Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3. Kesengajaan

Farrel tampak mengumpulkan buku laporan praktikum para praktikan di depan. Kepalanya melongok ke kanan ke kiri berulang kali seraya berkata.

"Ayoh! Buruan, waktunya udah habis. Silakan kumpulkan buku laporannya ke depan sekarang."

"Iya, Kak. Bentar lagi."

Ryan meraih buku laporan milik Abid. Membawa milik mereka berdua dan mengumpulkannya ke depan. Sengaja sekali Ryan memilih beranjak dari kursinya hanya supaya bisa melihat Vanessa di tempat duduknya.

Ketika dia selesai mengumpulkan buku itu, Ryan melirik pada Vanessa. Kali ini ia mencoba lagi.

Siapa tau kan yang tadi itu dia khilaf semata, pikir Ryan.

Cowok itu tersenyum tipis dengan sopan. Tapi, jangankan membalas, yang ada justru Vanessa justru membuang muka ke arah lain. Maka sembari kembali ke kursinya, Ryan berpikir.

Emang beneran deh cewek ini. Ternyata dia emang sengaja.

Setelah semua peserta praktikum selesai mengumpulkan buku laporan itu, Vanessa dengan segera bangkit dari kursinya. Tampak maju dan memandangi semua mahasiswa tersebut.

"Oke. Praktikum hari ini sampai di sini. Sampai jumpa minggu depan dan selamat sore."

"Selamat sore juga, Bu!"

Mahasiswa langsung membubarkan diri. Dan di sela-sela keriuhan itu, Ryan sempat melihat bagaimana Vanessa yang bicara dengan Farrel. Terlihat sejurus kemudian cowok itu mengangguk-anggukkan kepala dan mereka berdua langsung keluar dari ruang praktikum secara bersama-sama.

Eh? Ckckck.

Giliran sama aku ya ampun, mukanya jutek banget. Pas sama yang lain, eh ramah banget.

Abid menepuk pundaknya Ryan sekilas. "Yok, keluar."

Ryan tak berkata apa-apa, tapi ia langsung mengekori langkah kaki Abid yang mengajak dirinya untuk keluar dari sana. Dan ketika keluar itulah otak Ryan terpikir sesuatu.

Lantai atas itu sebenarnya memiliki dua jalur. Mereka bisa keluar dengan rute mereka masuk tadi, yaitu berbelok ke kanan. Atau dengan rute satu lagi, berbelok ke kiri untuk langsung keluar dari gedung laboratorium tersebut melalui pintu belakang dan sekaligus melewati ruangan Vanessa.

Dan sebelum Abid berbelok ke kanan, langsung saja Ryan menyambar pundak temannya itu dan mengajaknya untuk melangkah beda arah.

"Eh?" Abid bingung. "Motor kita di depan, Yan. Bukan di belakang."

Ryan tak menggubris protes Abid tersebut, melainkan terus saja tetap berjalan. Ketika mereka hampir melewati ruangan Vanessa, Ryan mendengar gelak tawa Vanessa. Membuat cowok itu melambankan langkah kakinya. Sengaja sekali berjalan pelan ketika melewati ruangan tersebut.

"Saya permisi dulu, Bu. Sebenarnya saya belum sempat makan siang tadi. Nanti saya ke sini lagi untuk konsultasi ya, Bu?"

Ryan mengernyit. Lalu, terdengar suara Vanessa berkata.

"Oke. Jam empat saya sudah pulang. Seandainya nanti ruangan saya tertutup, berarti besok saja kita konsultasinya."

"Baik, Bu. Saya permisi dulu."

Farrel keluar dari ruangan Vanessa. Ketika itu ia langsung beradu pandangan dengan Ryan. Sedikit terkejut, tapi ia menyapa dengan sopan.

"Kak Ryan .... Kak Abid."

Ryan tersenyum tipis dan mengangguk sekilas, begitupun dengan Abid. Setelah Farrel berlalu dari sana, mendadak saja satu ide datang ke kepala Ryan.

Tadi Farrel ngomong mau konsultasi kan?

Tangan Ryan menepuk-nepuk pundak Abid. Membuat cowok berambut sedikit ikal itu menoleh padanya.

"Apa?"

Ryan melirik. "Ke ruangan Bu Vanessa yok."

"Eh? Mau ngapain?"

Ryan cengar-cengir. "Konsultasi."

"Konsultasi?" tanya Abid bingung.

Ryan mengangguk-angguk dan langsung saja menyeret Abid untuk langsung menuju ke ruangan Vanessa. Tanpa berpikir dua kali, Ryan mengetuk pintu ruangan Vanessa.

"Tok! Tok! Tok!"

Ketukan lembut itu membuat Vanessa yang tengah memeriksa buku laporan praktikum tadi dengan serta merta langsung berpaling ke pintu. Ia menoleh dan matanya membesar. Tapi, ia tak bisa berbuat apa-apa. Terutama ketika dilihatnya Ryan datang beserta mahasiswa lainnya. Maka dosen muda itu pun tersenyum dan bertanya.

"Iya? Ada apa?"

Ryan dan Abid masuk. Tersenyum sopan dan Ryan pun berkata.

"Maaf mengganggu waktunya, Bu. Ini saya dan Abid permisi kalau ibu nggak keberatan. Rencananya kami mau konsultasi skripsi kami."

Di sebelahnya Abid mendelik. Dalam hati cowok itu mengumpat.

Konsultasi skripsi? Lah penelitian aku aja baru mulai nyemai. Gimana ceritanya mau konsultasi skripsi?

Vanessa menarik napas dalam-dalam. "Oh ... boleh-boleh saja. Silakan duduk."

Ryan dengan cepat menarik kursi dan duduk di hadapan Vanessa. Abid yang melihat hal tersebut tak mampu berbuat apa-apa selain ikut duduk di sana.

Menyadari Ryan yang sekarang duduk di hadapannya, membuat Vanessa gelagapan. Ia memutuskan untuk melihat kepada Abid saja. Menurut Vanessa itu lebih aman.

Abid tersenyum kaku. Matanya berkedip sekali. Bingung.

Ini Ibu nunggu aku ngeluarin draft konsultasi aku atau gimana sih? Kok ngeliat ke aku lama banget? Sumpah. Aku kan nggak niat buat konsultasi.

Sementara itu Vanessa dalam hati bertanya-tanya.

Ini anak kenapa nggak ngomong apa-apa? Dia mau konsultasi atau apa sih sebenarnya?

Dan Ryan sedikit cemberut. Melihat bagaimana sekarang Abid dan Vanessa terlihat seolah sedang tatap-tatapan.

Ini mereka kok mendadak tatap-tatapan gini sih? Yang bener aja.

Ryan lalu memutuskan untuk mengambil tindakan. Daripada melihat Abid dan Vanessa saling menatap begitu.

"Ehem!"

Deheman Ryan membuat Abid dan Vanessa kompak terlonjak sekilas dan berpaling pada cowok itu.

"Bu," kata Ryan. "Saya yang mau konsultasi."

Mata Vanessa mengerjap. "Ya?"

"Konsultasi," ulang Ryan kemudian.

"Oh ... ehm ... mau konsultasi apa?"

Ryan bengong sejenak.

Perasaan boleh? Jadi gini, Bu, ya. Saya ini baru aja dua minggu menikah loh sama cewek yang usianya lima tahun lebih tua.

"Skripsi?"

Pertanyaan Vanessa membuyarkan lamunan Ryan. Sekaligus membuat khayalan sekejap matanya yang penuh lanturan itu hilang dari kepalanya.

Konsultasi perasaan?

Ckckckck. Yang benar saja.

"Iya, Bu. Skripsi," jawab Ryan pada akhirnya.

Vanessa melihat Ryan yang kemudian tampak mengambil tas ransel dari balik punggungnya. Membuka resletingnya dan mengeluarkan satu buku dari dalam sana.

Ryan membuka buku catatan tersebut. Melihat sekilas dan menyodorkannya pada Vanessa.

"Ini, Bu, hasil penelitian saya."

Vanessa mengambil buku itu dan spontan saja bertanya. "Penelitian kamu ini tentang apa?"

"Ehm ... tentang stek cabe, Bu."

"Stek cabe?" tanya Vanessa mengulang perkataan Ryan. "Saya pikir penelitian kamu tentang bunga."

Ups!

Sekilas Vanessa menggigit bibir bawahnya seraya memejamkan mata dengan dramatis. Menyesali lidahnya yang baru saja terceplos mengatakan hal itu.

Di lain pihak, Ryan hanya tersenyum tipis mendengar perkataan spontan Vanessa. Sedikit banyak membuat perasaannya melayang.

Uh!

Ternyata dia tau juga ya tentang aku. Hihihi.

Ryan mendehem. "Oh, nggak, Bu. Soalnya kemaren penelitian ini juga tawaran dari Bu Fatma."

Vanessa mengangguk-angguk. Matanya tak berpindah dari buku laporan itu.

"Jadi, gimana? Apa yang mau kamu konsultasikan ke saya?"

"Gini, Bu. Kan penelitian ini udah lama jalannya," jawab Ryan kemudian. "Tapi, kok saya ngerasa pertumbuhan steknya agak lama ya, Bu?"

"Lama?"

"Iya. Nggak seperti nanam cabe dari biji langsung." Ryan tampak menunjuk catatan pengamatannya. "Lihat, Bu. Bahkan sampai minggu keenam pun pertumbuhannya kayak yang nggak berubah. Tapi, anehnya dia malah sudah mau berbuah."

Vanessa diam mendengarkan penjelasan Ryan.

"Saya harus ngulang atau gimana ya, Bu? Kok saya khawatir jangan-jangan saya ada keliru waktu nanam. Atau jangan-jangan saya kurang lama waktu pencelupan dengan ZPT-nya ya, Bu?"

Tarikan napas Vanessa terdengar seiring dengan tangannya yang mendorong buku catatan Ryan itu kembali pada pemiliknya.

"Kamu udah konsul sama Bu Fatma belum?"

Sejenak Ryan diam, lalu ia menggeleng.

"Ada baiknya sih kamu konsul dulu dengan beliau, tapi nanti kalau ada yang kurang kamu mengerti boleh menemui saya. Ya cuma sekadar untuk sharing saja sih," kata Vanessa.

Ryan mengembuskan napas kecewa.

"Tapi ...."

Suara Vanessa selanjutnya membuat Ryan mengangkat wajahnya kembali yang sempat tertunduk untuk beberapa saat.

"Kalau menurut hemat saya, ini sih wajar terjadi."

"Maksud ibu?"

"Pada dasarnya tumbuhan itu berdasarkan usianya terbagi menjadi tiga. Ada semusim, dua musim, dan tahunan," jawab Vanessa. "Nah, cabe itu semusim. Jadi wajar saja kalau tanaman stek kamu hasilnya seperti ini. Pertumbuhan tingginya sudah tidak melaju lagi, namun justru sudah mulai menunjukkan tanda-tanda akan berbuah."

Ryan manggut-manggut. "Oh ... bener juga sih."

"Saya rasa sih nggak ada yang salah dengan perendaman ZPT kamu, tapi ya lebih baik kamu konsul lagi dengan Bu Fatma lagi."

Ryan mengambil buku catatannya. Manggut-manggut. "Baik, Bu. Nanti saya akan mencoba untuk konsul dulu dengan Bu Fatma."

Vanessa mengangguk. Lalu beralih lagi pada Abid. "Kalau kamu gimana?" tanya Vanessa. "Mau konsul apa?"

Abid tampak tersenyum kaku. "Eh ... saya cuma mau menemani Ryan kok, Bu. Penelitian saya masih jalan juga."

"Oh ...."

Abid meneguk ludahnya. Sikutnya tampak bergerak. Menyenggol perut Ryan berulang kali. Membuat Ryan yang baru selesai menutup kembali tas ranselnya tampak berkata.

"Terima kasih untuk waktunya, Bu. Lain kali kalau saya mau ngobrol-ngobrol soal skripsi saya, boleh kan menemui Ibu?"

Vanessa meneguk ludah. Melirik Abid yang juga melihat padanya. Tentu saja ia tak bisa menolak permintaan Ryan tersebut. Walau dengan sedikit kesal, mau tak mau wanita itu akhirnya mengangguk juga.

"Boleh boleh saja kok. Kalau saya ada waktu silakan saja datang ke ruangan saya."

Senyum seketika terkembang di wajah Ryan. Lalu mereka berdua pun berpamitan pada Vanessa sebelum keluar dari ruangan itu.

Ryan dan Abid langsung menuruni anak tangga satu persatu. Kemudian berbelok untuk menuju ke parkiran yang terdapat di bagian depan gedung itu.

Abid berkata. "Kira-kira menurut kamu bener nggak ya gosip yang beredar?"

"Gosip apa?" tanya Ryan seraya mengeluarkan kontak motornya dari saku celana.

"Itu ... yang ngomong setelah putus dengan pacarnya dulu, Bu Vanessa sekarang lagi dekat dengan Pak Nathan."

Ryan yang semula ingin memasang helm di kepalanya sontak saja menghentikan pergerakan tangannya itu. Ia menoleh.

"Itu cuma gosip."

"Ih ..., tapi kamu nggak liat? Kapan hari ini Pak Nathan ada komen postingan Bu Vanessa di Instagram dia?"

"Cuma komen doang udah dianggap ada hubungan?" tanya Ryan enteng. "Kalau gitu bentar lagi kayaknya bakal ada gosip antara aku sama Taylor Swift deh. Kemaren aku komen di Instagram dia juga soalnya."

"Sialan!" rutuk Abid. "Eh, lagipula kan dosen-dosen yang lain juga kayaknya yang lagi deketin mereka berdua. Nyomblangin gitu."

Ryan diam sejenak. Mengusap ujung dagunya. "Pak Nathan? Ehm ... kayaknya nggak cocok deh sama Bu Vanessa. Style dia kayak yang nggak masuk gitu sama Bu Vanessa."

Abid tergelak. "Agak culun gitu ya?"

"Hahahaha. Itu maksud aku. Kan rugi Bu Vanessa kalau dapat cowok tipe kutu buku seperti itu."

"Dasar!" seru Abid. "Kayak yang nggak ingat aja dia dosen penguji skripsi kamu, Yan. Kena bantai baru tau rasa deh kalau dia tau kamu ngomongi dia."

"Kalau kamu nggak ngomong ke dia, ya dia juga nggak bakal tau."

Abid masih tergelak-gelak. Lalu memasang helmnya. Ketika ia menoleh pada Ryan, ia mendapati cowok itu belum bersiap. Melainkan merogoh saku celananya. Mengeluarkan ponselnya yang bergetar.

[ Mama ]

[ Yan, kamu nggak lupa kan malam ntar? ]

[ Kita mau makan bareng sama keluarga Vanessa ]

Ryan menoleh pada Abid. Berkata. "Kalau mau duluan, ya duluan aja, Bid. Ini lagi ditanyain Mama dulu."

"Oh, oke oke." Abid mengangguk. "Aku duluan ya."

Tangan Ryan melambai sekilas. Menunggu Abid berlalu sebelum ia membalas pesan itu.

[ Mama ]

[ Ingat kok, Ma. ]

[ Ntar aku langsung ke restonya aja ya dari Floral? ]

Ryan menunggu sejenak dan balasan pesannya pun tiba.

[ Mama ]

[ Oke. ]

[ Dan jangan terlambat. ]

Ryan menyimpan ponselnya kembali ke dalam saku celana. Dalam hati ia berkata.

Ya nggak mungkin banget aku terlambat dong. Soalnya kan ini malam yang aku tunggu-tunggu. Hihihi.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro