53. Malam Minggu
Ryan menarik napas dalam-dalam. Melihat bagaimana wajah Vanessa yang pelan-pelan memerah. Karena perkataannya atau ....
"Minum lagi gih," kata Vanessa sejurus kemudian. "Kayaknya kamu dehidrasi gara-gara kepanasan."
Ryan mengembuskan napas panjangnya sejenak saat merasakan Vanessa menarik tangannya terlepas dari genggamannya yang memang tidak kuat itu. Gadis itu kembali melihat ke hamparan tanaman jagung di depan sana.
Ckckck.
Segini keras kepalanya ya istri aku?
Well ... keberuntungan buat kamu, Sa.
Aku ini cowok paling sabar edisi terbatas di Bumi.
Yang ada malah orang yang sering nggak sabar sama aku.
Ha ha ha ha.
Lalu, entah apa yang ada di benak cowok itu hingga ia kemudian bergerak. Vanessa yang tidak memerhatikan Ryan lagi juga tidak peduli dengan apa yang dilakukan cowok itu hingga sedetik kemudian ia melotot melihat Ryan yang sudah merebahkan kepalanya di paha gadis itu.
"Ryan!"
"Vanessa!"
Mata Vanessa mendelik. "Kamu ngapain di paha aku?" tanya Vanessa menggeram. Kepalanya celingak-celinguk ke kanan ke kiri bergantian. "Nanti kalau ada orang yang ngeliat gimana?"
Di atas paha Vanessa, Ryan bersedekap dan memamerkan cengirannya. "Nggak bakal ada orang waras yang tengah hari sepanas ini pergi ke Kebun Percobaan Kampus, Sa. Mana weekend lagi. Cuma orang nggak waras kayak kita yang ngelakuinnya. Kalau orang waras mah sekarang ya pasti ngadem di mall dong."
Mata Vanessa masih mendelik. "Ta-tapi ...."
Ryan menguap. "Aku capek loh, Sa," kata cowok itu. "Emangnya kamu nggak kasian sama aku? Udah sarapan cuma roti doang, eh ... malah disuruh nyangkul segitu luasnya."
Vanessa menggigit bibir bawahnya. "Tapi, kan nggak mesti di paha aku kali," geramnya.
"Nggak ada bantal," lirih Ryan seraya memejamkan matanya. "Cuma tidur bentar doang. Timbang aku ketiduran di atas motor. Bisa-bisa kita berdua tertidur untuk selamanya, Dinda."
Vanessa ingin mengeluarkan argumennya lagi, tapi perkataan Ryan sayangnya memang ada benarnya. Kalau mendadak Ryan mengantuk dan tertidur saat sedang mengendarai motornya nanti, bisa gawat dong.
Sementara itu, Ryan yang semula memejamkan matanya, pelan-pelan membuka sedikit mata kanannya. Mengintip. Lalu tersenyum geli melihat wajah bimbang gadis itu. Dan sejurus kemudian Ryan benar-benar memejamkan matanya. Tetap bersedekap di depan dadanya yang telanjang, ia memutuskan untuk benar-benar beristirahat sejenak.
Kapan lagi coba bisa rebahan di atas paha Dinda Vanessayang?
Vanessa mengembuskan napas panjang. Sesekali matanya melihat ke arah pintu. Khawatir kalau mendadak ada orang yang masuk dan memergoki dirinya dan Ryan tengah berada dalam keadaan seperti itu.
Argh!
Vanessa tidak bisa membayangkan.
Pasti dia akan dilema, antara membiarkan gosip merebak atau mengumumkan pernikahan tersembunyi mereka.
Ck.
Dua buah pilihan yang sama-sama membuat pusing kepala pastinya.
Tapi, lama-lama Vanessa menyadari bahwa yang dikatakan Ryan benar adanya. Tidak akan ada orang yang mau pergi ke Kebun Percobaan Kampus di siang hari yang begitu terik seperti saat itu. Hanya orang tidak waras saja yang akan melakukannya.
Vanessa mengulum senyumnya.
"Kalau ada yang nggak waras," lirihnya pelan seraya menundukkan wajah. Menatap wajah Ryan yang terlihat tenang dan nyaman. "Itu pasti kamu aja. Kalau aku mah dijamin masih waras 100%."
Gadis itu lalu terdiam dan lantaran kepalanya yang pegal lama-lama memandang lurus ke depan, ia pun hanya memiliki wajah Ryan sebagai objek penglihatan. Walau ... sebenarnya sih kalau mau Vanessa bisa jadi melihat postingan di Instagram gitu kan? Atau buka Shopee, Tokopedia, atau Lazada. Biasanya cewek kan suka melihat produk-produk diskonan.
Tapi ..., Vanessa lebih memilih melihat wajah Ryan saja.
Wajah cowok itu terlihat sedikit memerah. Mungkin efek karena kepanasan saat mencangkul tadi. Dan entah sadar atau tidak, lalu tangan Vanessa perlahan naik. Menyentuh ujung rambut Ryan yang terjatuh di depan dahinya. Memegangnya sekilas dengan lembut. Dan ia memerhatikan lekat-lekat wajah cowok itu.
Ehm ....
Dia punya bulu mata yang panjang banget. Ck. Harusnya cewek yang punya bulu mata sepanjang itu.
Tapi, dia juga punya hidung yang mancung banget sih. Ck. Coba seandainya aku punya hidung semancung itu.
Dan bibirnya ....
Glek.
Vanessa meneguk ludah. Melihat bibir Ryan yang terkesan proporsional antara bagian atas dan bawah. Tidak terlalu tipis dan tidak pula terlalu tebal. Bewarna merah segar.
Ehm ....
Dia emang nggak ngerokok sih. Jadi, nggak heran warna bibirnya cerah kayak gini.
Dan Vanessa merasakan bulu kuduknya meremang. Memandangi bibir cowok itu lama kelamaan entah mengapa membuat ia malah teringat kejadian seminggu yang lalu.
Sial!
Vanessa sepertinya baru menyadari bahwa dirinya sekarang berada di tempat pertama kali ia dan Ryan berciuman. Dan sekarang ia justru sedang terpana melihat bibir cowok itu?
Ya ampun ....
Vanessa menarik napas dalam-dalam.
Ini aku nggak semacam mau nostalgia kan?
Gadis itu berusaha untuk menenangkan dirinya sendiri. Memikirkan hal itu membuat ia seperti kepanasan. Ia bahkan sampai mengipasi wajahnya dengan telapak tangannya berulang kali.
Kipas ... kipas ... kipas ....
"Ehm ...."
Vanessa menunduk saat mendengar deheman lembut dari Ryan. Seperti cowok itu akan terjaga, tapi yang terjadi sejurus kemudian adalah Ryan yang mengubah posisi tidurnya. Berbaring menyamping pada gadis itu.
Tangan Vanessa kemudian menepuk-nepuk pelan lengan atas Ryan. Menenangkan cowok itu. Untuk beberapa saat lamanya. Hingga Ryan terlihat tenang kembali.
Dan ketika hampir sejam lebih Ryan tidur, ia akhirnya terbangun juga. Ryan terlihat menggeliat sejenak di atas paha Vanessa hingga membuat gadis itu merasa geli. Lalu, ia bangkit.
Ryan menguap. Wajahnya terlihat lebih segar walau terlihat jelas sisa kantuk di sana.
"Aku lama ya tidurnya?" tanya cowok itu kemudian. Tangannya mengucek mata, sementara bibirnya menyunggingkan seringai kepuasan.
"Kamu nggak nyadar kalau sekarang udah berganti hari?" balas tanya Vanessa. "Ini udah bukan hari Sabtu lagi. Udah hari Minggu ini mah."
"Hahahaha. Bangun-bangun langsung deh disewoti."
Ryan lantas beranjak. Mencuci mukanya sejenak dan langsung meraih kemejanya yang ia gantung di satu paku yang tertancap di sana. Mengibaskannya sejenak sebelum kemudian ia mengenakan kembali pakaiannya itu.
Sementara itu, Vanessa pun turut bersiap. Merapikan barang-barangnya. Memberikan kembali ponsel Ryan yang sempat cowok itu titipkan di tas miliknya sebelum mulai bekerja tadi.
Vanessa memandang sekeliling.
"Udah. Kayaknya udah rapi semua dan nggak ada yang ketinggalan."
"Oke," kata Ryan. "Kalau gitu kita balik."
Vanessa melangkah. Lalu mendadak ia merasakan Ryan meraih tangannya seraya berkata.
"Hati-hati. Ntar kepleset lagi."
Mata gadis itu menatap pada satu genangan air di hadapannya. Sedikit melompat dan bertumpu pada genggaman tangan Ryan. Dan Ryan menjaganya agar gadis itu benar-benar tidak silap melangkah. Namun, setelahnya pegangan itu tetap tidak terurai hingga mereka keluar. Hingga mereka sampai di motor Ryan yang terparkir. Seakan itu adalah hal yang biasa mereka lakukan.
Ryan mengemudikan motornya beberapa saat kemudian. Menyusuri jalanan yang padat di cuaca yang terik. Di dalam hati cowok itu merasa bersyukur karena benar-benar telah tidur. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya kalau di saat seperti itu ia justru mengendarai motornya seraya mengantuk.
"Yan ...."
Ryan merasakan satu sentuhan lembut di pundaknya. Ada jari Vanessa yang menusuk-nusuk pelan di sana.
"Ehm?" Ryan melirik sekilas melalui spion. "Apa?"
"Kamu nggak tidur kan?"
Ryan tersenyum tipis. "Nggak. Tadi kan udah tidurnya. Aman aja ..., aku nggak ngantuk lagi kok."
Vanessa mengangguk. Merasa lega dan kemudian ia pun membiarkan Ryan mengendarai motor itu dengan tenang.
*
Malam harinya, Vanessa merebahkan tubuhnya di atas kasur dengan nyaman. Gadis itu mendesah lega. Bahkan wajahnya terlihat berseri-seri. Tidak bermaksud berlebihan, tapi memang Vanessa merasa senang sekali saat itu.
Pekerjaannya selesai. Dan di luar perkiraan, ia bahkan tidak membutuhkan waktu lama karena ada Ryan yang membantunya.
Makan malam sudah. Rasanya walau ia tidak banyak bekerja, namun tetap saja makan malam yang mengenyangkan benar-benar mengembalikan tenaganya yang hilang seharian tadi.
Yang terakhir ia baru saja mandi. Ehm .... Vanessa mengibas-ngibaskan sejenak rambutnya yang belum sepenuhnya mengering. Masih terasa lembab karena keramas. Dan sekarang ia benar-benar merasa kepalanya terasa ringan.
Malam yang sempurna, pikirnya.
Vanessa ingin menikmati istirahat santainya di malam minggu itu. Ia meraih satu novel terjemahan dari atas nakas. Membuka halaman terakhir yang ia baca dan ---
"Braaak!"
Pintu kamarnya terbuka dengan kasar. Nyaris membuat ia terlonjak kaget dari tempat tidurnya. Seketika ia menoleh ke pintu dan mendapati Ryan yang berjalan masuk ke kamarnya hanya mengenakan celana pendek selutut dan tanpa baju.
Vanessa melotot.
"Ryan!"
"Vanessa!"
Vanessa meneguk ludahnya. Melihat Ryan yang mendadak masuk ke kamarnya tanpa mengenakan baju jelas tidak pernah ia perkirakan sebelumnya.
Gawat!
Mau ngapain ini cowok ke kamar aku malam-malam gini nggak pake baju?
Glek.
Berusaha untuk tidak terintimidasi oleh kedatangan Ryan, penampilan Ryan, dan tatapan Ryan, Vanessa mengangkat dagunya.
"Ada apa?"
Ryan menggeram. Lalu beranjak dan duduk di tepi tempat tidur. Lantas, tanpa kata-kata ia memutar tubuhnya. Memamerkan punggungnya yang ....
"Kenapa merah gini?" tanya Vanessa seraya menyentuhkan jarinya di punggung Ryan. Bola mata Vanessa berputar melihat ke setiap sisi punggung Ryan dan mendapati bentol-bentol yang bewarna merah.
Dan cowok itu mengaduh. "Awww!"
Vanessa berusaha melihat wajah Ryan dari belakang. "Kena miang jagung?"
Ryan memutar lagi tubuhnya. Nyaris menabrak wajah Vanessa andai gadis itu tidak segera menarik mundur wajahnya. Ryan terlihat dongkol.
"Ini pasti gara-gara kamu ngejar-ngejar aku pake cacing tanah itu."
"Eh?" Vanessa melongo. Lalu tertawa. "Hahahaha. Malah cacing tanah yang disalahkan."
Mata Ryan melotot. "Kamu ngejar aku pake cacing tanah dan aku jadi asal aja nabrak daun jagung pas lari. Ini akibatnya. Badan aku kena miang semuanya."
"Hahahaha."
"Salah kamu dong. Kenapa coba nggak pake baju? Kenapa juga sama cacing malah takut?"
Ryan semakin melotot. Terlihat seperti akan menerkam gadis itu hingga Vanessa mengangkat kedua tangannya di depan dadá.
"Maaf ... maaf ...." Vanessa mengulum senyumnya. "Terus mau kamu gimana sekarang?"
"Ya diobatin dong," jawab Ryan dengan setengah merengek. "Ini pedih banget tau, Sa? Sumpah. Aku nggak bisa tidur dibuatnya."
"Diobati pake apa?" tanya Vanessa.
"Bedak ada?" Ryan berharap. "Dibedakin aja ini yang merah-merah."
Vanessa tampak berpikir sekilas. "Aku ada kok bedak," jawabnya enteng. "Aku pake bedak Caring dari Biokos. Harganya terjangkau kan?"
Dooong!
Ryan bisa melihat senyum lucu dan kilat jenaka di mata Vanessa ketika mengatakan hal itu. Membuat dirinya melongo dan bertanya spontan.
"Terus punggung aku juga mau dikasih alas bedak dulu? Atau apa gitu?"
"Hahahaha."
Vanessa bangkit dari tempat tidur. Meletakkan novelnya kembali ke nakas dan beranjak ke meja riasnya. Melihat-lihat bedak apa yang ia miliki dan ....
"Kayaknya ntar kita lain kali harus belanja obat-obatan gitu deh," katanya pada Ryan. "Soalnya aku nggak punya bedak gatal atau salep semacamnya gitu."
Di tempat tidur, Ryan menatap Vanessa dengan tatapan tak berdaya. "Terus aku malam ini gimana dong? Aku nggak bisa tidur kalau kayak gini, Sa."
Bersedekap, sementara satu tangannya mengusap ujung dagunya, Vanessa tampak berpikir sejenak. Lalu, wajahnya terlihat cerah seolah mendapatkan ide di benaknya.
"Kenapa?" tanya Ryan penuh harap. "Punya obatnya?"
Vanessa menyeringai. "Tentu dong. Bentar ya. Aku ambil dulu."
"Eh?"
Ryan tak bisa mencegah ketika dilihatnya Vanessa yang keluar dari kamar dan justru pergi entah ke mana.
"Dia ngambil obat apa?" tanya Ryan pada dirinya sendiri. "Ngambil di mana?" Mengusap tekuknya yang mendadak berkeringat, Ryan berkata. "Kok aku jadi berasa takut gini ya?"
Tapi, rasa penasaran Ryan tidak bertahan lama karena pada akhirnya Vanessa datang lagi seraya memegang satu mangkok. Ia berjalan dan mengambil tempat di belakang Ryan. Cowok itu berusaha melihat melalui bahunya.
"Apa itu?"
Tangan Vanessa mendorong wajah Ryan untuk kembali melihat ke depan. "Udah ah, Kanda. Percaya deh ke Dinda. Ini obat yang Kanda butuhkan."
"Ehm ...." Ryan mendehem dan lalu merasakan sesuatu.
Tangan Vanessa terasa menyentuh punggungnya dengan lembut walau tak urung juga memberikan kesan perih di sana. Lalu ada sesuatu yang dibalur di punggungnya. Berbentuk serbuk. Ryan tak yakin.
Apa Vanessa ngambil bedak di luar?
Tapi, benda itu terasa dingin. Dan Vanessa membalurkannya ke seluruh punggung Ryan. Tak membantah dan menikmati sentuhan Vanessa, Ryan jadi bertanya-tanya. Benda apakah yang Vanessa balurkan di punggungnya itu?
"Sa ...."
"Ehm?"
"Ngomong-ngomong, ini bedak apaan yang kamu kasih ke punggung aku?"
Tangan Vanessa terus mengusapkan benda itu. "Kenapa?" tanyanya. "Kamu nggak suka?"
"Nggak kayak gitu sih," kata Ryan. "Cuma bingung. Kamu ngambil di mana ini bedak? Rasanya juga dingin gitu. Kamu nggak minta ke tetangga kan?"
Dan Ryan berani bersumpah. Ia mendadak mendengar kikik geli Vanessa. Seketika saja ia memutar tubuh dan mendapati Vanessa yang berusaha menahan tawanya. Membuat rasa curiga seketika menyeruak di dalam dadanya.
"Ini apa, Sa?" tanya Ryan seraya merebut mangkok itu dari tangan Vanessa. Ia mencoba mencium aromanya. Lalu merasakan teksturnya yang terasa sedikit licin, berbeda dengan bedak kebanyakan.
"Hihihihi. Ini obat gatal, Kanda. Kerasa nggak? Punggungnya jadi adem juga kan?"
Dahi Ryan berkerut. Memang benar sih yang dikatakan oleh Vanessa. Punggungnya jadi terasa dingin sekarang. Lebih plong begitu. Tapi, tetap saja. Alarm tanda peringatan seolah sedang berbunyi di benak Ryan.
"Sa .... Please, ini apa?"
Vanessa semakin terkikik. Merasa tak bisa menahan rahasia itu lebih lama lagi. Akhirnya, ia pun menjawab. "Itu sagu, Yan. Hahahaha." Lalu, ia tertawa.
"Eh?" Ryan terkesiap horor. "Sagu?"
"Hahahaha." Vanessa mengangguk-angguk geli. Lalu tubuh gadis itu terbaring ke kasur seraya terus tertawa.
"Kamu balurin aku pake sagu?" tanya Ryan tak percaya.
"Hahahaha. Kan yang penting gatal dan perihnya sembuh."
"Terus, kalau udah pake sagu gini," lanjut Ryan. "Apa aku siap digoreng sekarang?"
"Hahahaha."
Vanessa berusaha bangkit, dengan susah payah pastinya. Ia menatap Ryan dengan pandangan yang berkabut karena air mata tawa.
"Aku bukan mpek-mpek kali, Sa."
"Hahahaha."
Vanessa melihat sekilas pada dadá Ryan yang juga merah-merah. Lalu ia mengambil sedikit sagu yang mangkoknya masih dipegang cowok itu. Mulai mengusapkannya di dadá Ryan.
"Ya nggak mungkin dong ada mpek-mpek sebesar kamu," kata Vanessa geli. "Tapi, ini namanya pengobatan darurat. Emangnya kamu nggak tau kalau orang cacar dan gatal-gatal biasanya diobati pake sagu?"
Ryan tercengang. Antara karena usapan jari Vanessa di dadanya dan juga perkataan gadis itu.
"Kamu ...."
Mengulum senyum, Vanessa meneruskan membedaki dadá Ryan. Dan makin lama, tawa gadis itu berhenti. Wajah manyun Ryan dan penampakan dadanya mendadak saja membuat Vanessa merasa kaku.
Ya ampun.
Ini aku megang sagu yang dingin, tapi kenapa aku berasa panas sih?
Lalu tangan Vanessa beranjak ke perut Ryan yang hanya terlihat sedikit merah-merahnya. Tak lama kemudian, Vanessa bangkit. Meletakkan mangkok sagu itu di nakas dan melihat hasil pekerjaannya.
"Oke!" Ryan angguk-angguk kepala. "Mpek-mpek raksasa siap digoreng."
"Hahahaha." Vanessa duduk kembali di hadapan Ryan sambil tertawa. "Ya elah. Gini doang kok manyun."
"Kamu ...."
Ryan menutup mulutnya. Merasa frustrasi karena menyadari sering sekali Vanessa membuat dirinya tak mampu berkata apa-apa. Tapi, sekarang justru Ryan mempertanyakan. Sebenarnya apa sih yang membuat ia sering terdiam menghadapi Vanessa?
Vanessa tertawa. Hingga membuat kedua bola matanya yang bening terlihat berlinang karena air mata. Air mata tawa tepatnya.
"Gimana?" tanya gadis itu membuyarkan lamunan Ryan. "Sekarang udah berasa enakan kan? Udah nggak perih dan sakit lagi kan?"
Ryan diam saja sementara bola matanya berputar-putar tidak jelas. Seperti sedang merasakan apa rasa punggungnya saat itu. Enggan sih, tapi Ryan tak bisa untuk tidak berkata jujur.
"Iya. Udah nggak perih lagi. Udah nggak sakit dan panas juga."
Jari tangan Vanessa menjentik sekali. "Tuh kan! Apa coba yang aku bilang? Sagu ini obat mujarab kalau untuk masalah gituan." Dengan bangga Vanessa berkata. "Ini namanya pengobatan alami."
Manyun, tapi Ryan tak bisa membantah. Terutama ketika ia merasakan bagaimana satu jari telunjuk Vanessa menusuk-nusuk dadá kirinya. Di mana di dalamnya ada jantung yang mendadak berdebar dengan sentuhan itu.
"Jadi," kata Vanessa dengan napas yang sedikit terengah karena sisa tawanya. "Karena aku udah ngobatin kamu ... kamu mau ngasih hadiah apa ke aku?"
Mata Ryan mengerjap sekali. Melihat tangan Vanessa telah mengambil posisi menengadah di depannya.
"Nggak gratis loh," kata Vanessa seraya tersenyum manis.
Glek.
Ryan meneguk ludahnya. Wajah cantik Vanessa di hadapannya membuat ia tak berkutik. Bahkan tanpa senyuman manis dan gerlingan mata yang menggoda saja Ryan sudah tidak bisa menahan dirinya. Apalagi kalau sudah seperti ini?
Malam minggu.
Berduaan di dalam kamar.
Aku juga udah nggak pake baju.
Vanessa malah memamerkan senyum semanis madu.
Ryan menarik napas sekilas seiring dengan tarikan tangannya pada tangan Vanessa. Membuat tubuh gadis itu mendarat di dadanya dengan rasa kaget. Merengkuhnya. Tapi, belum lagi hilang rasa kaget Vanessa, eh Ryan sudah membuat ia semakin melongo dengan perkataannya.
"Aku kasih hadiah ekstra malam ini ...," katanya seraya matanya memaku tatapan Vanessa, "... mau?"
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro