26. Dua Sisi Yang Berbeda
"Ini hasil kamu udah bagus kok. Terus aja input. Mudah-mudahan aja kamu bisa seminar hasil dan sidang dalam waktu cepat."
Ryan membereskan laptop dan kertas-kertasnya dengan cepat. Tersenyum dan mengangguk.
"Terima kasih banyak, Bu. Saya mohon bimbingannya."
Bu Fatma mengangguk. Lalu baru tersadar akan sesuatu. "Eh, tapi kayaknya kamu juga belum bisa sidang dalam waktu dekat ya?"
Dahi Ryan mengerut. Tapi, kemudian ia pun menyadari hal tersebut. Meringis, ia mengangguk. "Iya, Bu. Paling nggak saya harus nunggu sampai nilai saya semester ini keluar."
Bu Fatma menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. "Memangnya kenapa sih kamu sampai ngulang 4 mata kuliah?" tanyanya. "Setau saya, IPK kamu itu 3,5 lebih. Kok kamu ngulang?"
Ryan mengusap tekuknya. Merasa salah tingkah. Bingung harus menjawab apa. Ya kali ia menjawab seperti ini.
Sebenarnya saya emang nggak niat buat ngulang, Bu. Eh, mendadak saja saya nikah. Dan saya rasa-rasanya jadi pengen ngikutin istri saya ke mana-mana, Bu. Makanya pas jadwal perubahan KRS, ya saya ambil aja semua mata kuliah yang ia ajar.
Glek.
Ryan benar-benar menyingkirkan kemungkinan itu dari benaknya. Ia tak bisa membayangkan akan seheboh apa dunia kalau sampai tau ia menikahi dosennya sendiri.
Ya kali.
Ntar teman-teman aku ngomong gini: Misi, suami Bu Vanessa mau lewat.
Ck.
Kan tidak lucu sama sekali.
Maka Ryan menarik napas dalam-dalam sementara Bu Fatma menunggu jawaban dari mahasiswa bimbingannya itu.
"Saya memang ingin pendalaman, Bu."
Gubrak!
Bu Fatma mengerjap. Terlihat kebingungan. Tapi, ia hanya bisa tersenyum kaku. "Yah ... kalau begitu, semoga kamu bisa semakin mendalami mata kuliah yang kamu ambil."
Ryan mengangguk. "Terima kasih untuk dukungannya, Bu."
Bu Fatma angguk-angguk kepala. Sedikit bingung dengan di bagian mana ia mendukung Ryan. Bahkan sebenarnya ia nyaris benar-benar tak habis pikir dengan isi kepala Ryan.
Nilai A mau diulang?
Ck. Sepertinya baru sekali ini ada mahasiswa yang melakukannya.
Setelah menyelesaikan bimbingannya dengan Bu Fatma, Ryan pun melenggang keluar dari ruangan itu. Ia tampak berjalan seorang diri menyusuri koridor Gedung Jurusan. Dengan pikirannya yang tak tentu memikirkan apa.
Ehm ... sepertinya Ryan sedikit tau apa isi pikirannya sekarang. Yaitu bayangan seandainya tadi ia gagal bimbingan. Bisa jadi hal itulah yang ia alami seandainya ia tidak membawa satu dari jurnalnya, coret-coret skripsinya atau pun file-nya yang tidak tersimpan.
Tapi, semua kemungkinan buruk itu tidak terjadi satu pun. Karena ada Vanessa yang pagi tadi merapikan semua kekacauan itu.
Ah, Vanessayang ....
Kenapa kamu ngebuat aku bingung sih?
Kalau sikap kamu berubah-ubah kayak gini, aku bingung harus ngedeketin kamu pake taktik yang mana.
Taktik cowok sok cool?
Taktik cowok super perhatian?
Taktik cowok tak tahu malu?
Atau taktik cowok extra manja?
Ehm ... kan nggak lucu kalau aku deketin cewek galak dengan taktik cowok extra manja. Yang ada aku bakal kena hajar ntar.
Atau aku ngedeketin Vanessa yang galak dengan taktik cowok sok cool. Udah deh. Itu ibarat kutub negatif ketemu kutub negatif. Pasti nggak bakalan nyambung beneran.
Dan selagi Ryan masih bingung dengan mengacak-acak rambutnya, ia mendapati ponselnya berdering. Ia mengerutkan dahi ketika melihat bahwa yang menghubunginya adalah Lastri.
"Halo, Ma," sapa Ryan mengangkat panggilan tersebut.
"Ckckckck."
Decakan ibunya adalah sapaan balik yang Ryan dapatkan. Membuat ia bersiaga penuh.
Apa ada masalah yang terjadi?
Ehm ....
"Mama tunggu-tunggu beberapa hari ini, eh ... nggak ada kabar sekali pun dari kamu, Yan."
Oh ....
"Mentang-mentang udah tinggal sama Vanessa ya. Jadi lupa sama keluarga sendiri."
"Eh?" Ryan salah tingkah. "Nggak kok, Ma. Nggak lupa. Tapi, ya kebetulan aja sekarang lagi banyak kerjaan di kampus."
Di seberang sana, Lastri terdengar melirih singkat.
"Ehm ..., tapi Minggu besok kamu ada waktu kan?"
"Minggu? Kenapa, Ma?"
"Minggu besok kan ada arisan keluarga di rumah kita. Kamu pulang?"
Ryan tau keluarga besarnya memang mengadakan arisan sebagai alibi silaturahmi terjadwal. Dan ia pun tau kalau arisan keluarga besar itu artinya akan ada banyak makanan di rumah. Sebagai seorang cowok yang hobi ngemil dan suka makan, itu adalah tawaran yang menggiurkan bagi Ryan. Lihat saja! Hanya membayangkan akan ada banyak makanan di rumahnya saja sudah berhasil membuat perut Ryan keroncongan.
Ugh!
Tapi ....
"Kayaknya aku nggak bisa pulang ke rumah, Ma," kata Ryan pada akhrinya dengan nada lesu di suaranya.
"Loh? Emangnya kenapa?"
Ryan menyugar rambutnya sekali. "Soalnya hari Minggu aku mau lemburan di depot. Banyak bunga yang habis. Kalau nggak cepet-cepet aku tanam lagi, bisa-bisa dua bulan ke depan aku nggak ada pemasukan. Mana jatah beasiswa aku udah terakhir dapat semester ini, Ma. Hiks," ringisnya.
Beberapa saat Ryan hanya mendengar helaan napas panjang ibunya, walau Ryan tau. Lastri pasti akan mengerti keadaannya. Yang mana itu terbukti dengan perkataan Lastri selanjutnya.
"Ya udah nggak apa-apa. Kamu kerja aja yang rajin besok, tapi ya sebagai gantinya biar ntar Mama telepon Vanessa aja deh."
Dan Ryan bisa menangkap nada senang ibunya itu ketika menyebut nama Vanessa.
"Ngapain Mama nelepon Vanessa?"
"Ya kan dia anak Mama. Kalau kamu nggak bisa datang ya seenggaknya ada anak mantu yang datang," celetuk Lastri menjawab. "Lagipula ya sekalian biar dia bisa bantu-bantu Mama juga dong buat nyiapin keperluan arisan. Emangnya kamu pikir adek kamu itu bisa diharapkan? Seharian Elin itu kerjaannya cuma di kamar. Katanya sih belajar, ehm ... nggak tau belajar beneran atau nggak. Ya jadi, biar Mama ntar minta bantu sama Vanessa aja."
Mendengar perkataan ibunya, Ryan sontak tertawa. "Hahahaha."
"Eh? Kenapa kamu ketawa?"
Untuk beberapa saat, Ryan hanya berusaha untuk menahan tawanya sejenak. Ia tak akan bisa menjawab pertanyaan ibunya kalau ia masih terpingkal seperti itu.
"Ya Mama sih ngelawak pagi-pagi gini."
"Ngelawak? Ngelawak apaan?"
"Loh itu ngomong biar Vanessa sekalian bantu-bantu Mama buat nyiapin keperluan arisan. Emang itu bukan ngelawak?"
"Emang ngelawaknya di bagian mananya, Yan?" tanya Lastri dengan sarat bingung di suaranya.
"Ya Mama sih mungkin nggak tau. Tapi, Vanessa itu ntar emangnya bisa bantuin Mama apa? Dia kan nggak bisa masak, bahkan beres-beres pun nggak suka."
"Kamu beneran mau Mama gantung hidup-hidup?"
Ryan tersenyum geli.
"Kamu beneran harus Mama kasih kuliah tujuh minggu!" desis Lastri dengan penuh penekanan. "Istri sendiri malah dijelek-jelekin gitu!"
"Ma, aku bukan jelek-jelekin. Ya kan cuma biar Mama nggak berharap dia bakal ngebantu Mama."
"Astaga, Ryan. Kamu ini bener-bener nggak ada bersyukurnya jadi cowok ya. Lagi udah dapat istri sesempurna Vanessa aja masih ada keluhannya."
Ryan hanya bisa menyeringai mendengar perkataan Lastri.
Emangnya Mama mau apa Vanessa bantu menghidangkan nasi kornet tanpa dimasak buat hidangan arisan?
"Vanessa itu udah cantik, pintar, hobi masak ..."
Eh?
Seringai Ryan langsung tergantikan longoan.
"..., rajin beres-beres ..."
Apa Mama bilang?
" ..., lembut pembawaannya ..."
Be-bentar deh.
"..., dan kamu justru ngejelek-jelekin dia?"
Dan kata-kata terakhir Lastri membuat Ryan syok. Ia terpaksa menurunkan sejenak ponsel dari telinganya. Dengan cepat menggunakan jari telunjuk untuk mencongkel ke dalam lubang telinganya. Khawatir kalau mendadak ada serangga atau semacamnya menyumpal lubangnya sehingga membuat ia salah dengar. Lalu, ketika ia meletakkan lagi ponsel itu di telinganya, ia justru bertanya.
"Be-bentar deh, Ma. Ini Vanessa mana yang Mama bilangin?"
"Oh, Tuhan. Emangnya ada berapa Vanessa di keluarga kita?" tanya Lastri frustrasi. "Ya yang Mama maksud itu sudah pasti Vanessa istri kamu dong, Sayang. Vanessa menantu Mama."
"Eh?" Ryan melongo horor. "Ma, menantu Mama baru ada satu kan ya?"
"Kamu ngomong macam-macam, beneran Mama keluarkan kamu dari daftar anggota keluarga, Yan."
Ryan meneguk ludahnya. "Bukannya gitu, Ma. Tapi, Vanessa ..." Napas cowok itu terasa kacau. "Masak? Beres-beres? Lembut?"
Tunggu!
Ryan butuh berpegangan terlebih dahulu. Maka ia pun segera beranjak ke satu tiang yang berada di sisi gedung. Memegangnya. Sungguh-sungguh memegangnya.
Cowok itu pikir itu adalah salah satu tindakan antisipasi agar ia tidak jatuh bila terlalu syok. Tapi ....
"Vanessa ...."
"Oke, Ryan." Lastri terdengar menyela perkataan Ryan. "Mama pikir Mama ngerti arah pikiran kamu."
Ryan bahkan pikir saat itu ia sudah tidak ada pikiran lagi. Bahkan otak untuk berpikir pun ia pikir sudah tidak ada. Semua yang Lastri katakan membuat kepalanya terasa kosong melompong. Terutama ketika Ryan mendengar perkataan Lastri selanjutnya yang jelas sekali bernada menggoda. Ryan yakin, di seberang sana bibir Lastri sedang tersenyum dengan lebar.
"Kamu ngomong gitu maksudnya biar Mama nggak nyuruh-nyuruh Vanessa kan? Hihihi. Biar Vanessa nggak capek kan ya kerja di rumah Mama?"
Bahkan Ryan tak bisa mengatakan apa-apa sebagai respon untuk pertanyaan itu. Ia merasa tubuhnya seperti tak bernyawa lagi.
"Ya udah. Mama janji deh. Ntar Mama nggak bakal nyuruh-nyuruh Vanessa. Ih! Mama nggak nyangka juga kamu perhatian gini sama istri."
"Ma ...." Ryan berusaha untuk bisa bicara walau keadaannya yang mengap-mengap. "Aku cuma ...."
"Mama tau kamu itu pemalu. Tenang aja. Mama nggak bakal ngomong soal ini ke Vanessa kok. Bahkan Mama nggak bakal ngomong ke dia kalau Mama nelepon kamu."
"Ah ... itu ...."
"Ya udah. Ntar Mama telepon dulu Vanessa. Dadah, Anak Mama."
Mata Ryan mengerjap. "Dadah juga, Mama Aku."
Dan ketika telepon itu terputus, Ryan pelan-pelan melepaskan tangannya dari tiang bangunan Gedung Jurusan. Ia lantas jatuh terduduk menjongkok di sana seketika.
Dahi cowok itu berkerut-kerut. Ia bingung. Merasa seperti tengah berhadapan dengan soal Fisika paling rumit sedunia.
"Vanessa? Hobi masak?" Ryan menggaruk kepalanya. "Orang dia makan aja pake kornet yang nggak dimasak."
Lalu ia teringat perkataan Lastri lainnya.
"Rajin beres-beres? Padahal sekalipun aku nggak pernah ngeliat dia megang sapu. Berapa hari ini aku terus yang nyapu itu unit."
Dan perkataan terakhir Lastri sukses membuat ia sesak napas.
"Lembut pembawaannya?" tanya Ryan dengan suara mendesis ngeri. "Apanya yang lembut? Punggung aku, dahi aku, pipi aku, bahkan nyaris adek aku benar-benar udah membuktikan kelembutan dia."
Ryan stres.
Ia bangkit dan memasukkan ponsel ke saku celananya.
Aku bukannya yang lagi gila kan ya?
Aku tau banget Vanessa yang aku nikahi itu gimana orangnya.
Makan berantakan, nggak peduli rumah, dan kasar setengah mati.
Tapi, yang Mama bilang?
Dan Ryan tak menghiraukan orang-orang yang memandang padanya heran karena berjalan menuju ke parkiran samping gedung dengan meremas rambutnya dengan kedua tangannya. Bahkan ia tak merespon ketika ada omongan.
"Abis dibantai sama Bu Fatma ya?"
"Kenapa penelitian kamu? Disuruh ngulang?"
Ryan hanya menggeleng pelan. Lalu ia tersadar bahwa tadi ia memarkir motornya di parkiran belakang.
Langkah Ryan berbelok. Kembali menyusuri koridor bangunan. Lalu ketika ia hampir mencapai pintu gedung bagian belakang, mendadak saja ia mendengar suara berisik di lorong yang mengarah pada bagian kanan gedung. Suara yang terlalu familiar di telinganya akhir-akhir ini.
Mengendap-endap, Ryan mendekati pintu yang terbuka. Menjaga posisi tubuhnya untuk tidak terlihat, ia berusaha melihat ke dalam. Terlihat di dalam laboratorium Penanganan Pasca Panen itu ada Vanessa bersama dua orang mahasiswi dan seorang ibu laboran.
"Saya tadi itu mikir kita kan udah lama nggak bimbingan sambil makan-makan, ya jadinya sekalian aja. Mana ternyata wortel Indri baru panen lagi."
Ryan dengan cepat mengamati kedua mahasiswi yang bernama Indri dan Susi itu. Keduanya tampak antusias mengapit Vanessa.
"Hihihi. Iya, Bu. Kami juga udah lama nggak makan masakan ibu."
Vanessa tersenyum. Lalu meraih wortel. Meletakkannya di atas talenan. Dengan menggunakan pisau yang tajam, gadis itu mengiris cepat wortel tersebut. Lalu, ia memindahkan posisi irisan wortel itu dan mengirisnya lagi. Membentuk potongan korek api.
Ryan melotot. Melihat bagaimana Vanessa dengan hitungan detik mengiris wortel itu.
"Wah! Memang keren kalau ngeliat ibu masak."
"Ibu nggak kepikiran buat bikin restoran, Bu?"
"Wah! Bener itu. Pasti laris. Udah masakannya enak, eh yang masak juga cantik."
Vanessa tertawa. Lalu beralih mengambil kol. Mengirisnya juga dengan cepat seraya menjawab.
"Ehm ... bagi saya sih masak itu kesenangan aja. Hobi. Nggak mau dijadikan bisnis gitu ah. Lagian, punya restoran itu capek loh. Saya nggak bakal kuat kalau disuruh ngurus restotan."
Indri dan Susi manggut-manggut.
Vanessa melirik ke kanan ke kiri bergantian. "Lagipula, kalau saya bikin restoran, kayaknya saya nggak bakal jadi dosen lagi deh."
"Yah ibu mah."
"Hahahaha."
"Kalau gitu nggak usah buat restoran, Bu."
"Tetap jadi dosen aja buat ngebimbing kami."
Vanessa tersenyum mendengar perkataan Indri dan Susi. Untuk sekejap, senyum tulus itu terlihat begitu mempesona di mata Ryan. Ia merasa seperti dunianya terhenti karena melihat wajah Vanessa yang seperti itu. Hal yang belum pernah ia temui selama berhari-hari tinggal di bawah atap yang sama dengannya.
Dan ketika ketiga orang gadis itu masih berbicara dengan santai, terdengar suara ibu laboran yang bernama Dotti itu berkata menyela perbincangan mereka.
"Bu, kayaknya kelapa parut kemaren udah basi loh. Padahal udah saya taruh ke dalam kulkas."
Vanessa beranjak. Meninggalkan kolnya yang sudah tercincang halus. Tampak menghirup aroma kelapa parut dan ia mengangguk.
"Emang udah basi." Ia mengangkat wajah. "Tapi, kelapa utuhnya masih ada kan, Bu?"
"Oh, ada sebutir lagi, Bu."
Vanessa mengelap tangannya di celemek yang baru Ryan sadari terpasang di tubuh gadis itu.
"Biar saya parut aja sebentar, Bu."
Ryan membelalakkan matanya. Di saat ia masih syok melihat Vanessa mengiris wortel dan kol dengan cepat, eh di menit selanjutnya ia justru melihat Vanessa yang berjongkok di lantai. Mengupas kelapa dari tempurungnya dengan bantuan parang dan pisau.
Cowok itu mengucek-ucek matanya berulang kali. Menghentakkan kepalanya sekali.
Dan itu belum terlalu mengejutkan di saat ia melihat Vanessa yang kemudian memarut kelapa itu dengan menggunakan parutan.
"Ibu juga bisa marut?" tanya Susi.
"Yah mau gimana lagi. Saya itu lahir di keluarga yang masih kental tradisi begitu. Kalau ada acara, keluarga pada berkumpul dan kami nggak pernah pakai jasa catering. Jadi, ya masak kayak gini udah jadi makanan saya dari kecil. Apalagi karena saya anak tunggal. Ya otomatis dong saya jadi bisa masak dari kecil. Orang saya harus bantuin ibu saya tiap hari."
Indri dan Susi manggut-manggut.
Sementara itu, di depan ruangan itu, Ryan terlihat lemas ketika memaksakan kakinya untuk melangkah meninggalkan tempat itu. Ia tidak ingin Vanessa tau bahwa dirinya baru saja mengintai gadis itu.
Ketika ia keluar dari gedung tersebut, Ryan menengadahkan kepalanya. Menatap ke langit biru.
Dan sekarang, tanda tanya di benaknya semakin besar. Lebih besar dari sebelumnya.
Sebenarnya cewek seperti apa sih yang aku nikahi?
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro