Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

47. Di Balik Sikap

"Oke, jadi sebelum saya tutup kelas hari ini," kata Vanessa seraya memadamkan laptop di atas meja dan lantas berdiri dari kursi. Berjalan ke hadapan para mahasiswa. Mengamati wajah mereka satu persatu."Apa ada yang mau ditanyakan seputar kuliah tadi? Jika ada yang kurang dimengerti, bisa kalian tanyakan. Sebisa mungkin akan saya jelaskan kembali."

Vanessa membawa pandangannya untuk mengitari seisi kelas. Melihat kalau ada satu atau dua orang mahasiswa yang mengangkat tangannya untuk bertanya. Dan ketika itulah Vanessa melihatnya.

Ryan tersenyum dan mengedip-ngedipkan mata pada dirinya. Tepat ketika pandangan mereka berdua beradu.

Seketika langsung membuat tubuh Vanessa kaku. Untuk beberapa detik ia justru membeku dengan tatapan yang masih tertuju pada cowok itu.

Ya ampun.

Sabar, Sa, sabar. Orang sabar cepat naik pangkatnya.

Fyuh.

Kepala gadis itu kembali bergerak. Mengalihkan tatapannya pada mahasiswa lainnya. Tetap menunggu pertanyaan dari mereka.

Tapi, tak ada.

Vanessa tetap mempertahankan senyum manis di wajahnya. Sedetik kemudian, ia pun berkata.

"Oke. Sepertinya semua mengerti mengenai materi hari ini. Jadi, kalau begitu saya ingin kalian merangkum mengenai sejarah PCR dan perkembangannya hingga saat ini dalam bidang pertanian. Kalian bisa mengerjakannya seperti makalah sederhana. Tidak perlu dijilid. Cukup distaples yang rapi dan kumpulkan hari Rabu minggu depan di ruangan saya."

Mahasiswa terlihat mengangguk-angguk. Beberapa orang terlihat langsung mencatat tugas tersebut di buka mereka masing-masing, sementara sebagian yang lain justru segera merapikan perlengkapan kuliah mereka.

"Baiklah. Kuliah hari ini saya tutup. Selamat sore."

"Selamat sore, Bu."

Selepas itu Vanessa pun kembali ke mejanya. Memasukkan laptopnya yang telah padam ke dalam tasnya dan ia pun menentengnya. Wanita itu baru saja akan keluar ketika Ryan sudah berdiri di sana.

"Sini, Bu, saya bawakan tas laptop dan absennya."

Vanessa meneguk ludah. Tidak percaya ketika melihat Ryan yang sudah mengulurkan tangannya dengan sopan. Dan rasanya kalau ia menolak, ia yang akan dinilai tidak sopan oleh beberapa pasang mata yang melihat di sana.

Sabar, Sa, sabar. Orang sabar cepat naik gajinya.

Vanessa tersenyum. Menyerahkan dua benda yang disebutkan oleh Ryan tadi. Ia pun tak lupa untuk berkata.

"Terima kasih, Ryan."

Ryan menyambutnya. Tersenyum dan mengangguk sopan. "Sama-sama, Bu."

Cowok itu pun dengan sopan menyilakan Vanessa untuk berjalan di depan, sebelum ia mengekori dari belakang. Dan ketika keduanya meninggalkan kelas, maka bisik-bisik di belakang mereka pun segera menyeruak.

"Emang deh si Ryan ini. Nggak pernah deketin cewek, sekalinya deketin cewek eh malah dosen yang dia deketin."

"Hahahaha. Kayak yang Ryan lagi pedekate-in Bu Vanessa aja."

"Siapa yang tau kan? Hahahaha."

"Mungkin gara-gara foto kemaren itu."

"Dia semacam yang jadi ke-GR-an duluan kan?"

"Lagipula, Bu Vanessa juga masih muda."

"Siapa yang nggak mau deketin dia coba?"

"Hahahaha."

Sepanjang perjalanan menuju ke Gedung Jurusan, Vanessa tetap berusaha untuk menjaga kendali dirinya. Berusaha agar dirinya tidak kelepasan emosi terhadap Ryan. Tapi, ya ampun. Itu sulit sekali. Terutama ketika ia merasa beberapa pasang mata melihat heran ketika mendapati ada Ryan yang mengekori dirinya di belakang.

Sebenarnya sih, bukan hal yang aneh ya kalau ada dosen wanita sering meminta bantuan mahasiswa untuk membawa perlengkapan mengajar mereka. Tapi, astaga! Ini Vanessa. Dosen muda itu tidak pernah meminta bantuan pada cowok perkara hanya membawa tas. Siapa pun tau, di balik senyum manis dan sikap ramah, Vanessa tergolong wanita mandiri. Meminta bantuan untuk membawa tas? Ugh! Itu bukan tipe dia sekali.

Dan ya ... terutama karena yang membawa tasnya adalah Ryan. Mahasiswa yang baru saja seminggu yang lalu memamerkan keberuntungannya di Instagram.

Berusaha menabahkan hatinya, Vanessa pun mencoba mengabaikan tatapan aneh terang-terangan yang didapatinya dari beberapa orang mahasiswa yang berpapasan jalan dengannya. Tatapan aneh yang spontan mahasiswa-mahasiswa itu berikan ketika mereka mendapati ada seorang mahasiswa yang dengan cengar-cengir mengekori Vanessa seraya membawa tas gadis itu. Mereka seperti kompak untuk terang-terangan menunjukkan raut wajah yang penuh dengan keheranan.

Ehm ....

Kalaupun Bu Vanessa mau minta tolong mahasiswa buat bawain tasnya, mungkin bisa nyari mahasiswa yang lebih normal dari Ryan kali ya?

Kayak yang nggak ada mahasiswa lain aja.

Yah ... begitulah kira-kira yang terpikir di benak beberapa mahasiswa yang melihat mereka.

Vanessa menarik napas dalam-dalam.

Jangan sampe kamu lepas kendali dan justru mencakar-cakar Ryan di sini, Sa.

Jangan sampe.

Vanessa kemudian mengembuskan napas panjang. Tepat ketika mereka berdua tiba di pelataran Gedung Jurusan.

Keduanya terus berjalan. Melewati koridor. Berbelok ke arah tangga. Menaiki anak tangganya satu persatu.

Vanessa membuka pintu. Masuk dan membiarkan Ryan meletakkan tas laptopnya di atas meja.

Menyadari tidak ada orang di lantai atas -tepatnya di sekitaran ruangannya- membuat gadis itu mendesis pada Ryan. Kesabarannya hampir habis tak tersisa hari itu.

"Aku beneran nggak sabar mau pulang, Yan."

Ryan yang baru saja meletakkan tas laptop Vanessa menoleh. Memamerkan senyumnya. "Unununu. Mau cepet-cepet pulang pasti karena kangen aku ya? Hihihi."

Dengan wajah lesu dan benar-benar takjub dengan kehancuran isi kepala Ryan, Vanessa mengangguk.

"Iya. Aku beneran kangen banget sama kamu."

"Wiiih!" Ryan seketika langsung mengusap masing-masing lengan atasnya. Lalu beralih pada tekuknya. "Tiap kamu nggak mendebat omongan aku, kok aku berasa merinding ya?" Ia terkekeh. "Nggak boleh macam-macam sama suami sendiri, Dinda."

"Kanda ...." Vanessa bersidekap. "Yang nggak boleh itu macam-macam sama suami orang. Sama suami sendiri?" Vanessa menyeringai. "Ya boleh dong."

Ryan terkekeh. "Udah ah. Aku mau cabut. Biar kita cepet ketemu di unit ya. Hihihi."

Vanessa mencibir.

"Bye bye, Dinda Vanessayang ...."

Tangan Vanessa terangkat. Terkepal. Ingin menjitak cowok itu, tapi keburu Ryan sudah keburu keluar dari ruang kerjanya.

Ryan semakin terkekeh. Merasa senang karena berhasil menyulut rasa geram gadis itu. Juga merasa senang karena berhasil menyelamatkan diri dari serangan maut Vanessa. Saking senangnya hingga ketika ia berlari, ia nyaris menabrak seseorang.

"Astaga, Rizki. Kenapa kamu lari-larian di koridor kayak gini?"

Ryan seketika menghentikan tawanya. Mengatupkan kedua tangannya dengan sopan. Mengucapkan maafnya.

Dan hal itu membuat Vanessa yang berada di dalam ruangan, seketika penasaran. Mendorong ia untuk mengintip keluar. Melihat bahwa ada Nathan yang menegur Ryan. Mau tak mau membuat Vanessa tersenyum geli karenannya.

Mampus deh. Dimarahin sama dosen kan? Hihihihi.

Vanessa mengerjap.

Eh? Aku kan juga sering marahin Ryan.

Aku kan juga dosen.

Tapi, melihat Ryan dimarahi dosen lain membuat gadis itu geli. Vanessa berusaha sekuat tenaga agar rasa gelinya tidak benar-benar berubah menjadi tawa.

"Maaf, Pak Nathan. Tadi sambil baca postingan lucu ada kucing ngerebut susu balita sampe balitanya nangis." Ryan berkata seraya menundukkan wajahnya. "Lain kali saya akan berhati-hati ngeliat postingan Instagram."

Dahi Nathan berkerut.

Vanessa menutup mulutnya. Tawanya benar-benar ingin meledak.

Hahahaha.

Liat muka Nathan. Langsung yang kayak bingung.

Apalagi aku coba?

Harus nerima keancuran otak cowok itu setiap hari.

Tangan Nathan terangkat satu. Melambai sekali di depan wajah. Ia berkata dengan nada bingung.

"Ya sudah. Jangan diulangi lagi."

"Terima kasih, Pak. Saya janji nggak bakal liat postingan kucing ngerebut susui balita lagi," kata Ryan lagi. "Saya permisi."

Nathan hanya mengangguk. Lalu melanjutkan langkah kakinya. Meninggalkan Ryan yang juga berencana untuk kembali melangkah. Namun, baru selangkah, kaki Ryan berhenti dengan kaku seketika.

Mata Ryan membesar. Otaknya terpikir akan sesuatu.

Di sini cuma ada satu ruangan dosen. Dan itu adalah ruangan Dinda Vanessayang.

Jadi, Pak Nathan ngapain ke lantai atas?

Kan ruangan dia ada di bawah?

"Sreeet!"

Kepala Ryan langsung berputar dan melihat ke belakang. Tepat ketika Nathan telah sampai di ruangan Vanessa dan mengetuk pelan pintu itu.

Sial!

Aku barusan aja ketemu sama pebinor!

Dan anehnya, tapi justru aku yang minta maaf sama pebinornya!

Ryan celingak-celinguk. Mengawasi keadaan sekitar yang telah sepi karena memang sudah jam empat sore.

Merasa aman, cowok itu dengan segera melangkah dengan pelan. Perlahan-lahan, menempel di dinding. Dan mulai menggeser langkahnya ke samping.

Set ... set ... set ....

Kira-kira semeter dari pintu ruangan Vanessa, Ryan berhenti. Menyipitkan mata dan mulai menajamkan pendengarannya.

Ngapain sih itu Pak Nathan ke ruangan Dinda Vanessayang?

Ehm ....

Aku harus mencari tau.

Ryan memusatkan konsentrasinya untuk mendengarkan percakapan di dalam sana.

"Sudah nggak ada kerjaan lagi kan, Bu?"

Mata Ryan berkedip-kedip mendengar pertanyaan Nathan pada Vanessa. Pelan-pelan, kepalanya menggeleng dua kali.

Emang kalau masih ada kerjaan, dia mau bantuin Dinda Vanessayang apa?

Ck.

Dasar modus cowok.

Ini nih yang ngebuat aku nggak suka cowok.

Modusnya bejibun.

"Nggak ada lagi sih, Pak. Terakhir hari ini ya ngajar kelas Bioteknologi."

Kali ini kepala Ryan justru angguk-angguk kepala.

Ehm ....

Bagus, Sa .... Pokoknya jangan kasih itu cowok celah.

Semua cowok itu berbahaya.

Kecuali aku.

Ha ha ha ha.

"Oh, berarti sudah mau pulang kan, Bu?"

Ryan mengerutkan dahinya. Mulai merasa tidak nyaman dengan pertanyaan-pertanyaan Nathan.

Ini Si Kacamata Nobita ngapain juga jadi nanya-nanya?

Kayak yang lagi interogasi Dinda Vanessayang aja.

"Ehm ...."

Ryan semakin mengerutkan dahi. Telah beberapa hari tinggal bersama dengan gadis itu membuat sarafnya jadi lebih peka terkait Vanessa. Dari gestur marah, kesal, geli, hingga sok jaim, Ryan sudah hapal semua. Dan mendengar nada deheman Vanessa barusan, Ryan bisa menebak. Gadis itu sedang berpikir.

Vanessa mikir apa?

"I-iya sih, Pak. Memang mau pulang sebentar lagi."

Ryan diam mendengar jawaban ragu Vanessa. Di lain pihak, cowok itu kemudian justru mendengar hela napas lega Nathan.

"Mau pulang bareng saya, Bu? Saya pikir ya daripada Ibu pulang naik taksi kan?"

What?!

Dia mau ngajak Dinda Vanessayang balik bareng?

Mata Ryan melotot.

Jadi ini maksud dia nanya-nanya dari tadi?

Untuk satu tujuan?

Ngajak Vanessa buat balik bareng?

Oh, nooo!!!

"Lagipula, rumah kita kan satu arah, Bu."

Satu arah dari Hongkong naik delman?

Eh! Vanessa udah nggak tinggal di rumah orang tuanya lagi.

Ryan menarik napas dalam-dalam. Berusaha menahan dorongan gila hatinya yang ingin langsung memunculkan diri menyela percakapan dua manusia itu.

Sabar, Yan, sabar. Orang sabar rezekinya lancar.

"Gimana, Bu?"

Dan jawaban pertanyaan itu sepertinya bukan hanya ditunggu oleh Nathan. Nyatanya Ryan juga menunggu jawaban itu dengan jantung berdebar-debar.

Sampai beneran kamu balik bareng Nathan, Sa ..., awas aja. Aku kerjain setán lagi kamu ya.

Aku nggak main-main.

Aku buat kamu ketakutan beneran deh.

"Ehm ... maaf, Pak. Bukannya saya nggak mau pulang bareng, Bapak ..."

Sumpah serapah Ryan di dalam hati seketika berhenti mendengar perkataan Vanessa. Mata Ryan menyipit, berusaha untuk tetap fokus mendengarkan kelanjutan perkataan gadis itu. Walau jelas, setitik kegembiraan sudah merebak di dadanya.

" ..., tapi saya rasa nggak enak kalau saya menerima ajakan Bapak."

Mata Ryan sekarang mengerjap-ngerjap.

"Ehm ... nggak enak kenapa ya, Bu?"

Bahkan berada di luar ruangan, Ryan bisa dengan jelas mendengar suara tarikan napas Vanessa. Terasa sekali kalau gadis itu tidak nyaman dengan percakapan itu.

"Masalahnya saya dan Bapak di sini statusnya sama-sama lajang. Saya mohon maaf sekali, Pak, bila menyinggung perasaan Bapak. Tapi, saya nggak mau dikaitkan rumor sana sini."

"Oh ... itu."

"Saya menghargai kebaikan Bapak sebagai rekan kerja. Namun, mungkin lebih baik kalau kita berinteraksi layaknya rekan kerja lainnya, Pak."

Ryan angguk-angguk kepala.

Emang lain kalau cewek udah dewasa mah. To the point banget omongannya. Ckckck.

Seringai terbit di wajah Ryan.

Tapi, Pak Nathan ini sebenarnya masih enak sih. Vanessa ngomongnya masih lembut.

Lah sama aku?

To the point-nya barengan dengan emosi maksimum.

Iiiih.

Lalu, Nathan terdengar kembali bersuara. Membuat Ryan lagi-lagi memfokuskan pendengarannya. Tak ingin melewatkan sedikitpun dari percakapan itu.

"Ehm ... karena Ibu sudah membahas seperti ini. Apa boleh buat, mungkin lebih baik saya terus terang saja."

Ryan menahan napasnya. Aneh, jantungnya mendadak berdebar-debar.

"Sebenarnya saya justru menginginkan hal yang sebaliknya ...."

Terdengar sedikit jeda.

"Lebih dari rekan kerja."

What?!

Ryan mendadak merasakan ikan bakar yang ia makan tadi siang seketika berenang di dalam ususnya. Membuat ia mual. Terasa ingin muntah.

Dinda Vanessayang aku mau direbut pebinor.

Mamaaa!!!

Ryan panik.

Ma!

Anak mantu Mama mau direbut!!!

"Aduh, Pak."

"Saya tau ini bukan waktu dan tempat yang tepat. Tapi, karena Ibu sudah membuka percakapan itu, maka lebih baik saya tuntaskan saja."

Ryan berusaha bertahan sekuat tenaga.

Ini kenapa mendadak badan aku meriang lagi sih?

Apa aku mendadak sakit flu lagi?

"Kita bisa memulainya pelan-pelan."

Pelan-pelan dengkulku?

Ryan sudah hampir merengek di dalam hati.

Ampun dah.

Masa perjuangan dahi benjol sampe berlutut depan pintu bakal sia-sia?

Hiks.

"Saya ucapkan terima kasih untuk kebaikan Bapak. Tapi, maaf, Pak. Saya nggak bisa menyambutnya."

"Karena masih terbayang masa lalu?"

Sudut bibir Ryan berkedut. Terasa sekali ingin mengumpati pria itu.

Ini cowok bener-bener nggak ada etika pendekatan ya?

Ya kali sejelas itu ngomongnya?

Nggak mikirin perasaan atau gimana?

Pake bahasa yang lebih halus kenapa coba?

Ck.

Berusaha menahan rasa jengkel, Ryan menunggu jawaban Vanessa. Dua detik kemudian, terdengarlah suara gadis itu.

"Nggak, Pak."

Kali ini Ryan mengerutkan dahi ketika mendengarkan jawaban Vanessa. Karena cowok itu bisa dengan jelas merasakan ada senyum ketika kalimat itu terlontar dari bibir Vanessa.

"Nggak ada kaitannya dengan masa lalu lagi. Tapi, ini justru berkaitan dengan masa depan saya."

Ryan masih mendengarkan.

"Ada seseorang yang sedang mendekati saya, Pak. Maka saya pun harus menghargai dia. Sekali lagi, saya mohon maaf."

Perkataan Vanessa membuat tubuh Ryan membeku total atas hingga bawah. Bahkan cowok itu sempat meragukan sensor telinganya.

Ryan meneguk ludah.

Yang Dinda Vanessayang maksud ... aku kan?

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro