21. Ada Perbedaan
Vanessa merasa tubuhnya bagai remuk semua. Terlebih lagi ia merasa bahwa ia nyaris tak memiliki tenaga untuk membawa tas kerja dan tas laptopnya. Pundaknya membungkuk, seperti ada beban ratusan ton yang menimpa dirinya. Selain itu ia merasa tulang belulang dan sendinya pegal semua. Bahkan Vanessa pikir ia tak akan bisa sampai ke unit apartemennya sore itu.
Tapi, di luar prediksinya ternyata sepasang kakinya masih cukup kuat untuk melangkah. Walau dengan susah payah karena harus bertahan pada sepasang sepatu berhak setinggi tujuh sentimeter, pada akhirnya ia tiba pula dengan selamat.
Sejenak, di depan pintu Vanessa menghirup napas dalam-dalam. Sekadar untuk menenangkan dirinya sebentar. Namun, ketika tangannya meraih daun pintu, mendadak saja Vanessa menjadi bimbing.
Ini nggak bakal ada setán kan ya?
Glek.
Kalau ada gimana dong?
Mana aku nggak tau Ryan udah balik atau belum.
Vanessa bimbang. Tapi, sepintas kemudian suara Ryan terdengar bagai menggema di benaknya.
"Tenang aja. Selagi kita tenang, damai, dan nggak pake acara ribut-ribut, setannya nggak bakal nongol kok."
Menguatkan diri dan meyakinkan dirinya sendiri bahwa tidak akan terjadi apa-apa, Vanessa mendorong pintu untuk membuka dan langsung masuk. Untuk beberapa saat Vanessa terdiam di ambang pintu. Satu kakinya sudah berada di dalam, sedangkan satu lagi masih berada di luar. Maksudnya sih jaga-jaga kalau kalau mendadak setannya muncul. Jadi, dia bisa langsung kabur. Begitu rencananya.
Mata Vanessa bergerak dengan cepat. Mengamati keadaan sekitar.
Ruangan yang terang dan keadaan yang damai. Sepertinya cukup meyakinkan wanita itu untuk benar-benar masuk. Menutup pintu di belakang tubuhnya.
Tapi, ketika ia baru selangkah masuk, langkah kaki Vanessa mendadak berhenti. Tepat ketika ia mendengar suara asing yang membuat tubuhnya bergetar. Bunyi itu adalah.
"Kruuukkk!"
Vanessa memejamkan matanya.
Ya ampun.
Aku baru sadar. Seharian ini aku belum ada makan nasi loh.
Dan memang itulah yang terjadi.
Pagi tadi, seperti yang diketahui karena Vanessa terlambat bangun, maka gadis itu hanya sempat makan dua lembar roti yang berisi satu sosis, beberapa iris timun, dan dilengkapi saos serta mayonaise. Hanya itu.
Ketika ia sampai di kampus, ia segera rapat. Yah memang ada cemilan sih selama rapat. Tapi, karena Vanessa membantu dalam memberikan pemaparan di depan, maka otomatis ia hanya bisa memakan sepotong risoles ayam. Setelahnya ia pun harus langsung menghadiri seminar hasil mahasiswa hingga jam dua belas siang. Roti yang disuguhkan selama seminar nyaris hanya bisa mengganjal perutnya selama dua jam saja. Dan di saat jam istirahat siang, eh ternyata Ryan datang untuk konsultasi. Sebagai pelengkap, setelahnya ada mahasiswi yang menangis mendatangi dirinya.
Vanessa lantas memilih untuk menunda makan siangnya demi membantu keadaan Mona. Lagipula Vanessa masih ingat betul bagaimana rasanya judul ditolak, pembimbing yang mendadak merajuk, hingga masalah-masalah lainnya. Dan karena itulah pada akhirnya Vanessa justru membimbing Mona untuk memperbaiki proposal penelitiannya. Nyaris selesai jam dua siang dan ia baru teringat kalau ia harus menghadiri pelatihan dosen muda di Fakultas.
Secara jadwal, hari Rabu sebenarnya adalah hari kosong Vanessa, tapi ternyata kenyataannya tidak seperti yang dibayangkan. Ia nyaris tidak bisa menarik napas dengan santai sepanjang hari itu. Sehingga Vanessa tidak merasa heran bila pada akhirnya saat itu tubuhnya gemetaran.
Menyadari tubuhnya yang benar-benar nyaris tak bertenaga lagi, mendorong wanita itu untuk langsung saja meletakkan kedua tas dan sepatunya ke dalam kamarnya dengan asal. Setengah berlari, ia menuju ke dapur.
Matanya tampak berbinar ketika melihat magic com yang menyala. Cukup jelas menjadi tanda bahwa ada nasi di dalamnya.
"Kruuukkk!"
Perut Vanessa berbunyi lagi. Mendorong wanita itu mengambil satu mangkok dan langsung mengisinya dengan beberapa sendok nasi. Ia sisihkan mangkok itu, sengaja untuk mendinginkannya sejenak. Dan selagi menunggu nasi itu dingin, Vanessa membuka kulkas. Mengeluarkan dua buah sosis dan satu telur ayam. Dengan cepat ia menggoreng dua bahan itu. Memasukkannya ke dalam mangkok. Sebagai pelengkap, Vanessa mengambil sedikit sambal instan dari dalam kulkas.
Duduk di kitchen island, Vanessa terburu-buru menikmati makannya itu.
"Udah balik?"
Satu pertanyaan yang menyapa indra pendengarannya membuat Vanessa spontan menoleh dengan mulut yang mengembung. Ketika berpaling, sontak saja wanita itu kaget karena mendapati keberadaan Ryan. Ia tak menyangka kalau Ryan sudah pulang. Dan karena kaget, kerja otak dan tubuhnya menjadi tidak kompak untuk sekejap mata. Hasilnya, Vanessa tersedak sosisnya yang belum sempat ia gigit.
"Uhuuukkk!"
Ryan melotot. Melihat Vanessa yang mengap-mengap seraya memukul-mukul dadanya sendiri. Cowok itu segera menghampiri Vanessa. Menyodorkan segelas air minum dan membantunya untuk minum.
Selagi Vanessa minum, Ryan mengusap-usap punggung Vanessa. Melirik sekilas ke isi mangkok Vanessa dan menyadari bagaimana cewek itu yang masih memukul-mukul dadanya.
Aduh!
Kok itu yang kenyal-kenyal empuk malah dipukul-pukul sih?
Eh?
"Aduh, Sa! Timbang ngeliat wajah tampan rupawan aku aja langsung mendadak yang keselek gitu."
Vanessa meringis. Masih terbatuk-batuk kecil sementara ia melirik tajam pada Ryan yang melihat geli pada dirinya. Lalu, gadis itu melepaskan diri dari usapan tangan Ryan. Membuat cowok itu mencibirkan bibir bawahnya walau sejurus kemudian Ryan justru menyodorkan sehelai tisu pada Vanessa.
Dengan wajah cemberut, Vanessa mengambil tisu itu dengan cepat tanpa melihat Ryan. Vanessa langsung mengusap mulutnya yang berantakan karena air. Tapi, walau ia tengah cemberut, ia masih menyempatkan diri untuk berkata.
"Makasih."
Ryan beranjak duduk di kitchen island juga. Bertopang dagu melihat Vanessa yang masih sibuk merapikan kekacauan di wajahnya, cowok itu lantas berkata. "Aku juga mau ngucapin makasih."
Sontak membuat Vanessa membawa tatapannya pada sepasang bola mata Ryan. "Eh?"
"Makasih ya, Sa."
Dahi Vanessa mengerut. Tangannya terulur mengambil mangkok nasinya lagi. "Makasih untuk apa?"
Cowok itu terlihat tersenyum manis sekali hingga membuat belahan dagunya terlihat semakin mencolok. Seraya melihat Vanessa yang kembali menyuap makannya, Ryan berkata lagi.
"Tadi ... buat yang di kelas."
"Ehm?"
"Kamu udah belain aku di depan kelas."
"Uhuuukkk!!!"
Sial!
Vanessa tersedak lagi. Tangannya langsung menggapai gelas yang masih tersisa sedikit air itu. Sementara ia minum lagi dengan terburu-buru, Ryan pun ternyata bangkit lagi untuk mengusap-usap punggung cewek itu.
"Astaga, Sa ...," desah Ryan sembari geleng-geleng kepala. Terlihat begitu frustrasi. "Segitu gantengnya apa muka aku? Ini gimana ceritanya kamu tiap ngeliat muka aku langsung keselek sih? Ckckckck. Kalau gini ceritanya, kedondong di depot ntar berbuah nggak bakal deh aku kasih ke kamu. Bisa mampus kamu keselek biji kedondong kalau makannya pas ngeliat aku."
Rasa-rasanya Vanessa benar-benar ingin melempar mangkok lagi ke kepala Ryan. Di saat ia tersedak, cowok itu justru mengoceh ke sana ke mari?
Ya Tuhan.
Berusaha mengendalikan dirinya, walau mengap-mengap Vanessa kembali meraih tisu. Mengelap mulutnya lagi. Ia kembali menyentak punggungnya dari sentuhan Ryan dan malah mendelik pada cowok itu. Selagi Ryan kembali duduk, Vanessa berkata.
"Nggak usah kepedean. Aku keselek bukannya karena terpesona atau something gitu sama wajah kamu---"
"Dih!" potong Ryan. "Aku nggak ngomong kamu terpesona sih. Eh, tapi malah kamu yang ngomong. Hahahaha."
Mulut Vanessa menganga. Ia seolah merasa lidahnya mendadak kelu. Hingga kemudian cengiran di wajah Ryan membuat ia tersadar lagi ke alam nyata.
Ia menggeleng.
"Juga ... aku tadi bukannya ngebela kamu," kata Vanessa seraya mengalihkan tatapan matanya ke arah lain. "Aku cuma mengatakan apa yang benar."
Ryan melihat Vanessa yang mana gadis itu tengah melihat nasinya. Terlihat jelas sekali menghindari kontak mata dengannya.
Kenapa?
Dia lagi bohong ya?
Biasanya orang bohong mah kalau ngomong nggak mau pake acara ngeliat mata.
Ehm ....
Berarti dia bohong soal 'cuma mengatakan apa yang benar' ya?
Itu artinya?
Mata Ryan membesar.
Sebaliknya dong ya?
Hahahahaha.
"Jadi, tadi itu kamu bukannya ngebela aku?" tanya Ryan seraya menegapkan punggungnya. Bermaksud untuk menggoda Vanessa hingga ia berkata. "Tapi, orang jelas-jelas tadi itu kamu ngomong: Memangnya ada yang salah ya dengan yang Ryan katakan?"
Ups!
Vanessa merasa nasi yang ia kunyah masih utuh hingga ia perlu menelan kuat-kuat makanan itu untuk meluncur di dalam tenggorokannya.
Ryan tersenyum kecil melihat respon Vanessa. Dan seakan ia belum puas untuk menggoda, cowok itu lantas berkata lagi.
"Terus kamu juga ngomong gini: Saya yakin bahwa yang dikatakan Ryan itu benar."
Blusssh!
Warna merah langsung mewarnai kedua pipi mulus Vanessa. Hingga Ryan yang melihatnya langsung terkekeh seketika.
"Itu yang dibilang bukan ngebela aku?" tanya Ryan lagi. "Cie cie cie. Udah ketahuan, tapi masih mau nyoba buat ngelak. Hahahaha."
Vanessa merasakan wajahnya benar-benar memanas. Dan wajahnya pun sekarang terasa kaku seketika. Rasa-rasanya tidak memungkinkan lagi untuk wanita itu melanjutkan makannya.
Vanessa mengembuskan napas panjang.
"Aku tadi itu cuma menjalankan kewajiban aku sebagai dosen, Yan. Memberikan penjelasan biar peserta pada paham dengan maksud pertanyaan kamu." Vanessa menatap Ryan dengan sedikit kerutan di dahinya.
"Mau ngasih penjelasan biar peserta pada paham? Ehm ..., tapi tiga orang dosen yang tadi itu juga nggak ada yang bela aku kok. Cuma kamu doang," kata Ryan dengan nada yang jelas sekali menggoda di suaranya.
"Ya ampun, Tuhan. Please deh, Yan. Aku tuh cuma ngebantu biar orang-orang pada paham maksud kamu. Sebenarnya nggak bisa juga dibilang ngebela kamu sih." Bola mata Vanessa berputar dengan malas. "Lagian kenapa dosen yang lain pada diem, itu karena mereka nganggap kalau Surya bakal ngerti dengan maksud pertanyaan kamu."
Ryan tak mengatakan apa-apa, tapi ia masih mengulum senyum.
Segitunya nggak mau ngaku coba.
Hihihi.
"Tapi, aku tau kalau Surya nggak bakal nangkap maksud pertanyaan kamu itu. Makanya aku pikir daripada buang-buang waktu kelamaan nunggu dia ngerti, ya udah deh. Langsung aku jelasin aja." Vanessa melirik Ryan dengan kesal. "Kayaknya juga cuma aku yang ngerti omongan kamu tadi itu. Lain kali ya kalau ngomong di kelas, pake bahasa yang mudah dimengerti."
"Oh, Tuhan!" Ryan terkesiap. Membawa kedua tangannya untuk menutup mulutnya sendiri. "Aku mendadak merasa tersanjung pas kamu ngomong kalau cuma kamu yang ngerti omongan aku." Ryan terkikik.
Vanessa membeku. Berusaha mengingat kata-kata apa saja yang baru ia ucapkan hingga membuat cowok itu justru terkikik senang saat itu.
Mata Vanessa terpejam dramatis.
Ya Tuhan.
"Kayaknya telepati kita berdua udah kuat ya, Sa." Ryan kembali terkikik. Mengabaikan wajah Vanessa yang sudah tidak karuan lagi bentuknya.
"Please deh, Yan," kata Vanessa mengiba. "Bisa berenti nggak?
"Nggak mau." Kekehan geli berderai dari mulut Ryan. "Lagian kamu juga sih. Segitunya nggak mau ngaku coba."
Mata Vanessa membesar. "Siapa yang nggak mau ngaku?"
"Kamu loh."
"Sembarangan aja."
"Jadi ngaku tadi ngebela aku?"
Kali ini mata Vanessa mengerjap-ngerjap. Ia menggigit bibir bawahnya. Mencegah mulutnya untuk terlepas bicara. Hingga membuat Ryan geregetan.
"Ih! Ternyata nggak bisa dipancing ya?"
"Kamu pikir aku ikan?"
Ryan tergelak dan memutuskan bahwa Vanessa terlalu pintar untuk mampu ia jebak dengan sekadar permainan kata-kata. Sementara itu, Vanessa beranjak. Menyudahi acara makannya dan meletakkan mangkok kotor itu di wastafel.
"Nggak dong," kata Ryan turut bangkit dari duduknya. Mengekori Vanessa yang beranjak langsung mencuci mangkok tersebut. "Kamu bukan ikan, tapi Putri Duyung. Kan kamu cantik, rambutnya juga panjang."
Seraya mencuci mangkok, Vanessa menoleh ke sebelah. Melihat Ryan di sampingnya. Matanya berkedip-kedip tak percaya.
"Serius kamu ngomong kayak gitu ke cewek yang berusia dua puluh tujuh tahun, Yan?"
Ryan sontak tergelak terbahak-bahak. "Loh? Cewek berusia dua puluh tujuh tahun kan juga masih golongan cewek."
Vanessa tak mengatakan apa-apa. Hanya geleng-geleng kepala. Ia meletakkan mangkok itu ke raknya dan mengelap tangannya.
"Ingat ya, Yan. Ada perbedaan yang mendasar antara cewek umur dua puluh dua tahun dan cewek umur dua puluh tujuh tahun."
Ryan mengekori langkah Vanessa yang keluar dari dapur. "Apa?"
"Di umur dua puluh dua tahun, cewek itu lagi mekar-mekarnya. Semua fantasi asmara hasil imajinasi semasa SMA, itu seolah sedang mengalami pertumbuhan pesat di usia dua puluh dua tahun. Senang kalau didekati sama cowok yang pinter merayu, menggombal, dan berkata manis," tutur Vanessa panjang lebar menuju ke ruang menonton.
"Terus? Terus? Terus?"
"Ketika sudah berumur dua puluh tujuh tahun, semua fantasi itu lenyap," tukas Vanessa seraya duduk di sofa. Ia melihat bagaimana Ryan turut duduk di sana. "Kamu ingat apa yang aku bilang di ruangan tadi?"
Mata Ryan berkedip-kedip. "Tentang yang?"
"Jangan melihat hanya pada satu titik," kata Vanessa.
Ryan mengerjap-ngerjapkan matanya lagi. Menelengkan wajahnya ke satu sisi. Bingung. "Maksud kamu apa?"
Tak menjawab pertanyaan Ryan, Vanessa hanya mengembuskan napas panjang. Ia tersenyum sendu.
"Intinya adalah aku bukan cewek yang tepat untuk kamu gombali kayak gitu, Yan."
Perkataan Vanessa membuat Ryan bingung. Maka wajar saja bila pada akhirnya cowok itu bertanya dengan cepat. "Terus kalau aku nggak bisa gombali kamu, aku harus gombali siapa dong?"
"Eh?" Dahi Vanessa seketika mengernyit. "Ya cari aja cewek lain."
Ryan bersedekap. Kepalanya manggut-manggut. "Kamu istri aku, terus masa nyuruh aku gombalin cewek lain?"
Pertanyaan Ryan seketika membuat Vanessa mengap-mengap. Persis seperti keadaannya tadi ketika tersedak.
"Ehm ...." Ia mendehem sejenak, menenangkan diri. "Ryan ..., boleh aku nanya sesuatu?"
"Nanya apa?"
"Sebenarnya apa sih yang kamu harapkan dari pernikahan kita?"
Mata Ryan mengerjap-ngerjap. Lalu dengan penuh percaya diri ia berkata. "Ya sama dengan harapan semua pasangan lainnya dong. Bisa bersama selamanya sampai ajal memisahkan tak peduli dalam keadaan suka ataupun duka."
Vanessa menarik napas dalam-dalam. Ia tersenyum, walau Ryan menangkap sesuatu yang lain dari senyuman itu.
"Kamu lihat kan? Kita udah berbeda usia dan pemahaman kita pun berbeda."
"Maksud kamu?"
"Bersama selamanya ...." Vanessa menatap Ryan. "Itu nggak pernah ada."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro