku seneng gini kan karena abis melewati hari Sabtu yang cerah bareng Vanessayang. Walau cuma di kebun jagung sih. Tapi, coba lihat. Dari sekian banyak cowok dan mahasiswa yang bisa ia minta pertolongannya, eh ... dia malah ngajak aku dong. Dan belum lagi malamnya. Aku bisa bobok bareng lagi sama Dinda Vanessayang.
Ryan tertegun. Menyadari sesuatu.
Ya kali Dinda aku mau dibagi-bagi.
Sorot mata Ryan berubah tajam pada Sahrul dan Anton.
"Sampai dunia kiamat, aku nggak bakal mau bagi-bagi."
"Oooh ...."
Sahrul dan Anton saling pandang, lalu tawa mereka pecah. Kedua orang cowok itu tentu mengerti dengan jelas sebab perkataan Ryan tersebut
"Dapat cewek baru ya, Bos?"
"Cewek mana, Bos?"
"Cieee .... Bos udah punya pacar sekarang ya?"
"Anak mana, Bos? Pasti cakep ya?"
Dibombardir pertanyaan seperti itu membuat Ryan menjadi salah tingkah. Dirinya mendadak bingung harus menjawab atau justru memasang wajah sok tidak terjadi apa-apa. Yang mana kemudian justru membuat ia tersenyum malu-malu. Membuat tawa Sahrul dan Ryan semakin pecah saja.
"Wah! Beneran!"
"Bos beneran udah punya pacar ya!"
Ingin menggaruk kepalanya, tapi tangannya kotor. Maka Ryan hanya bisa meremas-remas sekam bakar saja sebagai gantinya.
"Ehm ... ya nggak bisa dibilang udah punya pacar sih sebenarnya," ujar Ryan malu-malu.
"Tapi, udah deket ya, Bos?"
"Udah dapat lampu hijau?"
Ryan terkekeh. Lalu bangkit berdiri. "Kalian ini heboh banget. Perkara aku dapat cewek aja sebegininya."
"Ya elah, Bos. Kebahagiaan itu harus bagi-bagi," kata Anton.
Sahrul mengangguk. Membenarkan perkataan temannya itu. "Dia pasti cantik ya, Bos?"
"Ckckckck." Ryan berdecak seraya melepaskan sepasang sarung tangan kebun dari kedua tangannya. Ia geleng-geleng kepala. "Cantik? Wah!" Ryan menunjuk bunga di sekitaran mereka. "Nggak ada satu bunga pun yang mampu menandingi kecantikan dia."
"Hahahaha!"
Sahrul dan Anton tertawa besar.
"Memang beda kalau orang lagi jatuh cinta mah."
"Mendadak puitis."
Ryan terkikik. "Udah udah. Kalian terusin kerjanya," kata cowok itu sebelum pada akhirnya beranjak dari sana.
Ryan memutuskan untuk mengerjakan hal lainnya. Perkataan Sahrul dan Anton tadi walau terdengar sebagai godaan sepintas lalu, tapi tetap saja membuat cowok itu bertanya-tanya di dalam benaknya.
Segitunya aku ya? Sampe-sampe mereka berdua bisa nebak aku kayak gini gara-gara cewek?
Ryan sih tidak ingin, tapi eh ... senyumnya tidak bisa ditahan lebih lama lagi. Sedetik kemudian, senyum cowok itu mengembang lagi dengan begitu sempurna lebarnya.
Tangan Ryan merogoh ke kantung celananya. Mengeluarkan kunci dan membuka pintu rumah kawat. Ketika masuk, eh pikirannya justru melayang pada Vanessa. Mengingat dengan jelas setiap hal yang berkaitan dengan gadis itu. Yang paling pertama muncul adalah tentang sifat kerasnya.
Dan Ryan menyadari, seumur hidup baru Vanessa gadis yang benar-benar keras dan kasar yang pernah ia temui.
Emang keras kepala banget itu cewek.
Tapi, kalau dipikir-pikir bukan kepala dia aja sih yang keras.
Tangan dia pun keras.
Kalau udah melayang, wah wah wah! Untung badan aku udah terlatih menanggung penderitaan dunia.
Hiks.
Ryan melangkah. Melihat-lihat beragam calon tanaman hias lainnya yang telah ia perbanyak tempo hari. Tampak mulai menunjukkan tanda-tanda kehidupan baru.
Walau sampai saat ini sikap dia ke aku masih kasar gitu, seenggaknya aku tau. Dia sudah mulai ngeliat aku.
Pikiran Ryan terbayang akan kejadian beberapa waktu yang lalu. Ketika ia mencuri dengar percakapan antara Vanessa dan Nathan.
Awal yang bagus kan?
Cowok itu mengembuskan napas seraya turun berjongkok. Mengamati satu persatu bibit tanaman itu.
Bukannya justru aneh kalau Vanessa mendadak langsung suka sama aku sementara dia baru kenal aku sebentar?
Tangan Ryan mengangkat satu polibag. Melihat tunas baru yang muncul dari stek mawar di sana.
Jangankan perasaan, tanaman aja butuh waktu untuk tumbuh.
Dan yang aku tau, tanaman yang paling mahal selalu sulit untuk ditumbuhkan.
Karena itulah yang membuat ia jadi berharga.
Ryan meletakkan kembali polibag itu.
Sama seperti Vanessa.
Ah!
Mengingat gadis itu membuat Ryan benar-benar merasakan warna-warna mengelilingi dirinya selama bekerja. Hari Minggu yang ramai menjadi semakin meriah karena nama Vanessa.
Kali ini Ryan baru bisa membenarkan perkataan orang-orang.
Jatuh cinta memang membuat semua terasa begitu berbeda.
Hingga menjelang sore itu, Ryan benar-benar tidak mampu menahan diri untuk mengirim pesan pada Vanessa.
[ Vanessayang ]
[ Kamu lagi ngapain sekarang? ]
[ Kangen aku nggak? ]
Melihat dua centang abu-abu di ponselnya, Ryan beranjak duduk di teras rumah kecilnya. Dari posisinya, sebenarnya ia tak mampu melihat ke depot bagian depan. Terhalang oleh tanaman-tanaman. Tapi, Ryan bisa mendengar suara beberapa orang di depan sana. Cukup menjadi tanda bahwa ada pelanggán yang mampir sore itu. Membiarkan Sahrul dan Anton saja yang melayani, Ryan hanya fokus dengan balasan pesan dari Vanessa yang masuk beberapa saat kemudian.
[ Vanessayang ]
[ Aku? Ah .... Aku lagi menikmati kenyamanan seorang diri di unit dong. ]
[ Nggak ada pengganggu. ]
[ Hidup aku terasa nyaman sekali. ]
[ Jarang-jarang sih kayak gini. ]
Senyum langsung terbit di wajah Ryan. Bagaimana ya ngomongnya? Tapi, melihat Vanessa membalas pesannya dengan panjang seperti itu membuat Ryan geli sendiri.
[ Vanessayang ]
[ Kenyamanan atau kerinduan, Dinda? ]
Kekehan geli lolos dari bibir Ryan. Bertanya-tanya balasan apa yang akan ia terima ketika ia langsung melihat pemberitahuan di atas layar percakapan mereka. Vanessayang mengetik ....
[ Vanessayang ]
[ Bener-bener kenyamanan. Rasanya damai banget nggak ada celotehan kamu, Yan. ]
[ Berasa kayak lagi di surga. ]
Mata Ryan menyipit. Lalu secepat kilat membalas pesan itu.
[ Vanessayang ]
[ Padahal kalau mau aku bisa ngasih surga beneran deh ke kamu. ]
Tawa Ryan pecah. Dan ia bisa menebak balasan apa yang akan Vanessa kirimkan padanya. Yah, perkiraan Ryan tidak meleset sedikit pun.
[ Vanessayang ]
[ Dasar otak meśum ya! ]
[ Kamu ini selalu aja mikir meśum. ]
"Hahahaha."
Seraya masih tertawa, Ryan buru-buru membalas pesan itu.
[ Vanessayang ]
[ Eh, yang meśum siapa? ]
[ Kamu itu ya pikirannya. ]
[ Aku cuma mau ngasih surga ke kamu kok. ]
[ Emangnya tau surga apaan? ]
[ Nggak kan? ]
Sama seperti dirinya, ternyata Vanessa juga secepat kilat membalas pesan itu.
[ Vanessayang ]
[ Oh, terus maksud kamu apa, Kanda? ]
Ryan mendehem sejenak. Sedikit mengubah posisi duduknya di atas kursi rotan itu. Menimbulkan suara berderit.
[ Vanessayang ]
[ Kamu tau resto Lidah Surgawi? ]
[ Rencananya balik aku mau mampir sana. ]
[ Kamu mau makan malam apa? ]
Sebenarnya sih, Ryan sama sekali tidak memikirkan soal makanan. Ehm ... yang tadi itu memang pikiran mesum Ryan. Tapi, yang namanya cowok kan memang terlahir untuk pintar berkilah. Begitupun dengan Ryan.
[ Vanessayang ]
[ Oh, nggak usah, Yan. ]
Dahi Ryan berkerut.
[ Vanessayang ]
[ Nggak usah makan atau nggak usah balik? ]
Ryan merutuki pertanyaan.
Ntar kalau Vanessa benar-benar ngomong aku nggak usah balik gimana?
Ya salam.
Tapi, pesan lainnya membuat Ryan tertegun.
[ Vanessayang ]
[ Nggak usah beli makan di sana. ]
[ Soalnya aku udah keburu pesan makanan buat makan malam. ]
[ Kebetulan tadi ada promo gitu sih. ]
Satu senyuman lembut terbit di wajah cowok itu. Menarik napas dan bergumam rendah seraya menekan foto profil Vanessa di aplikasi Whatsapp itu. Melihat senyum di foto gadis itu. Mengusapnya dengan ibu jari layaknya cowok yang benar-benar tengah mabuk asmara.
"Tuh kan ... nggak sadar kamu justru udah nunggu aku balik buat makan malam bareng."
Unch.
Dadá Ryan rasanya bergemuruh oleh rasa bahagia.
*
Vanessa menilai sekilas lalu pada hidangan yang telah tersedia di atas meja makan. Terlihat kebimbangan di wajah gadis itu. Menggigit bibir bawahnya seraya bersedekap, Vanessa mulai mempertanyakan hal yang telah ia lakukan.
Sebenarnya bukan bermaksud apa-apa sih. Tapi, walau Ryan kayak gitu, sebenarnya dia itu cowok yang lumayan baik. Aku cukup dewasa untuk bisa menilai secara objektif. Nyiapkan dia makan malam nggak berarti apa-apa. Ini bisa dianggap sebagai yah ... tanda terima kasih karena dia udah mau bantuin aku kemaren. Mana sampe ngebuat badan itu gatal-gatal perih gitu lagi. Aku emang keras dan kasar, tapi bukan berarti aku nggak ada hati.
Udara berembus dari hidung Vanessa, sedetik sebelum pada akhirnya ia putar badan. Menuju ke kamarnya. Tepat ketika jam menunjukkan jam enam sore, Vanessa memutuskan untuk mandi.
Dan sementara Vanessa mandi, tak lama kemudian Ryan pun pulang. Cowok itu dengan terburu-buru ke kamarnya. Mengambil sehelai handuk dan langsung beranjak ke belakang. Seharian bekerja, berbaur dengan tanah, pupuk, sinar matahari, dan keringat membuat ia menjadi begitu gerah. Ia ingin segera melepaskan semua rasa lelah itu dengan guyuran air dingin.
Ryan bergegas. Membayangkan air jatuh di kulitnya dan .... Langkah cowok itu terhenti. Tepat ketika ia melewati meja makan.
Ia tertegun.
Dan bersamaan dengan itu ia mendengar suara halus langkah seseorang di belakang dirinya. Membuat ia berbalik. Menatap Vanessa yang menghampiri dirinya.
Gadis itu terlihat segar dengan mengenakan gaun santai selutut dengan rambut yang terurai. Sedikit lembab. Cukup menjadi tanda bahwa gadis itu baru saja selesai keramas. Ada satu bando bewarna pastel di atas kepalanya. Membuat ia terlihat segar dan manis dalam waktu yang bersamaan.
Sekali, Ryan mengerjapkan matanya.
Mungkin aku salah liat deh.
Tapi, Ryan berani bersumpah.
Ada setitik senyum di wajah gadis itu ketika berkata.
"Buruan mandi. Abis itu baru makan."
Astaga.
Bahkan sekarang dengan perkataan itu, Ryan angguk kepala. Dengan begitu patuh ia beranjak seraya berkata.
"Siap, Dinda."
Vanessa spontan terkekeh geli melihat Ryan yang langsung berlari masuk ke kamar mandi. Di dalam hati ia berkata.
Dia pasti udah kelaparan banget.
Yang mana, sebenarnya bukan itu yang Ryan rasakan bukan?
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro