25. Semakin Bingung
Vanessa menarik napas dalam-dalam. Memutuskan untuk bangkit dari duduknya. Melepaskan kacamata yang bertengger sedari tadi di atas batang hidungnya. Kemudian, ia melakukan perenggangan beberapa kali.
Ugh!
Tubuhnya terasa kaku.
Lantas kepalanya berpaling. Melihat ke jam dinding dan mendapati saat itu sudah jam sembilan malam. Dan ia tercengang tak percaya. Menyadari bahwa tak terasa ia bekerja di depan laptopnya nyaris tiga jam lamanya.
Pantas aja pinggang aku berasa pegal banget, pikirnya.
Vanessa lantas beranjak. Keluar dari kamar dan bermaksud ke dapur. Sekadar untuk mencari camilan dan mengambil minum untuk gelasnya yang telah kosong. Yah, bisa dikatakan untuk tambahan bahan bakar tenaga baru. Dia tau, masih ada beberapa hal lain yang harus ia kerjakan.
Dalam perjalanan melewati ruang menonton Vanessa mendapati televisi yang menyala. Langkah kakinya terhenti dengan seiring terdengarnya suara Ryan yang memanggil namanya.
"Vanessaaa ..."
Vanessa menatap Ryan yang tengah duduk melantai. Menunggu kelanjutan ucapan cowok itu.
"... yang."
Vanessa masih menunggu kelanjutan perkataan Ryan. Beberapa detik. Namun, cowok itu tak meneruskan perkataannya. Membuat gadis itu bingung. "Yang apa?"
Pertanyaan Vanessa membuat Ryan sontak tertawa terbahak-bahak. Membuat cowok itu melepaskan pena di tangannya dan beralih untuk memegang perutnya yang terasa sakit.
Sekilas Vanessa hanya geleng-geleng kepala melihat Ryan yang tertawa sebegitu besarnya. Ia sama sekali tidak mengerti apa yang membuat cowok itu tertawa. Maka daripada ia memusingkan penyebab Ryan tertawa, ia akhirnya memilih untuk melihat tumpukan jurnal di atas meja, Vanessa bertanya.
"Kamu lagi mulai nulis skripsi?"
Ryan menahan tawanya. Ia mengangguk. "Harus mulai dicicil dari sekarang. Biar pas semester ini selesai, aku bisa langsung sidang. Ini sengaja banget ngerjain di depan tv, biar nggak ketiduran. Soalnya di kamar aku nuansa mistiknya kerasa banget."
Mata Vanessa membesar.
Lalu, Ryan berkata dengan wajah sok serius. "Kasur dan bantal bisa merayu aku buat tidur coba." Kemudian, Ryan tertawa lagi.
Mendengar gurauan Ryan, Vanessa memutar bola matanya dengan malas. "Kalau kamu ngerjain skripsi sambil nonton, aku yakin. Ketiduran sih nggak, tapi jadinya kamu malah nonton."
Ryan tergelak. "Kalau kamu? Malam ini ada kerjaan?"
"Banyak. Meriksa proposal, artikel seminar hasil, dan skripsi. Dan beberapa laporan lainnya. Ck. Nggak tau bakal selesai atau nggak."
"I see ...." Ryang mengangguk-angguk.
Perkataan pemakluman Ryan membuat Vanessa manggut-manggut. Lalu ia pun meninggalkan Ryan dengan televisi yang menyala, setumpuk jurnal, satu buku catatan, dan laptop yang menyala. Pergi ke dapur seperti rencananya semula.
Gadis itu membuka kabin dapur. Mengambil sebungkus keripik tempe dan membawa segelas air putih. Ketika ia dalam perjalanan kembali ke kamarnya. Eh, mendadak saja Ryan kembali memanggil namanya.
"Vanessaaa ..."
Vanessa menghentikan langkah kakinya. Menunggu lagi.
"... yang."
Dahi Vanessa kembali berkerut. "Kamu ini ngomong apa sih? Dari tadi ngomong kok yang tanggung mulu. Udah manggil nama orang, eh malah ngegantung." Wajah Vanessa terlihat sedikit kesal. "Yang? Yang apa?"
Ryan mengulum senyum. "Yang ... semangat nyelesaikan kerjaannya malam ini."
Mata Vanessa mengerjap-ngerjap.
Bingung, tapi cewek itu mengangguk sekali.
"Makasih. Kamu juga yang semangat." Sekejap, Vanessa melihat hordeng yang melambai di jendela yang terbuka. "Ehm ... jendela jangan lupa ditutup. Ntar kamu masuk angin."
Kepala Ryan mengangguk-angguk dengan raut geli. Lalu, tangan kanannya terangkat. Melambai-lambai dengan senyum. Dan berkata.
"Dadah, Vanessaaa ..."
Vanessa memutuskan bahwa Ryan memang sering menunjukkan sifat gila, maka ia pun memilih untuk pergi sana dari sana. Sementara itu, Ryan pun lanjut berkata lirih.
"... yang." Ia terkikik geli. "Vanessayang."
*
Di kamarnya, Vanessa berusaha berkonsentrasi dengan proposal penelitian mahasiswa yang terpampang di layar laptopnya. Lalu mulai memberikan beberapa tanda dan catatan untuk bagian yang Vanessa rasa perlu diubah atau direvisi.
Dengan camilan keripik yang ia ambil tadi, kegiatan memeriksa proposal mahasiswa menjadi lebih mudah untuk dinikmati oleh gadis itu. Setelah selesai dengan proposal kelima, Vanessa beranjak untuk memeriksa sebuah artikel seminar hasil. Nah, kali ini agak lebih berat karena Vanessa pun harus memeriksa bagian hasil dan pembahasan. Bagian paling penting di dalam artikel seminar hasil.
Memaksa matanya untuk tetap fokus dengan otak yang berkonsentrasi pada artikel itu membuat Vanessa beberapa kali menguap. Dan itu wajar saja mengingat saat itu hari telah menjelang jam dua belas malam.
Lantas, Vanessa mengembuskan napas panjang. Gadis itu bangkit. Menyadari bahwa saat itu adalah waktunya bagi dirinya untuk membuat kopi. Dan ketika ia keluar dari kamar, ia masih mendengar suara televisi yang menyala.
Eh.
Ternyata dia rajin juga ya?
Aku kirain dia nggak tahan belajar sam ---
Ucapan Vanessa di dalam hati terhenti seketika saat melihat pemandangan di ruang menonton. Di mana ia melihat Ryan sudah merebahkan kepalanya di atas meja.
"Ckckckck. Salah banget aku ngira dia rajin belajar."
Vanessa geleng-geleng kepala dan menyadari bahwa hordeng masih melambai-lambai. Cukup jelas menjadi tanda bahwa Ryan belum menutup jendela itu. Seketika saja ia bimbang. Antara ingin menutup jendela atau tidak. Bukannya apa ya? Kejadian setán masih membayang di benak gadis itu.
Tapi, sejurus kemudian ia teringat pesan Ryan.
"Tenang aja. Selagi kita tenang, damai, dan nggak pake acara ribut-ribut, setannya nggak bakal nongol kok."
Maka Vanessa pun beranjak untuk secepat mungkin menutup jendela. Dengan begitu sengaja ia memalingkan wajahnya ke arah lain. Tidak berniat sedikit pun untuk melihat ke langit gelap di luar sana.
Ketika jendela telah tertutup, ia pun menarik hordengnya. Vanessa mengembuskan napas lega. Merasa hebat karena berhasil menutup jendela dan hordeng tersebut. Dan setelahnya ia meraih remot televisi, memadamkan benda itu.
Selesai melakukan itu semua sebenarnya Vanessa ingin segera beranjak ke dapur, terutama karena memang niat awalnya adalah membuat kopi. Tapi, ketika Vanessa melihat Ryan yang tertidur seperti itu di atas meja, gadis itu tanpa sadar menarik napas dalam-dalam.
Sejurus kemudian, alih-alih menuju ke dapur, Vanessa justru beranjak kembali ke kamarnya. Mengambil sehelai selimut rajutan yang tak terlalu tebal. Dengan perlahan Vanessa menyelimuti punggung Ryan.
Untuk beberapa saat, setelah menyelimuti Ryan, Vanessa duduk berjongkok. Mengamati wajah Ryan sejenak yang terlihat damai ketika tidur. Dan setelah memastikan bahwa Ryan tidak akan kedinginan lagi, Vanessa pun beranjak menuju ke dapur dengan langkah yang begitu perlahan. Seolah ia tidak ingin menimbulkan satu suara pun yang bisa membangunkan Ryan dari tidurnya. Namun, ada satu hal yang sama sekali tidak disadari oleh Vanessa. Yaitu, ketika gadis itu menghilang ke dapur, maka di saat itu pula sepasang mata Ryan yang memejam perlahan membuka.
Ini cewek apa ngidap bipolar?
Sebentar galak, eh sebentar manis.
Sebentar kayak yang nggak peduli, eh sebentar mendadak peduli.
Bertanya-tanya di benaknya, Ryan nyaris gugup ketika harus buru-buru memejamkan matanya lagi saat mendengar langkah Vanessa. Melalui celah matanya yang terbuka sedikit, ia melihat Vanessa yang bersenandung kecil seraya membawa secangkir kopi.
Beberapa saat, Ryan masih mempertahankan posisi pura-pura tidurnya. Hanya untuk meyakinkan bahwa Vanessa tidak akan muncul lagi. Setelahnya barulah Ryan bangun dari atas meja.
Duduk dengan punggung yang tegap, kedua tangan cowok itu lantas memegang selimut rajutan di punggungnya dan semakin mengeratkannya pada tubuhnya.
Ia tersenyum.
"Uh! Berasa dipeluk sama yang punya."
*
Setidaknya pagi itu Vanessa merasa lebih tenang karena di hari Juma'at ia benar-benar tidak ada jadwal. Berbeda dengan hari Rabu yang biasanya dipenuhi oleh kegiatan birokrasi kampus, di hari Jum'at memang ia khususkan untuk urusan akademik. Bimbingan proposal, bimbingan akademik, biasanya akan ia khususkan di hari Jum'at. Walaupun sebenarnya Vanessa pun tetap menerima bimbingan di hari biasanya.
Dan menyadari bahwa akhir-akhir ini hari yang ia jalani terasa lebih berat, maka Vanessa dengan sengaja bangun sedikit terlambat dari biasanya. Ia tak perlu terburu-buru hari itu. Terutama karena kemaren sore ia sudah memutuskan untuk memindahkan semua jadwal konsultasinya menjadi siang hari. Dengan kata lain, Vanessa bermaksud untuk sedikit bermalas-malasan pagi itu.
Hari yang damai, pikir Vanessa seraya keluar dari kamarnya. Tanpa tragedi mandi dan bersiap dengan cepat.
Ketika di luar, Vanessa melirik ke pintu kamar Ryan yang tertutup. Benaknya bertanya-tanya, Ryan sudah pindah tidur ke kamarnya atau belum. Dan demi menuntaskan rasa penasarannya, Vanessa pun bergegas ke ruang menonton.
"Sial!"
Vanessa mengerjap tak percaya. Merasa seperti Ryan yang dengan sengaja mengumpati dirinya. Walau pada kenyataannya, tepat ketika Vanessa tiba di sana maka di saat itu pula Ryan terjaga dari tidurnya.
Gadis itu mengusap dadanya. Jujur saja, umpatan tiba-tiba itu membuat ia kaget. Terutama ketika ia melihat Ryan yang langsung mencelat dari duduknya dan berlari.
Vanessa hanya terbengong-bengong ketika lima menit kemudian Ryan sudah muncul lagi dengan handuk dan bergegas menuju ke kamar mandi.
"Ups! Sepertinya ada yang telat nih," kata Vanessa menggoda.
Ryan meremas daun pintu kamar mandi. Menoleh pada Vanessa dengan wajah panik. "Jam delapan ini aku mau konsul. Sial banget! Padahal malam tadi udah mati-matian input. Masa batal konsul gara-gara telat datang?"
Dan ketika Vanessa ingin kembali bicara, pintu kamar mandi sudah tertutup. Lalu suara air mengalir pun terdengar. Sudah cukup menjadi tanda bahwa Ryan tengah mandi.
Sementara itu, melihat ke ruang menonton yang berantakan dan teringat perkataan Ryan tadi kalau ia akan bimbingan pagi itu, membuat Vanessa beranjak. Sekilas ia melihat ke tumpukan jurnal dan beberapa kertas yang bertaburan di lantai. Memeriksanya dengan cepat, Vanessa pun merapikan semua kerta itu berdasarkan perasaannya.
Semoga aja nggak kebalik-balik, pikirnya.
Ia memeriksa laptop Ryan yang ternyata dalam posisi sleep. Menyalakannya sejenak dan ada satu file yang terbuka. Dengan cepat Vanessa menyimpan file tersebut dan kemudian memadamkannya.
Sejurus kemudian ia memasukkan jurnal dan kertas itu ke dalam tas ransel Ryan yang tergeletak di sana, sementara laptop dan chargernya ia masukkan ke dalam tas laptopnya.
Selepas itu, melanjutkan niatnya semula, Vanessa pun pergi ke dapur. Bersenandung ceria seraya melihat nasi yang tersisa di magic com.
Nasi semalam, tapi bukan berarti sudah tidak bisa dimakan lagi.
Vanessa meletakkan nasi itu ke dalam mangkok. Mencari kornetnya dan dengan segera mengaduk kornet, nasi, dan sambal instan menjadi satu.
Dengan tenang ia lantas duduk di kitchen island. Ada atau tidaknya jadwal di pagi hari, Vanessa tetap merasa perlu untuk makan pagi. Setidaknya untuk membangkitkan tenaganya sebelum ia bisa melakukan beberapa pekerjaan lainnya.
Dan ketika pintu kamar mandi terbuka, Ryan menatap pada dirinya. Mata Vanessa mengerjap.
"Apa?" tanya Vanessa.
Tapi, bukannya menjawab, eh Ryan justru balik bertanya.
"Kamu sarapan?"
"Iya," jawab Vanessa.
Mendapati jawaban Vanessa, kaki Ryan pun bergerak. Ia melangkah mendekati Vanessa. Dengan keadaan tubuh yang masih basah dan handuk yang melilit di pinggangnya.
Glek.
Vanessa menarik sedikit tubuhnya. Mengantisipasi tindakan Ryan. Bukannya apa ya. Vanessa jelas belum terbiasa melihat cowok handukan saja di pagi hari. Dia masih perlu penyesuaian diri untuk kebiasaan Ryan yang satu itu.
Sementara Vanessa mencoba untuk menenangkan dirinya ketika Ryan dengan aroma segar dan wanginya itu perlahan semakin mendekatinya, mendadak saja ia melakukan sesuatu yang membuat gadis itu tercengang. Tanpa terduga oleh Vanessa, sejurus kemudian Ryan justru mengambil mangkok Vanessa. Membuat gadis itu melotot saat Ryan dengan terburu-buru melahap isi di dalamnya.
"Eh?"
Bingung dan tak percaya, Vanessa hanya bisa melongo melihat Ryan yang memakan sarapannya. Dan seolah ia belum cukup membuat Vanessa terheran-heran, setelah menghabiskan isi mangkok itu, Ryan berkata seolah tanpa dosa.
"Sorry banget, Sa. Aku buru-buru mau ke kampus."
Bahkan Vanessa tak bisa mengatakan apa-apa selain menganga ketika melihat cowok itu sekejap mata langsung melesat ke kamarnya.
Membuat Vanessa geram.
"Masa makan kornet nggak dimasak ...?" rutuk gadis itu.
*
Ryan yakin bahwa ia memang pernah berguru dengan Rossi. Bukannya apa, tapi akal sehat Ryan benar-benar tidak percaya bahwa ia bisa secepat itu sampai di kampus.
Ketika ia turun dari motornya, Ryan pun teringat bagaimana tadi ia begitu buru-buru hingga nyaris saja melupakan barang-barangnya di ruang menonton. Tapi, beruntung. Kekacauan yang ia perbuat telah berubah menjadi kerapian yang tak sempat dibalas ucapan terima kasih Ryan pada Vanessa. Ia yakin, jurnal, kertas coret-coretnya, dan laptop itu tidak bisa merapikan diri mereka sendiri. Pasti ada yang merapikan mereka. Lantas, siapa lagi kalau bukan Vanessa?
Kedua kaki Ryan melangkah dalam langkah-langkah besar. Dan tak lama kemudian, ia sampai di depan ruangan Bu Fatma.
Ia menarik napas lega. Pintu ruangan itu masih tertutup. Pertanda bahwa Bu Fatma belum datang dan itu artinya ia belum terlambat.
Menghela napas lega, Ryan memilih untuk duduk di kursi yang disiapkan di koridor. Dan tepat ketika bokongnya mendarat di sana, seketika saja Ryan mendadak cemas.
Astaga!
Tadi aku pergi asal pergi, aku nggak ngecek apa Vanessa ngerapiin barang-barang aku ke dalam tas atau nggak.
Ya Tuhan.
Gimana kalau nggak dia masukkan?
Ryan panik.
Coretan yang mau aku diskusikan sama Bu Fatma kebawa nggak ya?
Jurnal yang kemaren udah aku baca kebawa nggak ya?
Sial!
Ketikan aku malam tadi kesimpan nggak?
Ya ampun!
Mamaaaa!!!
Dengan tubuh gemetaran Ryan serta merta membuka tasnya. Mengeluarkan isinya dan seketika ia tertegun. Menyadari bahwa semua komplit berada di dalam sana. Bahkan tak hanya komplit, tapi kertas-kertas itu tersusun dengan begitu rapi dan runut.
Tak ingin bernapas lega lebih dulu, cowok itu lantas beralih pada laptopnya. Sedikit bingung karena mendapati keadaan laptopnya yang ternyata padam. Secepat mungkin ia menyalakannya. Membuka word dan memeriksa hasil pekerjaannya semalam.
Tersimpan.
Ryan memejamkan mata.
Merasa sangat bersyukur.
Dan lalu, ketika ia membuka mata.
Ada satu pertanyaan terpampang di depan matanya.
Sebenarnya cewek seperti apa sih yang aku nikahi?
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro