Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

40. Perenungan Di Depan Pintu

Vanessa memang telah mengakui dengan lapang dadá kalau Ryan itu memang hancur. Dari otak hingga perilakunya. Hingga sekarang, di mana ia dan Ryan yang tercatat baru saja sembilan hari hidup bersama di unit apartemen mewah itu, Vanessa sudah mengakui bahwa Ryan adalah makhluk hidup teraneh yang pernah ia temui selama ini.

Vanessa sudah dua kali kuliah, sudah berpindah-pindah tempat berulang kali. Dia harus mengekos dan belum lagi ketika ia harus ikut pertukaran mahasiswa atau bahkan penelitian gabungan di luar negeri. Hal itu sudah lebih dari cukup untuk memberikan pengalaman bagi Vanessa untuk bertemu orang-orang yang berbeda selama ini. Tapi ..., yang melebihi kegilaan Ryan? Ehm ... sepertinya belum Vanessa temukan di mana pun.

Maka bukanlah hal yang aneh bila mendapati Vanessa nyaris melongo dengan mulut menganga dan mata melotot melihat Ryan sore itu.

Ryan + sepot bunga mawar + lagu dangdut = Vanessa semakin gila.

Untuk beberapa saat, Vanessa bahkan tidak tau harus merespon cowok itu dengan tanggapan yang seperti apa. Alih-alih untuk menuruti emosinya –mengambil pot itu dan langsung melemparnya ke kepala Ryan-, Vanessa pada akhirnya hanya melontarkan satu pertanyaan pada cowok itu. Sekadar untuk klarifikasi.

"Kamu beneran ngasih aku bunga mawar pake pot?"

Mendapati pertanyaan itu, Ryan justru mengedip-ngedipkan matanya. Terlihat begitu bangga. Bahkan dagunya sampai terangkat tinggi. Mungkin alih-alih mengira Vanessa syok, cowok itu justru menduga kalau Vanessa begitu kaget terharu.

"Ya iya dong, Sa. Kan kemaren aku udah ngomong mau ngasih kamu bunga mawar pake pot," jawab cowok itu. "Buat acara candle light dinner kita."

Vanessa mengerjap sekali.

Dan Ryan masih dengan percaya dirinya lanjut berkata. "Laki itu megang kata-kata. Lagipula, cuma perkara mawar doang. Kecil untuk aku. Di depot mah banyak. Tinggal ngambil doang mau yang mana. Ha ha ha ha."

Vanessa benar-benar tidak habis pikir.

"Lihat kan bedanya aku sama cowok lain?" tanya Ryan dengan begitu angkuh. "Cowok lain mah cuma ngasih satu tangkai mawar potong. Udah mawar potong, eh dikasihnya setangkai pula. Dikasih pagi eh malamnya udah layu. Beda dong sama aku. Pake potnya sekalian aku kasih. Ha ha ha ha." Ryan tergelak-gelak. "Coba aja kamu itung di sini ada berapa tangkai. Belum lagi sama bakal bunganya yang lain. Widih! Emang spektakuler banget suami kamu ini, Sa. Tiada bandingannya. Dari perkara bunga mawar aja nggak pelit. Ha ha ha ha."

Vanessa melongo. Setengah berpikir di dalam hati.

Ini beneran cowok yang jadi suami aku heh?

Mengabaikan ekspresi Vanessa yang terlihat seperti orang kurang makan selama seminggu, Ryan justru kembali melanjutkan filosofi bunga mawarnya.

"Mungkin kamu bertanya-tanya, kenapa aku ngebet mau ngasih kamu bunga mawar pake pot. Iya?"

Vanessa mengangguk kaku. "Iya," jawab Vanessa lesu. "Soalnya aku nggak abis pikir kenapa sampai ada cowok ngasih cewek bunga mawar pake pot tanah liat kayak gini. Aku nggak tau ada perubahan tradisi keromantisan akhir-akhir ini."

Ryan menyugar sekilas rambutnya. "Jangan samakan aku dengan cowok lain, Vanessayang. Kalau aku jelas ngasih ini karena menganggap kamu begitu spesial."

"Ah?"

"Sepot mawar merah ini adalah doa. Agar pernikahan kita bisa terus hidup ..., tumbuh ..., dan berbunga. Menyebarkan keindahan ke semua yang melihatnya."

Sudahlah.

Vanessa memijat dahinya.

Sepertinya kepala gadis itu mendadak berdenyut lagi.

"Ehem." Ryan menyodorkan mawar itu pada Vanessa. "Apa ngasihnya perlu pake acara berlutut juga?"

"Eh? Eh? Apa? Ma-maksud kamu ... apa?"

Tapi, Ryan sudah keburu menjatuhkan satu lututnya.

Glek.

Vanessa melotot.

Tapi, belum terlalu melotot sampai Ryan berkata seperti ini.

"Oh, Dinda yang Kanda Sayang ..., terimalah sepot bunga mawar merah ini. Sebagai pertanda keberkahan cinta kita yang akan selalu membara."

Sapu mana sapu?

Vanessa celingak celinguk.

Ryan berkedip. "Mencari apa, wahai Dinda?"

Dengan masih celingak-celinguk, Vanessa pun menjawab. "Dinda mencari sapu, Kanda."

"Untuk?"

"Untuk menyapu Kanda. Sepertinya otak Kanda sudah terlalu banyak sarang laba-labanya."

"Hahahaha."

Ryan tergelak.

"Aku tuh serius, Yan," sengit Vanessa kemudian. Melotot. "Apa perlu pake vacum cleaner aja? Biar otak kamu sekalian kena sedot?"

"Wiiidih! Sifat Dinda yang asli kembali lagi. Hahahaha." Mata Ryan terlihat berair. "Vanessayang ..., ini bunganya diambil dulu. Pegel loh lama-lama kayak gini."

Alih-alih mengambil, Vanessa malah bersidekap di depan dada. Matanya melihat dalam tatapan sinis.

"Males!"

Ryan cemberut. "Kalau nggak diambil, aku nggak bisa berdiri dong."

"Timbang berdiri doang pake perkara bunga harus diambil. Kan bisa berdiri sendiri."

"Ckckckck. Bukan masalah perkara nggak bisa berdirinya, wahai Dinda. Tapi, pantang lelaki mundur ketika telah memberi. Terima atau mati."

"Eh?" Vanessa bergidik ngeri. "Jadi lebih milih mati berlutut di sini?"

Mata Ryan berkedip beberapa kali. Lalu ia berkata dengan suara lemah. "Jadi kamu mau dengan sengaja ngebiarin aku di depan pintu dengan pose kayak gini? Berlutut dengan satu kaki sementara kedua tangan terangkat memegang sepot bunga mawar?"

Pertanyaan Ryan membuat Vanessa justru meneliti keadaan cowok itu. Dan yah ... yang dikatakan oleh Ryan benar. Saat itu, Ryan berlutut pada lutut kirinya sementara kaki kanannya tertekuk berdiri. Lalu kedua tangan Ryan yang memegang bunga mawar di dalam pot tanah liat itu terangkat. Menyodorkannya dalam posisi terarah pada Vanessa.

Vanessa memutar bola matanya dengan geli. "Kayaknya ide bagus tuh," jawab wanita itu dengan senyum terkembang di bibirnya.

"Kamu nggak bakal serius kan, Sa?" tanya Ryan dengan kengerian yang membayang di benaknya.

Ia memang bersungguh-sungguh ingin memberikan mawar itu dengan proses romantis semaksimal mungkin. Tapi, bukan berarti harus berlutut dengan waktu yang lama. Mana tempatnya di koridor apartemen lagi. Ya kali! Bagaimana kalau ada penghuni lain yang lewat? Bagian cleaning service? Petugas keamanan?

Glek.

Ryan seketika saja meremang.

Ini mah ceritanya lebih menakutkan daripada digangguin setán!

"Ups!" Vanessa membawa telapak tangannya untuk menutup mulutnya dengan sorot geli di kedua bola matanya yang bening. "Kanda ..., tadi ada seseorang yang mengatakan bahwa laki-laki itu memegang kata-kata. Ehm ...."

"Eh?"

"Sekarang Dinda jadi penasaran ... itu yang ngomong beneran laki atau nggak ya? Oh! Apa dia bukan tipe laki-laki yang memegang omongannya sendiri ya, Kanda?"

Glek.

"Dinda ...." Ryan merengek. "Masa nyuruh Kanda beneran di depan pintu unit dengan pose gini?"

Vanessa tergelak. "Bye bye, Kanda. Dinda masuk ya? Soalnya mau istirahat dulu. Dinda masih sedikit letih gara-gara sakit. Nanti kan gawat kalau Dinda sakit lagi."

"Dinda ...."

"Hahahaha." Vanessa makin tergelak. "Kalau capek, Kanda boleh kok melepas kata-kata Kanda sendiri. Kata sandi masih ingat kan, Kandaaa?"

Ya salam!

"Dinda Vanessayaaaang!"

Vanessa melemparkan lambaian tangannya berulang kali sebelum kemudian masuk dan menutup pintu unit. Tergelak-gelak, Vanessa berkacak pinggang. Lalu ia mengganti gelaknya menjadi seringai. Perpaduan antara geli dan penasaran.

"Kita lihat ya, Kanda. Apa Kanda benar-benar laki atau bukan?"

Masih merasa lucu, Vanessa kemudian memutuskan kembali ke kamarnya. Semula ia ingin berisitrahat lagi di tempat tidurnya, tapi mendadak satu ide terbersit di benaknya. Membuat ia bangkit turun dari tempat tidur seraya menggenggam ponselnya.

Rencana berubah. Vanessa lebih memilih untuk beristirahat di ruang tamu saja. Hahahaha.

Namun, sebelum ia beranjak ke ruang tamu terlebih dahulu Vanessa pergi ke dapur. Ia membuka kabin dapur. Melihat-lihat stok makanan yang masih ada di sana.

Santai itu paling enak kalau sambil ngemil, pikir Vanessa geli.

Akhirnya pilihan gadis itu jatuh pada sebungkus makanan ringan rasa coklat. Ia membuka bungkusannya dan meletakkannya ke dalam satu toples. Tak lupa sebagai pelengkap, Vanessa menuangkan segelas susu ke dalam gelasnya.

Hihihi.

Kan ada yang bilang, coklat pas untuk emosi cewek dan susu pas untuk penyembuhan flu.

Terkikik, lalu ia pun beranjak dari sana. Memilih duduk di sofa panjang ruang tamu dan tak butuh waktu lama hingga akhirnya ia benar-benar memilih untuk bersantai. Dengan kata lain, Vanessa pun merebahkan tubuh.

Dan tentu saja sekali lihat bisa dipastikan kalau wanita itu memang sengaja memilih bersantai di sana. Tak diragukan lagi niat sebenarnya yang ada di benak gadis itu. Ia ingin memergoki Ryan yang menyerah. Karena kalau Ryan masuk, dia akan langsung mencibir.

"Loh? Kanda bukan laki-laki dong ya?"

Tapi ....

Vanessa melirik ke arah pintu dengan dahi berkerut. Sedikit berpikir dan tanpa sadar menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak merasa gatal sama sekali.

"Dia beneran nggak masuk? Masih di depan pintu?"

Vanessa menggelengkan kepala.

Nggak mungkin ah.

Tapi ....

Vanessa bangkit. Berjalan menuju pintu dan sedikit menjinjitkan kakinya ketika ingin melihat lobang pintu.

"Wah!"

Dia beneran gila apa?

Beneran masih berlutut kayak gitu?

Vanessa meneguk ludah.

Lalu satu mata gadis itu bisa melihat bagaimana ada sepasang orang tua yang tampak telah senja berjalan melintasi Ryan. Mereka berdua langsung tertawa melihat pada cowok itu.

Ryan hanya cengar-cengir dan terlihat mengatakan sesuatu yang tak mampu dimengerti oleh Vanessa. Hanya saja kemudian Vanessa bisa melihat bagaimana kedua orang tua itu mendekati Ryan.

Pria tua itu menepuk punggung Ryan berulang kali seraya meremas pundaknya. Sementara istrinya terlihat mengacungkan dua jempol tangannya.

Ehm ....

Vanessa bisa menebak.

Sepasang orang tua itu pasti tengah menyemangati Ryan.

Ck.

Vanessa balik badan. Mencibir walau tak jelas cibiran itu untuk siapa. Dan memutuskan untuk kembali berbaring santai di sofa ruang tamu.

Jari jempol Vanessa kembali mengusap layar ponselnya. Membuka satu aplikasi membaca novel secara online di sana.

Ehm ....

Cerita apa ya yang bagus dibaca selagi nungguin Kanda nyerah dan masuk sendiri?

Oke!

Vanessa menemukan satu cerita yang pas.

Ia dengan segera menyamankan posisi baringnya di sofa itu. Dengan toples camilan di sisi tubuhnya, Vanessa benar-benar menikmati waktu santai sore itu.

Beberapa saat kemudian, kunyahan mulut Vanessa melambat. Dari rangkaian kata-kata cerita yang tengah ia baca, Vanessa justru melirik pada jam digital di atas layar ponselnya.

Sudah empat puluh lima menit berlalu dari saat pertama Vanessa meninggalkan Ryan di depan pintu.

Lagi-lagi, Vanessa bangkit dari tidurannya. Menoleh ke arah pintu.

Matanya berkedip-kedip dengan resah.

Dia kok keras kepala banget jadi orang?

Apa nggak pegel itu tangan sama lutut dia?

Vanessa kemudian berdiri. Meletakkan ponsel dan camilannya di atas meja sementara ia berjalan menuju ke pintu. Ia mengintip sebentar dan lalu ....

"Braaakkk!"

Vanessa membuka pintu itu dengan kasar.

"Kamu ini beneran nggak ada otak atau gimana sih? Beneran mau di depan pintu kayak gini sampe aku beneran ngambil itu bunga?! Iya?!"

Kaget dan tak percaya, mata Ryan membulat melihat pintu yang terbuka dengan kasar yang diikuti oleh hardikan gadis itu. Di hadapannya, Vanessa terlihat menggebu dengan dada yang naik turun dengan begitu kentara.

Tapi, di saat Vanessa benar-benar tidak habis pikir oleh tingkah laku cowok itu, Ryan justru menatap dirinya dengan begitu lekat.

"Berarti benar hipotesis aku."

"Hipotesis?" tanya Vanessa melongo. "Kamu berlutut di depan pintu sambil mikirin penelitian kamu?! Terus gimana hasilnya?! Hipotesis diterima atau ditolak?!"

Ryan mengangguk dengan penuh rasa mantap di wajahnya yang tampan nan jenaka itu. "Diterima. Hipotesis aku diterima," jawabnya tanpa melarikan tatapannya dari mata Vanessa. "Kamu tau apa hipotesis aku?"

"Apa?"

Dan jawaban Ryan membuat Vanessa terdiam sejuta bahasa.

"Pada akhirnya kamu bakalan benar-benar akan berpaling ke aku."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro