33. Efek Hujan
"Silakan perhatikan daun di meja praktikum kali -Hatchiii!- an."
"Hatchiii!"
"Ada daun randu, daun .... Hatchiii! Kacang tanah, daun kelor dan ..."
"Hatchiii!"
"... daun tomat."
Vanessa menarik napas sejenak. Berusaha mengira-ngira apakah ia akan bersin dalam waktu dekat atau tidak. Sekaligus untuk menenangkan dadanya juga.
"Kalian gambar dan apabila ada yang tidak kalian mengerti, silakan bertanya pada Farrel. Hatchiii!"
"Hatchiii!"
Vanessa kemudian beranjak ke tempat duduk. Membiarkan Farrel untuk mengambil alih praktikum siang itu. Lagipula, Vanessa memang merasa ia tak akan bisa benar-benar memandu praktikum itu. Terlepas dari bersinnya yang menjadi-jadi, sebenarnya gadis itu juga merasa kepalanya sedikit pusing.
Detik selanjutnya, Vanessa kembali merasakan hidungnya gatal. Ia tak bisa menahan rasa itu sehingga ia pun bersin lagi.
"Hatchiii!"
"Hatchiii!"
Untuk ke sekian kalinya, dua suara bersin yang bersumber dari dua orang yang berbeda terdengar. Membuat peserta praktikum yang lainnya menatap pada keduanya. Yah, bagaimana ya ngomongnya? Tapi, dari tadi kalau bukan bersin bersamaan, ya pasti bersin bergantian.
Mendapati dirinya diperhatikan oleh peserta praktikum, membuat Vanessa merasa malu. Terutama karena peserta praktikum memerhatikan dirinya setelah mereka memerhatikan Ryan. Atau sebaliknya, memerhatikan Vanessa dulu baru memerhatikan Ryan.
Vanessa menggeram. Menyadari bahwa dirinya dan Ryan sukses menjadi bahan kebingungan di kelas praktikum siang itu. Ingin menyalahkan Ryan, Vanessa justru merasa malu sendiri. Bukannya apa, tapi yang namanya flu pasti menjadi konsekuensi bila kalian memutuskan untuk berciuman sementara hujan angin sedang menyapa.
Ups!
Melihat keadaan dirinya yang sekarang bersin-bersin karena flu, Vanessa justru teringat dirinya yang kehausan saat bangun tidur tadi. Salah mengartikan sinyal tubuhnya yang satu itu sebagai efek mimpi buruk, ternyata itu justru tanda-tanda bahwa tubuhnya sedang tidak fit.
Bangun tidur dan langsung meladeni Ryan membuat Vanessa tidak memperhatikan bahwa tubuhnya bermasalah pagi itu. Tenggorokan kering bukanlah satu-satunya hal yang terjadi pada dirinya. Ketika ia selesai mandi dan bersiap, ia baru menyadari bahwa hidungnya terasa gatal dan badannya sedikit meriang. Dan di saat matahari meninggi dimulailah petualangan Vanessa dan bersinnya. Yang mana sepertinya, hal itu juga terjadi pada Ryan. Dari tempatnya duduk, Vanessa bisa melihat Ryan yang juga bersin berulang kali.
Vanessa meneguk ludahnya. Entah mengapa, tapi ketika pandangannya melihat Ryan di seberang sana, eh mendadak saja ia teringat beberapa hal yang bisa membuat perutnya terasa mual seketika.
Sore hari di tengah hujan di kebun jagung.
Pagi hari di dapur.
Argh!
Vanessa benar-benar kacau sekarang. Anggaplah kejadian sore itu kekhilafan karena dia terhipnotis dengan suasana yang sedemikian rupa. Tapi, bagaimana dengan pagi tadi? Bukan berarti Vanessa dan Ryan kembali berciuman, hanya saja perkataan Ryan itu sukses membuat Vanessa merinding.
Ketika Ryan menyuruh dirinya untuk memilih, Vanessa berniat kabur. Tapi, eh cowok itu justru merentangkan kedua tangan. Menghadang Vanessa seraya memonyongkan bibirnya seperti emoji dengan bibir angka tiga itu.
Ih!
Vanessa merinding.
Ketakutan, akhirnya Vanessa lebih memilih duduk di meja makan. Sarapan sup di pagi hari jauh lebih baik daripada dicium lagi!
"Ting!"
Vanessa mengerjap. Mendapati ponselnya sedikit bergetar dengan lampu pemberitahuan pesan yang menyala. Ia segera membuka pemberitahuan itu.
[ X ]
[ Sa ..., jangan ngeliatin aku kayak gitu dong. ]
[ Walaupun aku cowok, tapi sumpah! ]
[ Aku tuh juga manusia biasa yang bisa ngerasa malu dan salah tingkah. ]
[ Khawatir ntar aku bukannya ngegambar daun majemuk, eh tapi malah ngegambar masa depan kita. ]
Sudahlah!
Tidak bisa dibayangkan lagi betapa merah dan panasnya wajah gadis itu lantaran pesan dari Ryan tersebut. Geram, Vanessa membalas.
[ X ]
[ Kamu ini kenapa sih? ]
[ Jangan bilang kalau kamu kesambet setán penunggu kebun jagung. ]
[ Kalau iya, mending kita ntar balik ke rumah kamu dan minta biar Eyang jampi-jampi kamu. ]
[ Biar kamu cepat normal. ]
Saking geramnya, Vanessa bahkan sampai mengeraskan rahangnya saat menekan tombol virtual untuk mengirim pesan itu di ponselnya. Bahkan ia benar-benar menekan ponselnya terlalu kuat. Mungkin seolah ia sedang menekan hidung mancung cowok itu. Lalu, belum selesai emosi Vanessa, eh mendadak pesan dari Ryan kembali datang menyulut emosinya.
[ X ]
[ Kan aku udah bilang mau deketin kamu. ]
[ Aku serius loh pas bilang mau deketin kamu. ]
[ Jadi ya begini deh. ]
[ Soalnya biar kita bisa jadi suami istri yang saling mencintai. ]
[ Hihihi. ]
Percayalah, Vanessa merasa seperti ada Kuntilanak yang sedang tertawa di belakang dirinya hingga ia bergidik ngeri. Spontan mengusap tekuknya.
[ X ]
[ Kamu beneran gila. ]
Vanessa mengangkat wajahnya dan melihat Ryan yang terlihat meletakkan kembali pensilnya sebelum membalas pesannya itu.
[ X ]
[ Percaya aku deh, Sa. ]
[ Aku emang nube banget masalah cewek cowok gini. ]
[ Bahkan aku nggak tau apa sebenarnya perasaan yang aku rasakan ke kamu. ]
[ Tapi, satu yang membuat aku sadar. ]
[ Insting aku dari awal yang ngebuat aku mau ngekori kamu ke mana-mana itu udah cukup untuk ngasih aku jawaban. ]
[ Sepertinya dari awal aku emang udah gila. Persis kayak omongan kamu. Cuma masalahnya baru ini aku mau terang-terangan menunjukkannya ke kamu. ]
[ Aku gila karena kamu. ]
[ Jadi, kalau kemaren kamu nanya kenapa aku ngulang dan aku mengelak, maka sekarang aku bakal mengakuinya. ]
[ Aku emang sengaja banget mau ngikutin kamu ke mana-mana. ]
[ Gimana sih ngomongnya. ]
[ Tapi, aku beneran gila. ]
Pesan sepanjang itu hanya dibaca oleh Vanessa beberapa detik saja. Dan Vanessa bertekad menjadikan pesan itu sebagai pesan terakhir. Vanessa memutuskan untuk menonaktifkan ponselnya dan meletakkannya ke dalam tasnya. Melihat itu, Ryan yang duduk di meja praktikum hanya mengulum senyum.
Ehm ... cewek galak kalau digodain ternyata bukan tambah galak ya? Tapi, justru buat gemes.
Hahahaha.
Tau gini, udah aku godain dari awal kamu, Sa.
*
Ketika praktikum itu selesai, Vanessa dengan terburu-buru keluar dari ruang praktikum. Tak memedulikan Farrel yang sibuk untuk membawa buku laporan praktikan dan menyusul dirinya yang berjalan cepat menuju ke ruangannya.
Pokoknya aku nggak mau ngeliat muka Ryan. Buat nambah emosi jiwa raga aja.
Vanessa masuk. Duduk di kursinya setelah terlebih dahulu mengambil segelas air dingin. Sementara gadis itu meneguk air minumnya, Farrel meletakkan buku laporan praktikum di meja Vanessa.
"Maaf, Bu."
Vanessa meletakkan gelasnya. "Iya?"
"Apa saya boleh bimbingan?" tanya Farrel kemudian.
Ehm ... mungkin aku harus mikirin hal lain biar aku nggak kepikiran soal Ryan lagi.
Maka, Vanessa pun mengangguk. "Boleh. Silakan duduk."
Farrel langsung menarik kursi dan duduk. Mengeluarkan satu buku catatan dari dalam tasnya.
"Jadi gimana?" tanya Vanessa memulai sesi konsultasi siang itu. "Sudah menentukan mau tanaman apa?"
Farrel terlihat sedang berpikir. "Sebenarnya sih, Bu, saya minat ke tanaman perkebunan. Tapi, tentu saja saya terpikir soal lamanya penelitian, Bu."
Vanessa mengangguk sekali. "Sejauh ini sih biasanya penelitian untuk tanaman perkebunan lebih ditekankan pada teknik perbanyakan. Bisa perlakuan untuk meningkatkan keberhasilan semai di lapangan. Atau kalau di bidang perawatan bisa mencoba perlakuan pemupukan untuk tanaman produksi sih."
Farrel manggut-manggut seraya mencatat penjelasan Vanessa di buku catatannya. "Ibu ada masukan jenis tanaman apa yang bisa saya teliti?"
"Eh?" Vanessa mengerutkan dahi. "Kalau sudah menyangkut tanaman apa yang mau kamu pilih, ya kamu harus menentukan sendiri. Soalnya penelitian itu kamu yang ngerjain. Kalau nggak sesuai dengan kemauan kamu, ntar ke belakangnya malah bikin repot loh." Vanessa tersenyum. "Bisa-bisa kamu ngerjainnya nggak sepenuh hati."
"Oh, iya juga sih, Bu," setuju Farrel seraya kembali mengangguk sekali.
"Jadi, tanaman apa yang kamu minati?" tanya Vanessa lagi. "Kalau kamu sudah nanya ke saya pendapat tentang penelitian tanaman perkebunan, otomatis dong kamu sudah ada bayangan tanaman apa yang ingin kamu teliti."
Farrel mengangguk. "Sebenar---"
"Tok! Tok! Tok!"
"Permisi dan selamat siang, Ibu. Saya permisi masuk."
Tiga kali ketukan di pintu dan kalimat permisi langsung memotong perkataan Farrel. Membuat Farrel dan Vanessa langsung melihat ke ambang pintu. Di mana ada seorang cowok terlihat tersenyum dan melangkah masuk dengan entengnya.
Vanessa memelototkan mata.
Ngapain dia ke sini?!
Dan tentu saja yang datang adalah Ryan. Cowok itu datang ke ruangannya dengan menenteng dua kantung plastik di kedua tangannya.
Melirik pada Farrel yang duduk di hadapannya, Vanessa harus menarik napas dalam-dalam demi mendamaikan emosinya. Karena kalau tidak mungkin gadis itu akan langsung menyemprot Ryan. Tapi, alih-alih mempermalukan dirinya sendiri dengan bertindak seperti itu, Vanessa justru berusaha tersenyum.
"Ada apa, Ryan?"
Ryan melangkah. Mendekati meja Vanessa dan mengangkat kedua tangannya yang memegang kedua kantung plastik hitam itu.
"Ini loh, Bu. Pesanan makan siang ibu tadi," katanya dengan begitu sopan. "Maaf, Bu, kalau agak lama. Ibu pasti udah lapar nunggu saya belinya."
Mata Vanessa mengerjap.
A-a-apa aku tadi nyuruh dia beliin aku makan siang?
Vanessa menenangkan dirinya.
Nggak mungkin kan aku sampe ngelakuin hal kayak gitu?
"Ah iya, Bu," kata Ryan kemudian. "Ini juga ada obat flu. Jadi kayaknya lebih baik ibu segera makan dan minum obat. Istirahat, Bu. Biar ibu nggak tambah saaakiiiit."
Dan Ryan dengan begitu sengaja menekankan kata sakit itu seraya melirik pada Farrel. Membuat juniοr setahun di bawahnya itu menjadi salah tingkah.
"Karena kalau ibu tambah saaakiiit, ntar malah ibu nggak bisa ngasih bimbingan lagi loh."
Farrel meneguk ludahnya.
Cowok itu tidak mau memasukkan perkataan Ryan ke dalam hati, tapi ya ampun. Ryan mengatakan itu sambil melirik tajam pada dirinya. Membuat ia jadi merasa tak nyaman di tempat duduknya.
Sementara itu Vanessa yang bingung justru mendapati Ryan langsung mengeluarkan makanan dan minuman dari kantung plastik itu. Ada satu kotak styrofoam dengan aroma yang menggiurkan dan juga satu cup teh tarik hangat. Dua hal yang sudah lebih dari mampu untuk membuat orang yang belum makan siang jadi tambah merasa kelaparan.
Tanpa sadar, perut Vanessa bergemuruh. Beruntung saja tidak sampai mengeluarkan bunyi yang bisa didengar oleh Ryan mau pun Farrel. Kan dia bisa malu.
Dan Ryan tersenyum bangga melihat raut wajah Vanessa yang sudah dipastikan tidak akan menolak makan siang yang ia bawa.
Ya iya dong.
Emangnya siapa yang bisa menolak makan siang pemberian cowok ganteng?
Ha ha ha ha.
"Ehm!" Ryan mendehem. "Silakan dinikmati, Bu. Oh iya, obatnya jangan lupa diminum. Dan biasanya sih obat flu itu ngebuat ngantuk, Bu. Jadi lebih baik ibu istirahat setelah minum obat."
Vanessa mengerjap-ngerjap. Nyaris menganga melihat tindakan cowok itu.
"Kalau begitu, saya permisi dulu, Bu. Selamat siang."
"Oh eh ... iya iya ..." Vanessa mengangguk sekali. "Terima kasih dan selamat siang juga, Ryan."
Ryan memulas senyum di wajahnya sebelum beranjak dari sana. Tapi, sebelum ia keluar, ia dengan sengaja memberikan satu tatapan pada Farrel.
Glek.
Setelah Ryan pergi dari ruangannya, Vanessa beralih pada Farrel dan mendapati cowok itu berkata.
"Saya juga permisi kalau begitu, Bu. Besok saya datang lagi. Terima kasih untuk bimbingannya hari ini."
"Eh?" Vanessa bingung. "Sudah bimbingannya?"
Farrel mengangguk seraya memasukkan kembali buku catatannya ke dalam tas. "Terima kasih banyak, Bu, untuk waktunya. Saya permisi. Semoga cepat sembuh ya, Bu."
Vanessa hanya bisa angguk-angguk kepala ketika Farrel berpamitan padanya dan keluar dari ruangannya tanpa lupa menutup pintunya.
"Ck. Ini pasti gara-gara Ryan tadi," keluh Vanessa.
Tapi ....
"Kruuukkk ...."
Vanessa meringis. Sepertinya perutnya sekarang benar-benar memberontak karena aroma menggiurkan itu.
Terburu-buru, Vanessa membuka styrofoam tersebut. Melihat ada sebungkus bakso dan sepotong paha ayam bakar.
Sejak kapan ada warung bakso komplit dengan ayam bakar?
Tapi, daripada mempermasalahkan itu, Vanessa justru dengan terburu menuang bakso tersebut ke satu mangkok yang tersedia di ruangannya.
Nggak peduli Ryan kesambet makhluk penunggu kebun jagung atau nggak, yang penting bakso ini enak.
Dan Vanessa pun benar-benar menikmati makan siangnya yang telah terlambat itu.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro