Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

51. Kencan Pertama

"Katanya kita mau kencan?"

"Ini kita udah jalan berdua kan?"

Ryan melongo. Benar-benar tidak percaya dengan kenyataan yang terpampang di matanya saat ini.

"Serius?"

Vanessa benar-benar tidak mampu mencegah tawanya yang sempat terhenti beberapa saat yang lalu menjadi berderai kembali. Raut wajah Ryan yang melongo benar-benar membuat perutnya terasa sakit sekarang. Sekilas memerhatikan keadaan sekeliling dan memastikan bahwa tidak ada orang, gantian Vanessa yang mengepalkan tangannya dan memukul lengan atas Ryan dengan sok manja.

"Ih .... Kanda, katanya mau jalan akhir pekan sama Dinda. Hihihi." Vanessa terkikik geli. "Udah sampai tempat yang dituju, tapi kok mukanya nggak suka gitu?"

Ryan mendengus. Kesal melihat wajah Vanessa yang tertawa lebar. Tak mengucapkan apa-apa lagi, Ryan menyentak lepas helm dari kepalanya. Melihat itu, Vanessa pun lantas teringat pula dengan helm yang masih di kepalanya.

"Bukain, Yan ...." Vanessa berkata seraya mengangkat kepalanya.

Ryan melirik sekilas. "Males. Buka aja sendiri."

"Eh?" Mata Vanessa mengerjap. "Aku nggak ngerti bukanya gimana."

"Udah gede juga."

"Ryaaan ...."

"Vanessa ...."

Vanessa tergelak. Masih bisa meraba nada kesal dari suara cowok itu. Tapi, ketika Ryan akan beranjak dari sana, Vanessa dengan cepat menahan kedua tangan Ryan. Ia menyodorkan kembali wajahnya pada cowok itu.

"Bukain, Kanda .... Berat loh lama-lama make helm gini."

Ryan tau seberat apa helm itu. Maka setelah bibirnya mencibir, tangan cowok itu pun kemudian terulur. Dengan segera melepas kunci helm di bawah dagu Vanessa.

Kaki Ryan maju selangkah tatkala ia mendorong helm itu untuk terlepas dari kepala sang gadis. Mata Vanessa memejam sekilas. Dan entah apa yang dipikirkan Ryan ketika seraya tangannya mendorong helm itu, maka bibirnya maju demi mendaratkan satu kecupan singkat di bibir Vanessa yang sedikit terbuka.

"Cup!"

Mata Vanessa sontak membuka dan gadis itu dengan cepat meraih perut Ryan dalam bentuk satu cubitan melintir.

"Adudududuh!"

Ryan dengan segera berjingkat-jingkat karena rasa sakit cubitan itu. Dilihatnya Vanessa yang mendelik seraya menjauh dari dirinya.

Tangan Ryan mengusap-usap perutnya yang terasa perih lantaran cubitan itu.

"Mau ke mana?"

Ryan setengah menyerukan pertanyaan itu ketika ia melihat Vanessa berjalan meninggalkan dirinya yang masih berkutat dengan peletakan helm di spion motor.

"Mau kencan."

Ryan geleng-geleng kepala. "Itu cewek seriusan ya ngajak aku kencan di Kebun Percobaan Kampus?" tanya Ryan pada dirinya sendiri.

Tapi, ketika dilihatnya Vanessa yang benar-benar terus berjalan meninggalkan dirinya sendirian di pintu masuk Kebun Percobaan Kampus itu, ya mau tak mau kaki Ryan pun akhirnya bergerak pula. Melangkah dalam langkah besar-besar demi bisa cepat menyusul Vanessa.

Vanessa melirik. Menyadari kehadiran Ryan. "Jadi mau kencan sama aku?"

"Eh, Sa ..., ini beneran kita mau kencan di sini?" tanya Ryan. "Ngapain? Mending kita jalan-jalan ke mana gitu. Ya kali mau kencan dengan tema pemandangan alam harus ke Kebun Percobaan Kampus."

Seraya memperhatikan langkah kakinya agar tidak silap, Vanessa bertanya dengan menggoda.

"Kamu tau nggak?"

"Apa?"

"Ini dinamakan kencan dengan kearifan lokal."

"Eh?"

Ryan merasa de javu. Lagi!

"Kencan di mall? Biasa. Kencan di bioskop? Biasa. Kencan di Kebun Percobaan Kampus?" Vanessa melirik pada cowok itu. "Nah, itu baru luar biasa. Kencan dengan kearifan lokal. Yakin deh, kencan ini nggak bakal kamu lupakan."

Vanessa membalikkan semua pemikiran aku tempo hari.

Wah!

"Jadi, Kanda harus bersiap melewati kencan dengan kearifan lokal kita sebentar lagi."

Otak Ryan berpikir untuk mencerna maksud perkataan Vanessa. "Kencan dengan kearifan lokal?" ulang Ryan ketika langkah kaki mereka berdua berbelok ke kebun jagung. "Maksudnya a---"

Dan ucapan Ryan terhenti. Tepat ketika melihat hamparan jagung di depan matanya yang masih porak poranda lantaran hujan angin seminggu yang lalu. Ada sebagian tanaman yang sudah diperbaiki, namun sebagian lagi masih dengan keadaan yang mengenaskan. Roboh saling tumpang tindih.

Mata Ryan melotot. Berpaling pada Vanessa yang sudah menatap dirinya dari tadi dengan cengiran di wajahnya.

"Kencan dengan kearifan lokal ..." Ryan menatap Vanessa horor. "... itu maksudnya nyuruh aku memperbaiki kebun jagung kamu?"

"Hahahaha." Vanessa tertawa. "Gimana, Kanda?" tanya Vanessa seraya mendekat. Jari telunjuknya terangkat. Menekan dadá kiri Ryan yang terasa keras. "Katanya suka nyangkul di depot. Makanya Dinda bawa Kanda ke sini deh buat kencan pertama kita."

Kengerian semakin nyata di sorot mata Ryan. "Kamu ...."

"Ini namanya kencan dengan kearifan lokal ala aku, Kanda." Mata Vanessa berkedip-kedip. "Aku romantis kan, Kanda?"

Lima detik, Ryan hanya bisa menganga melihat bagaimana tatapan mata Vanessa menggoda dirinya. Belum lagi dengan jari telunjuk cewek itu yang masih menusuk-nusuk dadanya berulang kali.

Ryan benar-benar dibuat tak bisa berkata apa-apa lagi.

"Oke," kata Ryan kemudian. Kepalanya mengangguk-angguk. "Ini kencan pertama kita. Aku nggak bakal mengecewakan kamu."

Jari telunjuk Vanessa pelan-pela turun. "Serius?"

Ryan merenggangkan lehernya ke kiri dan ke kanan sekali. Lalu tangannya menarik resleting jaketnya.

"Apa yang harus aku lakukan?" tanya Ryan seraya beranjak ke pondokan. Tempat mereka berciuman seminggu yang lalu.

Vanessa mengikutinya. "Ehm ... cuma menegakkan kembali pohon-pohon yang tumbang. Kemaren itu rencananya mau dikerjain sama Mang Usman, tapi eh mendadak dianya kena asam urat. Jadi nggak bisa diselesaikan deh."

Ryan menoleh setelah meletakkan jaketnya di satu dipan kayu di sana. Dipan yang diperuntukkan bagi mereka yang ingin beristirahat setelah bekerja di kebun atau sekadar untuk meletakkan barang-barang perlengkapan mereka.

"Terus apa lagi?" tanya Ryan seraya membawa kedua tangannya ke depan dadá.

Mata Vanessa melotot. Melihat tangan Ryan mengeluarkan satu kancing kemejanya dari lubangnya.

"Ka-kamu mau ngapain? Kenapa lepas baju?" tanya Vanessa panik.

Tangan Ryan selesai mengeluarkan semua anak kancingnya. Sekarang, kemeja itu melambai-lambai ditiup angin kebun. Menampilkan pemandangan yang membuat Vanessa meneguk ludahnya dengan gugup.

"Ya mau perbaiki tanaman kamu lah. Emangnya aku mau ngapain lagi?" tanya Ryan sok polos. "Aaah ...." Ryan menyeringai. "Kamu pikir aku mau ngapa-ngapain kamu di sini?"

Wajah Vanessa memerah.

"Sorry banget deh, Sa. Level aku tinggi." Tangan Ryan menunjuk tanaman jagung itu. "Ya kali ngapa-ngapain kamu di sini. Selesai ngapa-ngapain kamu, bukannya enak yang ada malah gatal-gatal. Mending--- Awww!"

Ryan mengusap-usap perutnya yang kembali dicubit melintir oleh Vanessa. Ketika Ryan menoleh, ia mendapati wajah Vanessa yang sudah semerah udang rebus.

"Aku lepas baju biar baju aku nggak bau keringat," geram Ryan. "Gitu aja masih ditanyain."

Vanessa cemberut. Menutup mulutnya ketika melihat Ryan pun melepas sepatunya dan mengganti dengan sepatu tabung yang tersedia di sana.

"Nasib ... nasib ...." Cowok itu melirih. "Diajak kencan sama istri, bukannya jalan-jalan, eh ... malah disuruh nyangkul."

Cemberut di wajah Vanessa berganti menjadi cengiran samar.

Ryan bangkit. Dengan penampilan yang berbeda sekali dengan sepuluh menit yang lalu. Sepatu bot, celana jeans hitam, dadá telanjang, topi lebar, dan membawa cangkul. Dari penampilan keren ala artis kampus, Ryan langsung beralih menjadi bintang film ala cowboy tanggung.

"Hahahaha."

Ryan hanya mendelik melihat Vanessa yang mengekori dirinya tampak tertawa-tawa dengan riang.

"Ayoh, Pak Tani! Keluarkan kemampuan terbaikmu!" seru Vanessa memberikan semangat.

Ryan mengembuskan napas panjang.

Jadi ini maksud dia nyuruh aku sarapan yang banyak tadi pagi?

Hiks.

Karena dia emang butuh kekuatan aku.

Tapi, bukan dengan hal seperti yang aku pikirkan tadi.

Miris ... miris ....

Padahal ya kan? Semalaman hingga sepagian ini, aku udah mikir kotor aja.

Eh!

Ternyata emang kotor banget sih.

Ryan melihat ke jalanan becek yang ia injak saat itu.

Hiks hiks hiks ....

Tenaga yang kuat dan pikiran yang kotor.

Ya ampun.

Nasib kok gini amat?

Dan sementara Ryan mulai memperbaiki keadaan tanaman itu, Vanessa dengan menggunakan arit tampak duduk berjongkok. Mulai membersihkan kebunnya dari rumput-rumput yang tumbuh. Sesekali, seraya tetap terus menyiangi rumput-rumput itu, Vanessa melemparkan tatapannya pada Ryan. Cowok itu terlihat fokus sekali mencangkul demi merapikan guludan jagung Vanessa yang berantakan. Saking fokusnya, ia bahkan sudah tak bersuara lagi.

Maka seraya kembali memalingkan tatapan matanya ke tanah, Vanessa berpikir.

Kalau tau gitu, mending aku siapkan aja cangkul di unit ya?

Terbukti gitu.

Megang cangkul ngebuat Ryan nggak ngoceh-ngoceh lagi.

Jadi diem kan?

Hahahaha.

Vanessa terkikik geli.

Membuat Ryan menoleh dan menghentikan sejenak gerakan tangannya.

"Kenapa ketawa?"

Vanessa mengulum tawanya menjadi senyuman. Ia menggeleng pelan. "Nggak ada apa-apa."

"Ehm ... mana mungkin ada orang yang ketawa tanpa sebab," kata Ryan dengan tatapan menyelidik. "Pasti kamu lagi ketawain aku ya?"

"Eh ... ge-er banget jadi orang." Vanessa tetap bersikeras. "Aku nggak ngetawain kamu kok. Aku cuma ketawain ...." Bola mata Vanessa berputar, sementara otaknya berpikir. Hingga kemudian ia melihat sesuatu yang bergerak-gerak di tanah. "Ini!" Vanessa mengambil hewan itu. "Aku ketawain ini cacing! Dia kayaknya kepanasan."

Mata Ryan melotot. "Ka-kamu megang cacing?"

"Iya." Mata Vanessa mengerjap-ngerjap. Lalu melihat cacing yang menggantung terjepit di dua jari tangannya. "Kenapa emangnya dengan megang cacing?"

Ryan semakin melotot. "Kamu nggak jijik gitu?"

"Ngapain juga ji .... " Vanessa menyipitkan matanya melihat Ryan. Pelan-pelan gadis itu berdiri. "O oh ...."

Ryan mengawasi Vanessa.

"Sepertinya ada yang takut sama cacing ya?" tanya Vanessa dengan nada misterius di suaranya.

Ryan meneguk ludahnya. Meletakkan cangkulnya di tanah. "Sa ..., kamu mau ngapain?"

"Mau nunjukin keimutan cacing tanah ke Kanda dong."

"Ka-kamu ...." Ryan mundur selangkah. "Biarkan dia kembali ke alam, Sa. Sesama makhluk hidup, nggak boleh saling ganggu."

"Hahahaha." Vanessa semakin mendekati Ryan. "Kita nggak ngangguin dia kok, Kanda. Cuma mau main bentar."

"Main?"

"Yuk, sini deh, Kanda."

"Nggak mau!"

"Kita buat memori indah di kencan kita, Kanda."

"Gila ya?! Memori indah apaan pake cacing tanah?"

Vanessa tergelak. Lalu, ketika ia mendapati bahwa Ryan benar-benar menjaga jarak yang aman dengan dirinya, Vanessa justru tergelitik untuk semakin mendekatinya.

"Hwaaa!"

Ryan menjerit. Tepat ketika Vanessa yang tertawa-tawa menghambur berlari padanya seraya mengacungkan seekor cacing tanah itu di tangannya.

"Kandaaa! Jangan pergi! Jangan tinggalkan Dinda seorang diri!"

"Hwaaa!" Ryan kembali menjerit. "Stres kamu, Sa! Stres! Buang itu cacing!"

"Hahahaha. Kanda, ini cacing imut beneran loh!"

"Imut imut .... Ya iya dia itam mutung gitu!"

Ryan terus berlari. Menyelinapkan diri di antara barisan-barisan tanaman jagung. Sebisa mungkin menghindari kejaran Vanessa yang belum menyerah juga.

"Hahahaha. Kanda, mau ngajak main kejar-kejaran di kebun jagung ya?"

Ryan berlari, tepat setelah ia menoleh ke belakang dan mendapati Vanessa masih mengejar dirinya.

"Iya!" tukas cowok itu. "Nyalain dulu lagi India deh. Buat video klip kita."

"Hahahaha. Pake cacing tanah?"

"Nggaaak!"

Ryan benar-benar menjeritkan satu kata itu dan terus berlari. Membuat Vanessa tertawa dengan semakin terpingkal-pingkal. Makin merasa bersemangat untuk menggoda cowok itu.

"Wajah sih boleh cakep. Badan juga boleh tinggi berotot. Eh ... nggak taunya takut sama cacing. Hihihihi." Vanessa berkata seraya menghentikan sejenak larinya.

Ryan menggeram. Turut berhenti. Melihat Vanessa yang sama kacau napasnya dengan dirinya.

"Nggak ada korelasinya sama sekali antara cakep berotot dengan cacing," kata Ryan membela dirinya dengan napas terengah-engah. "Dan for your information aja. Aku bukannya takut. Tapi, aku geliii!"

Ryan berlari lagi karena Vanessa kembali mengejar dirinya. Dengan tertawa-tawa, Vanessa bisa melihat Ryan di depannya yang terus berusaha menghindarinya. Membuat Vanessa bernafsu, sehingga ia tak memerhatikan lagi tanah tempat ia berpijak. Kakinya mendarat di satu tanah yang tergenangi air. Licin. Membuat kakinya meluncur begitu saja.

"Awww!"

"Buuuk!"

Suara itu membuat Ryan serta merta menghentikan larinya. Menoleh dan ia mendapati Vanessa telah terduduk di tanah.

Ryan tergelak. Tanpa basa-basi, cowok itu pun menyeletuk.

"Hahahaha. Azab durhaka sama suami, kepleset di kebun jagung. Nantikan di layar tancap terdekat."

Vanessa mengatupkan mulutnya. "Dasar kamu ya? Orang jatuh bukannya dibantuin, eh ... malah diledekin."

"Hahahaha."

Ryan putar arah. Menatap Vanessa dengan berkacak pinggang. Butiran keringat terlihat mengalir di dadanya yang telanjang.

"Mau aku bantuin?" tanya Ryan.

Vanessa meringis. Ia benar-benar terduduk di tanah becek itu. Kedua tangannya pun kotor. Mengangkat wajah pada Ryan, ia menampilkan raut polos anak kecil yang meminta pertolongan.

"Masih ada cacing nggak?"

"Mana sempat aku mikirin cacing kalau aku udah mirip kayak cacing gini."

"Hahahaha. Coba deh kamu meliuk-liuk di tanah kayak cacing kepanasan."

Vanessa menggeram. Meraup tanah becek itu dan melemparnya pada Ryan.

"Hiyaaat!" seru Ryan seraya mengelak. Lidahnya terjulur. "Nggak kena nggak kena. Hahahaha."

"RYAN!"

"VANESSA!"

Vanessa mendengus kesal. Membuat Ryan geli. Perlahan cowok itu menghampiri Vanessa. Berjongkok di hadapannya.

"Mau aku bantuin nggak?" tanya cowok itu. "Kalau nggak mau, aku balik nyangkul lagi nih. Aku kasih kamu waktu buat main-main lebih lama sama teman imut kamu tadi. Hahahaha."

Vanessa cemberut. "Bantuinlah. Masa aku kayak gini seharian?"

Ryan terkekeh geli. Lalu meneliti keadaan cewek itu. "Ehm ... bokοng kamu pasti kotor banget sekarang. Gimana ceritanya aku mau ngangkat kamu?" tanya Ryan. "Kamu bisa berdiri nggak?"

"Nggak tau."

"Aduh aduh aduh. Segininya azab gara-gara ngusilin suami kan?" tanya Ryan geli.

Vanessa tak menghiraukan perkataan Ryan. Diam saja. Cemberut. Tapi, sejurus kemudian matanya mengerjap-ngerjap saat mendapati Ryan memutar tubuhnya. Menawarkan punggungnya pada gadis itu.

"Sini. Pelan-pelan, siapa tau ada yang keseleo," kata Ryan.

Vanessa termenung sekejap mata. "Aku naik di punggung kamu?"

"Atau aku ambil gerobak dorong di pondok aja?"

"Plaaak!"

Tangan Vanessa mendarat di punggung Ryan. Membuat cowok itu tertawa dalam ringisannya.

"Ayoh, Dinda Vanessayang. Ini Kanda belum selesai nyangkul loh."

Mengembuskan napas panjangnya sekali, pelan-pelan Vanessa mengulurkan tangannya. Ryan menyambut tangan itu dan menuntun Vanessa ke punggungnya.

Detik selanjutnya, Ryan berdiri dengan menggendong Vanessa di punggungnya. Membawa tubuh gadis itu, mendadak saja Ryan terpikir sesuatu.

Ternyata kuat dan kotor, emang benar-benar terjadi ya?

Hihihihi.

Ia mengulum senyum, sedikit melirik. Dan karena Vanessa diam saja, maka cowok itu berniat menggoda dengan berkata.

"Please ..., jangan ngomong kalau sekarang jantung kamu lagi berdebar-debar. Karena kalau iya, bakal aku cium deh kamu sekarang juga."

Tak terlihat, di belakangnya wajah Vanessa sudah memerah hingga ke telinga.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro