36. Salah Mengartikan
Memilih pergi dari depan pintu kamar Ryan, Vanessa merasa wajah dan kepalanya benar-benar menjadi panas.
Saking aku udah emosi banget sama dia, aku berasa kepala aku mau pecah sekarang.
Merasa ia begitu emosi, gadis itu lantas memilih langsung beranjak ke kamar mandi. Melepas semua pakaian yang melekat di tubuhnya. Meremasnya dengan kesal. Membantingkan di keranjang pakaian kotor.
Selanjutnya Vanessa berdiri di bawah pancuran. Ia mengguyur kepalanya dengan air dingin. Ngomel-ngomel sepanjang siang hingga malam nyaris membuat ia merasa otaknya benar-benar mendidih.
Tangan Vanessa terulur. Memincit botol sampo dengan terlalu kuat hingga isinya meluber ke mana-mana. Dengan kesal, Vanessa meletakkan kembali botol sampo itu dengan setengah membantingnya.
"Dasar Ryan otak meśum! Ryan otak ngeres! Isi otak dia pasti pikiran kotor semua!"
Vanessa mengumpati cowok itu seraya meletakkan shampoo di kepalanya. Kedua tangannya bergerak dan dalam sekejap mata langsung saja kepalanya penuh dengan busa wangi.
Air pancuran masih mengucur dengan deras. Membasahi tubuh Vanessa tanpa ada sedikit pun yang terlewat.
"Gara-gara dia berhasil mencium aku di dua kesempatan, makanya dia jadi berani kayak gitu sama aku!" gerutu Vanessa seraya memijat kulit kepalanya dengan sedikit lebih kuat dari biasanya. "Tau gitu aku nggak bakal mau dijemput dia di kebun jagung! Mending aku balik jalan kaki aja daripada dijemput dia. Aku nggak tau kalau aslinya itu cowok benar-benar pintar mencari kesempatan. Dia ternyata pintar banget memanfaatkan suasana sendu pas lagi ujan!"
Geraman gadis itu terdengar lagi. Kali ini terlampiaskan pada sabun cairnya. Muncrat dengan melimpah pula di spon mandinya.
Tangan Vanessa meremas spon mandi dengan geregetan. Seakan-akan saat itu ia sedang meremas-remas kepala Ryan mungkin.
Beberapa detik kemudian, spon itu sudah menjelma menjadi bola busa yang harum. Vanessa pun membawanya untuk menggosok tubuhnya dengan kuat.
"Dan yang paling buat aku kesal!" geram Vanessa menekan spon di lehernya. "Harusnya tadi aku beneran nggak balik lagi ke kampus. Biarin aja dia semalaman di kampus sampe pagi. Mampus mampus deh dia di kampus nggak pake balik!"
Tangan Vanessa bergerak. Mencoba menggosok punggungnya.
"Tapi, aku dengan begoknya malah balik lagi ke kampus. Dan lihat kan apa yang terjadi?! Gara-gara aku ngerasa bersalah, malah dia yang dengan pinter justru memanfaatkan situasi. Dasar cowok!"
Vanessa turun berjongkok. Menggosok kedua kakinya bergantian.
"Tadi itu aku mau ngelak juga dia cepet banget geraknya. Keliatan banget udah ahli dalam hal mencuri ciuman cewek! Mana nggak pake meleset lagi. Sesenti pun nggak pake meleset. Bisa gitu pas di bibir aku?!"
Dan tidak tau hal apa saja yang digerutukan oleh gadis itu sepanjang ia mandi. Yang pasti, nyaris tiga puluh menit ia menghabiskan waktu sambil ngomel-ngomel di bawah pancuran air dingin itu. Sesuatu hal yang dilupakan oleh Vanessa. Bahwa obat flu yang ia minum tadi siang baru saja menahan bersinnya untuk beberapa saat, eh gadis itu malah langsung keramas selama itu dengan air dingin. Terutama karena ia sendiri kembali salah mengira rasa panas di wajah dan kepalanya sebagai efek kemarahan terhadap Ryan, padahal yang sebenarnya ada itu karena tubuhnya kembali menunjukkan gejala sakit flunya.
"Hatchiii!"
"Hatchiii!"
"Hatchiii!"
Tiga puluh menit kemudian, Vanessa kembali bersin-bersin di balik selimut tebalnya. Kepalanya berdenyut-denyut dan ia benar-benar merasakan kedinginan. Seperti ia berada di ruangan pembeku.
Ia menggigil. Semakin mengeratkan selimut untuk menghangatkan dirinya.
Keadaan gadis itu terlihat benar-benar lebih mengenaskan dibandingkan dengan siang tadi. Ingin merasa hangat pun sedikit percuma mengingat rambut panjangnya masih dalam keadaan lembab. Hal yang justru memperparah keadaan dirinya.
"Tok! Tok! Tok!"
Mata Vanessa yang memejam perlahan membuka. Menatap pada pintunya yang diketuk. Tanpa bertanya, ia sudah bisa menebak tangan siapa yang mengetuk di sana.
Dasar ini Ryan, ya ampun. Kapan coba dia bisa tenang dikit aja?
Nggak tau apa kalau aku lagi pusing gini?
Vanessa melenguh. Merasa sedang tidak ingin diganggu dulu oleh cowok itu. Tapi, yang terjadi justru suara Ryan terdengar.
"Vanessayang ...."
"Vanessayang ...."
"Vanessayang ...."
Ya ampun!
Irama suara Ryan yang memanggil nama gadis itu sama persis seperti irama suara anak tetangga yang mengajak bermain. Kepala Vanessa yang berdenyut terasa bagai ditimpa gunung saat mendengar panggilan itu.
"Kamu udah bobok atau belum?"
Pandangan Vanessa rasanya berkunang-kunang.
Dia sudah menghapus kata bobok dari kamus hidupnya sekitar tujuh tahun yang lalu. Dia merasa dia bukan anak-anak lagi. Usianya tidak lagi cocok untuk kata-kata manja semacam itu.
"Kalau belum bobok, mau aku masakin makan malam?"
Eh?
Tapi, tawaran makan malam tetap saja membuat liurnya terbit.
"Kita candle light dinner yuk. Hihihi."
Liur Vanessa seketika mengering.
Lampu segini terangnya malah sok mau pake lilin?
Kenapa nggak pake lampu teplok aja sekalian?
"Ehm ... apa kamu mau aku beliin setangkai bunga mawar dulu? Biar lebih romantis gitu. Aduh! Aku punya mawar bagus pake pot malah di depot, Sa. Ntar aku bawain aja pake potnya sekalian."
Vanessa memejamkan matanya dengan erat.
Itu anak beneran mau buat kepala aku pecah atau gimana sih?
Sampe dia ngasih aku bunga mawar pake pot, bakal kepalanya yang aku lempar pake pot!
"Vanessayang ..., kok nggak ngomong-ngomong sih dari tadi? Sayang ..."
Eh?
Mata Vanessa mengerjap.
Ini anak tadi manggil apa?
"... kan kalau bobok dengan keadaan perut yang lapar. Hihihi. Ntar boboknya nggak nyenyak dong."
Vanessa meremas selimutnya. Tau dengan pasti kalau cowok itu memang berniat menggoda dirinya. Sengaja sekali menggantung kalimatnya di titik yang tepat.
"Tok! Tok! Tok!"
Ryan kembali mengetuk pintu itu
"Aku bakal nungguin kamu keluar, Vanessayang. Soalnya kamu belum makan malam loh, Sa. Suami macam apa aku? Masa tega ngebiarin istrinya bobok dalam keadaan perut lapar. Hiks."
Sudahlah!
Vanessa pikir tadi kalau ia memilih diam dan tak menghiraukan cowok itu, Ryan akan menyerah dan memilih pergi. Tapi, sepertinya dugaan Vanessa salah. Cowok itu memang keras kepala!
Vanessa menyentak selimut terlepas dari tubuhnya. Dengan cepat ia turun dan membuka pintu. Langsung membentak Ryan.
"Kamu ini beneran ya?! Hobi banget ngang---"
Vanessa langsung memegang kusen pintu. Kepalanya terasa berat dan pandangannya goyang. Bentakannya terhenti seketika.
"Vanessayang," lirih Ryan dengan cepat menahan tubuh gadis itu dengan kedua tangannya. Mata Ryan membelalak merasakan suhu tubuh gadis itu. "Astaga! Kok badan kamu sepanas ini sih?"
Kepalanya terlalu berdenyut. Tubuhnya terasa benar-benar lemah hingga ia memutuskan untuk turun. Ingin duduk di lantai. Tidak sanggup merasakan lantai yang bergoyang-goyang di pikirannya.
Tapi, Ryan dengan cepat meraih tubuh Vanessa. Tak membiarkan gadis itu duduk di lantai, melainkan membawa kedua tangannya masing-masing ke punggung dan belakang lutut Vanessa. Mengambil posisi yang tepat dan lantas Vanessa pasrah saja terjatuh di gendongan cowok itu.
Di gendongan Ryan, Vanessa dengan cepat membenamkan wajahnya di dadá cowok itu. Matanya terpejam dengan begitu rapat. Hanya sebagai upaya agar ia tidak semakin merasa pusing.
Tapi, hal itu justru diartikan lain oleh Ryan yang langsung menyunggingkan senyum malu-malu. Matanya mengerjap-ngerjap berulang kali. Di dalam hati ia bergumam girang.
Biasanya aku kan ngegendong sekarung pupuk. Eh, kali ini aku mendadak ngegendong seseorang yang empuk.
Hiks.
Emang penuh rizki ini nama Ryan.
Ryan mendehem. Lalu melangkah pelan dan segera membaringkan tubuh Vanessa di atas kasur. Terlepas dari kebahagiaannya karena menggendong Vanessa, cowok itu justru memerhatikan hal lainnya.
Seraya menyelimuti Vanessa, Ryan bertanya dengan nada penasaran.
"Obat yang aku kasih tadi siang udah kamu minum belum?"
Masih memejamkan matanya, Vanessa mengangguk sebagai jawaban pertanyaan itu.
Ryan menggaruk kepalanya dengan raut wajah yang menunjukkan kebingungan. "Harusnya kamu udah mendingan loh sekarang. Soalnya aku juga minum obat itu. Manjur banget buat flu. Tapi, kok kamu malah keliatan tambah parah gini?" tanya Ryan seraya meraba dahi Vanessa sementara ia duduk di tepi tempat tidur. Dan di saat itulah tangannya menyentuh sekilas anak rambut Vanessa yang lembab. Mata Ryan membesar. "Kamu mandi keramas?"
Vanessa meringis. Kali ini meremas rambutnya sendiri. "Kamu bisa nggak cerewet nggak sih, Yan?" tanya Vanessa lemah. "Ini kepala aku berasa kayak ada sepuluh orang Ryan lagi jalan hentak-hentak kaki di dalam sana."
Ryan sih tidak mau, tapi ia tetap saja mengulum senyum geli dengan perkataan itu. Tapi, di detik selanjutnya, Ryan pun menyadari bahwa ia harus mengurusi Vanessa terlebih dahulu, alih-alih menggoda gadis yang tengah sakit itu.
"Bentar ya, Sayang. Ups!" Ryan menutup mulutnya. "Vanessayang maksudnya."
Bahkan kalaupun ingin, Vanessa benar-benar sudah tak berdaya lagi untuk meladeni cowok itu.
Sementara itu, Ryan dengan cepat ke dapur. Menyiapkan roti tawar dengan selai coklat. Segelas air hangat dan ia tak lupa dengan obat flu. Ryan membawa semua itu dengan menggunakan satu nampan. Bergegas, ia segera ke kamar Vanessa.
Ryan meletakkan makanan itu di atas nakas Vanessa. Berkata pada gadis itu.
"Sa ..., kamu makan roti dulu yuk? Abis itu minum obat. Biar cepat mendingan."
Vanessa meringis. "Kepala aku pusing banget, Yan. Beneran deh ini."
Ryan mengambil piring roti itu. "Ya kamu sih. Udah tau flu baru mau mendingan, eh malah kamu bawa mandi keramas. Aku aja heran kenapa kamu nggak sampe mandi kembang tujuh rupa aja ntar tengah malam. Biar kamu tambah cantik walau lagi sakit."
Vanessa mengulurkan tangannya. Memukul paha Ryan, tapi lemah.
"Ck. Makan dulu ya, Sa. Biar kamu ada tenaga buat mukul-mukul aku. Cubit-cubit aku. Serah kamu deh. Karena yang barusan itu sumpah! Berasa kayak elusan aja. Mana tempatnya di paha lagi." Ryan nyengir. "Yuk mamam dulu, Vanessayang. Biar aku suapin."
Ryan menyobek roti itu dan lalu menyuapkannya pada Vanessa. Gadis itu mengunyahnya dengan teramat pelan. Hingga mendorong Ryan untuk bertanya dengan polos.
"Ngeliat kamu susah ngunyah, gimana kalau gini aja? Rotinya biar aku kunyah dulu, terus baru deh aku suapin mulut ke mulut?" Ryan tersenyum malu. "Gimana? Kamu mau kan?"
Mata Vanessa yang dari tadi memejam karena sakit kepala, membuka perlahan. "Kamu mau buat aku tambah sakit ya?"
Ryan mengulum bibirnya. "Gitu aja langsung sewot," goda Ryan dan menyuap Vanessa lagi. "Ih. Nggak sehat nggak sakit, sama aja. Suka sewot."
Hingga beberapa saat kemudian, pada akhirnya Vanessa selesai juga menghabiskan dua lembar roti tawar. Selanjutnya dengan dibantu Ryan, Vanessa pun meminum obatnya. Tak lupa, Ryan mengelap bibir Vanessa dengan sehelai tisu.
Bagian ini harus aku jaga baik-baik.
Unununu.
Jangan gara-gara flu malah ngebuat bibir Vanessa pecah-pecah ntar.
Sementara Vanessa beringsut lagi ke balik selimut, Ryan justru bertanya pada gadis itu.
"Hairdryer kamu di mana, Sa?"
Pelan, Vanessa menjawab. "Buat apa?"
"Biar aku keringin rambut kamu. Percuma aja kamu minum obat dan pake selimut tebal kalau rambut kamu lembab gitu."
"Ehm ... di kamar mandi. Di rak dekat wastafel."
Ryan segera beranjak ke kamar mandi Vanessa. Dengan cepat langsung menemukan hairdryer yang ia cari. Tapi, ketika ia balik badan, ia terlonjak.
Tangan di dadá dan mata melotot. Melihat pada keranjang pakaian kotor di seberang kamar mandi.
Ryan tertegun.
"Oh tidak." Cowok itu belum berkedip. "Aku ngeliat bra Vanessa."
Glek.
Tubuh Ryan bergidik.
Ya Tuhan!
Dan cuuus! Dia langsung berlari keluar dari sana dengan pikiran yang beraneka ragam.
Jangan sampe aku mikir isi di dalamnya. Bisa gawat!
Ryan lalu mengambil tempat di dekat Vanessa. Menyalakan hairdyer dan meraih rambut panjang Vanessa. Dengan pelan dan penuh kelembutan, Ryan mengeringkan rambut gadis itu sementara Vanessa beristirahat. Sepertinya efek panas hairdryer juga turut menghangatkan dirinya sehingga ia merasa semakin nyaman.
Melihat wajah Vanessa yang kian lama terlihat makin santai, cowok itu tersenyum lembut. Merasa bangga karena bisa menenangkan gelisah akibat sakit yang Vanessa rasakan. Dan itu membuat Ryan semakin bersemangat mengeringkan rambut Vanessa. Bahkan saking benar-benar menjiwai perannya saat itu, rasanya Ryan ingin sekali bertanya seperti ini: Perlu dipijat juga kepalanya, Nona? Saya kasih extra plus plus pelayanan deh. Khusus promo akhir bulan.
Dan Ryan pikir besok dia akan langsung menutup depotnya dan beralih membuka salon. Hahahaha.
Hingga beberapa saat kemudian, Ryan mendapati rambut Vanessa sudah mengering. Bunyi mesin hairdyer seketika berhenti. Ryan menyisihkan benda itu dan beranjak merapikan selimut Vanessa.
Ryan bangkit seraya membawa nampan yang ia gunakan untuk membawa roti Vanessa tadi. "Kamu istirahat aja dulu," lirihnya walau tak yakin apa gadis itu masih sadar atau tidak.
Ia lantas melirik pada jam di kamar Vanessa.
"Ntar tiga jam lagi aku balik lagi buat ngeliat kamu sambil bawain makanan. Biar kamu bisa minum obat lagi."
Vanessa lalu mengangguk pelan. Cukup menjadi sinyal bagi Ryan untuk kemudian ia beranjak keluar.
Sementara menunggu tiga jam lagi, Ryan menyempatkan waktunya untuk membuka buku-buku materi kuliahnya. Ada beberapa tugas yang harus ia kerjakan. Lagipula, walau dulu ia pernah dapat nilai A, bukan berarti semua materi kuliah masih melekat di otak cowok itu. Ia tidak ingin huruf A justru tergantikan oleh B.
Hiks.
Itu pasti akan menjadi kenyataan yang memalukan. Terancam bisa mencoreng nama baiknya selama ini.
Dua jam setengah kemudian, Ryan beranjak dari bukunya. Menuju ke dapur dan memutuskan untuk memasakkan sup lagi untuk Vanessa. Bukannya karena ia tidak bisa masak hal lainnya, tapi Ryan pernah membaca artikel yang menyatakan bahwa sup adalah salah satu makanan yang cocok dimakan untuk penyembuhan sakit flu.
Maka sekitar dua puluh menit kemudian, sepiring nasi hangat dan semangkuk sup ayam makaroni telah tersaji. Bahkan Ryan tak lupa menaburkan bawang goreng di atasnya.
Ryan membawa nampan itu masuk ke kamar Vanessa. Meletakkannya di atas nakas. Ia duduk di tepi tempat tidur. Membangunkan Vanessa dengan perlahan.
"Vanessayang ..., bangun dulu yuk."
Tangan Ryan mengguncang tubuh Vanessa.
"Vanessayang ..., bangun yuk. Kamu mamam dulu ya?"
Vanessa membuka mata karena satu kata asing itu.
Mamam?
Vanessa membuang napas panjang. Ia berusaha bangkit duduk dan Ryan membantu dirinya.
"Gimana keadaan kamu sekarang?" tanya Ryan. "Masih pusing?"
Vanessa menarik napas dalam-dalam seraya memejamkan mata. Mengerutkan dahi. Mencoba meresapi rasa kepalanya sendiri. Ketika matanya membuka, ia melihat pada Ryan.
Sadar atau tidak, bibir itu melengkung sedikit. Ia menggeleng.
"Udah nggak sakit lagi."
Ryan mengembuskan napas panjang. "Syukurlah kalau gitu," kata cowok itu lega. "Lain kali kamu nggak boleh gitu lagi ya, Sa?"
Masih lemah, Vanessa berusaha untuk mencoba berpikir. Tapi, ia tak mengerti. "Nggak boleh gitu lagi apa?" tanya Vanessa. "Mandi keramas pas sakit flu? Atau tidur dengan rambut basah?"
Dan kebingungan Vanessa semakin menjadi-jadi saat dilihatnya Ryan mencubit jari jemarinya tangannya bergantian. Cowok itu terlihat tersenyum malu ketika berkata.
"Jangan mikirin aku sampe ngebuat kepala kamu pusing."
"Eh?" Mata Vanessa mengerjap. Vanessa bingung. "Maksudnya?"
Tersipu malu-malu, Ryan mengedip-ngedipkan matanya. "Tadi kamu kan bilang gini. Ini kepala aku berasa kayak ada sepuluh orang Ryan lagi jalan hentak-hentak kaki di dalam sana." Ryan menatap Vanessa. "Itu artinya selama ini aku selalu ada di kepala kamu ya?"
Vanessa menutup matanya dan meletakkan satu tangan di dahinya. Bersandar di kepala tempat tidur.
"Kayaknya kepala aku masih pusing."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro