Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

27. Yang Tidak Diketahui

"Udah cantik, pintar, bisa masak ... beuh! Kayak yang sempurna banget nggak sih Bu Vanessa?"

"Uhum! Sempurna banget! Aku aja yang cewek bisa naksir total sama Bu Vanessa, apalagi cowok coba? Tapi, ya itu sayangnya. Udah sesempurna itu, eh masih aja diselingkuhi."

"Nggak nyangka kan ya? Maksudnya, ya elah. Apalagi yang itu cowok cari coba?"

"Dasar nggak bersyukur aja. Nggak ada otak yang pasti cowok itu. Lagian sih ya, kadang aku ngerasa untung juga Bu Vanessa diselingkuhi. Itu artinya kan Pak Nathan ada kesempatan."

"Iya ya? Mereka kan keliatan serasi gitu. Cantik dan cakep. Pas banget."

"Sreeet!"

Ryan yang dari tadi duduk di motor tampak memutar wajahnya. Melihat pada Indri dan Susi yang terlihat akan mengeluarkan motornya dari barisan parkiran, yang kebetulan merupakan barisan yang sama dengan tempat motor Ryan berada. Dua orang cewek itu melihat pada Ryan.

"Kenapa kamu, Yan?" tanya Indri. "Kok kayak yang bete gitu sih muka kamu."

"Kena bantai Bu Fatma ya?" goda Susi.

"Sembarangan aja kalau ngomong. Nggak ada sejarahnya aku kena bantai sama dosen," kata Ryan. "Lagipula sebenarnya aku cuma fokus sama gosip kalian tadi aja. Kebetulan denger pas kalian lagi ngobrol."

Indri dan Susi tampak saling pandang.

"Gosip?"

Mereka berdua bertanya dengan kompak.

Sedikit memperbaiki letak bokongnya di motornya, Ryan mengangguk. "Tadi kalian lagi ngomongi Bu Vanessa kan?" tembak Ryan langsung tanpa basa-basi.

"Oh ...."

Wajah keduanya terlihat salah tingkah. Terutama ketika Ryan yang bertopang pada helmnya tampak bertanya lagi dengan dahi berkerut. Seolah ingin benar-benar mengetahui tentang hal yang ia tanyakan sedetik kemudian pada dua orang cewek itu.

"Ngomong-ngomong, Bu Vanessa kemaren putus sama pacarnya emang karena diselingkuhi ya?"

Indri dan Susi terlihat bertukar pandang lagi sebelum pada akhirnya Susi berkata.

"Ya emang. Masa kamu nggak tau? Kan berapa bulan heboh itu gosip di kampus. Nggak ada orang yang nggak tau kali. Soalnya gimana ya? Waktu itu teman-teman Bu Vanessa kompak nyerang akun sosmed itu cowok. Jadi ya nyebar deh."

Indri mengangguk. "Bahkan katanya itu sempat ngebuat Bu Vanessa nge-drop gitu. Ada yang berapa bulan beliau jarang keliatan di kampus, nah! Itu katanya dia lagi menenangkan diri gitu."

"Denger-denger sih ya, katanya Bu Vanessa sama calon mertua nggak jadinya itu mergoki cowok itu lagi ML gitu di apartemennya."

Mata Ryan membesar. "Bukan main Mobile Legend kan maksudnya?"

Indri rasa-rasanya ingin memukul kepala Ryan dengan helm di tangannya. "Ya you know-lah, Yan. Masa main Mobile Legend bisa berdampak segitunya? Putus di tempat loh."

"Ah! Bener! Waktu itu kayaknya Bu Vanessa emang lagi depresi gitu, aku pernah capture story di Instagram dia loh."

"Oh, iya iya! Aku juga liat. Tapi, itu bentaran doang langsung dihapus. Paling cuma lima menitan gitu."

"Apa story-nya?" tanya Ryan penasaran.

"Bentar," kata Susi seraya mengeluarkan ponselnya. Mencari foto tangkapan layar itu di galerinya. "Itu kayaknya dia hapus karena dia sadar follower dia di Instagram banyak mahasiswa. Kan berasa malu dong."

Indri mengangguk.

"Nah! Ini ini! Ketemu juga."

Mendengar itu, Ryan langsung saja bangkit dari duduknya dan merebut ponsel Susi hingga pemiliknya mencibir. Merasa kesal. Tapi, Ryan tak menghiraukan Susi. Ia hanya fokus pada tulisan itu. Di mana Vanessa menulis.

Ya, aku wanita sempurna.

Aku cantik, pintar, dan memenuhi kualifikasi sebagai calon istri.

Tapi, apa yang aku dapat?

Pria mencintai wanita hanya karena wanita itu sempurna?

Ternyata aku sadar.

Cinta hanya ada bila wanita itu jelek, bodoh, dan tak bisa melakukan apa-apa.

Selain dari itu, cinta hanya bentuk kamuflase akan kekaguman pria terhadap wanita.

Pada akhirnya, memangnya kalian bisa mencintai wanita yang tidak cantik? Tidak pintar? Dan bisanya hanya menyusahkan?

Tidak kan?!

Jadi, kenapa harus menjadi bagus untuk bisa dicintai?

Bahkan setelah menjadi bagus pun tidak lantas menjamin akan benar-benar dicintai!

Beberapa saat, Ryan benar-benar memaku tatapannya di layar itu. Walau sebenarnya ia tak lagi membacanya. Namun, cowok itu hanya berusaha untuk meresapi semua perasaan yang ada di rangkaian kata-kata itu.

Sejurus kemudian, Ryan mengembalikan ponsel itu kembali lagi pada Susi dengan tubuh yang membeku. Ia bahkan menatap kedua orang temannya itu dengan sorot kosong pada matanya.

Susi menerima ponselnya dengan bingung pada perubahan raut wajah Ryan. Tapi, ia tetap saja berkomentar.

"Tapi, ya kali ya. Bu Vanessa itu udah pacaran tujuh tahun lamanya. Udah sama-sama dari awal kuliah. Udah tunangan juga. Bentar lagi bakal nikah. Eh, malah kandas. Kebayang putus setelah tujuh tahun?"

"Ya mana putusnya gara-gara ngeliat mantan sama cewek lain lagi main gila. Mana nggak depresi si Ibu?" imbuh Indri.

"Padahal dulu itu di Instagram Bu Vanessa penuh sama foto-foto dia dan cowok itu. Ada yang pas Bu Vanessa upload video pas buatin dia kue ulang tahun. Ya Tuhan!" Susi geleng-geleng kepala. "Udah total banget Bu Vanessa coba."

"Emang itu cowok kalau nggak ada hati ya pasti nggak ada otak. Sampai bisa gitu nyia-nyiakan cewek kayak Bu Vanessa."

"Itu kuat banget Ibu masih bisa senyum kayak gini. Masih keliatan ceria. Padahal aku yakin mah. Hatinya pasti udah nggak berbentuk lagi. Pasti sulit banget buat dia bakal bisa nerima cowok lain. Soalnya ya bukan apa, kayaknya pas udah habis putus, Bu Vanessa juga kayak yang nggak mau deket sama cowok loh. Ingat nggak pas Bu Vanessa diajak ngobrol sama Pak Gusti? Dosen fakultas sebelah?"

Ryan berganti-ganti melihat Susi dan Indri dengan serius. Tidak melewatkan sedikit pun gosip yang mereka katakan.

Indri mengangguk. "Iya. Pas ada seminar Nasional di Rektorat. Itu keliatan banget kan kayak Bu Vanessa nggak mau ngobrol sama cowok lagi."

"Dan kemaren aku pernah ngeliat juga Pak Nathan ngajak Bu Vanessa balik bareng eh ..., tapi ditolak gitu. Mana Bu Vanessa langsung kabur. Ckckckck." Susi berdecak sekilas. "Cuma keliatan kok Pak Nathan yang maklum gitu sama si ibu. Kayaknya dia ngerti kalau Bu Vanessa masih patah hati gitu."

"Makanya itu, kalau menurut aku udah yang pas banget deh Pak Nathan buat obat sakit hati Bu Vanessa," kata Indri. "Pak Nathan itu cakep dan lembut orangnya. Pasti bakal sabar buat nunggu Bu Vanessa sembuh dari patah hatinya."

Mata kosong Ryan berubah jadi menyipit langsung pada Indri. "Mereka berdua nggak cocok kali, Ndri. Bu Vanessa cocoknya dapat cowok yang lebih lagi dari Pak Nathan. Bu Vanessa terlalu mewah untuk seorang Pak Nathan."

Indri mencebik. "Ya kalau mereka jodoh kamu mau ngomong apa?"

Ryan menarik napas dalam-dalam. "Kamu tau kan siapa Eyang aku?" tanya Ryan. "Eyang aku itu punya indra keenam yang diwariskan ke aku. Aku bahkan bisa ngeliat kalau Bu Vanessa nggak bakalan berjodoh sama Pak Nathan. Weton jodohnya beneran buruk. Kalau mereka nikah, rumah tangga mereka akan jadi bencana. Indonesia bahkan bakal sengsara karena keturunan mereka. Aku jamin deh. Sehari mereka nikah, nilai tukar Rupiah ke Dolar bakalan langsung anjlok seketika!"

Indri mengerjap-ngerjapkan matanya. Lalu ia dan Susi tergelak-gelak.

"Zaman kini masih percaya gituan kamu, Yan?" tanya Susi geli.

"Menurut kamu aku sepintar itu sampe bisa dapet IPK nyaris empat dengan tingkah aku yang lebih suka nyari duit ini?"

Tawa Indri dan Susi terhenti seketika.

"Emangnya ada makhluk halus yang bisa bantu kamu ujian, Yan?" tanya Indri kemudian dengan polos.

Ryan kesal. "Tauk deh!" tukasnya.

Dan cowok itu menyadari bahwa ia sudah cukup banyak mengetahui berita tentang Vanessa yang tidak ia ketahui melalui Susi dan Indri. Sekarang, Ryan merasa sudah waktunya untuk menyuruh kedua orang cewek itu pergi. Terutama karena mereka sudah mulai membawa-bawa nama Nathan. Ryan tidak suka.

Sehingga Ryan pun melirik lagi. "Ngomong-ngomong, tadi kayaknya kalian mau ngeluarin motor. Bukannya mau pergi?'

"Ya salam!" Susi menepuk dahinya. "Kita kan disuruh Bu Vanessa beli garam kali, Ndri."

Indri menunjuk Ryan sementara Susi mengeluarkan motor. "Gara-gara Ryan ngajak begosip sih."

Ryan hanya mencibir pada kedua orang cewek itu. Dan ketika mereka berdua sudah berlalu meninggalkan Ryan sendirian di parkiran belakang itu, Ryan tertegun. Mengembuskan napas panjang.

Lalu teringat perkataan Vanessa beberapa hari yang lalu.

"Jangan hanya terfokus pada satu titik. Jangan melihat sepintas saja karena terkadang yang terlihat buruk belum tentu benar-benar buruk."

*

Pulang ke unit apartemennya, Ryan nyaris merasa tubuhnya bagai lesu tak bertenaga. Dan untuk menenangkan perasaannya, cowok itu hanya berkata di dalam hati.

Efek belum kenyang sarapan ini mah.

Tapi, langkah kaki cowok itu begitu gontai. Sehingga ia merasa ia tak bisa berjalan menuju ke kamarnya. Pada akhirnya, Ryan pasrah saja menjatuhkan diri di lantai ruang tamu. Jatuh telungkup dengan kepala yang meneleng ke satu sisi. Membuat matanya bisa memandang ke kolong sofa.

"Eh, ada duit lima ratus deh kayaknya di sana."

Ryan mengulurkan tangannya, tapi dengan jarak yang sedemikian rupa maka sangat mustahil menggapai uang itu. Dan lalu ia berkata lirih.

"Jangankan mau Vanessa, duit lima ratus rupiah aja nggak mau jalan sendiri menghampiri aku. Hiks. Padahal Vanessa kan lebih berharga dari itu."

Selesai melirihkan itu, Ryan memejamkan matanya. Sungguh! Gosip yang ia dengarkan dari Indri dan Susi tadi seolah-olah merenggut semua tenaganya yang tak seberapa.

Ya mau bagaimana lagi.

Sudahlah dia yang sarapan seadanya. Bertarung di jalanan macet. Bimbingan dengan Bu Fatma dan ditanya banyak hal. Eh, semuanya ditutup dengan kenyataan Vanessa yang tidak ia ketahui selama ini. Mengatakan Ryan syok lahir batin sama sekali bukan hal yang berlebihan deh. Nyatanya memang itu yang ia alami saat itu.

Aku nggak tau loh kalau Vanessa ngalamin hal kayak gitu. Ya lagipula aku kan nggak peka sama segala macam gosip. Aku pikir juga putus dia waktu dulu cuma sekadar putus doang.

Ryan mengembuskan napas panjang.

Apa dia belum move on dari cowok itu? Terus, kalau belum move on kenapa dia mau nerima pernikahan ini?

Ryan menarik napas dalam-dalam.

"Jangan hanya terfokus pada satu titik. Jangan melihat sepintas saja karena terkadang yang terlihat buruk belum tentu benar-benar buruk."

Ucapan Vanessa kembali terngiang di benaknya. Wajahnya seketika meringis.

Ya ampun. Ternyata aku memang belum dewasa banget ya untuk Vanessa? Aku nggak pernah mikir keadaan dia di posisi seperti itu. Yang ada aku cuma jelek-jelekin dia, ngomongi dia, dan mandang dia rendah.

Harusnya aku cari tau dulu kenapa dia seperti itu, baru menghakimi dia. Sementara yang aku lakukan justru sebaliknya. Ngomongi dia kasar, mikir dia pemalas, dan segala macam. Nggak dewasa banget!

Hanya menilai Vanessa dari luar saja.

Ryan merutuki dirinya. Ia merasa bersalah. Dan rasa itu membuat jantungnya seperti diremas-remas.

Aku nggak pernah berada di posisi dia.

Yang pernah mencintai sebegitu dalam, tapi justru disakiti sama dalamnya.

Kali ini Ryan memejamkan matanya. Ia memutuskan untuk tidak ingin berpikir apa-apa lagi. Ia ingin menenangkan otaknya saja. Seharian ini otak Ryan sudah dipaksa berpikir ketika berdiskusi dengan Bu Fatma, eh terus disuruh menerima informasi lain tentang Vanessa. Sekarang Ryan merasa sel-sel di otaknya sedang menjerit karena dipaksa untuk berpikir di luar batasnya.

Aku butuh istirahat bentar.

*

"Sudah mau pulang, Bu?"

Vanessa terkesiap kaget. Mengakibatkan kunci di tangannya terjatuh seketika karenanya.

"Oh, saya minta maaf. Ngagetin ibu lagi."

Vanessa mengerjap. Melihat Nathan yang membungkuk dan mengambil kunci itu. Menyerahkannya kembali pada Vanessa.

Gadis itu tersenyum. Lalu dengan cepat mengunci pintu ruangannya. Ia mengangguk. "Iya, Pak. Ini sudah mau pulang. Kayaknya mau hujan juga. Takut ntar malah nggak bisa pulang."

"Oh, iya ...." Nathan menarik napas. Terlihat sedikit salah tingkah ketika bertanya. "Mau pulang bareng saya, Bu?"

Mata Vanessa mengerjap lagi. Gadis itu seperti butuh waktu sedikit lebih lama untuk memaknai pertanyaan Nathan. Hingga ia menyadari maksud pertanyaan Nathan, ia melirih pelan seraya berusaha memikirkan cara apalagi yang harus ia berikan untuk menolak ajakan itu.

"Bagaimana, Bu?" tanya Nathan lagi. "Atau ibu ada urusan lain lagi sore ini?"

Vanessa mengusap tekuknya. Menampilkan raut rasa bersalahnya. Ia berkata. "Aduh, saya sebenarnya mau sekali pulang bareng Bapak, tapi sepertinya kali ini saya memang juga nggak bisa nerima tawaran Bapak."

Seketika saja gurat kecewa tercetak di wajah Nathan. Tapi, cowok itu terlihat berusaha untuk tersenyum.

"Ya udah. Nggak apa-apa, mungkin lain kita bisa pulang bareng sekalian makan di luar."

Vanessa meneguk ludah. Wajahnya seketika tampak pucat pasi. Susah payah gadis itu untuk bisa bicara.

"Ehm ... saya duluan, Pak. Permisi."

Bahkan tak menunggu jawaban dari Nathan, gadis itu dengan cepat beranjak dari sana. Melangkahkan kakinya dengan terburu. Langsung melesat masuk ke dalam taksi yang telah ia pesan.

Sepanjang perjalanan, Vanessa menarik napas dalam-dalam. Mengusap wajahnya yang basah karena keringat berulang kali. Hingga mendorong supir taksi untuk bertanya padanya.

"Mbak baik-baik aja?"

Vanessa menurunkan tangan dari wajahnya. Berusaha tersenyum. Ia menggeleng sekali. "Nggak apa-apa kok, Pak. Terima kasih."

Supir taksi itu mengangguk sekilas. Walau pada kenyataannya, sepanjang perjalanan supir itu berulang kali melirik ke belakang melalui spion dalamnya. Seolah-olah ingin meyakinkan bahwa Vanessa memang baik-baik saja.

Hampir jam lima sore ketika Vanessa tiba di gedung apartemennya. Ia segera naik menuju lantai unitnya.

Vanessa mengembuskan napas ketika sampai di depan pintu unit itu. Merasa sebentar lagi ia akan bisa beristirahat. Tapi, ketika ia masuk, mendadak saja ia menjerit panik.

"RYAAAN!!!"

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro