23. Salah Mengira
"AAAH! Dasar cowok somplak!"
Ryan hanya sempat mendengar jeritan itu sebelum pada akhirnya Vanessa mendorong tubuhnya hingga terbanting ke sebelah. Dan selagi ia kaget, mendadak saja kemudian Vanessa mengambil bantal. Dengan geram ia memukul cowok itu berulang kali dengan menggunakan bantal.
Serangan dadakan yang sama sekali tidak diantisipasi oleh Ryan, membuat cowok itu tak memiliki kesempatan untuk melarikan diri. Ia tak bisa melakukan apa-apa selain berusaha bertahan dengan serangan Vanessa.
"Dasar cowok omes! Nggak punya malu!"
Ryan menutup wajahnya. Berusaha melindungi diri. Tapi, bukan berarti ia tak bisa balas berteriak pada Vanessa.
"Yang mendadak masuk ke kamar aku siapa coba? Dan hati-hati ya kalau ngomong. Sampe ngomong aku nggak punya malu lagi! Ini segede ini bukan tanda aku punya malu?!"
Bisa dipastikan, Vanessa langsung menjerit kencang dan benar-benar memukul Ryan dengan sekuat tenaga.
"Aduh!" keluh Ryan. "Sorry. Ini namanya kemaluan ya? Bukan malu." Dan ia pun tertawa setelahnya. "Hahahaha."
"Kamu ... beneran ... cari ... mati ... ya!" kata Vanessa dengan penuh penekanan.
Wanita itu benar-benar geram pada Ryan, hingga kemudian ia berinisiatif untuk menekan bantal di perut Ryan dan menindihnya dengan kedua tangannya.
"Haha ... aduh! Aku kecipirit di atas kasur ntar, Sa," kata Ryan masih tergelak terbahak-bahak. "Aku makan semur jengkol loh tadi siang di warteg kampus. Hahaha."
Tapi, Vanessa tak memedulikan perkataan Ryan. Ia masih sekuat tenaga menghajar Ryan sementara cowok itu menerima serangan itu dengan tertawa-tawa. Dan ketika mereka masih sibuk seperti itu, eh mendadak saja terdengar suara satu buku terjatuh.
"Buuukkk!"
Baik Ryan maupun Vanessa kemudian saling berhenti dan melihat ke sumber suara. Pada satu buku yang telah mendarat di lantai.
Untuk beberapa saat, mereka berdua hanya melihat buku itu. Lalu dengan kedua tangan yang masih bertahan di perut Ryan, pelan-pelan Vanessa memutar kepalanya. Seiring dengan kepala Ryan yang juga turut memutar.
Pandangan keduanya bertemu.
Ryan menatap mata Vanessa di atasnya. Dan Vanessa pun menatap Ryan di bawahnya. Keduanya hanya seperti itu untuk beberapa saat. Membuat Ryan bingung karena Vanessa yang mendadak diam tak bersuara.
Ini cewek kenapa mendadak diam?
Dia nggak yang tiba-tiba lemah otot kan?
Suasana hening itu entah kenapa membuat benak Ryan terasa penuh dengan berbagai pertanyaan. Terutama ketika cowok itu merasa perubahan aura di sekitar mereka.
Tunggu!
Ini suara berisik apa sih?
Ryan mengerjap.
Suara jantung aku dooong!
Dan di saat pikiran Ryan masih sibuk dengan berbagai hal, ia kemudian justru perlahan mengamati perubahan pada Vanessa.
Mata gadis itu mengerjap-ngerjap. Dan lantas ia tak mengatakan apa-apa selain membuat Ryan kebingungan. Karena detik demi detik selanjutnya Ryan merasakan bagaimana wajah Vanessa yang makin lama makin turun ke bawahnya. Membuat mata Ryan membesar menatapnya.
Glek.
Ryan bisa merasakan bagaimana kedua mata Vanessa menatapnya tanpa kedip. Pelan-pelan, semakin mendekati wajahnya.
Ryan mengerjap.
Ini kenapa dia mendadak yang kayak gini?
Dia mau ngapain ya, by the way?
Diam-diam, Ryan meneguk ludah. Ada satu pemikiran yang melintas di benaknya karena melihat wajah Vanessa yang saat itu berjarak sangat dekat dengan wajahnya.
Tadi aku udah sikat gigi kan ya?
Rasa menthol lagi pasta giginya.
Ryan merasakan jantungnya berdebar kencang. Ia menguatkan dirinya. Sangat sulit, terutama karena jantungnya yang benar-benar berdebar parah.
Ya Tuhan.
Kok rasanya buat tegang atas bawah ya?
Eh?
Lalu, ketika ia melihat wajah Vanessa yang benar-benar turun menuju wajahnya, Ryan memejamkan mata. Menunggu dengan jantung yang semakin berdegup kencang.
Gimana ya rasanya dicium Vanessa?
Glek.
Bentar lagi, bentar lagi.
Lantas ....
"Yan, setannya datang ya?"
Mata Ryan seketika membuka saat pertanyaan itu terdengar membisik di telinganya. Ia tercengang tak percaya.
Jadi, dia bukan mau cium aku?
Dasar setán!
*
Bangun pagi keesokan harinya Ryan mendapati dirinya masih sedikit mengantuk. Jadi seraya mengucek-ucek matanya, ia tampak menguap berulang kali ketika melangkah keluar dari kamarnya.
Satu tangannya menyelinap masuk ke dalam bajunya. Berusaha menggaruk punggungnya yang gatal.
Sampai di belakang, ia mendapati Vanessa yang tampak terburu-buru memakan sarapannya. Ehm ... Ryan menunda sejenak keinginannya untuk ke kamar mandi. Ia mendekati Vanessa. Penasaran dengan sarapan apa lagi yang dimakan oleh wanita itu. Dan Ryan tercengang.
"Kamu beneran makan nasi pake kornet nggak pake dimasak?"
Vanessa buru-buru minum saat mendapati Ryan yang mendadak muncul di belakang dirinya. Dengan mulut mengembung, ia nyaris susah menjawab. Tepat setelah ia menelan isi dalam mulutnya, barulah ia menjawab.
"Kamu pikir aku main-main?" tanya Vanessa seraya mengambil nasi terakhir di dalam mangkok itu dalam satu sendokan yang menggunung. Langsung memakannya dalam sekali suapan.
Glek.
Ryan nyaris merasa sesak napas melihat adegan Vanessa menghabiskan nasi itu dalam satu suapan besar. Ketika dilihatnya Vanessa beranjak untuk mencuci mangkok itu, Ryan berkata.
"Aku nggak nyangka kalau kamu beneran makan kornet nggak pake dimasak."
Vanessa meletakkan mangkok itu kembali ke rak. Setelah mencuci tangannya di wastafel, ia mengelap tangannya. Kedua bahunya naik sekilas.
"Kornet udah melewati tahap sterilisasi kok. Aman dimakan tanpa dimasak terlebih dahulu."
Ryan melongo. "Wah! Tapi, seenggaknya kan bisa dimasak dulu. Biar makannya juga lebih manusiawi."
"Logikanya ya. Tahapan sterilisasi itu lebih ketat dari proses masak," kata Vanessa seraya meraih gelas air minumnya. "Kamu ingat sterilisasi bahan kultur?"
"Ya ampun, Sa." Ryan bergidik ngeri.
Setelah meneguk habis air minumnya, Vanessa menatap Ryan dengan tatapan mencemooh.
"Kenapa? Kamu nggak ngira kan cewek cantik yang kamu nikahi ini ternyata punya kebiasaan menakutkan?" tanyanya.
Ryan terdiam.
"Dan bukan cuma cara makan aku aja, aku juga udah terbiasa begadang. Menghabiskan kopi dua kali lipat lebih banyak dibandingkan cewek lainnya." Senyum terbit di wajah cewek itu. "Pernikahan itu sebenarnya bukan tren aku banget. Apalagi pernikahan dengan cowok yang lebih muda."
Dan mulut Ryan baru saja akan mengatakan sesuatu ketika Vanessa yang telah berpakaian rapi itu melihat jam tangannya dan mendesis.
"Sial! Udah jam segini!"
Lalu, wanita itu buru-buru pergi meninggalkan Ryan seorang diri di dapur dengan beragam tanda tanya di benaknya. Dan kemudian Ryan pun bersiap untuk memulai harinya. Karena bukannya apa, tapi ya ampun! Ryan nyaris lupa kalau hari itu dia ada dua kelas. Botani dan Bioteknologi Tanaman.
Ryan meraung.
"Argh! Kalau nggak ngulang, aku pasti masih bisa tidur jam segini!"
*
Berjalan meninggalkan motornya terparkir di depan gedung kuliah, Ryan terlihat menatap jalanan dengan pandangan kosong. Ternyata tanda tanya di benaknya saat ia berada di dapur tadi masih menempel hingga saat ini. Bahkan kalau Ryan renungkan lagi, ia baru menyadari bahwa tanda tanya di benaknya bukannya berkurang, eh malah makin bertambah.
Ia teringat beberapa hal yang terjadi belakangan ini.
Ketika Vanessa memukul dirinya di beberapa kesempatan. Tapi, di beberapa kesempatan lainnya wanita itu justru tertawa di pelukannya dengan sukarela.
Ketika Vanessa mempermalukan dirinya di depan mahasiswa. Tapi, di depan mahasiswa pula wanita itu justru membela dirinya.
Ketika Vanessa yang terlihat berantakan saat makan dengan bahan-bahan tanpa dimasak. Tapi, dia justru begitu telaten merapikan sayuran dan menyimpannya dengan cermat di kulkas.
Ketika Vanessa menampilkan sosok yang galak. Tapi, kemudian ia justru memeluk dirinya dan menangis.
Ryan mengembuskan napas panjang.
Kenapa aku berasa kayak yang punya istri dua orang sih? Berasa kayak yang poligami dengan tubuh yang sama, tapi sifat yang berbeda. Kadang yang menakutkan, tapi kadang juga yang menyenangkan.
Yah, walau sebenarnya lebih banyak yang menakutkannya sih. Tapi ....
"Hoi!"
Ryan menoleh saat merasakan pundaknya dipukul seiring dengan sapaan Abid yang menyapa telinganya. Pikirannya seketika buyar.
"Eh, yang ngulang ternyata udah datang."
Abid mendengus kecil. Meletakkan satu tangannya di pundak Ryan. "Kayak yang kamu nggak ngulang aja."
Dan Ryan tergelak. "Hahahaha."
Mereka berdua kemudian masuk ke gedung, langsung menuju ke ruangan sesuai dengan yang tertera di jadwal. Ruangan di mana akan berlangsung kelas Botani jam sepuluh pagi itu.
Dari koridor terdengar suara riuh di ruang itu. Tapi, ketika Ryan dan Abid masuk ke dalam, eh seketika saja kelas itu menjadi hening. Membuat kedua cowok itu saling lirik dan memilih duduk dengan tatapan menyelidik ke berbagai sudut ruangan. Setelahnya, mereka justru mendengar bisik-bisik.
"Ini kenapa auranya agak beda ya, Bid?" tanya Ryan.
Abid meletakkan tas ranselnya di atas meja. Menggeleng. "Nggak tau juga."
"Mereka nggak yang mendadak terpesona dengan wajah ganteng aku kan?"
Abid menoleh dan menatap Ryan horor. "Please. Aku nggak mau nasi kucing yang aku makan keluar lagi lewat mulut."
Ryan menyeringai.
Lalu mendadak samar-samar ia mendengar bisik-bisik.
"Itu kan kakak yang foto bareng Bu Vanessa kemaren?"
Maka Ryan dan Abid kemudian saling pandang. Manggut-manggut mengerti mengapa kedatangan mereka disambut keheningan seperti tadi.
"Ehm ... emang lumayan cakep sih."
What?
Lumayan?
Mata Ryan mendelik sementara Abid menyembunyikan kekehan gelinya. Dan cowok itu baru aja akan bangkit dari duduknya ketika mendengar suara sepatu yang mendekat. Maka urunglah Ryan melaksanakan niatnya untuk menceramahi juniornya itu. Ia lebih memilih untuk melihat ke ambang pintu.
"Tuk! Tuk! Tuk!"
Dan lalu terdengar suara lembut itu menyapa seisi kelas.
"Selamat pagi semuanya!"
"Selamat pagi, Bu."
Vanessa meletakkan tas laptopnya di atas meja. Melihat jam tangannya sekilas dan mendapati ia sedikit terlambat. Karena itu ia berkata.
"Maaf sebelumnya atas keterlambatan saya. Tadi ada sedikit pelatihan di Fakultas," kata Vanessa. "Ehm, ngomong-ngomong saya lupa mengambil absen di ruang TU. Ada yang bisa membantu saya?"
"Saya, Bu!"
Vanessa tercengang untuk beberapa saat. Ingin mengumpat, tapi ia menahan lidahnya. Mengganti dengan senyuman dan berkata. "Terima kasih, Ryan."
Ryan bangkit dari duduknya dan keluar.
Selagi menunggu Ryan mengambil absen, Vanessa kemudian langsung mengeluarkan laptopnya. Di saat ia akan menyambungkan kabel LCD dengan laptopnya, mendadak saja ia mendengar suara.
"Sini, Bu. Biar saya saja."
Ryan tiba-tiba muncul dan dengan segera mengambil alih kabel itu. Dan Vanessa hanya terbengong-bengong membiarkannya. Ia lantas memilih untuk mengabsen peserta kuliahnya yang hampir 98% terdiri dari mahasiswa tahun pertama itu. Praktis hanya ada Ryan dan Abid yang merupakan senior di ruangan tersebut.
Selesai mengabsen seluruh mahasiswa, Vanessa dengan segera menampilkan file presentasi materi kuliahnya. Ia bergerak ke hadapan mahasiswa.
"Seperti yang kita ketahui, organ utama tanaman hanya ada tiga. Yaitu, daun, batang, dan akar. Bisa dikatakan, selain dari ketiga ini maka organ itu merupakan organ tambahan. Atau dengan kata lain ketiga organ ini merupakan organ dasar pada setiap tumbuhan. Dan organ inilah yang menjadikan tumbuhan tergolong ke dalam tumbuhan tingkat tinggi."
Vanessa menjeda penjelasannya sejenak untuk menghirup napas.
"Lantas bagaimana dengan organ lainnya yang ditemukan pada tanaman? Seperti bunga, buah, dan umbi. Apa dia bukan organ utama?"
"Saya, Bu!"
Vanessa mengerjap. "Eh?"
Ryan terlihat mengangkat tangannya. Tanpa persetujuan Vanessa, cowok itu menjawab saja.
"Bunga, buah, dan umbi bukan organ utama tumbuhan. Karena pada dasarnya ada tumbuhan tingkat tinggi yang tidak memiliki mereka semua. Ada yang memiliki bunga, tapi tidak memiliki umbi. Dan sebaliknya. Bunga itu juga merupakan perubahan fungsi dari daun dan batang. Sementara buah dan umbi adalah salah satu cara tumbuhan untuk menyimpan cadangan makanannya. Jadi, memang hanya tiga itu organ utama pada tumbuhan."
"Ehm ...." Vanessa mendehem sejenak. Bola matanya berputar mengamati seisi kelas yang menatap bergantian pada dirinya dan Ryan. Lalu, ia mengangguk. "Iya, itu benar. Terima kasih, Ryan."
Ryan mengangguk dan kembali duduk dengan tenang. Di depan, Vanessa menenangkan dirinya sebelum melanjutkan kuliah itu. Padahal, di dalam hati ia mengumpat habis-habisan.
Ini Ryan maksudnya apa coba?
Dan umpatan itu tak hanya cukup di kelas Botani saja. Nyatanya ketika jam dua siang di mana kelas Bioteknologi Tanaman berlangsung, Ryan ternyata melakukan hal yang sama. Parahnya, Bioteknologi adalah mata kuliah untuk mahasiswa tahun ketiga. Dengan kata lain, mahasiswa yang masuk sudah akrab dengan Ryan. Begitupun dengan Vanessa.
Ketika Vanessa sedang menjelaskan teknologi PCR dan tanpa sadar memberikan pertanyaan di kelas itu, Ryan juga serta merta menyambar pertanyaan itu.
"PCR adalah polymerase chain reaction. Atau dikenal dengan istilah reaksi berantai polimerase. Yaitu teknik untuk memperbanyak untai DNA sehingga bisa didapat informasi sifat tanaman. Hal ini berguna agar kita bisa memilih tanaman yang bersifat unggul."
Vanessa memaksa bibirnya untuk tersenyum. Dan lantas ketika kelas itu berakhir, Vanessa benar-benar tidak tahan lagi untuk mengirim pesan pada Ryan.
[ X ]
[ Ryan. ]
[ Maksud kamu apa sih? ]
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro