Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

28. Efek Syok

"RYAAAN!!!"

Mendapati Ryan yang terbaring tergeletak tak bergerak di lantai ketika ia baru pulang, bukanlah hal yang diantisipasi oleh Vanessa. Maka dari itu, sangat wajar bila jeritan panik Vanessa seketika menggelegar ketika ia mendapati Ryan dengan kondisi yang seperti itu.

Vanessa langsung menghambur masuk. Membiarkan pintu unit itu tertutup dengan sendirinya sementara ia meletakkan tasnya di sofa. Ia melepaskan sepatunya dengan asal. Lalu menghampiri Ryan yang terbaring dengan posisi telungkup di lantai.

Sejenak Vanessa menggoyang tubuh Ryan. Berharap agar cowok itu bergerak. Tapi, Ryan benar-benar bergeming. Semakin membuat cemas Vanessa.

Sedetik kemudian, gadis itu buru-buru membalikkan tubuh Ryan dengan susah payah. Ia lantas menurunkan kepalanya untuk menangkap bunyi detak jantung Ryan. Dan ia menghela napas lega.

Ryan masih hidup.

Lalu, ia mengangkat wajahnya. Menepuk pelan pipi cowok itu. Ya walaupun telinga Vanessa bisa mendengarkan detak jantung Ryan, tapi itu bukan berarti Vanessa bisa tenang. Pikiran buruk masih bertengger di benaknya.

Ini kenapa Ryan mendadak pingsan di sini?

Vanessa panik!

"Ryan .... Ryan ...."

Tangan lembut Vanessa berulang kali menepuk pipi cowok itu. Berusaha untuk menyadarkannya. Tapi, tak ada respon dari Ryan.

"Ryan ..., kamu nggak apa-apa?"

Dan Vanessa menggigit bibir bawahnya.

Ya ampun, Sa!

Ya kali Ryan baik-baik aja.

Kalau dia baik-baik aja, dia nggak bakal pingsan di jalan kayak gini!

Vanessa semakin ketakutan dengan pikirannya sendiri. Mendorong dirinya untuk semakin kuat memukul pipi Ryan.

"Ryan ..., bangun dong. Jangan buat aku cemas kayak gini," lirih Vanessa dengan suara yang parau. Tanpa sadar matanya mulai berkaca-kaca.

Lalu, tak lama kemudian Vanessa mendengar cowok itu melenguh panjang. Setengah merintih. Mata Vanessa seketika membesar dengan penuh harapan.

"Ryan? Kamu udah sadar?" tanyanya dengan cepat.

Di bawah sana, Ryan terlihat mengerjap-ngerjapkan matanya berulang kali. Ia mencoba membuka matanya dan retinanya langsung menangkap wajah Vanessa. Suara cowok itu terdengar parau ketika berkata lirih.

"Kayaknya aku di surga .... Soalnya aku ngeliat bidadari."

Glek.

Vanessa membeku. Ia memandang ke kiri ke kanan. Melihat-lihat ke sekelilingnya. Seketika saja ia teringat perkataan Ryan, kalau berhadapan dengan makhluk halus bisa membuat tenaganya habis seketika.

"Ryan ...," bisik Vanessa. "Tadi ada setán ya ke sini?"

Mata Ryan berkedip sekali. Benaknya berpikir.

Ngapain bidadari sampe bahas setán?

Dahi Ryan berkerut. Berusaha memfokuskan matanya. Lalu ia melirih.

"Vanessa?"

Ryan melihat bagaimana kedua mata Vanessa terlihat cemas. Terutama dengan kilau-kilauan air di matanya. Terlihat benar-benar khawatir ketika bertanya.

"Kamu udah sadar beneran, Yan? Kamu nggak apa-apa?"

Mata Ryan mengerjap-ngerjap lagi.

Ini beneran Vanessa. Hiks. Bidadari aku.

"Ryan ..., kamu kenapa diam aja?" tanya Vanessa lagi, kali ini seraya mengguncang tubuh cowok itu. "Kamu kenapa? Kenapa sampe terbaring di lantai kayak gini? Kamu sakit atau tadi ketemu setán? Kamu pingsan?"

Pertanyaan demi pertanyaan yang Vanessa lontarkan pada dirinya membuat Ryan mau tak mau tersenyum geli. Ia menggeleng pelan.

"Aku cuma ... kayaknya lemes nggak ada tenaga."

"Eh?" Vanessa melongo. "Lemes nggak ada tenaga? Sampe terbaring di sini? Padahal jarak kamar kamu tinggal satu lompatan lagi?"

Cowok itu meringis. "Tadi itu aku beneran kayak yang nggak bisa gerak lagi. Jadi ya aku jatuh dengan sendirinya. Mengikuti gaya gravitasi. Terus kayaknya aku tertidur deh."

"Tertidur di lantai? Sementara ada sofa atau kamar kamu yang jaraknya deket itu?" Bulu mata Vanessa terlihat bergerak-gerak ketika mata wanita itu berkedip-kedip. Ia bertanya dengan lembut. "Kamu lagi ada masalah? Soal bimbingan tadi? Iya?"

Ryan mendengus kecil. "Ini kenapa seharian ini orang pada nanya soal bimbingan aku sih? Kayak yang aku bakal dapat masalah aja pas bimbingan tadi." Ia terkekeh. "Tampang aku keliatan yang kayak nggak bisa diharapkan ya untuk kategori skripsi?"

"Bukan gitu ...." Vanessa menggeleng. "Terus kenapa?"

Pertanyaan Vanessa membuat Ryan menarik napas dalam-dalam. Mengeluarkan sisa napasnya dalam bentuk hembusan panjang. Ia menatap Vanessa lamat-lamat. Tapi, entah apa yang membuat ia melakukannya. Hanya saja Ryan mengulurkan tangannya. Mengusap bakal air mata Vanessa di mata bening gadis itu.

"Nggak usah pake nangis gitu. Aku belum bakal mati. Kamu nggak usah khawatir ah."

Wajah Vanessa memerah. "Siapa juga khawatir. Aku cuma nggak pernah ada cita-cita buat jadi saksi mata penemuan mayat."

Ryan terkekeh geli. Membawa kedua tangannya di atas dadá. Sementara matanya masih betah menatap wajah Vanessa di atasnya.

"Aku nggak bakal mati. Aku cuma butuh waktu buat menenangkan diri. Makanya justru ketiduran di jalan kayak gini."

Vanessa membalas tatapan Ryan. "Menenangkan diri dari?"

"Dari hal yang baru aku tau," jawab Ryan seraya mengembuskan napas panjang. "Kayaknya aku selama ini kena tipu deh."

Mata Vanessa membulat. "Kena tipu?" tanyanya syok. "Depot kamu?"

Kelopak mata Ryan bergerak dalam kedipan yang lambat. "Aku nggak mau ngomongnya dulu deh. Kayak yang batin aku belum siap. Salah-salah kamu bakal beneran jadi saksi mata penemuan mayat."

Dan jawaban Ryan itu meluncur dari mulutnya seiring dengan Ryan yang berusaha untuk bangkit duduk. Itu pun dengan dibantu oleh Vanessa.

"Kamu kayaknya beneran lemes deh," komentar wanita itu.

"Ya ampun ...." Ryan geleng-geleng kepala. "Kamu pikir aku bohong? Ckckck."

Seketika saja Vanessa salah tingkah. "Bisa berdiri?"

"Emangnya kalau aku nggak bisa berdiri, kamu mau ngegendong aku?" tukas Ryan bertanya dengan sedikit sebal.

Dan entah mengapa, wajah sebal Ryan itu terlihat menggelitik perut Vanessa. Hingga membuat wanita itu berkata.

"Ya nggak dong. Tapi, kan aku bisa pinjem semacam troli barang gitu ke pihak gedung." Vanessa mengulum senyum. "Ups! Maaf."

Ryan cemberut. "Aku nyaris mati nggak ada tenaga, malah kamu jadikan bahan ketawaan, Sa. Beneran nggak ada hati kamu."

Tapi, perkataan Ryan sepenuhnya tidak salah. Ketika ia memutuskan untuk benar-benar menutup mata di lantai itu, keadaan cowok itu belum juga makan. Jadi, ketika ia bangkit bersama Vanessa, seketika saja ia merasa pandangannya sedikit berkunang-kunang. Membuat ia tanpa kata-kata langsung merengkuh pundak Vanessa.

Gadis itu kaget mendapati Ryan yang menarik dirinya. Tapi, ketika ia menoleh dan mendapati Ryan yang menutup mata seraya memijat pangkal hidungnya, Vanessa memutuskan untuk tidak menolak. Membiarkan Ryan untuk bertopang padanya.

"Kamu beneran kayak gini gara-gara belum makan?" tanya Vanessa seraya memegang dadá Ryan.

Cowok itu meringis. Menunduk melihat Vanessa. "Aku paling nggak suka rasa lapar. Rasanya menakutkan."

"Astaga ...." Vanessa melihat Ryan yang memegang perutnya. "Kamu lapar?"

"Aku belum makan seharian."

"Kamu ada penyakit magh?"

"Emang kalau nggak ada penyakit magh, terus boleh dibiarkan merasa kelaparan gitu? Kejam banget."

Vanessa geleng-geleng kepala. "Kayaknya kemaren kita beli minuman sereal gitu. Rasa coklat," katanya. "Aku buatkan bentar kalau kamu emang udah kelaparan."

Bibir Ryan melengkung ke bawah. Meringis dengan sedikit tersedu. "Untuk cowok segede aku, minuman sereal itu cuma kayak seekor ikan teri yang masuk ke perut ikan paus. Paling nyangkut di lobang gigi aja."

"Ck. Kamu ini rewel ya?" tanya Vanessa mulai geram. "Berapa sih umur kamu?"

"Hiks. Aku lapar ...."

Vanessa mengembuskan napas panjang. Memutar bola matanya dengan malas. "Aku buatkan dulu minuman serealnya."

Masih dengan posisi bibir yang manyun, Ryan merelakan kepergian Vanessa. Tapi, sejurus kemudian ia malah mengikuti gadis itu ke dapur.

Ia langsung duduk di kitchen island sementara Vanessa mengambil minuman sereal itu. Menuangkan isinya ke dalam sebuah cangkir dan menyedunya dengan air panas. Tak lama kemudian, minuman sereal itu tersaji di depan Ryan.

"Kamu minum dulu deh," kata Vanessa. "Aku coba lihat isi kulkas bentar."

Ryan hanya mengeluarkan lirihan ringisannya saat meraih telinga cangkir itu dan membiarkan Vanessa beranjak ke kulkas.

Ketika pintu kulkas terbuka, mendadak saja Vanessa tertegun di depan itu. Dan itu tertangkap retina mata Ryan. Seraya menyesap minuman sereal rasa coklatnya, cowok itu menunggu dengan hati berdebar. Penasaran dengan apa yang akan dilakukan oleh Vanessa.

Yang kemudian terjadi adalah Vanessa yang menyeletuk.

"Makan mie rebus pake telor sebiji cukup?"

Ryan meringis.

Ya Tuhan.

Tapi, alih-alih menolak, Ryan justru berkata dengan wajah berharap.

"Kamu kasih aku makan nasi kornet mentah aja sekarang aku terima, Sa. Kalau udah lapar, manusia bisa makan apa aja kok."

Mata Vanessa mengerjap.

"Jangankan cuma makan nasi kornet mentah, makan kamu aku juga bakal mau kok."

Vanessa membeku. "Maksud kamu?"

"Aku lapar, Sa," rengek Ryan kemudian dengan cepat. Menyadari kalau omongannya baru saja terceplos begitu saja.

Geleng-geleng kepala sekali, Vanessa kemudian akhirnya hanya mengambil dua butir telur dan sebatang sosis. Membawanya ke dekat kompor.

Ryan hanya bertopang dua tangan di atas meja. Meletakkan dagunya di sana. Dalam diam mengamati Vanessa yang kemudian memasakkan mie kuah untuknya. Lalu, ketika ia mendapati Vanessa sudha sibuk di depan kompor, diam-diam Ryan menguap.

Aduh!

Gimana ya ngomongnya.

Tapi, sudah bangun tidur tanpa menguap itu seperti pup nggak pake buang angin.

Ada yang kurang gitu.

Hihihi.

Ryan berusaha menahan tawanya.

Kalau Vanessa tau aku tadi itu cuma numpang bobok bentar di lantai, udah deh. Pasti aku yang direbus kini.

Jadi, Ryan bersusah payah menjaga raut wajahnya. Tapi, ketika ia membawa pandangannya untuk mengamati Vanessa, hal itu pun menjadi mengalir begitu saja. Tanpa sadar, ia justru tersenyum melihat gadis itu.

Lalu, semangkuk mie kuah panas itu tersaji di hadapan Ryan. Ia pun dengan segera menyingkirkan cangkir minuman serealnya yang telah habis tak tersisa.

Tangan Ryan menarik mangkuk itu. Sejenak ia melihat isi di dalamnya dan itu membuat Ryan bergetar saat mengambil sendok dan garpunya.

"Hayo, dimakan!" kata Vanessa. "Kalau nggak suka mie, kamu bisa delivery aja kok. Daripada aku masak terus malah bikin kamu sakit perut."

Ryan mengerucutkan bibirnya. Pelan-pelan ia menengadahkan wajahnya. Menatap pada Vanessa yang berdiri di hadapannya, terpisah oleh kitchen island.

"Sa ..., kamu nggak yang lagi ngasih ancaman ke aku kan?"

Vanessa mengerutkan dahinya. "Ancaman? Ancaman apa?"

"Soalnya, kalau aku perhatikan ... kamu tuh selalu suka sama telur dan sosis. Tapi ...." Ryan menatap lekat-lekat pada Vanessa. Seakan-akan sedang berpikir apa dia harus meneruskan perkataannya atau tidak.

"Tapi?" tanya Vanessa bingung, tapi juga penasaran.

Ryan mendorong mangkoknya. Menunjukkan keadaan mie kuah yang diberikan Vanessa pada dirinya. Tapi, melihat mie itu justru membuat Vanessa semakin bingung.

"Memangnya ada yang salah?"

Ryan melongo untuk sejenak, baru ia bertanya. "Harus ya sebatang sosis diapit sama dua butir telur?"

Mata Vanessa membelalak. Terkejut dengan pertanyaan Ryan yang satu itu.

"Mana pake mi keriting lagi sebagai background-nya," tambah Ryan. "Kamu ngancam aku atau gimana?"

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro