Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

30. Tantangan Perjuangan

Ketika bangun, Ryan terlihat langsung meraba-raba di atas kasurnya. Mencari keberadaan ponselnya. Dan di saat tangannya menemukan benda itu, Ryan sedikit mengangkat tubuhnya yang berbaring menelungkup di atas bantalnya. Matanya mengerjap.

"Ehm ... udah jam tujuh," lirihnya seraya menguap lebar.

Lalu ia mengerjapkan matanya lagi. Kemudian menyipitkan matanya. Mengerutkan dahi melihat ada pemberitahuan pesan dari Vanessa.

[ Vanessayang ]

[ Aku pagi ini ke rumah orang tua kamu. ]

Ryan mengembuskan napas panjang dan duduk. Menimbang untuk membalas atau tidak, pada akhirnya Ryan memilih untuk mandi. Ia harus ke depot pagi itu.

Keluar dari kamarnya dengan niat akan ke kamar mandi, mendadak saja Ryan berbelok ke ruang tamu. Ia menurunkan tubuhnya di depan satu sofa. Mengulurkan tangannya ke kolong sofa tersebut. Meraba-raba hingga tangannya menemukan sesuatu.

Ryan menyeringai melihat sekeping uang logam lima ratus rupiah itu.

"Hahahaha. Nambah seribu lima ratus lagi, bisa nih buat ongkos parkir," katanya tergelak seraya melanjutkan perjalanannya menuju ke kamar mandi.

Setelah bersiap dan sarapan seadanya, Ryan pun memacu motornya ke depot miliknya. Ketika ia tiba, ia mendapati Anton dan Sahrul sudah bekerja. Kedua cowok itu terlihat sudah selesai membuka depot. Mengeluarkan beberapa pot untuk dipajang di pinggir jalan.

Mengenakan celana training dan kaos oblong yang lusuh, Ryan menyapa pekerjanya itu.

"Minggu pagi pada semangat ya!"

"Siap, Bos!"

"Siapa tau omzet naik jadi naik gaji juga."

Ryan tertawa. "Aku suka dengan kejujuran kalian. Jadi, teruslah bekerja dengan giat ya? Hahaha."

Anton dan Sahrul pun ikut tertawa.

Sementara membiarkan Anton dan Sahrul bekerja di bagian depan –memperbaiki tata letak tanaman, menyapu depot, mengelap pot-pot yang kotor karena cipratan air hujan semalam, hingga membuang daun-daun tua-, Ryan pun beranjak ke belakang. Seperti rencananya semula bahwa hari itu ia ingin memperbanyak tanaman aglonema-nya.

Ryan masuk ke rumah kawat tanaman induknya. Mulai menyiapkan polibag berukuran 20 sentimeter. Mengisinya dengan campuran media tanam yang terdiri dari sekam bakar, pupuk kandang, dan juga tanah hitam. Cowok itu terlihat telaten dan gesit ketika memisahkan anakan dari tanaman induknya. Begitu pula ketika menanamnya di polibag yang baru.

Selesai dengan itu, Ryan pun beralih untuk melihat koleksi adeniumnya. Dan karena ia termasuk suka dengan tanaman itu, maka beberapa hari terakhir Ryan mencoba untuk menyambung tanaman tersebut. Berharap agar dia bisa melihat aneka warna adenium dalam satu pohon.

Hingga ketika siang itu, selepas mereka bertiga makan siang di pondokan dempot, Ryan berkata pada Anton dan Sahrul.

"Kayaknya sekam bakar kita udah mulai habis deh. Di belakang sekam yang biasa masih ada, Ton?"

Anton meneguk air minumnya terlebih dahulu sebelum menjawab. "Masih, Bos. Senin besok juga sekam baru pada masuk."

"Bos mau bakar sekam siang ini?" tanya Sahrul.

Ryan bangkit dari duduknya. "Sepertinya," jawab cowok itu lirih. "Kayaknya aku butuh kerja lebih keras. Jadi sekalian aja ngerjain semuanya hari ini."

"Eh? Emangnya kenapa, Bos?"

"Ck. Otak aku lagi mumet soalnya, Ton."

Cowok itu menjawab seadanya dan sebenarnya apa yang ia katakan termasuk dalam kategori jujur. Yah, memang sih awalnya niat Ryan bekerja di hari Minggu itu untuk memenuhi stok depotnya, tapi setelah kejadian di hari Jum'at itu semuanya terasa berbeda. Dan entah mengapa Ryan pikir bahwa ia memang harus mengalihkan pikirannya yang kacau ke aktivitas fisik. Biasanya sih kalau fisik sudah lelah, otak tidak akan bisa berpikir yang aneh-aneh lagi.

Hiks.

Ryan sedang tidak ingin memikirkan Vanessa dengan segala macam teka-tekinya.

"Oh ho." Sahrul tergelak. Berusaha menebak. "Pasti masalah cewek."

Ryan membelalakkan matanya. "Kok tau?"

"Ya iyalah tau, Bos. Kan aku ahli soal gituan," kata Sahrul bangga.

Anton mendorong pundak Sahrul sekilas. "Alah! Jadi playboy kampung aja bangga."

"Aku itu belajar banyak sifat perempuan ya karena pernah jadi playboy toh, Ton. Makanya sekarang pernikahan aku sama Wita itu langgeng. Karena aku udah tau trik buat menyenangkan hati cewek."

"Nikah juga baru enam bulan kok," cibir Anton. "Udah pamer langgeng aja kamu, Rul. Ntar liat pas anak pertama kamu lahir ya, aku tungguin deh cerita langgeng kamu."

Ryan terkekeh mendengar perdebatan dua karyawannya itu. Sungguh! Mendengar celotehan kedua karyawannya itu terkadang memang jadi obat mujarab bagi Ryan.

Sahrul berdecak. Melambaikan satu tangannya di depan wajah. Berpaling pada Ryan.

"Sini, Bos. Cerita ke aku. Bakal aku kasih solusi. Aku ini udah pernah macarin cewek dari yang tomboy sampe yang kalem. Dari yang direstui orang tua sampe yang mau dikejar sama orang tua."

"Hahahaha."

Ryan mengusap matanya. "Kok aku ragu sih mau cerita?"

Tapi, Sahrul terlihat keukeuh meyakinkan Ryan. "Yakin deh, Bos. Masalah kayak gini harus dibicarakan sama ahlinya."

"Aduh! Mual perut aku, Rul." Anton memeluk perutnya. Ia menggeleng pada Ryan. "Jangan, Bos. Lebih baik percaya omongan tokoh politik deh daripada omongan Sahrul. Omongan tokoh politik mah masih dapat mie sekardus, lah kalau dari Sahrul kan nggak dapat apa-apa."

"Hahahaha."

Sahrul mengambil sapu lidi yang dekat dengannya. Terlihat seperti ingin memukul Anton walau itu hanya bohongan.

Sementara itu, ketika tawanya berhenti, Ryan menjadi berpikir.

Emang ada yang salah dengan nyari solusi? Ya mumpung ada orang yang dikenal mau nyoba ngasih solusi ya kan?

Maka, Ryan mendehem.

"Ini sebenarnya bukan masalah penting sih. Aku juga nggak ada hubungan apa-apa sama ini cewek. Biasa aja," kata Ryan sedikit berdusta.

Mendengar Ryan yang bicara, Anton dan Sahrul dengan cepat mengalihkan perhatian mereka kembali pada cowok itu.

"Cuma ya akhir-akhir ini kami sering ketemu gitu," kata Ryan kemudian seraya memilih untuk kembali duduk di pondokan tersebut. "Jadi, ya mau nggak mau ngebuat aku sering berinteraksi sama dia."

Sahrul dan Anton angguk-angguk kepala. Mendengarkan dengan saksama.

"Terus, Bos? Masalahnya?"

Pertanyaan Sahrul membuat Ryan menarik napas dalam-dalam.

"Masalahnya adalah sikap ini cewek ke aku beda banget loh. Nggak kayak sifat dia ke orang-orang."

Anton berdecak. "Ckckckck. Palsu kayak gitu, Bos? Cewek muna?"

Di sebelahnya, Sahrul mengerutkan dahi. "Iya, Bos?" tanyanya juga. "Dia sama Bos kelakuannya kayak yang baik gitu, tapi aslinya dia nggak baik? Sok cari muka sama Bos?"

Kepala Ryan geleng-geleng. "Kalau dia palsu gitu, aku masih bisa terima. Masih masuk akal. Tapi, ini dia palsunya justru bertingkah jelek di depan aku."

Anton dan Sahrul saling pandang. Kedip-kedip mata. Lalu, melihat pada Ryan lagi.

"Ehm ... maksudnya gimana, Bos?"

Menarik napas dalam-dalam Ryan berkata. "Jadi begini. Aslinya ini cewek ya, udah cantik, pintar, hobi masak, rajin beres-beres. Beuh! Nggak ada cela." Lalu, ia menatap bergantian pada Anton dan Sahrul. "Tapi, itu semua dia lakukan kalau nggak ada aku. Pas ada aku dia berubah jutek, kasar, malas, nggak suka masak, dan makan pun berantakan banget."

Kedua orang cowok itu mengerutkan dahi mendengar penuturan Ryan.

"Dia emang palsu. Tapi, dia palsu seolah-olah jelek di depan aku. Seharusnya kalau palsu itu kan pura-pura baik? Ini dia mah kebalikannya!" kata Ryan gusar. "Kan aku jadi bingung."

Sahrul garuk-garuk kepala. "Kayaknya aku juga jadi ikutan bingung deh, Bos."

"Kok ada cewek yang justru berusaha buat Bos illfeel gitu?" tanya Anton. "Emangnya Bos ada ngapain dia sampe dia kayak gitu?"

"Loh!" Ryan tercengang. "Malah aku yang dituduh."

"Nggak mungkin banget loh cewek berusaha keliatan jelek kalau nggak ada maksudnya. Ya yang namanya cewek ya. Biasanya dia malah berusaha untuk terlihat bagus di depan cowok, Bos. Apalagi kalau itu cowok yang dia suka."

Perkataan Sahrul membuat Ryan bengong. "Jadi, maksud kamu dia nggak suka aku gitu?"

"Hahahaha."

Sahrul dan Anton terpingkal.

"Sialan!" rutuk Ryan. "Lagipula ya. Menurut kalian nggak heran gitu kalau sampai ada cewek yang nggak suka aku? Aku kan cakep, rajin kerja, baik hati, dan suka menabung." Wajah Ryan seketika berlipat-lipat karena kesal. "Kayak yang mantan dia udah yang paling sempurna aja. Ck. Aku yakin. Aku jauh lebih keren dibandingkan mantan dia."

Perkataan Ryan membuat Sahrul menghentikan tawanya.

"Be-bentar deh, Bos."

"Apa?" tanya Ryan dengan nada jutek. "Mau ngetawain aku lagi?"

"Bukan gitu, Bos," kata Sahrul dengan cengiran di wajahnya. "Tapi, Bos ngomong soal mantan. Ehm ... mantan dia?"

Ryan mengangguk. "Mereka udah pacaran tujuh tahun. Eh, hampir nikah. Tapi, batal karena si cowok itu kepergok lagi ya ... ehm ... berhubungan badan gitu."

"Wah!"

"Gila!"

"Jadi, ya kayaknya dia kemaren itu katanya semacam tertekan atau apalah."

Sahrul menepuk tangannya sekali. Wajahnya terlihat bersinar seperti melihat harta karun tersembunyi.

"Udah ketebak kalau ini mah."

Ryan dan Anton menatap Sahrul tanpa kedip.

"Apa yang udah ketebak?" tanya Ryan cepat.

"Itu cewek trauma, Bos. Pasti dia udah yang merasa hancur dan nggak mau kenal sama cowok lagi."

"Segitunya?" tanya Anton.

"Ck. Perasaan cewek itu ya kayak agar-agar. Kebanting sekali, udah deh. Hancur lebur," kata Sahrul. "Apalagi tujuh tahun. Putus gara-gara ketahuan selingkuh. Aku yang cowok aja ngerasa sakit. Apalagi yang ngalamin."

"Ehm ...." Ryan sedikit mengerucutkan bibirnya. "Tapi, kan nggak semua cowok sama kali, Rul. Ya mantannya emang gitu, tapi kan aku nggak."

"Bos!" Sahrul menatap Ryan. "Gimana cewek bisa mudah percaya ke orang baru? Kalau orang lama aja bisa nyakitin dia?"

Ryan melongo.

"Nah! Itu dia masalahnya, Bos," kata Sahrul penuh keyakinan. "Aku malah tebak, jangan-jangan bukan ke Bos aja dia gitu. Ke semua cowok yang ngedeketin dia, pasti dia juga gitu."

Ryan terdiam. Teringat perkataan Indri dan Susi mengenai Nathan dan Gusti. Membuat cowok itu mengembuskan napas panjang.

"Terus, aku harus gimana dong biar dia yakin aku nggak kayak gitu?"

"Ehm ...." Sahrul bersidekap. Matanya tampak berkedip berulang kali. "Orang yang udah trauma gitu, Bos, pasti bakal narik diri. Karena udah ngerasa nggak berharga dan selalu salah di mata orang. Jadi, jalan satu-satunya ya Bos yang harus maju pantang mundur."

"Eh? Maju pantang mundur?"

Wajah Sahrul terlihat mengeras. "Cewek itu punya batas waktu buat meluluhkan hatinya, Bos. Selagi kita pantang mundur, terus kasih perhatian, terus pepet ... pasti bakal luluh juga. Aku jamin, Bos. Wita dulu Bos udah pernah mau nabrak aku pake motor coba, Bos, saking nggak mau sama aku. Eh, sekarang jadi lengket."

Ryan meneguk ludahnya.

Membayangkan ia memberikan perhatian pada Vanessa membuat ia bergidik.

Aku ngekori dia aja dia udah risih, apalagi aku kasih dia perhatian gitu.

Apa nggak auto mampus aku?

Dan ketika Ryan masih sibuk dengan berbagai pertanyaan di benaknya, Sahrul justru kembali berkata.

"Bos, cewek yang udah narik diri, itu kayak anak kecil di dalam ruangan tertutup rapat. Kalau kita nggak buka pintunya, ya dia nggak bakalan keluar."

Anton tampak manggut-manggut. "Kok agak masuk akal ya? Jadi, kalau dia berdiam diri, ya otomatis dong kita yang harus nyamperin."

Sahrul mengangkat jari telunjuknya. Berkata pada Anton. "Bener itu. Lagipula, kita kan laki! Laki ya harus berjuang. Kok malah nyuruh cewek yang berjuang?"

Dan ketika itu Ryan meneguk ludahnya.

Seandainya aja kalian tau cewek apa yang aku hadapi saat ini.

Tapi, Ryan malah angguk-angguk kepala. Merasa bahwa sudah cukup ia berdiskusi soal itu dengan Anton dan Sahrul. Berdiri dari duduknya.

"Makasih ya. Ntar aku pikir-pikir dulu deh," katanya.

Sahrul manggut-manggut. Tapi, ia kemudian berkata. "Eh, tapi tadi Bos katanya nggak ada apa-apa sama ini cewek. Tapi, kok kedengarannya kayak yang Bos lagi ---"

"Ton!" seru Ryan dengan suara keras. Memutus perkataan Sahrul yang mendadak menatap dirinya dengan tatapan menyelidik. "Aku mau bakar sekam dulu. Yok, kamu bantu aku."

Anton berdiri. "Siap, Bos."

Dengan langkah kaku, Ryan segera beranjak dari sana. Mengantisipasi Sahrul yang akan bertanya lain hal pada dirinya. Dan yah, memang itulah yang terjadi. Sahrul merasa seperti ada yang ganjil dari cerita Ryan tadi. Tapi, pada akhirnya Sahrul memilih untuk tidak memikirkannya lagi.

Sementara itu di belakang, di saat Anton sudah menyiapkan perlengkapan mereka untuk membakar sekam, Ryan mendapati ponsel di saku celananya berdering. Ia pun dengan segera mengangkat telepon itu.

"Halo, Ma?"

"Halo, Sayang. Kamu ntar mampir ke rumah nggak?" Suara Lastri terdengar bicara dengan cepat. "Soalnya kalau nggak, Mama biar titipkan makanan buat kamu sama Vanessa."

Ryan berdecak mendengar perkataan ibunya. "Kalau aku datang?"

"Ya berarti kan kamu sendiri yang bawa," kata Lastri tertawa. "Hahaha."

Ryan meringis mendengar perkataan ibunya.

"Jadi, datang atau nggak?"

"Ehm ... kayaknya nggak deh, Ma. Soalnya ini kerjaan di depot masih banyak."

"Oh. Oke oke. Kalau gitu kerja aja dulu. Bye."

"Bye."

Ryan mengembuskan napas panjang setelah mendapati panggilan itu terputus. Di benaknya seperti ada suara yang berkata.

Ya ampun.

Mama aku kayak yang seneng banget sama Vanessa.

Sementara Vanessa malah nggak seneng sama aku.

Hiks.

Ryan memasukkan kembali ponselnya ke saku celana. Tapi, ketika ia baru akan melangkah, ia mendapati sesuatu di tanah. Uang logam lima ratus rupiahnya terjatuh ketika ia mengeluarkan ponselnya tadi.

Ryan berjongkok. Memungut uang itu.

Dan ketika ia melihat uang logam itu, mendadak saja ada suara yang bergema di kepalanya.

Lagi untuk uang lima ratus rupiah aja kamu perlu nunggit-nunggit dulu, Yan. Apalagi untuk cewek seperti Vanessa.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro