Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

20. Rezeki Yang Tak Tertukar

"Terima kasih, Bapak, Ibu, dan teman-teman sekalian yang telah hadir. Terutama karena telah memberikan pertanyaan, saran, dan kritik untuk saya. Semoga dengan ini saya bisa mempersiapkan diri dengan lebih baik lagi untuk menghadapi sidang skripsi nanti."

Ketika Surya mengatakan itu, maka Intan yang duduk di sebelahnya pun berkata.

"Saya sebagai moderator minta maaf apabila sepanjang jalannya seminar hasil hari ini ada melakukan kesalahan, baik yang disengaja atau yang tidak disengaja. Selamat siang."

"Siang!"

Dan tepuk tangan yang meriah menjadi pertanda bahwa seminar hasil hari itu berakhir. Sementara Surya tampak berdiri dan menyalami semua dosen yang telah menghadiri seminarnya, di belakang Abid menyikut Ryan.

"Yan, menurut kamu apa kamu beneran bakal foto bareng Bu Vanessa?"

Mengusap dagunya, Ryan menyipitkan sepasang matanya. Wajahnya terlihat lebih serius saat itu.

"Sumpah, Bid! Aku juga nanya tentang hal yang sama dari tadi. Foto beneran nggak ya?"

Selagi mereka berdua mempertanyakan hal yang sama, perlahan-lahan satu persatu mahasiswa di ruangan tersebut bangkit dari duduknya. Menyalami Surya sekilas sebelum keluar dari sana. Hingga tak butuh waktu lama, ruangan multimedia itu pun hampir kosong. Dan menyadari itu, Ryan dan Abid saling bertukar pandang.

"Ya kali kita beneran nunggu, Yan. Kayaknya nggak beneran deh yang tadi itu," kata Abid. Ia lalu berdiri. "Yuk kita cabut. Sekalian cari makan siang dulu."

Ryan mengembuskan napas panjang. Kecewa. Tapi, pada akhirnya ia turut bangkit dari duduknya. Melangkahkan kaki di belakang Abid dengan tubuh lunglai seolah tak ada tenaga lagi.

Sepertinya aku memang harus makan siang dulu deh. Ini berasa banget jiwa raga aku kayak yang kehilangan tenaga secara mendadak.

Hiks.

Tapi, ketika keduanya sudah hampir mencapai ambang pintu, mendadak saja terdengar seruan dari belakang.

"Eh! Rizki atau Ryan itu namanya!"

Langkah kaki Ryan terhenti seketika mendengar namanya dipanggil. Sontak saja tanpa membuang waktu ia segera balik badan. Cowok itu tersenyum seraya mengangguk dan berkata dengan penuh semangat.

"Iya, Pak Suwanto. Saya Rizki Ryan."

Rahmat menunjuknya dengan mata yang membesar. "Ah, bener! Kan kamu nanya pas seminar tadi," ujarnya tertawa. "Hampir saja saya lupa. Ayoh, foto sama Bu Vanessa."

Wajah Vanessa memerah. "Aduh, Pak."

"Ini kalau nggak ada pertanyaan dari Rizki Ryan, seminar hasil hari ini gagal loh," kata Rahmat.

Suwanto mengangguk. "Benar. Karena syarat seminar itu salah satunya adalah adanya pertanyaan dari mahasiswa. Beruntung sekali Rizki Ryan ini tadi bertanya. Terutama karena pertanyaannya juga bukan asal pertanyaan. Kamu jeli juga jadi mahasiswa."

"Terima kasih, Pak. Saya memang berusaha untuk memperhatikan selama dosen menjelaskan saat kuliah, Pak." Ryan tampak cengar-cengir. "He he he he."

Sementara Ryan terlihat tersenyum lebar, maka Vanessa justru sebaliknya. Gadis itu meneguk ludahnya berulang kali. Tak percaya dengan apa yang akan terjadi. Karena itu pada akhirnya ia bertanya.

"Ini masa serius sih, Pak? Saya pikir tadi cuma main-main aja."

Bapak-bapak itu tertawa.

"Masa dosen ngingkari omongan sih?"

Vanessa mengusap rambutnya sekilas, berusaha untuk tetap tenang. Dan selagi Vanessa masih menenangkan diri, di lain pihak Ryan justru melihat bagaimana Nathan yang tak bersuara diam-diam melirik Vanessa berulang kali. Membuat cowok itu berdecak di dalam hati.

Ya elah ini cowok.

Mentang-mentang mata ada empat, main lirik istri orang aja ya kerjaannya dari tadi.

Ck.

Mengabaikan warna muka Vanessa, Ryan kemudian tampak tersenyum lebar pada Suwanto dan Rahmat.

"Eh? Beneran boleh foto bareng Bu Vanessa, Pak?"

Kedua dosen itu tertawa.

"Ya bolehlah," kata Rahmat. "Kan cuma foto aja sih."

"Itu suruh teman kamu yang foto," ujar Suwanto mengangkat tangan dan menunjuk pada Abid yang dari tadi berdiri diam seperti patung di pinggir jalan.

Ryan serta merta langsung mengeluarkan ponselnya dan menarik Abid. Dengan penuh semangat ia berkata.

"Yang keren ya, Bid. Pokoknya harus pas sudut dan kemiringannya. Perhatikan juga jaraknya biar nggak kejauhan."

Abid menerima ponsel Ryan dengan tatapan tak percaya. "Dikira mau nanam apa? Pake dicek sudut, kemiringan, dan jaraknya? Apa perlu aku pinjem meteran dulu ke leb?"

Ryan cengar-cengir dan tak menghiraukan pertanyaan Abid. Ia dengan cepat segera mengambil posisi di sebelah Vanessa yang telah dikosongkan. Cowok itu mendehem.

Geser dikit ah.

Hihihihi.

Ups!

Ryan menebalkan muka ketika melihat bagaimana saat itu sepasang mata Nathan terlihat menatap pada dirinya. Tapi, cowok itu justru memasang tampang sok polos miliknya. Seolah-olah tidak menyadari perubahan wajah pada Nathan.

Biarin juga.

Ser geser ah.

Eh.

Ryan menoleh dan menyadari Vanessa sedikit menjauhi dirinya. Membuat cowok itu manyun sekilas.

Abid mengambil posisi di depan Vanessa dan Ryan. Lalu memberikan aba-aba untuk memotret beberapa kali.

Ketika selesai, Ryan mengucapkan terima kasihnya.

"Makasih, Pak. Karena Bapak saya jadi bisa foto sama Bu Vanessa."

"Hahahaha. Semoga kamu cepat seminar hasil ya? Anggap aja ini motivasi buat kamu biar cepat tamat," kata Suwanto seraya menepuk punggung Ryan sebelum berlalu dari ruangan itu.

"Terima kasih, Pak, untuk doanya."

Dan di dalam hati, Ryan menambahkan.

Kalau motivasinya kayak gini mah beneran semangat banget aku buat tamat. Hihihihi. Semakin cepat tamat berarti kan ... ehm.

Setelahnya pun Ryan menyalami Rahmat sebelum dosen itu keluar dari sana. Mengikuti langkah Suwanto yang telah mendahuluinya.

Hanya tertinggal empat orang di ruangan itu, Ryan lantas tampak mengabaikan Abid dan kemudian justru berkata pada Vanessa yang terlihat bersiap untuk beranjak dari sana. Ia berkata dengan penuh kesopanan seraya mengulurkan tangan kanannya.

"Sini, Bu, saya bawakan laptopnya ke ruangan."

Vanessa mengerjap melihat tangan Ryan yang terulur padanya. "Oh, nggak perlu. Saya bisa kok bawa ini sendiri ke ruangan saya," tolak Vanessa dengan halus.

"Nggak apa-apa, Bu. Sekalian saya juga mau ke ruangan Ibu."

Abid mengerutkan dahi.

Kenapa lagi ini anak mau ke ruangan Bu Vanessa?

"Eh?" Vanessa mengerjap. "Mau ke ruangan saya? Ada apa?"

Ryan tersenyum dengan begitu sopan dan menjawab. "Mau bimbingan, Bu."

Dan selagi Vanessa bertanya-tanya di benaknya mengenai keinginan Ryan untuk bimbingan, ia justu mendengar interupsi. Nathan terdengar mendehem sekilas. Membuat Vanessa, Ryan, dan Abid menoleh padanya. Pria itu terlihat tersenyum pada Vanessa.

"Ini sudah jam istirahat siang sih, Bu. Bagaimana kalau makan siang dulu baru Rizki bimbingan?"

Ryan menarik napas dalam-dalam. Mencoba untuk menenangkan diri.

Ini berasa kayak aku dan dia lagi berebut Vanessa nggak sih?

Menanggapi ajakan tersirat Nathan, Vanessa tersenyum tipis. "Nggak apa-apa, Pak. Nanti saya bisa makan nanti abis Ryan bimbingan. Lagipula mumpung mahasiswa mau bimbingan. Kan nggak setiap saat mahasiswa ada kesadaran buat bimbingan."

Jawaban Vanessa membuat dahi Ryan berkerut.

Ini bukan kayak yang tampang aku semacam mahasiswa yang malas buat bimbingan kan ya? Tapi, kok dia ngomong gitu sih?

Di lain pihak, perkataan Vanessa secara telak membuat Nathan tak bisa membujuk wanita itu lagi. Pada akhirnya ia berkata.

"Baiklah, kalau begitu saya duluan, Bu."

Vanessa mengangguk. "Mari, Pak."

Dan Ryan dengan rasa penuh kemenangan langsung meraih tas laptop Vanessa di atas meja. Menentengnya dengan begitu percaya diri.

Tak menghiraukan Ryan, Vanessa memilih untuk keluar dari ruangan itu. Di belakangnya Ryan dan Abid berjalan bersama mengiringi Vanessa.

Abid berbisik. "Kamu mau bimbingan lagi sama Bu Vanessa?"

"Uhum ...."

"Bimbingan apa?"

"Apa aja."

"Eh?"

"Apa aja yang bisa jadi bahan bimbingan ya ... bakal aku terima buat bimbingan."

Abid menggaruk tengkuknya. Geleng-geleng kepala.

Ini anak kayaknya bukan salah makan, tapi salah otak.

Di depan ruangannya, Vanessa mengeluarkan kunci dan segera membuka pintunya. Suasana gelap gulita langsung menyambut mereka karena memang seharian Vanessa belum menginjakkan kaki di ruangannya sendiri. Maka pantas saja bila lampu di dalam ruangan itu belum dinyalakan.

Mengabaikan gelap itu, Vanessa pun memilih untuk masuk. Tapi, sayang. Ia kurang berhati-hati sehingga menabrak kursi.

"Braaak!"

"Aduh!"

Vanessa mengaduh, spontan mengusap tulang kakinya yang terantuk. Sementara itu, mendengar suara terantuk dan keluhan itu membuat Ryan langsung beranjak mendekati Vanessa.

"Nggak apa-apa?"

Vanessa menggeleng. "Nggak. Cuma kepentok dikit sih."

"Bentar deh. Aku nyalain dulu lampunya," kata Ryan seraya berjalan dan menyelusuri dinding.

Cowok itu menemukan saklar lampu dan langsung menekannya. Cahaya lampu seketika menyinari ruangan tersebut.

Vanessa yang masih mengusap-usap kakinya dengan perlahan beranjak menuju ke kursinya. Duduk di sana.

Sementara itu Ryan dan Abid pun turut duduk di hadapan Vanessa, dipisahkan oleh meja kerja wanita itu. Ryan meletakkan tas laptop Vanessa.

Mengabaikan rasa sakit yang masih sedikit mendera kakinya, Vanessa menatap Ryan.

"Kamu mau bimbingan apa hari ini?" tanya Vanessa.

Ryan mendehem. "Begini, Bu. Kemaren kan saya sudah sempat menemui Bu Fatma ..."

Vanessa manggut-manggut mendengarkan perkataan Ryan.

"... dan terus memang Bu Fatma bilang hasilnya sudah diperkirakan seperti itu. Sepertinya memang sesuai dengan penjelasan ibu kemaren."

"Oh ... terus gimana kelanjutannya?"

"Begini, Bu." Ryan sedikit mengubah duduknya. "Saya sebenarnya sedikit ragu dengan penelitian saya. Yah masih terkait soal hasil sih, Bu."

"Memangnya kenapa dengan hasil kamu?"

"Saya ngeliat sejauh ini pertumbuhannya hampir seragam dan karena dia mulai berbuah, saya lihat sih sepertinya buahnya pun nanti itu mungkin jumlahnya bakal hampir sama. Nah, gimana, Bu, kalau penelitian saya nanti hasilnya tidak ada yang berbeda?"

Vanessa mengangguk paham seraya membawa kedua tangannya ke atas meja. Lalu ia tersenyum. "Yang perlu kamu ingat itu adalah penelitian itu tujuannya untuk mendapatkan jawaban. Kalau hasil penelitian kamu memberikan jawaban yang seperti itu ya apa boleh buat. Selagi tahapan penelitian kamu benar, ya nggak jadi masalah. Toh itu juga artinya kamu memberikan solusi."

"Solusi apa, Bu?"

"Solusi bahwa mau menggunakan varietas mana saja, hasilnya akan sama. Berarti orang-orang tidak akan tergantung pada satu varietas saja kan?"

Mata Ryan membesar mendengarkan penjelasan Vanessa. "Eh, bener juga."

"Karena itu penting untuk mahasiswa berpikir secara global," kata Vanessa kemudian. "Jangan hanya terfokus pada satu titik. Jangan melihat sepintas saja karena terkadang yang terlihat buruk belum tentu benar-benar buruk."

"Ah, iya, Bu, iya," kata Ryan manggut-manggut.

"Padahal saya pikir kamu tau hal semacam ini mengingat nilai mata kuliah Rancangan Percobaan kamu dapat A."

Ryan cengar-cengir. "Kalau soal hitung menghitungnya sih saya lancar, Bu. Tapi, selama ini kan selalu dikasih contoh soal di mana kalau beda itu bagus."

"Nggak, tetap tergantung pada konteks masalahnya. Ya, seperti penelitian kamu ini."

"Iya, Bu."

Vanessa lalu melirik pada Abid. "Kamu ada yang mau didiskusikan juga sama saya?"

Abid gelagapan. "Eh?" Ia menggeleng. "Nggak, Bu, saya baru aja nyemai."

"Penelitian kamu tentang apa?"

"Tomat, Bu."

"Kalian kompak ya? Satu cabe satu tomat."

Ryan dan Abid tertawa.

"Tinggal cari yang nanam bawangnya aja lagi," kata Vanessa seraya melirik jam tangannya. "Ehm ... ini kalau nggak ada lagi yang mau didiskusikan, mungkin saya mau permisi dulu. Saya mau makan siang."

"Ah, iya, Bu."

Ryan dan Abid sama-sama bangkit, termasuk Vanessa yang tampak meraih dompetnya. Tapi, ketika Ryan dan Abid selesai bersalaman dengan Vanessa, mendadak saja terdengar suara isakan dari luar menuju ke ruangan itu.

Vanessa, Ryan, dan Abid sama-sama menoleh. Menatap pada seorang mahasiswi yang beruraian air mata.

"Permisi, Bu."

Vanessa mengernyit. Beranjak dari mejanya dan menyambut mahasiswi itu. Setengah merengkuhnya seraya menundukkan wajah demi melihat wajah berurai air mata tersebut.

"Mona?" tanya Vanessa. "Loh! Kamu kok nangis gini?"

Mona mengusap air matanya. "Bu. Tolongin saya, Bu. Judul saya ditolak lagi sama pihak Jurusan, Bu. Ini udah yang keempat kalinya ditolak, Bu."

Ryan dan Abid mengerjap-ngerjap. Saling pandang dan di dalam hati kompak mengucapkan syukur pada Tuhan karena setidaknya mereka sudah melewati tahapan itu.

Vanessa mengangguk. Mengusap-usap punggung Mona.

"Oh ... berkasnya sudah kamu ambil?"

Mona mengangguk. "Sudah, Bu. Padahal saya udah revisi, Bu. Tapi, ini malah ditolak lagi." Dan gadis itu menjelaskan dengan masih meneteskan air matanya.

Vanessa menarik napas dalam-dalam. Ia beralih pada Ryan dan Abid. Menatap keduanya dan meminta pengertian dari kedua orang cowok itu tanpa bersuara.

Ryan dan Abid tersadar. Tanpa bersuara, kedua pun mundur teratur. Keluar perlahan dari ruangan Vanessa.

Tepat selangkah mereka di luar, Vanessa dengan segera beranjak dan menutup pintu itu dari dalam. Dua orang cowok itu menghela napas secara bersamaan dan beranjak dari sana.

"Kasian ya ngeliat Mona," kata Abid seraya tangannya terulur mengembalikan ponsel Ryan pada cowok itu.

Ryan menerima ponselnya dengan senyum lebar di wajahnya. "Ya, namanya juga perjuangan buat dapat gelar."

Abid melirik sekilas pada Ryan. "Kayak yang nggak ada simpatiknya sedikit pun jadi orang."

"Bukan nggak ada simpatik, tapi itu namanya dia lagi berjuang," kata Ryan. Lalu, matanya melebar. "Wah! Foto yang ini bagus nih."

"Siapa dulu coba yang ngambil."

"Hahahaha." Ryan menepuk pundak Abid. "Thanks, Bid. Ehm ...." Ryan mendehem. Otaknya mendadak terpikir sesuatu. "Buat geger seuniversitas ah."

Abid menoleh. "Maksudnya?" tanyanya seraya melihat ponsel Ryan yang menampilkan aplikasi Instagram di sana. "Mau kamu upload?"

"Hahahaha." Ryan tertawa. "Kira-kira apa caption yang pas ya?"

Abid merinding. "Dasar stres!"

"Kok dasar stres sih?" tanya Ryan geli. "Gimana kalau: dasar jodoh, emang nggak bakal ke mana-mana."

Mata Abid berkedip-kedip seraya geleng-geleng kepala. "Udah beneran stres akut kamu mah, Yan."

Sementara itu Ryan tertawa-tama seraya kedua jempolnya mengetik untuk caption foto dirinya dan Vanessa.

Unch.

Serasi banget sih ini couple.

Hihihi.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro