41. Tak Sama
Butuh waktu beberapa menit untuk Vanessa benar-benar memaknai perkataan dari Ryan. Setelahnya, Vanessa nyaris tidak tau emosi apa yang ia rasakan. Kesal? Tidak. Marah? Tidak. Lucu? Tidak. Hanya saja Vanessa menarik napas dalam-dalam. Semua terasa begitu ... datar.
Sementara itu, setelah mengucapkan kalimat tersebut, Ryan tampak tak goyah menatap pada Vanessa. Seolah seperti tentara yang rela dimutilasi musuh daripada harus membocorkan rahasia negara.
Terlihat begitu bertekad.
Pada akhirnya, daripada Vanessa semakin pusing, ia hanya angguk-angguk kepala dan berkata.
"Mana bunganya, Kanda? Sini Dinda ambil."
Jawaban Vanessa yang seperti itu adalah hal yang tak terduga oleh cowok itu. Terharulah Ryan. Dengan begitu berbinar-binar, ia semakin tinggi mengangkat bunga mawar merah tersebut. Vanessa pun segera mengambilnya.
Sedetik pot bunga mawar merah itu berpindah di tangannya, maka di saat itu pula Vanessa mengernyit dan melirih.
"Ah ... lumayan berat juga ya."
Lalu, Ryan berdiri. Terlihat tampak tak nyaman untuk beberapa saat. Hingga kemudian ia sedikit melakukan perenggangan karena tubuhnya terasa kaku. Lantas ia tampak bersandar pada satu tangan di dinding dekat pintu.
"Ya iyalah berat," timpal Ryan. "Itu kan pot dari tanah liat asli. Dan sekarang kamu kebayang kan aku ngangkat itu pot hampir sejam? Wah! Emang kuat lahir batin aku jadi cowok."
Mata tajam Vanessa melirik pada Ryan. "Bukan salah aku. Yang tadi nyuruh berlutut siapa?"
"Yang tadi ninggalin siapa?" sambar Ryan langsung.
Vanessa melotot. Mengacungkan pot bunga di tangannya itu dan langsung mengeluarkan ancamannya. "Kamu mau aku pentung pake ini pot? Iya? Kalau mau bilang aja. Biar kita berdua ngeliat. Sekuat apa sih pot bunga yang terbuat dari tanah liat asli ini."
Ryan segera mundur beberapa langkah seraya memegang kepalanya, mengantisipasi segala macam kemungkinan. Bibir manyun dan langsung geleng-geleng kepala.
"Nggak mau."
Dengan tatapan mengancam, Vanessa berkata lagi. "Kalau nggak mau, jangan betingkah lagi."
Ryan angguk-angguk kepala. Tapi, tak mengatakan apa-apa.
"Buruan masuk. Mandi sana. Bau apek."
Ryan kembali angguk-angguk kepala. Tapi, masih tidak mengatakan apa-apa.
Dan setelah itu, Ryan melihat mata Vanessa yang kembali menyipit demi mengirimkan ancamannya pada cowok itu sebelum pada akhirnya ia beranjak dari sana. Maka ketika Vanessa putar badan seraya membawa sepot bunga mawar merah itu dan masuk ke dalam unit apartemen, Ryan jadi garuk-garuk kepala.
Ini kenapa berasa aku kayak yang lagi diomeli sama Mama sih?
Atau ....
Mata Ryan membesar dan menutup kesiap tak percayanya dengan kedua tangan. Lalu ia justru mengerjap-ngerjap.
Apa ini kode kalau jiwa keibuan Vanessa meronta-ronta meminta anak?
Wah!
*
Dan malam harinya ....
Vanessa menatap tak percaya pada sepot bunga mawar merah yang juga berada di meja makan saat dirinya dan Ryan akan makan malam. Gadis itu berulang kali mengucek-ucek matanya, khawatir kalau terlalu stres menghadapi Ryan dan sepot bunga mawar merahnya membuat ia berdelusi melihat bunga mawar merah itu di atas meja. Tapi, ternyata itu kenyataan.
Ketika Vanessa mengetes dengan mencoba membaui satu bunganya yang telah mekar, maka Vanessa akhirnya benar-benar yakin. Bunga mawar merah yang berada di dalam pot tanah liat itu benar-benar diletakkan Ryan di meja makan. Padahal ... padahal ... tadi sore itu jelas sekali Vanessa meletakkan bunga mawar merah itu di balkon. Vanessa pun memastikan bahwa posisi bunga mawar merah itu benar-benar aman dunia akhirat. Tapi, Vanessa kini mempertanyakan alasan mengapa bunga mawar merah itu harus berpindah tempat menjadi di meja makan?
Dan selagi Vanessa mempertanyakan hal itu, suara Ryan terdengar membuyarkan pikirannya.
"Tadaaa!"
Ryan dengan cepat memadamkan lampu di ruang makan itu hingga menyisakan seberkas cahaya lilin aroma terapi di tengah-tengah meja. Sementara itu, ia pun menyajikan perlengkapan makan mereka yang terakhir. Air kobokan.
Cowok itu dengan penuh semangat menarik kursi tepat di hadapan Vanessa. Duduk dengan senang dan tatapannya langsung tertuju pada Vanessa. Kedua tangannya menunjukkan gestur menampilkan semua hidangan yang tersaji di atas meja.
Vanessa menarik napas dalam-dalam. Lalu, baru mengeluarkannya secara perlahan. Matanya berkedip sekilas dengan dramatis.
"Serius?" tanya Vanessa seraya membalas tatapan mata Ryan. "Candle light dinner kamu itu gini?"
Ryan tersenyum lebar. "Kelewat romantis ya, Sa?"
Mata Vanessa kembali mengerjap. "Aku nggak pernah tau ada sajian soto babat, ayam geprek, tahu tempe bacem, aneka sayur lalapan, dan sambal terasi untuk candle light dinner," kata Vanessa lagi. "Terutama dengan sepot bunga mawar merah ini." Vanessa menambahkan itu seraya menunjuk bunga tersebut. "Apa ini jenis candle light dinner yang baru? Aku nggak tau sama sekali."
"Hahaha." Ryan tergelak mendengar perkataan Vanessa. Dengan bangganya ia mengeluarkan pemikirannya. "Ini namanya candle light dinner dengan kearifan lokal. Mana ada coba yang lebih romantis dari ini?"
Bingung antara harus tertawa atau menangis, pada akhirnya Vanessa hanya bisa meringis. Pada titik itu, Vanessa merasa Ryan benar-benar memiliki otak edisi tak ada duanya.
"Ha ha ha ha. Kamu emang cowok paling romantis yang pernah aku temui, Yan. Cowok paling romantis dengan kearifan lokal."
Ryan mengulum senyum malu-malu. Mencuci tangan di mangkok air kobokan miliknya dan langsung mencomot sepotong labu siam rebus. Sedikit mencoletnya ke sambal terasi, Ryan lalu menyodorkan potongan labu siam itu ke arah mulut Vanessa.
"Labu siam rebus itu enak banget dicocol pake sambel, Sa. Apalagi kalau sambalnya itu sambal terasi. Yakin deh. Dan aku memberikan kamu kehormatan pertama untuk mencicipinya." Ryan semakin menyodorkan makanan itu mendekat pada mulut Vanessa. "Silakan dimakan, Dinda."
Bibir bawah Vanessa mencibir sekilas. Namun, ketika tangan Ryan belum juga beranjak dari depan bibirnya, maka Vanessa teringat sesuatu.
Perkara berlutut di depan pintu sambil mengangkat satu pot tanah liat asli aja dia sanggup, apalagi cuma perkara nyodorin sepotong labu siam rebus?
Terlalu gampang buat Ryan mah.
Vanessa mengembuskan napas panjang.
Ia tau Ryan tidak akan berhenti.
Jadi, Vanessa membuka mulutnya dan menggigit sedikit labu siam rebus tersebut.
Mata Ryan menatap Vanessa yang mengunyah. Terlihat raut harap-harap cemas dari wajah cowok itu. Menunggu komentar dari bibir gadis itu.
"Gimana? Enak kan?" tanya Ryan tepat ketika ia melihat pergerakan kulit di leher Vanessa. Pertanda bahwa gadis itu telah menelan kunyahannya.
Pertanyaan Ryan yang satu itu tidak Vanessa jawab, tapi cowok itu tau dengan pasti jawaban yang sebenarnya. Menilik dari ekspresi gadis itu, Ryan tidak akan salah menebak. Maka ketika Vanessa memutuskan untuk mencuci tangannya di mangkok kobokan miliknya, Ryan pun lantas menyeletuk.
"Nggak jawab juga nggak apa-apa. Kita kan sama tau kamu gimana. Ka---"
"Kamu kan gengsian."
Di luar dugaan Ryan, malah Vanessa sendiri yang menuntaskan kalimatnya itu. Membuat cowok itu tertawa seketika.
"Aduh! Seneng banget deh aku kalau punya istri pinter," kata Ryan. "Udah hapal semua apa yang bakal diomong sama suaminya. Hahahaha."
Vanessa menunjuk Ryan dengan sepotong kacang panjang rebus di tangannya. "Mau makan nggak?"
"Mau dong!"
"Sekali lagi buat ulah, pot bunga mawar merah kamu ini yang melayang," ancam Vanessa.
Berusaha menghentikan geli di wajahnya, Ryan mengangguk. "Baik, Dinda. Akan Kanda ingat."
Maka dimulailah candle light dinner dengan kearifan lokal ala Ryan. Tadi, setelah tragedi berlutut di depan pintu, Ryan memutuskan untuk benar-benar kembali membuktikan perkataannya. Mengenai candle light dinner yang sempat ia utarakan pada Vanessa di malam sebelumnya.
Ryan dengan segera mencari layanan pesan antar makanan yang terpercaya. Mencari semua jenis menu yang sekarang tengah tersaji di meja makan mereka. Kala itu Ryan berpikir seperti ini.
Candle light dinner makan steak?
Ah! Kampungan.
Semua orang mah juga bisa kalau kayak gitu.
Cari itu sesuatu yang nggak bakal terlupakan.
Sesuatu yang pasti bakal berkesan.
Bukannya apa ya? Tapi ..., Vanessa mah bisa candle linght dinner makan steak dengan siapa aja.
Nah, kalau candle light dinner dengan kearifan lokal?
Ehm ... itu bisa dipastikan cuma aku yang bisa.
Tidak diragukan lagi, ini pasti akan jadi kenangan sepanjang masa.
"Hwahahaha."
Tanpa sadar, Ryan benar-benar tertawa ketika mengingat alasannya tadi. Membuat Vanessa geram. Dan alih-alih benar-benar melakukan ancamannya tadi –yang melibatkan pot bunga mawar merah di atas meja makan itu-, Vanessa justru langsung memasukkan sepotong tahu bacem ke mulut Ryan. Lalu sementara gadis itu kemudian meraih sendok soto babatnya, Ryan justru berkata pelan.
"Ya Tuhan. Aku disuap sama Dinda."
Vanessa memejamkan matanya. Setidaknya ia bersyukur karena babat yang baru ia masukkan ke mulut tidak langsung meluncur ke tenggorokannya. Kalau tidak, pasti saat ini ia sudah susah napas karenanya.
Ryan ini emang selalu aja buat orang kesal.
"Makan malah sambil ketawa. Kesedak tulang ayam baru tau rasa kamu, Yan."
Ryan angguk-angguk kepala. Mulai berusaha untuk menikmati makan malam itu dengan lebih damai dan tenteram. Meskipun, beberapa kali ia tak mampu menahan godaan saat melihat bibir Vanessa menyeruput kuah soto itu.
Bibir Ryan jadi refleks ingin monyong-monyong juga. Merasa iri pada sendok di tangan gadis itu.
Ryan mengembuskan napas panjang.
Terlepas dari pikiran itu, Ryan justru memulas satu senyum. Melihat Vanessa makan dengan lahap di hadapannya. Bahkan tak peduli dengan segala hal ketika ia harus menggunakan dua tangannya saat memisahkan dua tulang ayam yang bertemu di sendi yang sama itu. Bahkan ketika Vanessa mencocol sayur lalapan di sambal seperti yang ia katakan tadi. Juga termasuk ketika Vanessa mengecup sisa-sisa sambal di ujung jari jemarinya.
Diam-diam Ryan berbisik dalam hati.
Kamu sadar nggak sih, Sa? Kali ini kamu bahkan dengan sukarela duduk di meja makan tanpa aku paksa?
*
Perut kenyang memang adalah hal yang menyenangkan bagi siapa pun, terutama untuk orang yang masih dalam tahap penyembuhan. Begitu pun dengan Vanessa.
Terlepas dari kekonyolan menu candle light dinner yang dipesan Ryan atau pun dengan kehadiran bunga mawar merah lengkap dengan pot tanah liatnya, yah ... harus diakui oleh Vanessa kalau makan malam itu benar-benar enak dan mengenyangkan.
Setidaknya, selera makanan Ryan memang patut untuk diancungi dua jempol sih.
Dia tau makanan yang enak.
Dan memikirkan itu, sekarang Vanessa malah jadi bertanya-tanya. Teringat betapa banyaknya menu yang dipesan oleh Ryan dan hanya butuh waktu sekitar tiga puluh menit untuk mereka berdua menghabiskan semua makanan itu. Bahkan daun selada yang menjadi penghias ayam geprek pun mereka lahap dengan cocolan sambal terasi itu.
Vanessa meneguk ludahnya.
Kok bisa makanan segitu banyak amblas semua ke dalam perut aku?
Memikirkan hal itu membuat Vanessa merasa yakin bahwa itu adalah bukti nyata dari pengaruh Ryan.
Pasti gara-gara Ryan deh.
Terbukti banget. Ngadepin Ryan ngebuat tenaga aku cepat habis terkuras.
Yah ... nggak heran kalau akhirnya selera makan aku meningkat.
Aku butuh banyak tenaga buat menghadapi cowok itu.
Geleng-geleng kepala, sejurus kemudian Vanessa menatap wajahnya di cermin wastafel kamar mandinya. Meraih sabun pencuci wajah dan segera membersihkan wajahnya. Walaupun masih sakit, tapi Vanessa tetap berusaha menjaga kebersihan tubuhnya. Ia tidak ingin ketika ia sembuh nanti ia justru berhadapan dengan jerawat di wajahnya.
Selesai dengan membersihkan wajah, Vanessa tak lupa menggosok gigi. Pokoknya dia benar-benar melakukan rutinitas akhir hari deh. Dengan kata lain, gadis itu sudah ingin beranjak untuk tidur.
Tak butuh waktu lama bagi Vanessa untuk menyelesaikan semua rutinitas itu. Ia kemudian mengelap tangannya sekilas. Setelah memastikan ritual malamnya telah dikerjakan tanpa ada yang terlewat, Vanessa pun beranjak dari sana. Bermaksud kembali ke kamarnya, ia justru tidak bersiap ketika mendapati kehadiran seseorang yang sudah berbaring di tempat tidurnya.
Ryan, cowok itu terlihat setengah berbaring menunggu kehadiran Vanessa yang muncul dari pintu kamar mandi. Tangan cowok itu menepuk-nepuk kasur dengan cengiran di wajah.
"Ayoh, sini! Bobok. Udah malem."
Merasa tak bisa bernapas, nyatanya Vanessa sendiri kaget mendapati dirinya masih bisa berjalan menghampiri cowok itu.
Tangan Vanessa menunjuk lemah, seolah tak ada tenaga. Padahal kalau mau dipikir-pikir, tadi itu dia baru saja merasa sedikit kekenyangan. Sekarang? Entahlah. Vanessa merasa seperti belum pernah makan sebelumnya.
"Kamu ngapain di sini?"
"Ehm ... aku di sini?" Mata Ryan mengerjap. "Mau memberikan kamu kehangatan."
Tubuh gadis itu langsung bergidik. Merinding seketika. Bulu kuduknya pun mendadak berdiri semua dengan kompak.
"Ka-kamu ini---"
Tapi, belum lagi Vanessa menuntaskan kata-katanya, Ryan justru menangkap pergelangan tangan Vanessa. Menariknya dalam sekali sentakan. Membuat tubuh gadis itu terhuyung, mendarat tepat di dalam pelukan Ryan. Dan cowok itu dengan begitu lincahnya memutar tubuh, membuat tubuhnya sedikit menghimpit Vanessa di bawahnya.
Mata Vanessa melotot, tapi Ryan justru menatap lekat padanya.
"Aku cuma mau meluk kamu pas kamu tidur. Memastikan kalau selama tidur kamu akan tetap hangat."
Glek.
Diam-diam ia meneguk ludahnya.
Vanessa tau. Otaknya bisa berpikir. Dan ia dengan mudah menyimpulkan bahwa itu hanya akal-akalan Ryan saja untuk mencari kesempatan agar bisa memeluk dirinya.
Tapi ....
Vanessa terbiasa menghadapi Ryan yang konyol.
Ryan yang memasang wajah serius?
Itu lain cerita.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro