Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

32. Bukan Mimpi

Satu hal yang tidak Ryan antisipasi sebelumnya adalah mengenai pengendalian diri. Karena ... astaga! Ryan ini cowok yang masih berada di dalam tahap pendewasaan diri. Gejolak darah mudanya sedang berada di dalam tahap yang berkobar-kobar.

Kalau menilik pada film Twilight Saga, seperti yang dikatakan Edward Cullen pada Bella Swan: Ketika kami merasakan darah manusia, muncullah kegilaan karena kelezatannya. Nah! Kurang lebih begitulah yang saat ini terjadi pada Ryan. Hingga berubah seperti ini: Ketika Ryan merasakan bibir Vanessa, muncullah kegilaan karena kelezatannya.

Eh?

Sedikit horor sih, tapi memang itulah yang terjadi.

Ryan merasakan otaknya seperti menghilang dari batok kepalanya. Tergantikan oleh tulisan berbagai bahasa dengan arti yang sama: Astaga, Tuhan! Ya ampun!

Ryan mencoba, tapi ia tak bisa menghentikan diri dari keinginan alamiah untuk terus melumat bibir Vanessa. Tak menghiraukan bagaimana kedua tangan Vanessa yang telah mengepal kaku di dadá cowok itu.

Bibir Ryan melumat. Membelai. Mengecup. Dan mencecap setiap rasa yang ada di sana. Manis. Empuk. Kenyal.

Astaga!

Ternyata Vanessa memiliki banyak hal yang empuk dan kenyal.

Hanya karena Ryan merasa napasnya terasa payah maka ia pada akhirnya dengan berat hati mengurai ciuman itu. Dan ia dengan segera mengambil napas panjang. Terengah-engah. Begitu pun dengan Vanessa yang sontak menundukkan wajahnya dengan mulut yang terbuka demi bisa mengambil oksigen sebanyak-banyaknya.

Dadá keduanya naik turun dengan begitu kentara. Seolah-olah sedang berebut udara. Seolah-olah mereka akan segera mati bersama. Terbakar oleh rasa panas yang entah datang dari mana. Seolah-olah saat itu mereka bukannya berada di tengah-tengah hujan angin, melainkan api yang membara.

Untuk beberapa saat, mereka sama terdiam. Hingga pada akhirnya Vanessa bisa meraih kembali kesadarannya. Perlahan, gadis itu mengangkat wajahnya. Menatap Ryan dan satu tangannya melepas dari dadá Ryan.

Kepalan tangan Vanessa membuka. Naik.

Mungkin Vanessa bermaksud menampar Ryan, tapi astaga! Bahkan gerakan tangan bayi berumur satu bulan pun lebih cepat dan bertenaga dibandingkan Vanessa kala itu. Maka jangan heran bila akhirnya justru Ryan berhasil menangkap pergelangan tangannya.

Vanessa meneguk ludah. Dan ia terbengong. Melihat dengan sorot tak percaya ketika Ryan membawa telapak tangannya yang membuka itu ke depan bibirnya. Lembut, Ryan mengecup telapak tangannya.

"Daripada dipake buat nampar aku, mending tangan kamu dipake buat belai-belai manja aku deh."

*

"TIDAAAK!!!"

Vanessa bangun dari tidurnya dan langsung terduduk seketika.

Wajah cantiknya basah oleh keringat yang sangat deras mengucur. Bahkan saking derasnya keringat itu, piyama yang ia kenakan pun terlihat basah. Rambut panjangnya juga terlihat lengket karena keringat itu.

Vanessa meneguk ludahnya. Mengembuskan napas panjang. Kedua tangannya langsung mengusap wajahnya berulang kali. Matanya memejam.

Kok bisa sih aku mimpi semengerikan itu?

Mimpi ciuman sama Ryan?

Ya Tuhan.

Aku lebih baik nggak usah tidur daripada sampai mimpi kayak gitu lagi.

Itu benar-benar mengerikan.

Kesal, Vanessa meremas selimutnya dengan geram sebelum pada akhirnya ia turun dari tempat tidur. Mengabaikan rambutnya yang acak-acakan, Vanessa yang mengenakan stelan pakaian tidur lengan panjang itu memilih untuk keluar.

Mimpi itu beneran buat aku kayak abis marathon keliling Monas.

Ngebuat aku berasa nggak ada tenaga lahir dan batin lagi.

Hiks.

Tenggorokan gadis itu terasa kering kerontang. Padahal kalau mau diingat-ingat, semalam itu hujan lebat loh. Rasanya mustahil kalau ada yang sampai merasa kehausan seperti itu. Maka tak heran bahwa air adalah hal pertama yang Vanessa inginkan saat itu. Tapi, ketika Vanessa sampai di dapur, ia seketika menganga melihat apa yang terjadi di sana.

"Selamat pagi, Vanessayang."

Vanessa mengerjapkan matanya. Bahkan memukul pelan kepalanya sekali.

Aduh!

Sepertinya aku belum bangun beneran deh ini.

Aku kayaknya masih ada di dunia mimpi.

Tapi, ketika ia membuka mata, ia bisa melihat bagaimana Ryan yang telah terlihat segar itu mengenakan celemek di tubuhnya dan sedang berkutat di depan kompor. Terlihat seperti ----

Tunggu!

Sepertinya bukan apa yang dilakukan oleh Ryan yang penting, melainkan ...

"Bentar," lirih Vanessa seraya mendekati cowok itu. "Kamu tadi manggil aku apa?"

Ryan memamerkan cengiran lebarnya seraya memadamkan kompor. Dan ia pun menjawab.

"Vanessayang."

Vanessa mengerjap lagi. "Ulangi lagi."

"Widih! Aku nggak nyangka sebegitu sukanya kamu dipanggil gitu sama aku." Ryan mengulum senyum. "Vanessayang. Vanessayang. Vanessayang."

"Ryan!!!"

Vanessa menjerit.

Ryan mengerjap. Kaget.

"Please," lirih Vanessa. "Aku baru aja mimpi buruk dan kamu jangan buat mood aku tambah hancur di hari Senin ini."

Ryan bersedekap.

Heran!

Mengenakan celemek bermotif beruang coklat justru membuat cowok itu terlihat menarik.

Vanessa mengerjap lagi.

Kenapa otak aku jadi error gini sih?

Apa ini efek dari mimpi buruk tadi?

Ck. Ya ampun.

"Kamu mimpi buruk? Mimpi buruk apa, Sa?" tanya Ryan kemudian.

Vanessa melambaikan tangannya. Ia justru beranjak menuju ke kulkas. Berniat untuk mengambil air minum, tapi Ryan justru menghadang pintu kulkas dengan tubuhnya. Semula Vanessa sudah akan marah, namun Ryan malah menyodorkan segelas air hangat pada dirinya.

"Minum air hangat kalau pagi, Sa ...."

Vanessa menerimanya dan langsung meneguk isinya.

"Biar sehat. Apalagi karena kita kemaren udah ujan-ujanan di kebun jagung."

"Pruuuttt!!!"

Air di mulut Vanessa menyembur bebas tanpa hambatan dan mendarat di dadá Ryan. Beruntung cowok itu mengenakan celemek. Jadi Ryan hanya perlu mencopot benda itu saja.

Mengap-mengap, Vanessa meletakkan gelas itu di meja kompor.

"Ta-ta-tadi kamu ngomong apa?" tanya Vanessa tak percaya. "Ujan-ujanan di kebun jagung?"

Selesai menyisihkan celemek itu, Ryan beralih pada Vanessa yang menatapnya bingung. Ia mengangguk.

"Iya. Ujan-ujanan di kebun jagung. Kamu lupa?"

Vanessa merasa napasnya sesak seketika. Mendadak ia merasa ngeri. "Jadi, ujan-ujanan di kebun jagung itu bukan mimpi?"

"Ya bukan dong, Sa." Ryan terlihat cemberut. "Masa dibilang mimpi sih. Parah kamu ah."

Vanessa meneguk ludahnya. "Ja-ja-jangan bilang kalau kita ...."

Melihat Vanessa yang terbata-bata, cemberut di wajah Ryan justru langsung berganti senyum malu-malu. Ia mendekati wanita itu hingga Vanessa terpaksa memundurkan langkah kakinya.

"Ciuman kita?" tanya Ryan. "Itu yang mau kamu tanyain?"

Deg!

"Masa kamu mikir ciuman kita itu mimpi sih ...."

Mata Vanessa melotot. Tanpa sadar kedua tangannya terangkat. Meraba bibirnya yang ..., astaga!

Kenapa bibir aku berasa kayak bengkak gini sih?

Dan salah mengartikan isi pikiran Vanessa, Ryan justru bertanya.

"Kamu mau morning kiss ya? Sini deh."

Sudah tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata lagi bagaimana reaksi Vanessa dengan pertanyaan itu. Yang pasti Vanessa mengangkat tangannya. Mencegah agar Ryan tidak mendekatinya.

"Kamu jangan deketin aku, Yan."

Mata Ryan berkedip. "Kenapa? Kan sudah kesepakatan kita kemaren."

Menatap mata Ryan, mendadak satu suara terdengar di benak Vanessa.

"Kamu nggak perlu melakukan apa-apa. Cukup terima saja aku. Biar aku yang melakukan semuanya."

Oh, Tuhan!

Vanessa benci dengan pikirannya sendiri yang teringat kata-kata itu.

Melihat raut wajah Vanessa yang berubah-ubah. Antara panik, malu, jengah, Ryan justru merasa geli.

Vanessa menghirup napas dalam-dalam. "Ryan. Kayaknya kita perlu meluruskan beberapa hal."

Ryan meraih tangan Vanessa yang masih berupaya untuk menjaga jarak dengan dirinya. Menurunkan tangan itu perlahan dan merasakan gemetar di sana.

"Apa yang harus kita luruskan, Vanessayang?"

Glek.

"Per-pertama." Vanessa menarik napas dalam-dalam. "Jangan pernah panggil aku Vanessayang."

"Kenapa emangnya? Orang kontak kamu aja udah aku ubah namanya jadi Vanessayang."

Vanessa mengembuskan napas panjang. Mencoba untuk tidak goyah dengan cara bicara Ryan yang terdengar sedikit jenaka.

"Terlebih lagi karena aku emang sayang kamu."

Tiba-tiba Vanessa merasa tekanan darahnya turun drastis. "A-apa kamu bilang? Kamu sayang aku?"

Ryan mengangguk.

Vanessa mendengus. Merasa geli. "Kita baru dekat berapa hari dan kamu udah ngomong kamu sayang aku? Wah! Wah! Wah!" Gadis itu geleng-geleng kepala. "Secepat itu?"

Kedua bahu Ryan naik sekilas. "Bahkan sejujurnya, ketika aku menikahi kamu ... itu mendadak saja kayak yang aku nggak mau kehilangan kamu. Yang malah mendorong aku buat ngekorin kamu ke mana aja. Yang bahkan dengan tololnya ngulang mata kuliah yang dapat A."

"Itu nggak masuk akal."

"Memang!" timpal Ryan. "Namanya juga perasaan. Ya bukan untuk diakali dong, tapi untuk dirasakan."

Mulut Vanessa menganga seketika melihat Ryan yang mengatakan itu dengan begitu percaya dirinya.

"Kamu sepertinya berbakat banget buat menggombal, Yan."

Ryan tersipu. "Kamu suka?"

Ya salam!

"Aku nggak tau kenapa kamu mendadak berubah jadi kayak gini," lirih Vanessa. "Tapi, ini benar-benar mengerikan."

"Sorry kalau aku ngebuat kamu jadi ketakutan. Tapi ..." Ryan mengulurkan tangan. Meraih dagu Vanessa. Mengangkat wajah gadis itu untuk menatap dirinya. "Aku udah memutuskan untuk benar-benar ngebuat kamu jatuh cinta sama aku."

Vanessa terbengong.

"Nggak adil rasanya kalau di pernikahan ini cuma aku yang cinta kamu."

What!

Soal itu juga bukan mimpi ya?

"Ya ... aku tau, kamu belum bisa cinta aku. Tapi, itu bukan berarti nggak bisa," kata Ryan seraya menyunggingkan senyumnya, perlahan menarik tangannya lepas dari dagu Vanessa. "Kamu cuma belum kenal aku, Sa. Kalau kamu udah kenal aku, dijamin deh. Kamu bakal jatuh cinta klepek-klepek sama aku."

Yah ... mungkin pengandaian klepek-klepek memang tepat untuk Vanessa mengingat cewek itu yang nyaris terlihat seperti makhluk yang tak berdaya lagi. Seperti sedang melihat sakratul maut di depan mata.

Tangan Vanessa naik. Mengusap wajahnya. Berusaha untuk menyingkirkan semua perkataan Ryan dari benaknya. Ia menggeleng berulang kali.

"Kamu kayaknya makin lama makin ngelantur."

Ryan kembali mendekati Vanessa. "Aku ngomong sesadar ini malah dibilangin ngelantur. Ck. Payah kamu, Sa."

Mendapati Ryan yang kembali mendekatinya sontak membuat Vanessa memundurkan lagi langkah kakinya. Ryan menyeringai.

"Kan udah aku bilangin jangan bergerak."

Mata Vanessa kembali melotot. "Kamu jangan macam-macam, Yan."

"Ehm ... ciuman kita kemaren termasuk macam-macam nggak?"

Eh?

Ryan terkekeh. Mengulurkan tangannya dan Vanessa sontak menutup matanya dengan begitu erat.

Sementara tubuh Vanessa terasa bergetar dalam antisipasi terhadap apa yang akan Ryan lakukan padanya, Ryan justru sedang merasa geli. Ia tersenyum lucu melihat wajah tegang Vanessa dan malah berbisik.

"Aku mau ngambil mangkok di belakang kamu."

Seketika saja Vanessa membuka matanya. Melihat Ryan yang terkekeh geli seraya mengangkat satu mangkok di tangannya.

Anak ini!!!

"Hehehehe." Ryan beranjak ke kompor. Mengaduk-aduk masakannya di panci. "Emangnya tadi kamu mikir aku mau ngapain kamu?"

Vanessa mengatupkan mulutnya kuat-kuat. Rasanya begitu malu teringat isi pikirannya tadi!

Ryan terlihat menuang sup sederhana yang ia masak ke dalam mangkok seraya berkata.

"Kalau kamu mikir aku tadi itu mau cium kamu, ehm ... sebenarnya nggak salah sih. Aku emang pengen cium kamu ..."

Enteng banget ya dia ngomong gitu?

" ..., tapi aku nggak mau buat kamu bosan." Ryan melirik. "Pendekatan itu harus dilakukan dengan berbagai variasi."

Vanessa tercengang. Geleng-geleng kepala. "Kamu benar-benar sesuatu, Yan."

Meletakkan sup tersebut ke meja makan yang terletak tak jauh dari sana, Ryan berkata dengan suara yang sedikit keras agar Vanessa mampu mendengar.

"Kalau kamu pikir aku standar, kamu salah, Sa. Aku ini punya banyak kejutan loh."

"Hah! Oke. Selain kejutan di mana kamu mencium aku nggak pake permisi, kamu ada kejutan apa lagi?"

Ryan kembali ke dapur. "Nah! Ini baru hal yang perlu kita luruskan," kata Ryan. "Kemaren itu bukan aku cium kamu. Yang tepat adalah kita berciuman."

"Hah? Apa kamu bilang?"

"Melihat karakter kamu, ya pasti kamu bakal menyangkal. Tapi, ya nggak jadi masalah sih. Pada dasarnya kita tau kenyataannya."

Astaga!

Ryan benar-benar membuat Vanessa tak mampu berkata-kata lagi. Ia seperti kena hajar sampai K.O. Dipermalukan secara skak mat. Tanpa perlawanan.

"Dan ngomong-ngomong soal kejutan," lirih Ryan yang ternyata telah mengisi mangkok lainnya dengan sup serupa, beranjak di hadapan Vanessa. "Apa sarapan pagi bisa dikategorikan sebagai kejutan?"

Vanessa mengerutkan dahi dan justru melarikan tatapan matanya untuk melihat ke belakang tubuh Ryan. Di atas meja makan persegi untuk empat orang itu. Di mana telah tersaji nasi putih, buah-buahan, sup hangat, dan teh. Siap untuk dinikmati.

Tak percaya, Vanessa melihat pada Ryan yang tampak menaikkan satu alis matanya.

"Bilang ke aku. Kamu mau sarapan makan sup atau makan bibir aku?"

Dan Vanessa menjerit.

"RYAAAN!!!"

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro