Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

37. Satu Momen

Vanessa merasa nyaman. Rasanya hangat dan menenangkan. Membuat ia seperti sedang terbuai. Mendorong ia untuk semakin beringsut. Semakin mendekat. Semakin merapat pada sumber kehangatan dan kenyamanan itu.

"Ehm ...."

Vanessa melenguh panjang. Merasakan kehangatan dan kenyamanan itu melingkupi dirinya dengan begitu erat. Terasa seluruh tubuhnya seperti benar-benar dipeluk dengan erat.

Bentar!

Vanessa yang semula ingin benar-benar melanjutkan tidurnya setelah sedikit terjaga, mendadak saja merasa sesuatu yang aneh. Sesuatu itu rasanya seperti.

"Ssst ... ssst ... ssst .... Bobok yang nyenyak ya, Vanessayang."

Vanessayang?

Cuma ada satu makhluk yang memanggil namanya seperti itu.

Dan makhluk itu adalah ....

Vanessa membuka kedua matanya. Tapi, jarak pandangnya terbatas. Ia hanya mampu melihat satu benda bewarna hitam. Tepatnya benda itu adalah baju.

Glek.

Oke, pikir Vanessa. Di depan mata aku ada baju. Tepatnya baju yang dipake seseorang.

Vanessa memejamkan matanya. Menggigit bibir bawahnya.

Nggak mungkin.

Ini pasti mimpi.

Tapi ....

Vanessa mendadak merasakan usapan di sepanjang punggungnya. Usapan itu bermula dari bawah tekuknya, meluncur mulus sampai ke bawah, dan berhenti tepat di garis bokongnya.

Jantung Vanessa terasa berhenti berdetak. Terutama ketika usapan itu terjadi lagi di detik selanjutnya. Berulang kali.

Mata Vanessa memejam dramatis. Mengatupkan mulut rapat-rapat dan lalu tanpa peringatan kedua tangannya bergerak mendorong dadá itu.

"AAAH!"

Jeritan Ryan menggema di kamar Vanessa. Dan dengan cepat jeritan kaget itu tergantikan oleh suara gedebuk tatkala Ryan terjatuh langsung dari tempat tidur.

"Dasar cowok meśum!"

"Aduh aduh aduh!" lirih Ryan di lantai. "Pagi-pagi bukannya dapat morning kiss, eh ini malah dapat morning accident."

Menggeram, Vanessa mengambil satu bantal dan langsung melemparnya pada Ryan yang baru saja berencana untuk bangkit. Eh! Bantal mendarat di wajahnya.

Ryan mengamankan bantal di pangkuannya. Wajahnya terangkat menatap Vanessa dengan cemberut.

"Masih pagi ini, Sa, ya ampun. Masa aku yang langsung kena hajar sih?" tanya cowok itu. "Nggak ada salah apa pun mendadak yang langsung didorong sampe jatuh ke lantai."

Mata Vanessa membulat. Tangannya terangkat, menunjuk pada Ryan. "Kamu itu ya. Mentang-mentang aku lagi nggak enak badan. Sembarangan kamu mau meraba-raba aku! Nyari kesempatan kamu, Yan!"

Dan seiring dengan jeritan itu, Vanessa kembali meraih bantal. Langsung melemparnya lagi pada cowok itu.

Tapi, Ryan dengan sigap menangkap bantal tersebut. Kali ini ia bangkit. Seraya menjepit kedua bantal di masing-masing sisi tubuhnya. Ia berjalan. Mendekati Vanessa di atas tempat tidur.

Vanessa mengangkat wajahnya. "Kamu kali ini bener-bener kelewatan," geram Vanessa.

"Hah!" Ryan mendengus. "Aku kelewatan?" tanya Ryan. "Eh, Nyonya Wicaksana yang terhormat ..."

Mata Vanessa mengerjap mendengar Ryan memanggilnya seperti itu.

"... aku nggak tau kalau flu bisa ngebuat orang amnesia," lanjut Ryan dengan tatapan bingung. "Tapi, kayaknya pagi ini otak kamu bermasalah deh."

Gantian Vanessa yang mendengus. "Otak aku bermasalah? Pardon?" Vanessa menatap sinis pada Ryan. "Otak kamu itu yang bermasalah. Isinya kotor banget. Meśum!"

Ryan berkedip sekali. "Coba kita lihat, kamu beneran amnesia atau nggak." Ryan mengembuskan napas sekilas. Tampak berpikir sebelum bertanya. "Lihat apa yang kamu pake di badan kamu sekarang?"

Mendengar pertanyaan itu, Vanessa dengan segera menundukkan wajahnya. Menatap pada apa yang ia kenakan. Lalu, dahi Vanessa mengerut. Tangannya terangkat. Melihat lengan jaket tebal yang ia kenakan.

"Ini?" tanya Vanessa. "Jaket aku? Kok kayak yang nggak pernah ngeliat ini jaket?"

Bola mata Ryan berputar dengan malas. "Berarti aku harus buat laporan ke rumah sakit. Ini kalau nggak gejala flu nambah satu, ya berarti ada efek samping dari obat yang kita minum. Yaitu, amnesia dadakan."

"Rasanya aku nggak ingat punya jaket kayak gini?"

Ryan geleng-geleng kepala. Berdecak. "Sadar kan kalau kamu amnesia?" tanya Ryan. Tapi, sejurus kemudian Ryan malah mengerutkan dahi. "Orang amnesia kok sadar ya?" Ia geleng-geleng kepala. "Ah! Malah aku yang bingung."

Vanessa menatap Ryan dengan sorot tak mengerti. Dan mendapati hal itu, Ryan serta merta beranjak mendekati tempat tidur lagi. Setengah membanting kedua bantal di tangannya. Lalu dengan cepat ia mengurung tubuh Vanessa dengan kedua tangannya.

"Kamu nggak ingat malam tadi minjam jaket aku?" tanya Ryan kemudian.

Mata Vanessa mengerjap. "Eh?"

"Dan kamu juga nggak ingat kalau kamu nyuruh aku untuk tetap di kamar kamu?"

Mata Vanessa membulat. "Apa?"

"Parahnya kamu bahkan nggak ingat kan kalau kamu ngebujuk aku buat meluk kamu semalam?"

"TIDAAAK!!!"

*

Sekitar jam sebelas malam, ketika Ryan mengantarkan makan untuk Vanessa.

"Here we go, Vanessayang! Makan menjelang tengah malam edisi terlezat yang pernah dimasak oleh Chef Farah Banget."

Vanessa membuka matanya yang terpejam. Omonglah Vanessa punya masalah kontrol emosi kalau berhadapan dengan keisengan Ryan, tapi bukan berarti selera humor gadis itu menghilang. Perkataan Ryan yang barusan tetap saja membuat ia sedikit mendengus demi menahan geli.

Ryan mengambil nampan yang tadi sempat ia letakkan di nakas. Menyisihkan gelas berisi air minum di nakas tersebut sementara nakas berisi sepiring nasi dan sup hangat ia letakkan di pangkuannya.

"Cobain dulu deh kuahnya," kata Ryan seraya menyendok kuah sup itu. Membiarkan panasnya sedikit berkurang dan menyodorkannya ke depan mulut Vanessa. "A-a-a ...."

Vanessa melihat Ryan. "Kamu pikir aku ini anak kecil atau apa sih?"

"Ck." Ryan berdecak sekali. "Ya pasti nggak dong, Sa. Orang ngurus anak kecil aja nggak serepot ngurus kamu."

Mata Vanessa membesar. Memikirkan akan menghajar Ryan dengan cara apa. Tapi, seperti bisa menangkap isi pikiran gadis itu, Ryan justru berkata.

"Nggak usah sok kuat saat ini, Sa. Kamu lagi dalam masa yang lemah. Jadi, makan aja dulu biar kamu bisa kuat lagi."

Mendengus lagi, Vanessa lalu membuka mulutnya. Merasa bahwa yang dikatakan oleh Ryan tetap ada benarnya. Untuk menghajar Ryan, dia perlu menyembuhkan sakitnya terlebih dahulu.

Setelah sembuh, aku baru bakal memikirkan cara untuk membalas semua bentuk kejahilan cowok itu.

Ehm ....

Awas saja.

Bukan Vanessa namanya kalau nggak bisa membalas kamu, Yan.

Sejurus kemudian, Vanessa memajukan wajahnya. Mulutnya pun terbuka.

Sendok masuk. Mulut tertutup. Ryan berkata.

"Aaam! Duh! Pinternya anak cantik."

Tapi, perkataan Ryan langsung saja membuat niat awal Vanessa yang tidak ingin menghajar Ryan saat itu lenyap seketika. Vanessa mengangkat tangannya, mengulurkannya untuk menghajar Ryan, tapi keburu cowok itu mengangkat nampannya dan dengan senyum geli di wajahnya ia mengelak seperti ini.

"Sup ini tumpah di atas kasur kamu, auto nggak bisa bobok di sini kamu, Sa. Emangnya kamu mau bobok bareng aku di kamar aku? Iya?"

Tangan Vanessa sontak mengepal karena kesal. Bibir bawahnya maju satu sentimeter karena terpaksa menarik mundur serangannya. Sementara itu sendok di tangan Ryan bergerak lagi.

"Segitunya nggak mau bobok bareng aku," kata Ryan dengan nada mengambek. Kembali menyuap Vanessa. "Padahal ya kan aku nggak bau, Sa. Orang aroma keringat aku aja baunya kayak bunga melati."

"Dasar Kunti!" celetuk Vanessa seraya mengunyah.

"Kalau aku kuntinya, bukan aku yang sibuk mau nyulik bayi," lanjut Ryan. "Malah bayinya yang pada minta dengan sukarela buat aku culik. Bahkan ibunya yang punya bayinya juga sekalian minta diculik. Kakak perempuan bayinya pun juga minta diculik. Sekeluarga deh pada minta diculik. Hahaha."

Vanessa hanya mencibir. Tangannya terangkat menunjuk. "Brokolinya."

Satu cuping hidung Ryan naik sekilas.

Ngomongnya nggak mau, eh sekarang malah nunjuk-nunjuk mau disuapin yang mana.

Ckckck.

Wanita memang sulit dimengerti.

Nyaris memakan waktu sekitar lima belas menit untuk Ryan menyuap Vanessa hingga makanan itu habis tak tersisa. Setelahnya, Ryan segera mengambil gelas air minum. Membiarkan Vanessa melepas dahaganya. Dan lalu wanita itu pun meminum kembali obatnya.

"Bentar ya? Aku mau letakkin ini dulu ke belakang."

Vanessa mengangguk. "Eh, kamu sendiri udah makan?" tanya gadis itu kemudian.

Mata Ryan mengerjap dengan pandangan berbinar-binar. "Kamu---"

"Stop!" cegah Vanessa seraya mengangkat telapak tangannya. "Jangan terusin omongan kamu." Vanessa menggigit bibirnya. "Sebagai klarifikasi jadi aku langsung ngomong aja," lanjutnya. "Nggak. Aku sama sekali nggak mikirin kesehatan kamu atau apa. Aku cuma nggak mau nggak ada yang beresin rumah kalau kamu sakit."

Ryan mengangguk-angguk seraya memasang tampang manyun-manyun manja. "Aku tau kok."

"Tau apa?"

"Kamu kan emang gengsian banget jadi cewek."

Mata Vanessa membesar. "Ryaaan."

"Aku ke dapur dulu, Sa. Hiks. Aku bakal makan kok."

"Eh?"

"Atau kamu mau balas nyuapin aku?"

Tangan Vanessa bergerak. Meraih bantal, tapi Ryan langsung berlari keluar seraya tertawa-tawa. Pada akhirnya, gadis itu hanya bisa meredam kekesalannya dengan meremas bantal itu.

"Liat aja, Yan. Ada masanya nanti kepala kamu aku yang remas-remas kayak gini!"

Sementara itu di dapur, Ryan dengan segera mengambil makan menjelang tengah malamnya. Duduk di kitchen island seraya mengunyah dengan senyum malu-malu.

"Apa semua cewek yang lebih tua kayak gitu? Gengsian? Malu buat ngungkapkan perasaan? Ehm ...."

Ryan menelan makanannya. Masih tersenyum malu.

"Tapi, kan sama suami sendiri. Masa pake malu sih? Orang aku aja udah kayak yang nggak ada malu lagi sama dia."

Senyum malu-malu di wajah Ryan semakin melebar.

"Orang dia aja udah sampe ngerasain kemaluan aku coba. Huekkk."

Ryan tersedak dan langsung mengambil minumnya. Meminumnya dengan terburu demi mendorong potongan kentang yang tersangkut di kerongkongannya. Setelah lega, ia justru tergelak-gelak.

"Ah! Parah kamu, Yan," cemoohnya pada dirinya sendiri. "Kayaknya otak kamu emang ngeres banget deh."

Berusaha untuk menghentikan tawanya, lantas Ryan buru-buru menyelesaikan makan dan meminum obat flunya. Secepat mungkin mencuci piring kotor mereka dan baru kemudian beranjak setengah berlari menuju ke kamar Vanessa.

"Vanessayang ...."

"Vanessayang ...."

"Vanessayang ...."

Ryan berjalan masuk menuju ke tempat tidur Vanessa. Gadis itu terlihat berbaring menyamping. Membelakangi Ryan.

"Vanessayang udah bobok belum?" tanya Ryan. "Udah bobok ya, Vanessayang?"

"Sreeet!"

Vanessa mendadak balik badan. Sekejap membuat Ryan kaget dengan sorot mata tajam gadis itu.

"Ya kali, Yan. Gimana aku mau tidur kalau kamu tiap saat manggil Vanessayang .... Vanessayang .... Vanessayang ...?"

Ryan tergelak.

"Berisik!"

"Sewot terus," gumam Ryan. "Didatangi śetan kemaren baru kamu tau rasa."

Mulut Vanessa terkatup rapat.

"Kamu nggak tau kan kalau energi negatif orang sakit itu favoritnya makhluk halus?"

Mata Vanessa mengerjap mendengar pertanyaan itu. Balik bertanya. "I-iya apa?"

Kepala Ryan mengangguk. "Karena itu śetan kalau nganggu manusia suka bikin orang sakit. Karena dia suka energi negatifnya."

Glek.

Berisik atau nggak, tapi kalau yang dibilang Ryan benar ....

Tapi, Vanessa tetap menjaga wajahnya untuk terlihat tetap ketus. Hanya saja beberapa detik kemudian, tangannya terulur.

"Obat tadi mana? Aku mau minum lagi."

"Eh?" Ryan melotot. "Biar cepat sembuh? Biar nggak didatangi śetan?" tanya cowok itu menerka dengan tatapan tak percaya.

Mengerjap-ngerjap, Vanessa terlihat sok gengsi. "Nggak ..., cuma buat jaga-jaga aja."

"Stres! Nanti kamu OD baru tau rasa!" tukas Ryan. "Daripada minum obat lagi, mending kamu pake jaket yang tebel. Ada?"

Vanessa memutar bola matanya seraya memegang tepian selimut di atas dadanya. Berpikir sejenak.

"Ada kok."

"Aku ambilin," kata Ryan. Ia beranjak ke lemari Vanessa. Melihat tiga pintu di sana. "Bagian mana?"

"Itu yang di pintu sebelah kanan."

Tangan Ryan langsung membuka pintu lemari itu dan melotot melihat tumpukan pakaian dalam di sana.

Wah! Wah! Wah!

Ada merah, kuning, hijau---

"Plakkk!"

Ryan menoleh langsung setelah mendapati kepala belakangnya dilempar bantal oleh Vanessa. Sontak membuat cowok itu merutuk.

"Kok ngelempar bantal sih?" tanyanya seraya mengusap bagian belakang kepalanya.

"Kamu ngapain buka tempat pakaian dalam aku, Meśum?!"

"Kan kamu sendiri yang bilang pintu sebelah kanan! Kok aku yang disalahin sih?!"

"Maksud aku pintu sebelah kanan lemari, bukan pintu sebelah kanan kamu!"

"Oh ...."

Ryan mengulum senyum.

"Ya maaf, Sa. Kirain kan maksudnya pintu sebelah kanan aku. Makanya tadi aku syok juga sih," ujar cowok itu. "Aku malah sempat mikir kamu mau aku bantuin buat pake bra juga. Ups!" Ryan buru-buru menutup mulutnya. "Yang mana tadi pintunya?"

Vanessa sudah melototkan mata sebesar-besarnya.

Ryan buru-buru menutup pintu lemari itu dan beranjak ke pintu sebelah kanan lemari. Padahal di dalam hati ia bertanya-tanya.

Kira-kira malam ini Vanessa pake yang warna apa ya?

Ehm ....

Sepertinya biru.

Hihihi.

Ryan melihat beberapa jaket yang tergantung di dalam lemari itu. Ia melirik lewat pundaknya. "Ini kayaknya bukan jaket deh. Ini semacam apa sih istilah fashionnya? Ehm ... cuma buat gaya-gayaan doang. Nggak ada yang tebel gitu?"

"Tuh kan! Kamu bawel lagi!" rutuk Vanessa. "Itu ya namanya jaket."

Ryan meraba jaket itu. "Setipis ini disebut jaket? Terus apa bedanya sama pakaian biasa?" tanya Ryan dengan suara rendah. "Nggak ngaruh banget pake yang tipis kayak gini, Sa."

"Ya udah! Kalau kamu punya yang tebel, bawa sini jaket kamu!" tukas Vanessa. "Jadi cowok perkara tebal tipis jaket aja bisa jadi masalah."

"Fyuuuh."

Cukup satu punya istri ya, Tuhan. Nggak kebayang kalau diomelin empat orang cewek dalam sehari.

Kalau nggak gila ya pasti sakit jiwa.

Membalikkan badan, Ryan tersenyum.

"Kamu pinter banget wahai istriku tersayang. Ya tentu aja jalan keluarnya dari masalah kamu adalah jaket suami sendiri."

Tak menghiraukan rona merah di pipi Vanessa, Ryan langsung bergegas ke kamarnya. Mengambil satu jaket tebal yang ia miliki.

Cowok itu membantu Vanessa untuk duduk dan memakaikan jaket itu di tubuh Vanessa. Pun termasuk merapikan rambut panjang bergelombang gadis itu.

"Unununu. Jaket baru aku langsung dipake sama Vanessayang ...." Ryan menatap kagum pada Vanessa seraya bangkit dari tempat tidur. Sengaja agar mampu mengamati Vanessa lebih jelas.

Vanessa menyipitkan matanya. "Kenapa? Nggak suka? Ngerasa rugi?"

"Siapa bilang aku nggak suka? Ya jelas aku suka dong," kata Ryan buru-buru. "Gimana? Hangat kan kalau pake jaket aku? Berasa dipeluk aku kan ya? Hihihi."

Bibir Vanessa mencibir. "Kamu bilang ini baru, otomatis dong belum kamu pake. Jadi aku nggak ngerasa lagi dipeluk sama kamu tuh."

"Ah ...."

Yang dikatakan Vanessa benar.

"Hahahaha!" Vanessa tergelak melihat Ryan yang terdiam karena perkataannya. "Nggak mau ngebalas omongan aku lagi? Hahahaha."

"Segitu senangnya ya bisa ngebuat aku terdiam," goda Ryan. "Padahal ya kan. Aku bahkan pernah ngebuat kamu terdiam tanpa kata-kata sebanyak empat kali!"

Tangan Ryan terangkat satu sementara satu tangan lainnya berkacak di pinggang. Tangannya yang terangkat menunjukkan angka empat di jarinya. Lalu ia tertawa terbahak-bahak.

"Hwahahaha."

Wajah Vanessa malu memerah. Melihat Ryan yang tertawa tergelak-gelak, sementara gadis itu tau dengan pasti maksud perkataan Ryan.

Tentu saja yang cowok itu maksud adalah ciuman mereka.

Tangan Vanessa bergerak, bersiap untuk mengambil bantal yang tadi dilemparkannya pada Ryan. Tapi, Ryan justru berkata.

"Kita ribut pas kamu lagi sakit, ckckck .... Dua hal yang benar-benar bisa jadi alasan buat itu śetan balik lagi." Ryan tergelak lagi. "Hahahaha."

Maafkan aku śetan. Kayaknya aku harus fitnah kamu lagi. Hihihi.

"Kamu itu jangan suka nakut-nakutin aku, Yan!" bentak Vanessa.

"Kayak yang aku ada hobi baru aja. Masa sukanya nakut-nakutin kamu," kata Ryan beranjak duduk di tepi ranjang gadis itu. "Hobi aku itu kan suka sama kamu."

Bantal benar-benar melayang.

"Kamu ... ini ... beneran ... suka ... banget ... buat ... aku ... kesal," kata Vanessa dengan penuh geram.

Ryan tergelak-gelak. Membiarkan bantal itu bergantian mendarat di tubuhnya. Ya di wajahnya, di dadanya, di perutnya, pokoknya di mana-mana deh.

Lalu, di momen yang pas, Ryan justru menangkap bantal itu. Menariknya dalam sekali sentakan dan membuat tubuh Vanessa tertarik ke arahnya. Vanessa berhasil menahan laju tubuhnya dengan tepat sementara di hadapannya Ryan sudah bersiap dengan memonyongkan bibirnya.

Vanessa menarik bibir Ryan.

"Otak meśum!"

Ryan geli seraya mengusap-usap bibirnya. "Ntar kamu didatangi śetan jangan manggil nama aku ya."

"Kamu ...." Wajah Vanessa terlihat mengeras. "Kamu nakut-nakutin aku terus!"

"Loh! Untuk apa aku nakut-nakutin kamu kalau kamunya sendiri udah takut?!" tukas Ryan. Ia lantas memeluk bantal itu. "Daripada nakut-nakutin kamu, Sa, mendingan aku berani-beraniin kamu."

Vanessa diam.

"Kamu nggak apa-apa kan bobok sendirian?" tanya Ryan pelan.

Cowok itu bertanya dengan begitu sengaja sedikit mengubah irama suaranya. Lebih rendah, sedikit bernuansa berbisik lirih. Dengan maksud untuk mempengaruhi Vanessa. Karena bukannya apa, bukan Ryan namanya bila ia tidak jahil ketika menanyakan hal itu. Karena sejurus kemudian ia kembali berkata.

"Intinya, kalau pas kamu bobok ntar ngerasa kayak ada desiran halus angin gitu, kamu nggak usah buka mata. Lanjut aja pura-pura bobok."

Glek.

"Itu dia pasti cuma numpang lewat buat ngambil energi negatif kamu aja bentar. Kalau kamu nggak takut, dia pasti bakal pergi kok."

"Ka-kalau aku takut?"

Ryan menarik napas dalam-dalam. "Ya masa perlu ditanya lagi sih? Otomatis deh dia bakal nempelin kamu. Kamu pernah dengar cerita kan yang orang kena tempel makhluk halus? Terus orang itu suka sakit-sakitan? Wajahnya pucat terus? Nah!" Jari telunjuk Ryan terangkat. "Itu makhluk halusnya udah ketagihan sama energi negatif orang tersebut. Jadi nggak bakal ngelepasin dia lagi."

Kata demi kata yang diucapkan oleh Ryan sukses membuat Vanessa meneguk ludahnya berulang kali. Tubuhnya mendadak saja langsung panas dingin lagi. Tapi, kali ini Vanessa yakin seratus persen. Bukan flu yang menjadi penyebabnya.

Diam-diam, di dalam hati Ryan telah bersorak-sorak.

Ehm ... sepertinya Vanessa udah mulai ketakutan, Pemirsa.

Hihihi.

"Ehm!"

Ryan mendehem. Tetap berusaha memasang wajah sok tak pedulinya ketika berkata.

"Oke, kayaknya tugas aku buat ngerawat kamu udah selesai malam ini ..."

Mata Vanessa melotot melihat Ryan yang tampak akan beranjak dari sana.

"... jadi, aku mau balik ke kamar dan---"

Ryan mengerutkan dahi melihat tangan Vanessa yang sedikit tenggelam dalam lengan jaket yang kebesaran itu memegang tangannya.

"Apa?"

Vanessa menggigit bibir bawahnya. "Jangan tinggalin aku dong, Yan."

Aduh!

Ryan merasakan seperti ada palu yang memukul jantungnya.

Perkataan Vanessa membuat perasaannya melayang-layang rasanya. Tapi, tidak ingin terlihat begitu berharap, eh Ryan malah memasang tampang sok polosnya.

"Aku nggak pergi kok. Cuma ke kamar doang. Kan aku mau tidur, Sa. Ya kali a---"

"Tidur di sini aja, Yan," potong Vanessa.

Glek.

Ryan meneguk ludahnya. "Tidur di sini?" tanya Ryan lagi ingin memastikan. "Di kamar kamu?"

Vanessa mengangguk.

"Aku takut soalnya ..."

Wah!

Wajah Ryan seketika berseri-seri.

Ya kali!

Mana ada cowok normal yang nolak kalau diajak istri buat bobok bareng?

Cihuyyy!

" ..., tapi kamu tidurnya di lantai ya?"

Doooong!

Wajah Ryan lesu seketika. Cuping hidungnya terasa berkedut seketika.

"Aku nggak tau kalau selain galak, ternyata kamu ini sebangsa cewek nggak ada akhlak, Sa," kata Ryan lemas.

Dan ia tiba-tiba langsung melepaskan tangan gadis itu dari tangannya. Membuat Vanessa melotot kaget.

"Minta dilindungi, eh tapi malah nyuruh aku tidur di lantai." Mata Ryan melotot. "Aku ini cowok yang lembut perasaannya, Sa, masa suruh baring di lantai yang keras? Nggak ada hati beneran kamu ini."

Mata Vanessa mengerjap.

Apa hubungannya perasaan yang lembut dan lantai yang keras?

"Ya terus ...," lirih Vanessa tergagap. "Kalau bukan di lantai ... kamu mau tidur di mana? Masa di kamar mandi?"

Ryan rasanya benar-benar ingin balas memukul bantal pada Vanessa. Sepertinya flu membuat otak Vanessa terguncang. Tapi, Ryan berhasil menepis ide itu. Ia tidak ingin membuat gadis itu takut. Alih-alih melakukan itu, Ryan justru kembali menghadirkan tampang tak tahu malunya.

"Ya ngapain tidur di lantai atau kamar mandi kalau kasur kamu seluas ini?"

"Eh?"

Dan Ryan langsung saja membaringkan tubuh di kasur itu. Meletakkan bantal yang digunakan Vanessa untuk memukulnya berulang kali di bawah kepalanya.

"Ayoh!" kata Ryan. "Mari kita arungi lautan mimpi bersama, Vanessayang. Aku siap."

"Ryan ...."

Senyum Ryan terkembang. "Aku akan menjaga kamu dari gangguan śetan yang terkutuk malam ini. Ha ha ha ha."

"Aku malah khawatirnya śetan itu sekarang udah berubah bentuk jadi kamu."

Ryan tergelak. Tapi, sejurus kemudian wajahnya tampak sok serius. "Ayoh, tidur! Ntar nggak sembuh-sembuh loh."

Kesal, tapi tak bisa berbuat apa-apa, Vanessa justru membawa bantalnya dan lalu beringsut ke sisi kasur yang lainnya. Membuat Ryan hanya mencibir.

"Kalau jauh-jauhan gitu ntar kamu dingin loh. Kamu nggak tau ya kalau tubuh aku ini memancarkan kehangatan?"

"Bawel!"

"Emang punggung kamu nggak dingin, Sa?" tanya Ryan lagi. "Orang flu itu harus benar-benar merasa hangat loh. Emangnya kamu mau flu kamu nggak sembuh-sembuh? Sini deh ... biar aku peluuuk."

Vanessa menggigit bibir bawahnya. Benar-benar merasa geram.

Aku itu rencananya nyuruh dia tidur di kamar aku biar aku bisa tidur yang nyenyak. Nggak pake acara digangguin sama śetan.

Eh, tapi yang terjadi justru sebaliknya.

Mana bisa aku tidur kalau dia ngomong aja dari tadi.

"Vanessayang ..., beneran kamu nggak mau---"

"Sreeet!"

Mendadak saja Vanessa membalikkan badan dan langsung beringsut pada cowok itu. Matanya menatap.

"Meluk aku bisa bikin kamu diem nggak sih?" tanya Vanessa kesal. "Aku tuh mau tidur, tapi kok kamu bawel banget sih? Kamu nggak tau kalau orang flu itu butuh banyak-banyak istirahat?"

Ryan mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Mengangguk sekali. "Janji, nggak bakal ngomong lagi."

"Awas kalau kamu ngomong lagi."

Ryan kembali menutup mulutnya dan mengangguk. Sementara itu Vanessa membalikkan tubuhnya.

Ryan meneguk ludah melihat punggung Vanessa.

Ya ampun.

Kalau aku meluk dia, kira-kira debaran jantung aku bisa menggetarkan punggung dia nggak ya?

Mamaaa!

Mohon doakan anakmu agar tetap bernyawa hingga besok.

Ryan menguatkan dirinya. Mengulurkan satu tangan untuk menyelinap di celah antara lekuk leher Vanessa dan bantal yang gadis itu kenakan.

Perlahan Ryan mendekat. Benar-benar memeluk tubuh itu dari belakang. Seperti yang ia katakan. Untuk menjaga punggung itu agar tidak dingin. Tapi, efeknya justru Ryan merasa tubuhnya yang jadi panas dingin.

Aduh!

Kayaknya aku nggak bakal bisa tidur deh kalau jantung aku bunyinya berisik kayak gini!

Di lain pihak, merasakan Ryan memeluknya dari belakang membuat Vanessa merenung.

Kayaknya yang diomong Ryan bener deh.

Punggung aku jadi kerasa hangat.

Dan karena itulah, akhirnya Vanessa justru menggeser mundur tubuhnya. Hingga benar-benar mentok di dadá cowok itu.

Vanessa menggumam rendah di detik-detik di mana kesadarannya beranjak untuk menghilang.

"Jangan lepasin pelukan kamu, Yan."

Glek.

Ryan terharu.

Nggak bakal, Sa.

Hiks.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro