Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

38. Awal Hari

Vanessa menundukkan wajahnya. Tepat menghadap pada semangkok sereal di hadapannya. Tangan gadis itu mengaduk-aduk susu di dalam sana. Namun, belum ada tanda-tanda bahwa ia akan mulai menikmati sarapan ala kadarnya itu. Bukan karena sarapan itu tidak menarik selera Vanessa –karena pada dasarnya dia bukanlah wanita pemilih makanan-, tapi mungkin masalahnya adalah keberadaan seseorang yang membuat ia sedikit tidak bernafsu untuk makan sereal itu. Atau tepatnya karena seseorang itu melakukan hal yang membuat Vanessa kesal. Yaitu, menceramahi dirinya di pagi hari.

Sepagi ini aku udah kena ceramah?

Padahal kan ya aku nggak salah dong kalau kaget pas ngerasa dia ngusap-ngusap aku.

"Menurut artikel yang aku baca, susu termasuk ke dalam jenis minuman yang bagus untuk penyembuhan flu. Dan katanya coklat itu obat paling mujarab untuk menenangkan emosi cewek. Apalagi emosi yang nggak tau ujung pangkalnya. Emosi yang meledak nggak tau asal mulanya."

Vanessa menutup mulutnya. Berusaha untuk tidak menggubris sedikit pun perkataan Ryan. Sesekali mata gadis itu hanya melirik pada kedua tangan Ryan yang menekan kitchen island di hadapannya. Dan sesekali pula bibir bawah Vanessa mencibir.

"Lihat ini lihat!"

Suara Ryan terdengar lagi di telinga Vanessa.

"Nggak di kampus nggak di rumah, pasti aja nggak mau ngaku kalau salah. Masih mending juga di kampus, walau nggak ngaku salah, tapi seenggaknya mau ngucapin maaf. Lah ini?"

Ryan kembali berceloteh.

"Udahlah kamu yang maksa aku buat tidur bareng. Kamu juga yang minta dipeluk jangan sampe dilepasin. Eh, malah kamu juga yang nendang aku sampai jatuh ke lantai."

"Aku ngedorong kok. Bukan nendang," kata Vanessa seraya tanpa sadar mengangkat wajahnya.

Ryan melotot. Menunjuk gadis itu. "Lihat! Bahkan kamu sampe sadar banget tindakan kamu tadi ke aku itu kayak gimana."

Vanessa mengerjap-ngerjapkan matanya. Satu tangan menutup bibirnya sendiri. Seakan baru tersadar.

"Lihat kan? Emang nggak ada hati kamu ya, Sa. Untuk semua yang aku lakukan, bukannya dikasih ciuman selamat pagi, eh malah didorong jatuh ke lantai."

Vanessa menunduk lagi. "Ya maaf sih. Lagian ...."

"Lagian apa?"

"Kamu juga ngusap aku sampe hampir megang bokοng aku. Kan aku kaget dong."

Ryan meneguk ludahnya. "Kan hampir ..., artinya itu belum kejadian. Masa aku udah dihukum duluan untuk hal yang bahkan belum aku lakukan sih?" tanya Ryan. "Tau gitu mending aku beneran ngusap sampe bokοng kamu deh."

Glek.

Wah!

Seketika Ryan merasa panas dalam.

Ups!

Maksudnya panas di bagian dalam.

Hihihi.

"Tuh kan!" Kali ini Vanessa kembali menatap Ryan. Matanya tampak menyorot pada Ryan.

"Eh, tapi kan intinya aku nggak melakukannya," elak Ryan lagi. "Lagi orang yang mau maling juga kalau nggak jadi maling ya nggak bakal dipenjara. Sama dong kayak aku."

"Tapi, kan kamu udah ada niat," tukas Vanessa langsung.

"Ckckck. Niat baik itu pahalanya langsung dicatat, tapi niat jahat dosanya nggak langsung dicatat, Nona," kata Ryan menyeringai. "Itu hukum praduga tak bersalah namanya."

"Kamu ini ...." Vanessa menunjuk Ryan dengan sendok di tangannya. "Emang pintar banget kalau urusan memutarbalikkan kata-kata."

"Masa?" tanya Ryan menggoda.

"Beruntung banget ya kamu masuk ke Pertanian, bukan ke Hukum," lanjut Vanessa. "Nggak kebayang kamu bakal jadi penegak hukum yang kayak gimana."

Ryan tergelak mendengar perkataan gadis itu. "Hahahaha. Emang beruntung dong aku masuk Pertanian, bukan ke Hukum. Soalnya aku ketemu jodoh gara-gara masuk Pertanian. Hihihi."

Tubuh Vanessa merinding. Rasa-rasanya Vanessa menduga kalau flu yang ia derita bukannya sembuh, melainkan akan bertambah parah kalau dirinya terus bicara dengan Ryan.

"Ngomong sekali lagi, aku lempar kamu sama sendok, Yan. Beneran deh. Aku nggak main-main"

"Ih. Sensian amat jadi cewek," ejek Ryan. "Lagian kapan juga aku meragukan keseriusan kamu kalau udah menyangkut kekerasan di dalam rumah tangga. Ck. Untung banget aku ini bukan tipe suami pengadu, Sa. Kalau nggak udah masuk ke portal berita Pak Lambe Turah kamu mah."

Tak menghiraukan cowok itu yang masih terus bicara, pada akhirnya Vanessa memilih untuk mulai menikmati sarapan sereal susu putihnya. Namun, baru saja gadis itu ingin benar-benar menikmatinya, eh Ryan sudah mengambil kursi di sebelah Vanessa. Duduk di sana dengan mangkok serealnya pula.

Ketika Vanessa menoleh, Ryan terlihat cengar-cengir menatap padanya. Membuat Vanessa menggeram.

Ya ampun ....

Bisa tenang bentar nggak sih hidup aku?

"Mau aku suapin lagi?" tanya Ryan. "Sini ... biar makan kamu banyak." Sendok di tangannya terarah pada Vanessa. "A-a-a ...."

Vanessa benar-benar melakukannya. Memukulkan sendoknya pada dahi Ryan hingga cowok itu mengaduh kesakitan. Cemberut, Ryan menyuap sendiri sereal di sendoknya itu.

Sementara itu seraya menahan geram, Vanessa melampiaskannya dengan memasukkan sesuap besar sereal ke dalam mulutnya. Mengunyahnya pun dengan sama geramnya.

"Kamu ini, Sa ..., sebenarnya apa sih yang harus aku lakukan buat meluluhkan perasaan kamu?"

"Pruuut!"

Susu muncrat dari mulut Vanessa. Terbatuk-batuk, sementara Ryan dengan cepat menarik beberapa helai tisu. Mengelap mulut Vanessa yang berantakan karena susu itu. Lalu dengan cepat mengelap pula tetesan susu yang mengotori kitchen island.

"Kamu ini kalau ngomong bisa nggak buat orang jantungan nggak sih?" geram Vanessa dengan mata melotot. "Kalau aku jantungan tadi gimana, Yan? Kamu mau tanggungjawab?"

"Loh?" Ryan menyisihkan tisu itu. Berganti menatap Vanessa dengan tatapan tak percaya. "Berarti kita sama dong, Sa."

Mata gadis itu masih melotot. "Sama apa?"

"Sama sering ngerasa kayak yang mau jantungan kalau lagi berdua gini."

"Eh?"

Vanessa menganga. Terutama ketika telunjuk Ryan bergerak. Menusuk-nusuk manja ke pipi Vanessa. Lengkap dengan senyum genitnya.

"Ih! Rasanya deg-deg gitu kan ya? Hihihi. Yang kayak kita khawatir jantung kita mau copot gitu kan? Kamu tau nggak? Pas malam tadi itu sebenarnya aku lebih parah lagi loh. Aku pikir aku malah nggak bisa bobok saking deg-degnya jantung aku."

Vanessa merinding. Rasanya menelan sereal menjadi seribu kali lebih sulit bila teman sarapannya adalah Ryan. Dan sempat terbersit ide di benak Vanessa.

Harusnya aku nelan Ryan aja kan sekalian?

Tapi, ia justru menepis ide itu.

Aku nggak mau justru Ryan mengotori aku dari dalam.

Sejurus kemudian, alih-alih ingin bermain kasar, Vanessa mencoba untuk bermain halus dulu.

"Kamu nggak kuliah, Yan?" tanya Vanessa kemudian. Berusaha untuk mengusir cowok itu dari hadapannya. Bagaimana pun juga gadis itu tetap menginginkan sarapan yang damai. Dan Ryan jelas bukan teman sarapan yang 'damai' itu. Menurut Vanessa, keberadaan Ryan justru membuat sereal coklat yang enak itu menjadi berubah rasa di lidahnya. Manis tidak, pahit iya.

Menelan serealnya, Ryan lantas menjawab. "Untuk apa aku kuliah? Orang dosennya ada di depan mata aku dan keadaannya lagi sakit kok."

"Ah ...."

Ryan benar, pikir Vanessa.

"Makanya tadi aku ngubungi Abid, ngomong ke dia untuk nggak usah masuk hari ini. Eh, dia nggak percaya. Hahahaha." Ryan tertawa. "Tapi, tetap aja sih. Jam dua belas ntar aku tetap kuliah buat kelas Biokimia."

Vanessa menyeringai. Menyadari bahwa setidaknya ia akan memiliki waktu siang nanti tanpa kehadiran Ryan.

Hahahaha.

Merdeka!

"Coba dosen UTS Biokimia kamu juga ... ehm ... otomatis nggak kuliah aku hari ini," lirih Ryan seraya menyendok sisa susu di mangkoknya. "Eh, tapi nggak apa-apa sih. Botani, Genetika, dan Bioteknologi udah kamu semua dosen UTS-nya. Nggak apa-apa Biokimia jadi dosen UAS. Biar sisa semester aku masih bisa ngeliatin kamu di kelas."

"Yan ...." Vanessa meninggalkan sejenak sendok dan mangkok serealnya, menoleh pada cowok itu. "Aku dan kamu itu tinggal di satu tempat, untuk apa lagi kamu ngeliatin aku di kampus? Nggak bosan?"

"Nggak."

"Ya, kamu nggak bosan. Tapi, aku yang bosan ngeliat kamu." Vanessa mengembuskan napas panjang. "By the way, cuma untuk pemberitahuan aja ya? Karena aku nggak mau dianggap menghabiskan waktu kamu dengan harapan palsu." Vanessa menatap serius pada Ryan. "Jangan ngira kalau dengan sikap kamu kayak gini ntar aku bakal luluh ya. Mustahil."

"Ehm ... kita liat aja ntar. Karena mustahil bukan berarti nggak bisa terjadi."

"Ih! Please deh, Yan. Nggak usah betingkah kayak gini."

Ryan turut menyisihkan mangkoknya yang telah kosong. "Kamu takut ya?"

"Takut apa?"

Ryan mencondongkan tubuhnya ke arah Vanessa. "Takut kalau aku terus berusaha ngedeketin kamu dan pada akhirnya kamu bakalan luluh."

Mata Vanessa berkedip sekali. "Nggak tuh."

"Ya udah kalau nggak takut, berarti nggak ada masalah dong kalau aku terus berusaha ngedeketin kamu. Toh, kamu nggak bakal luluh. Yang rugi aku kan? Yang buang-buang waktu aku kan? Iya kan? Kamu nggak rugi apa-apa kan? Jadi untuk apa kamu yang repot?" Kilat nakal terlihat di bola mata Ryan. "Bener kan yang aku bilang?"

Vanessa mengembuskan napasnya panjang-panjang. Melihat rasa penuh percaya diri Ryan yang dibalut oleh kepintaran cowok itu bermain kata, benar-benar membuat Vanessa kewalahan.

Dia ini emang ahli banget urusan nyuci otak orang pake kata-kata.

"Ya udah. Terserah kamu deh. Mau kamu jungkir balik atau apa gitu, aku nggak peduli!" sentak Vanessa. "Yang perlu kamu tau, aku nggak bakalan luluh. Apalagi sampe ngebalas perasaan omong kosong kamu."

Satu sudut bibir Ryan naik. Tersenyum menantang. "Jangan terlalu yakin wahai, Nona Muda. Kamu nggak tau sedang berhadapan dengan siapa."

"Aku yakin karena aku tau diri aku gimana. Kamu?" Kepala Vanessa geleng-geleng kepala. "Cuma termasuk ke dalam golongan cowok yang terobsesi pandangan mata sekilas. Hanya itu."

"Ehm ... menarik." Ryan mengusap dagunya sekilas. "Tapi, kamu tau sesuatu nggak?"

"Apa?"

Kali ini Ryan bangkit, beranjak selangkah untuk mendekati Vanessa di kursinya. Seketika saja mata gadis itu melotot.

"Ka-kamu mau ngapain?"

Ryan hanya tersenyum. "Cuma mau ngomong sesuatu," lirih Ryan. "Aku rasa kamu lupa tentang sesuatu deh."

"Tentang?"

"Tentang bagaimana peristiwa empat kali itu justru terjadi di saat kita sama-sama memejamkan mata."

Wajah Vanessa memerah.

"RYAAAN!!!"

*

"Hahahaha."

Bahkan ketika Ryan berjalan menyusuri koridor gedung kuliah menjelang tengah hari itu, dirinya masih juga tergelak-gelak kalau membayangkan kejadian tadi pagi.

Aduh aduh aduh ....

Vanessayang kalau udah mentok pasti manggil nama aku dengan sepenuh hati dan sekuat tenaga.

Hahahaha.

Beruntung tadi aku langsung kabur, kalau nggak ... wah! Mungkin mangkok kaca tadi benar-benar melayang lagi ke kepala.

Ryan bergidik. Membayangkan dirinya yang terkapar kelonjotan di ranjang perawatan UGD rumah sakit terdengar. Diikuti oleh reportase pembawa berita dadakan.

Kami melaporkan bahwa ada seorang suami mengalami gegar otak karena sang istri malu membahas soal ciuman mereka. Mangkok sereal pun melayang ke kepala sang suami. Hingga berita ini dilaporkan, diduga sang istri masih melanjutkan sarapannya.

"Hahahaha."

Ryan tergelak lagi.

Aku nggak pernah mau masuk kolom berita dengan kejadian kayak gitu. Mengenaskan iya, tapi lucu juga iya.

"Bro!"

Sapaan itu seketika menghentikan tawanya. Tepat ketika Ryan merasakan beban di pundaknya saat tangan Abid mendarat di sana. Ia menoleh dan mendapati Abid menatapnya bingung.

"Tadi pagi Bu Vanessa emang nggak masuk," katanya.

Masih dengan sisa cengiran di wajahnya, bola mata Ryan berputar sekilas. "Kan aku udah ngomong kali, Bid. Kamu aja yang nggak percaya sama omongan aku."

"Ya gimana mau percaya. Bu Vanessa kan tipe dosen yang rajin. Kadang demam aja dia masih ke kampus."

Ryan mengembuskan napas. Menyetujui perkataan Abid yang satu itu. Tapi, tadi pagi sebelum mereka berdua sarapan, Ryan dengan pintarnya membuat ancaman untuk Vanessa.

Ke kampus dengan keadaan masih sakit? Siap-siap aja aku cium lagi.

Terbukti!

Ampuh sekali membuat Vanessa mundur teratur dengan geleng-geleng kepala.

"Kok malah nyengir?"

Abis membuyarkan lamunan Ryan. "Nggak apa-apa," katanya. Lalu ia melihat dosen mata kuliah Biokimia terlihat memasuki kelas. Ryan menepuk dada Abid sekilas. "Yok. Itu Pak Teguh udah masuk."

Selagi Teguh di depan sedang menyiapkan laptop dan keperluan kuliah, Ryan memanfaatkan waktu itu untuk mengirim pesan pada Vanessa.

[ Vanessayang ]

[ Sepi ya unit tanpa aku? ]

[ Hiks. ]

[ Sabar ya, Dinda. Kanda akan segera pulang setelah belajar di kampus. ]

[ Btw. Dinda mau Kanda bawain makan siang apa? ]

[ Ayam bakar? Ikan goreng? ]

[ Oh, tapi jangan suruh Kanda membawa hati kijang ya? ]

[ Kanda bukan Sangkuriang. ]

Dan lalu, tak sampai semenit balasan dari Vanessa pun masuk ke ponselnya.

[ Vanessayang ]

[ Dinda mau makan hati Kanda, boleh? ]

Lalu tawa Ryan spontan meledak. Membuat seisi kelas termasuk Teguh menoleh padanya.

Meneguk ludah, Ryan memasang wajah datar.

"Maaf, Pak. Saya salah. Saya minta maaf."

Dan dalam hati Ryan merutuk dengan geli.

Oh, ada yang nantangin Kanda ya?

Hahahaha.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro