Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

45. Virus Yang Tertular

Vanessa menarik napas dalam-dalam.

Berpikir bahwa hanya dengan itu bisa membuat ia tersadar. Tapi, masalahnya adalah Vanessa kan memang dalam keadaan sadar.

Tapi, bagaimanapun juga, gadis itu jelas meragukan kesadaran dirinya bila di saat itu yang ia lakukan justru memejamkan matanya. Seolah membiarkan pikirannya untuk kosong.

Kedua tangannya perlahan terangkat ke atas. Merayap. Meraba. Menjelajah. Bisa dengan jelas merasakan lekuk maskulin di perut dan dadá cowok itu.

Ehm ... dia bilang dia sering nyangkul kan di depot?

Glek.

Nggak aneh sih kalau badan dia jadi kayak gini walau dia nggak ke gym.

Terasa keras, kuat dan kokoh.

Seolah bisa meyakinkan Vanessa untuk berpegang padanya. Dan seiring detik waktu yang berganti, pada akhirnya itulah yang benar-benar dilakukan oleh gadis itu. Kedua tangannya berpegang pada dadá Ryan. Menempel di sana. Merasakan semua rasa yang dipancarkan oleh Ryan.

Debaran jantungnya.

Ya Tuhan. Aku nggak tau kalau jantung dia juga bisa berdebar kayak aku.

Panas tubuhnya.

Ternyata ... bukan hanya aku yang sekarang merasakan kepanasan.

Dan semua rasa warna-warni lainnya yang seketika memenuhi indra perasa Vanessa. Membuat wanita itu tak memiliki pilihan lainnya kecuali membiarkan matanya untuk terus terpejam. Bertahan untuk menahan wajahnya agar tetap menengadah. Layaknya menawarkan sajian untuk terus dinikmati.

Sedetik, Ryan sempat bingung.

Merasakan kedua telapak tangan Vanessa di dadanya. Yang perlahan naik. Memberikan sedikit usapan. Dan lalu tertahan di sana. Membuat Ryan takut seandainya Vanessa merasakan bagaimana jantungnya berdebar dengan kencang di dalam sana.

Tapi, dibandingkan dengan hal itu, Ryan justru mengherankan hal lainnya.

Ini udah berapa detik?

Udah berapa lama?

Ryan ingin beranjak hanya untuk sekadar mengecek jam tangannya, tapi!

Ya kali, Begok!

Ryan menepis ide paling gila itu.

Selama Vanessa nggak mengelak. Selama dia nggak menolak. Ya selama itu juga aku bakal terus mencium dia.

Dan itulah yang dilakukan cowok itu.

Selesai dengan membisikkan kata-kata menggoda di bibir Vanessa, ia langsung melahap lagi kedua belah bibir itu. Memanggutnya. Melakukan sentuhan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Dalam dan tanpa jeda.

Mengecupnya. Dari sudut bibir Vanessa, pelan-pelan merambat. Berpindah melintasi kelembutannya itu dan bermuara di sudut lainnya. Bergantian. Berulang kali.

Mencecapnya. Merasakan setiap rasa yang Vanessa miliki di sana. Manis ..., memabukkan ..., meninggalkan candu.

Melumatnya. Seakan ia tak memiliki hari esok lagi untuk menikmati bibir gadis itu. Dengan penuh rasa penuntutan. Tak ingin melewatkan sedikit pun tanpa ia rasakan.

Lalu, Ryan merasakan bagaimana satu sentuhan di bibirnya membuat ia membeku. Satu usapan di bibirnya yang berasal dari bibir bawah Vanessa. Memberikan getaran yang tak mampu ia percaya, tapi teramat sangat sulit untuk ia tolak kebenarannya.

Vanessa beneran .... Dia ... dia ngebalas ciuman aku?

Maka lenyaplah setitik pemikiran di kepala Ryan.

Kedua tangannya melepas dari tumpuannya yang ia pertahankan dari tadi. Berpindah. Menarik pinggang wanita itu. Menahan tekuk Vanessa.

Ryan merasakan kesiap di bibirnya. Tapi, cowok itu justru memanfaatkan hal tersebut. Menggunakan kesempatan itu untuk meloloskan lidahnya yang hangat. Membuai setiap saraf Vanessa di dalam sana.

Membelai lidah Vanessa. Membelitnya. Mengajaknya beradu hingga membuat sejuta rasa terpercik ke sekitar mereka.

Lalu ... entah kapan mereka berdua baru menyadari. Ternyata, mereka berdua bisa dengan sangat lama berduaan tanpa ada teriakan, bentakan, dan kata-kata.

Sangat lama malah.

*

"Jadi, saya kemaren sudah menemui Pak Nathan dan juga Prof Suwanto, Bu. Terkait tentang penggunaan kapur yang menjadi topik khusus perdebatan saat seminar hasil kemaren."

Ya Tuhan ..., apa aku udah nggak ada otak lagi di dalam batok kepala aku ini?

"Pembimbing saya juga menyarankan seperti yang ibu sarankan tempo hari ketika seminar hasil selesai. Yaitu, pengubahan judul penelitian."

Kok bisa-bisanya kamu ngelakukan itu sama dia?

"Karena kan kalau buat ngubah hasil penelitian nggak mungkin lagi. Saya juga nggak mungkin ngulang penelitian, Bu."

Kalau dia yang ngelakuin itu sama kamu sih, aku masih masuk akal. Tapi? Kalau kamu ngebalas ciuman dia?

"Terutama karena sekarang saya juga sudah terdesak, Bu. Harus buru-buru sidang sebelum semester genap ini selesai."

Kamu udah nggak bisa mikir lagi atau gimana sih, Sa? Bisa-bisanya kau terbuai sama ciuman dia?

"Saya juga udah dapat surat peringatan dari Jurusan, Bu. Harus sidang secepatnya. Kalau tidak, pihak Universitas mungkin akan mengeluarkan surat D.O."

Dia itu Ryan!

Cowok yang isi otaknya udah pada ancur.

Dan kamu malah ciuman sama cowok yang otaknya ancur?

"Karena itu, Bu. Saya mohon persetujuannya untuk mengubah judul skripsi saya."

Kamu tau kan apa itu artinya?

Tentu saja!

Otak ancur cowok itu akan salah menilai situasi di antara kalian.

Dia ... bisa saja .... Dia ....

"Saya sudah mengambi blangko pengubahan judul skripsi dari Jurusan, Bu. Saya juga sudah meminta persetujuan kedua pembimbing saya untuk mengubah judul. Mereka sudah menandatanganinya."

Bisa saja kan dia jadi mikir kalau kamu juga mendadak merasakan sesuatu gitu sama dia?

Itu wajar kalau dia sampe mikir gitu!

"Jadi, sekarang saya tinggal menemui ibu dan Pak Rahmat lagi untuk meminta persetujuan ini, Bu."

Dan kayaknya dia pasti emang mikir gitu!

Bayangkan aja, Sa!

Kamu itu udah ngebalas ciuman dia. Dan kali ini kamu nggak bisa ngelak lagi. Kamu jelas-jelas balas cium dia.

Kamu nggak lupa kan gimana akhirnya Ryan meluk kamu?

"Bagaimana, Bu? Apa saya bisa mendapatkan persetujuan ibu?"

"NGGAK!"

Surya melongo. Melihat bagaimana Vanessa dengan napas terengah-engah menatap dirinya setelah mengucapkan satu kata penolakan itu.

"Nggak?" Surya menanyakan hal tersebut dengan tubuh mati rasa. "Saya nggak bisa dapat persetujuan pengubahan judul, Bu? Artinya Ibu nyuruh saya ngulang penelitian?"

Eh?

Vanessa mengerjap.

Ciuman?

Persetujuan?

Pengulangan?

Apa ini?

Vanessa mengusap wajahnya.

Ciuman yang disetujui untuk diulangi?

Ya Tuhan.

Vanessa menarik napas dalam-dalam.

"Be-ben-bentar."

Mendadak saja Vanessa merasakan panik seketika. Ia seperti merasa linglung.

Vanessa bangkit dari duduknya. Bergegas meraih gelas dan mengisinya dengan air. Ketika duduk lagi di kursinya, wanita itu meneguk air minumnya hingga tandas.

Ia memejamkan matanya sejenak. Mengatur laju napasnya. Mendamaikan detak jantungnya yang tak karuan.

Dasar, Ryancur!

Lihat kan?

Konsentrasi aku jadi ancur gara-gara kamu!

Membuka matanya, Vanessa lalu memulas senyum seolah tak ada dosa pada Surya. Ia berkata dengan lembut.

"Maaf ..., tadi bukan itu maksud saya."

Surya menatap Vanessa dengan pandangan campur aduk. "Maksudnya, Bu? Tadi Ibu jelas-jelas ngomong nggak."

"Ho ho ho ho." Vanessa tertawa kaku. "Maksudnya saya itu nggak mungkin dong saya nggak tandatangani. Masa saya sekejam itu."

Mata Surya berbinar-binar. "Beneran, Bu?"

Vanessa mengangguk. Meraih pena bertinta tebal miliknya. "Mana berkasnya? Sini saya tandatangani."

Surya dengan segera mengeluarkan satu map dari dalam tas ranselnya. Menyerahkan pada Vanessa.

Gadis itu membuka map tersebut. Membacanya sekilas dan lalu mencoretkan tandatangannya di kolom yang tersedia. Tepat di atas namanya.

Ketika ia menyerahkan kembali map itu, Surya langsung menjabat tangan Vanessa. Mengucapkan terima kasihnya berulang kali.

"Oke, nanti jangan lupa untuk segera menentukan jadwal sidang ya?"

Surya mengangguk. "Terima kasih banyak, Bu. Secepatnya akan segera saya kabari Ibu kalau saya dan pembimbing sudah menentukan jadwal sidang nanti."

Vanessa mengangguk. "Saya tunggu."

"Terima kasih sekali lagi, Bu. Saya permisi."

"Silakan," kata Vanessa seraya melihat kepergian Surya dari ruangannya.

Dan selepas kepergian Surya, Vanessa berulang kali menghirup napas panjang. Masih teringat bagaimana pikirannya tadi benar-benar kosong dan justru memikirkan soal ciumannya dengan Ryan di saat ada mahasiswa yang sedang bimbingan.

Ya Tuhan!

Aku pasti benar-benar udah ketularan otak ancur Ryan.

Ini pasti gara-gara virus yang tertular dari saliva Ryan!

Glek.

Vanessa mengerjap.

Please!

Aku nggak mau mikirin itu lagi.

Stop!

"Tok! Tok! Tok!"

"Ssst .... Vanessayang ...."

Vanessa bergidik. Menyadari bahwa permintaannya bukan hanya ditolak sama Tuhan. Lebih parah lagi, penolakan itu justru disertai oleh musibah.

Musibah berupa wajah Ryan yang sedang cengar-cengir ke arahnya. Tangan cowok itu terangkat. Memamerkan satu kantung plastik hitam.

"Mamam ciang udah datang."

Ya salam!

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro