2. Yang Benar Saja
Sebagai seorang mahasiswa senior yang mengambil ulang mata kuliah untuk semester dua, Ryan mendapati bahwa siang itu hanya ada dirinya dan Abid mahasiswa senior yang mengulang mata kuliah Botani. Peserta praktikum lainnya bisa dipastikan adalah mahasiswa baru semua. Maka jangan heran ketika Ryan dan Abid mulai melangkah menaiki tangga menuju ke lantai atas di mana ruang praktikum Botani berada, mahasiswa juniοr itu justru lebih sopan terhadap dirinya dibandingkan Farrel yang berstatus sebagai asisten dosen. Yah bagaimanapun juga, Farrel masih terbilang juniοr setahun dibandingkan Ryan dan Abid.
Ketika sampai di lantai atas, Ryan dan Abid segera berbelok ke kanan. Melewati koridor dan menemukan beberapa juniοr yang berkumpul. Berbisik-bisik dengan begitu antusias.
"Gila! Aku nggak nyangka milih jadwal praktikum yang pas."
"Ibu Vanessa, bro! Hahahaha. Kayak yang lagi hoki banget nggak sih kita?"
"Bisa betah mata ini melek selama dua jam walaupun jam praktikum kita pas lagi jam tidur siang."
"Hahahaha. Bakal rugi dong kalau tidur. Orang kenyataan lebih indah daripada mimpi."
Ryan menoleh. Menatap wajah para mahasiswa yang tengah membicarakan Vanessa. Namun, ia tetap melangkahkan kakinya. Hingga kemudian ia dan Abid telah sampai ke ruang praktikum. Mereka segera duduk di dalam sana.
"Stres anak-anak itu," gerutu Ryan.
Abid yang merupakan teman dan sekaligus sahabat Ryan melirik. "Anak-anak yang mana?" tanyanya bingung.
Kepala Ryan bergerak. Menuju ke arah luar. "Itu para bocah di koridor."
Sejenak Abid masih mengingat-ingat. Bocah di koridor mana yang dimaksud oleh Ryan tersebut.
"Mereka sebenarnya mau praktikum atau mau ngeliatin Bu Vanessa sih ya?" tanya Ryan kembali menggerutu.
Abid terbengong. Tapi, detik selanjutnya ia tertawa. "Oalah. Aku pikir bocah apaan. Ternyata itu toh."
Ryan menatap Abid malas.
"Lagipula ya wajar kali mereka semangat gitu," kata Abid sumringah. "Emangnya siapa yang betah belajar Botani kalau dosennya nggak cantik kayak Bu Vanessa?"
Eh? Ini anak malah ikut-ikutan?
"Kita lihat, Man. Botani ini keliatannya aja yang mudah, tapi aslinya ... beuh. Yang ngulang banyak. Emangnya siapa yang bisa hapal semua jenis buah? Buah sejati buah palsu? Buah sejati tunggal berdaging dan kering? Buah sejati kering bla bla bla bla hanya untuk satu polong kacang tanah?" Abid geleng-geleng kepala. "Ck. Karena itu memang seharusnya dosen yang ngajar mata kuliah ini sebangsa yang sabar hatinya, ramah orangnya, dan cantik wajahnya."
EH?
Mata Ryan melotot.
"Dan semua kriteria ada di Ibu Vanessa."
Mata Ryan masih melotot.
Tangan Abid mendorong pundak Ryan sekilas. "Yang kayak kamu nggak aja, Yan. Kamu nggak lupa kan gimana ngototnya kamu buat ngajak aku ngulang ini mata kuliah? Padahal juga cuma B."
Gelegapan, Ryan berkata. "Buat ngisi waktu luang. Lagian kan nggak rugi juga. Ya kali kita bayar mahal-mahal uang semesteran, tapi masa cuma ngambil skripsi. Kan rugi."
"Ih. Terus ..." Mata Abid menajam. "Kamu nggak lupa kan kalau seminggu yang lewat kamu nekat nanya ke laboran jadwal dosen praktikum Botani?"
Mata Ryan mengerjap. Tak bisa menjawab. Dan yah, itu memang benar adanya. Seminggu yang lalu dia memang nekat mendesak laboran untuk melihat jadwal dosen praktikum Botani. Hal itu ia lakukan supaya bisa mengambil kelas praktikum Vanessa.
Oh, jelas sekali.
Abid mendengus mengejek. "Bisa-bisanya ngomongi yang lain sedangkan nggak nyadar sama diri sendiri. Kamu juga kan? Ngambil kelas praktikum ini karena Bu Vanessa?"
"Ehm ... itu kalau aku niatnya kan jelas," kata Ryan salah tingkah. "Aku cuma ngerasa enak aja diajar sama beliau."
Abid tergelak. "Semua orang kayaknya memang ngerasa enak diajar Bu Vanessa kali."
Ryan mengembuskan napasnya. Tak lagi berniat untuk membicarakan hal tersebut dengan Abid.
Sudahlah! Abid mana paham.
Beberapa menit kemudian para peserta praktikum lainnya masuk dan menduduki kursi yang tersedia. Dan tak lama kemudian, telinga Ryan mendengar suara tuk-tuk yang khas di lantai. Suara hak sepatu Vanessa.
Benar saja.
Kemudian Vanessa masuk melalui pintu depan ruangan tersebut. Berjalan menuju ke mejanya dan menyapa singkat pada Farrel sebelum ia beranjak mengambil posisi di hadapan para mahasiswa lainnya. Di tangannya terlihat satu map plastik yang bisa dipastikan berisi absen.
"Selamat siang semuanya."
"Selamat siang, Bu."
Vanessa tersenyum. "Oke. Hari ini kita akan mulai praktikum Botani yang pertama. Tapi, sebelumnya saya akan absen ya."
"Siap, Bu."
Jemari Vanessa membuka map tersebut. Matanya membaca nama itu satu persatu dan memanggilnya.
"Wulandari Syahputri."
Seorang mahasiswi terlihat mengangkat tangannya dan Vanessa memberi satu titik di absen tersebut. Lalu ia pelan-pelan mengabsen mahasiswa berikutnya. Hingga kemudian ia merasa wajahnya menjadi tegang seketika saat bibirnya menyebut.
"Rizki Adryan Wicaksana."
Satu suara berat dan besar terdengar menyahut panggilan Vanessa.
"Saya, Bu."
Ryan terlihat tersenyum dan mengangkat satu tangannya dengan begitu semangat. Membuat Vanessa meneguk ludahnya. Tapi, wanita itu sebisa mungkin melanjutkan mengabsen peserta lainnya.
"Abid Wahyu Budianto."
"Saya, Bu."
Abid di sebelah Ryan mengangkat tangannya.
Vanessa kemudian menutup absennya. Memberikan itu pada Farrel agar asistennya itu nanti mengedarkan absen tersebut ke seluruh mahasiswa untuk ditandatangani.
Ryan tersenyum kecil melihat bahwa syok kecil masih tersisa di wajah Vanessa. Bagaimanapun juga, Ryan menebak bahwa Vanessa tidak mengira bahwa mereka berdua akan berada di kelas praktikum yang sama.
Setelahnya Ryan mendapati bahwa pembagian kelompok praktikum yang dilanjutkan oleh perpindahan tempat duduk sesuai dengan kelompok yang telah ditetapkan itu menjadi tidak terlalu penting lagi. Nyatanya Ryan sekarang sedang mengamati Vanessa yang terlihat begitu luwes berinteraksi dengan setiap mahasiswa.
Wajar juga sih. Dia ini dosen baru dan masih muda. Baru setahun ngajar di sini. Tapi, karena dia terlihat seperti paket komplit makanya jadi langsung banyak fansnya. Cantik, muda, ramah, ehm ... siapa juga yang nggak seneng ngeliat dia.
Maka bisa dipastikan bahwa sepanjang praktikum Ryan tidak benar-benar fokus dengan materi dan kegiatan praktikum itu. Terutama ketika dilihatnya bagaimana Vanessa yang tersenyum lebar saat Farrel menghampirinya dan mereka berdua berbincang.
Ngomongi apaan sih?
Tapi, terlepas dari hal apa yang mereka diskusikan, Ryan merasa ada yang tidak tepat di matanya. Dan hal itulah yang mendorong ia untuk mengirim pesan pada Vanessa.
Ryan melihat ponselnya. Mengulum senyumnya saat membaca pesan yang baru saja ia kirimkan sedetik yang lalu.
[ <3 ]
[ Istriku Sayang, jangan terlalu dekat ya dengan cowok lain. ]
[ Walaupun itu mahasiswa sendiri. ]
[ Aku nggak suka. ]
Setelah mengirimkan pesan itu, sontak saja Ryan bertopang dagu melihat ke depan. Pada Vanessa yang mendadak melihat ke arahnya.
Ryan tersenyum tipis. Namun, ia langsung melongo ketika melihat wajah Vanessa yang tanpa ekspresi sedetik kemudian menoleh ke arah lain. Sementara itu, Ryan pun akhirnya menyadari kalau pesannya tidak dibalas.
Membuat mahasiswa yang tengah sibuk dengan mengurus penelitiannya itu menjadi geleng-geleng kepala.
Astaga.
Siapa yang ngira kalau Bu Vanessa orangnya kayak gini?
*
Sebulan yang lalu.
Sore itu Ryan tengah bersiul-siul seraya mengaduk-aduk sekam bakar, tanah, dan pupuk kandang. Sepasang sarung tangan kebun dari bahan plastik tebal tampak melindungi kedua tangannya hingga sebatas siku. Kompak dan padu, Ryan menggerakkan tangannya untuk mencampurkan media tanam itu hingga tercampur secara merata.
Sejurus kemudian, cowok setinggi 184 sentimeter dengan rambut bewarna pirang itu tampak berdiri. Kulitnya yang bewarna kecoklatan terlihat mengilap akibat pantulan sinar matahari sore yang menyentuh percikan-percikan keringat di wajahnya. Cukup menjadi tanda bahwa Ryan sudah lama melakukan pekerjaannya itu hingga kemudian terdengar deheman serak lembut yang menarik perhatiannya.
"Eyang ...."
Seorang pria tua berjalan dengan menggunakan tongkatnya. Tampak satu topi di atas kepalanya. Wajah keriput itu tersenyum pada Ryan.
"Sibuk?" tanyanya.
Ryan serta merta menggeleng dan menjawab. "Nggak kok, Yang."
Cowok itu langsung melepas kedua sarung tangannya. Meletakkan benda itu di atas tumpukan media tanam tadi dan beranjak menghampiri Eyangnya, Gusnandar.
Ryan membantu Gusnandar untuk duduk di satu kursi yang tersedia di sana. Setelahnya Ryan pun duduk di hadapannya eyangnya. Cowok itu terlihat meneguk air minum lewat botolnya langsung sebelum bertanya.
"Tumben Eyang main ke sini. Ada apa?"
Gusnandar terkekeh pelan. Masih memegang tongkat kayunya, ia berkata. "Sesekali melihat Taman Raya buatan cucu sendiri toh nggak jadi masalah kan?"
"Hahahaha." Ryan memandang berkeliling. Pada aneka tanaman yang berdiri di sekeliling mereka. Termasuk bunga berbagai jenis yang tampak siap untuk dipindah tanam. "Ini masih terlalu kecil untuk disebut Taman Raya, Yang." Tangannya terangkat. Menunjuk ke depan walau terhalang oleh pepohonan. "Plang nama masih belum dicopot kayaknya. Floral Garden."
Gusnandar mengangguk-angguk seraya tersenyum. Lantas menarik napas dalam-dalam. Matanya tampak hangat menatap Ryan.
"Tempat ini benar-benar sejuk."
Ryan menyetujui perkataan Gusnandar. "Tapi, aku tebak bukan itu alasan kenapa Eyang rela-rela datang ke sini." Tatapan mata Ryan tertuju pada Gusnandar. "Ada apa, Yang?"
"Ehm ... kamu memang punya insting yang bagus, karena itu sewaktu kamu dulu mau memulai untuk membuka depot bunga ini Eyang setuju. Kamu punya naluri yang kuat."
"Hahahaha. Ini ngebuat aku jadi makin ketakutan," kata Ryan tergelak. Tangannya yang lembab karena keringat tampak mengusap tekuknya yang juga berkeringat. "Kayak semacam ada alarm kebakaran gitu mendadak bunyi."
Gusnandar terkekeh. Nyaris terbatuk ketika kekehannya semakin menjadi-jadi. Membuat Ryan sontak mendekat untuk mengusap punggung kakeknya itu.
"Minum, Yang," kata Ryan seraya menuangkan air pada satu cangkir dan memberikannya pada Gusnandar.
Pria itu meneguk perlahan air tersebut. Setelah tenggorokannya terasa lega kembali, ia menoleh pada Ryan. Terlihat wajahnya sendu ketika bertanya.
"Eyang ini sudah tua kan?"
Ryan sedikit mengerutkan dahinya. Lalu berdecak sekali. "Masih gagah seperti ini. Ck. Apanya yang tua?" tanya Ryan hingga membuat Gusnandar geli. "Kalau kita berdua pergi ke mall ... beuh, aku yakin. Yang cewek-cewek mintai nomor ponselnya itu Eyang, bukan aku."
"Hahahaha." Gusnandar kembali tertawa. "Semoga kamu nanti tidak mendadak didatangi arwah Eyang Putri kamu, Yan."
Mata Ryan membelalak. Meneguk ludah. Sontak kedua tangannya terkatup di depan dada. Memejamkan mata.
"Aku cuma main-main, Yang Putri. Nggak serius kok. Beneran."
"Hahahaha."
Gusnandar mengusap matanya yang berair. Tepat ketika tampak seorang pekerja Ryan melintasi tempat mereka. Membuat Ryan menoleh.
"Eh, Ton. Itu biar lanjut besok aja. Kamu tutupi aja itu media tanamnya pada terpal dulu. Biar pagi aja kamu sama Sahrul mindahin bibir mawarnya."
Pekerja yang bernama Anton itu mengangguk. "Oke, Bos."
Membiarkan Anton mengambil terpal untuk menutupi media tanam yang telah dibuat oleh Ryan tadi, cowok itu kemudian kembali beralih pada Gusnandar.
"Jadi," lirih Ryan. "Jujur aja deh. Kenapa Eyang sampe nyamperin aku ke sini? Ini bener-bener nggak biasa."
Beberapa saat Gusnandar memandangi Anton sampai cowok yang tidak menamatkan pendidikan SMK-nya itu berlalu dari sana. Kembali meninggalkan mereka berdua saja.
Gusnandar kemudian berpaling pada cucunya kembali. Menampilkan raut wajah yang tak biasanya. Membuat Ryan semakin bertanya-tanya tentang maksud dan tujuan Gusnandar datang saat itu ke depot bunga miliknya yang juga merangkap sebagai rumah untuk cowok berusia dua puluh dua tahun itu.
"Eyang mau nanya ke kamu, Yan."
"Eh?"
"Tapi, kamu jawab dengan jujur ya?"
Sedikit bingung, tapi pada akhirnya Ryan mengangguk. "Oke. Aku bakal jawab jujur." Ryan menarik napas dan menatap kakeknya itu. "Apa, Yang?"
"Kamu sudah punya pacar?"
Dari sekian banyak hal yang Ryan duga untuk ditanyakan oleh Gusnandar pada dirinya, pertanyaan kamu sudah punya pacar merupakan pertanyaan yang tidak berada dalam dugaan Ryan. Dan bukan hal yang aneh bila beberapa saat Ryan hanya melongo. Hingga membuat Gusnandar kembali bertanya.
"Sudah punya apa belum, Yan?"
Ryan mengerjap. Lalu menggeleng walau bola matanya tampak berputar ke atas. Menatap ke langit. Seperti tengah berpikir. Membuat Gusnandar berdecak.
"Sudah punya belum?"
Kali ini terlihat lebih tegas, Ryan menggeleng. "Sekarang lagi jomlo, Yang," kata Ryan mantap. "Kenapa?" Ryan kemudian justru bertanya dengan nada jenaka. "Oh oh oh! Aku tau." Ryan mengangkat jari telunjuknya seraya tertawa geli. "Eyang mau jodohin aku ya? Hahahaha."
Gusnandar tertegun mendengar kata-kata Ryan. Tapi, sayangnya walaupun dahi Gusnandar berkerut, itu sama sekali tidak terlihat lagi karena memang kulit wajah pria tua itu yang mulai mengendur.
"Hahahaha." Ryan tergelak. "Itu seperti adegan di novel-novel yang sering Mama baca dulu. Ck." Kali ini Ryan geleng-geleng kepala. Tapi, sejurus kemudian ia justru terdiam karena mendapati wajah Gusnandar yang membeku. "Eh? Kenapa, Yang? Kok jadi diam gitu?"
Dadá Gusnandar tampak mengempis ketika menghirup udara dalam-dalam. Lamat-lamat ia melihat wajah cucunya itu.
"Kalau Eyang bilang Eyang memang mau menjodohkan kamu gimana?"
Ryan terdiam.
Tak bergerak ketika mendengar pertanyaan itu.
Hanya semilir angin yang terdengar menggerak-gerakkan dedaunan di sekitar sana.
Lalu, mata Ryan mengerjap-ngerjap.
"Yang .... Eyang kayaknya udah nggak umurnya lagi buat nge-prank aku."
Gusnandar menggeleng sekali. "Eyang serius."
Mata Ryan melotot. "Eyang serius?" tanyanya histeris.
Kali ini Gusnandar mengangguk. Membuat Ryan meneguk ludahnya berulang kali. Untuk beberapa saat, cowok itu menunggu. Kalau saja mendadak Gusnandar tertawa atau paling tidak menyeringai geli, merasa berhasil mengerjai dirinya. Tapi, tidak. Pria yang nyaris berusia delapan puluh tahun itu terlihat begitu serius dengan ucapannya. Tak ada gelak tawa, bahkan seringai geli pun tak terlihat sama sekali. Cukup menjadi tanda bagi Ryan bahwa eyangnya itu benar-benar serius dan tidak main-main saat itu.
"Fyuh!"
Ryan meniup napasnya dengan irama yang lebih panjang. Tampak merasa bingung dan heran dan pokoknya semua ekspresi orang linglung ada di wajah cowok dengan dagu terbelah itu.
Tangan Ryan terulur. Meraih botol air minum dan menegak isinya secepat kilat. Entah mengapa ia merasa sore itu terasa semakin panas dari biasanya.
Mata Ryan menatap Gusnandar lagi. "Eyang serius?"
Sayangnya, Gusnandar benar-benar mengangguk. "Eyang benar-benar serius."
Sial, umpat Ryan di dalam hati. Tau gini mending aku bilang aja kalau aku udah punya pacar.
Ryan menarik napas dalam-dalam. Mencoba keberuntungannya.
"Yang ..., sebenarnya tadi itu aku bohong loh."
"Bohong?"
Ryan mengangguk cepat berulang kali. "Sebenarnya itu aku udah punya pacar. Ehm ... juniοr aku di kampus. Eyang ingat nggak? Yang dulu pernah datang ke rumah gara-gara mau minjam materi kuliah sama aku?"
Gusnandar kembali berusaha untuk mengerutkan dahinya. Dan mengingat tentunya. Tapi, ingatan pria tua itu sudah dimakan usia. Jadi, ia menggeleng.
"Monica." Ryan berkata mengingatkan Gusnandar. "Aku lagi pacaran sama dia."
"Ehm ...." Gusnandar tampak mengusap dagunya seraya merenung. Lalu ia menatap Ryan. "Kalau gitu, ya kamu putusin aja dia."
"Eh?" Ryan memandang Gusnandar ngeri. "Eyang ...."
"Dengar, Yan, apa yang mau Eyang sampaikan."
Glek.
Ryan meneguk ludahnya. Sementara jantungnya sudah benar-benar tidak tertolong lagi di dalam sana. Bertalu-talu dengan begitu riuh. Seolah ia mendengar musik pengantar kematian dirinya.
Gusnandar menarik napas sekilas terlebih dahulu sebelum kemudian berkata dengan pelan. "Kedua orang tua kamu, Lastri dan Handoko, itu mereka berdua adalah anak tertua dari dua keluarga."
Kepala Ryan mengangguk sekali dengan kaku.
Apa sekarang aku sedang dikasih ceramah silsilah keluarga?
"Walau Lastri dan Handoko itu terlambat menikah dan harus dilangkahi oleh adik mereka, tapi tetap saja. Secara darah, kamu adalah cucu tertua dari dua keluarga."
Glek.
Sekilas Ryan melirik ke langit.
Apa akan ada tanda-tanda petir menggelegar dan diikuti oleh hujan badai? Atau justru akan ada angin putíng beliung disertai gempa?
Mengapa penjelasan silsilah ini menjadi kayak hal yang menakutkan sih?
"Kamu tau sendiri, Oma dan Opa kamu sudah nggak ada sejak lama. Gitu juga dengan Eyang Putri kamu."
Glek.
Rasa-rasanya Ryan semakin tidak menyukai arah pembicaraan itu.
"Kamu tau harapan terakhir Eyang sekarang apa?"
Ryan menggeleng. Dan sedetik ia selesai menggeleng, ia merutuk di dalam hati.
Kenapa juga aku harus geleng kepala?
Hiks.
"Eyang cuma ingin melihat anak tertua Lastri menikah sebelum Eyang meninggal dunia."
Dan ya tentu saja. Yang dimaksud Gusnandar adalah Ryan sendiri.
Perkataan Gusnandar sukses membuat Ryan mengap-mengap seperti ikan tanpa air. Terkesan berlebihan, tapi itulah kenyataannya. Ryan nyaris merasa benar-benar tidak bisa bernapas lagi karena perkataan itu.
"Yang, nggak boleh ngomong gitu," kata Ryan kemudian. "Rezeki, jodoh, dan maut itu udah ditetapkan. Nggak boleh didahului ah. Eyang pasti bakal berumur panjang."
Gusnandar geleng-geleng kepala. "Ini bukan mendahului, Yan. Ini namanya jaga-jaga. Eyang nggak mau meninggal sebelum melihat kamu menikah. Kalau Eyang keburu meninggal duluan, Eyang pasti nggak tenang."
Ryan bergidik.
Membayangkan kalau-kalau Gusnandar datang menemui dirinya dalam bentuk arwah penasaran.
Yang benar saja.
"Ta-ta-tapi ...." Ryan menarik napas. "Eyang kan belum tentu bakal meninggal dalam waktu dekat."
Mata Gusnandar membelalak. Mengacungkan tongkatnya pada Ryan. "Kamu mau nyumpahin Eyang meninggal cepat?"
"Eh, nggak gitu juga maksudnya, Yang!" jerit Ryan seraya berusaha mengelak dari tongkat Gusnandar. "Tapi, kan mubazir namanya kalau aku nikah, tapi ternyata Eyang nggak ninggal."
Eh?
Ryan menutup mulutnya.
Mencoba mencerna perkataannya sendiri tepat di saat tongkat Gusnandar mendarat di lengan kirinya. Cowok itu mengaduh kesakitan sambil mengusap-usap tangannya. Cemberut.
"Maksud aku, Yang," lanjut Ryan. Kali ini ia mencoba untuk benar-benar memperbaiki kalimatnya. "Kan maksud Eyang nyuruh aku nikah karena Eyang mau ngeliat aku nikah sebelum Eyang meninggal. Tapi, gimana seandainya kalau Eyang berumur panjang coba?"
"Itu artinya Eyang bisa ngeliat cicit Eyang dong. Hahahaha." Gusnandar tergelak.
Ryan melongo.
Nikah aja belum tentu jadi, eh ini udah ngebahas punya bayi?
Yang benar saja.
"Tapi, Eyang .... Aku kan udah bilang aku udah punya pacar. Si Monica itu."
"Ck. Sudah." Tangan Gusnandar melambai sekilas. "Eyang saja nggak ingat Monica itu yang mana. Itu artinya dia nggak berkesan untuk Eyang. Kamu putusin aja dia."
Glek.
Boro-boro mutusin. Orang aku emang nggak pacaran kok.
"Lagipula, calon yang Eyang mau jodohkan sama kamu itu benar-benar top." Gusnandar mengacungkan dua jempolnya pada Ryan. "Kamu nggak bakal nyesal nikahi cewek ini. Bobot, bibit, dan bebetnya jelas."
Ryan mengerutkan dahi. "Sejak kapan Eyang peduli soal bobot, bibit, dan bebet?" tanya cowok itu. "Orang Papa juga waktu ngelamar Mama dulu kerjanya masih serabutan."
"Handoko itu pekerja keras. Dia pria yang berbobot. Dari keluarga baik-baik. Dan dia juga pria yang baik-baik bermartabat," kata Gusnandar. "Terbukti kan? Walau dia dulu masih hidup susah, sekarang dia jaya. Mata orang tua ini jangan disepelekan, Yan." Gusnandar kembali berkata seraya menunjuk-nunjuk matanya sendiri. "Eyang ini bisa menilai orang."
Ryan menggaruk kepalanya. Merasa tidak akan pernah bisa menang bila beradu pendapat dengan Gusnandar.
"Sama saat Eyang melihat gadis ini," lanjut Gusnandar seraya geleng-geleng kepala. "Weton jodoh kalian juga bagus."
"Eh?" Ryan tak percaya. "Eyang. Ini udah zaman canggih, masih juga percaya hitungan gituan."
Tapi, wajah Gusnandar tampak berubah menjadi serius. Menengadah, menatap langit seraya bibirnya bergerak tanpa suara ketika jari tangannya bergerak menghitung.
"Pernikahan yang akan membawa keberkahan."
Ryan meraih botol air minumnya lagi. Tapi, ternyata isinya sudah habis.
"Kalau kalian sampai tidak menikah." Gusnandar kembali geleng-geleng kepala. "Indonesia akan kehilangan calon penerus bangsa yang berbobot."
"Uhuk!"
Ryan bersyukur airnya sudah habis. Nyatanya tanpa air saja ia sudah tersedak udara. Apalagi kalau tadi ia minum.
Kali ini ia benar-benar ketakutan melihat ekspresi Gusnandar yang tidak main-main. Terutama ketika pria itu kembali menoleh pada Ryan.
"Kamu memang harus menikahi gadis ini, Yan."
"Yang .... Yang ..., tunggu sebentar," kata Ryan mencoba meredakan semangat Gusnandar yang begitu antusias ingin melihat dirinya menikah dalam waktu cepat itu. "Nikah kan bukan soal yang gampang. Nikah itu sakral, Yang. Penuh keseriusan dan tanggungjawab. Nggak boleh dibuat main-main."
Gusnandar menatap Ryan takjub. "Eyang nggak nyangka pikiran kamu sudah sedewasa ini, Yan. Sudah paham nilai penting dari pernikahan."
"Eh?"
"Berarti keputusan Eyang memang benar. Kamu sudah siap untuk menikah."
"Eh?"
"Kalau begitu kita memang harus secepatnya bertemu dengan orang tua gadis itu."
"Eh?"
"Untuk membicarakan soal lamaran dan pernikahan."
"Eh?"
"Mumpung kamu masih libur antar semester."
"Eh?"
Ryan mengerjapkan matanya. Menarik napas dalam-dalam. Entah mengapa kepalanya terasa pusing. Seakan tekanan darahnya turun dengan sangat drastis atau suplai oksigen ke otaknya berkurang. Entah mana yang membuat matanya saat ini terasa bagai berkunang-kungan. Ehm, semuanya mungkin.
"Kita akan mengusahakan pernikahan itu dalam bulan ini."
Sudahlah.
Ryan berkata. "Yang, bukannya aku nggak mau nurutin kemauan Eyang. Kan Eyang tau aku ini paling penurut."
Gusnandar membenarkan itu. "Karena kamu cucu Eyang yang paling penurut makanya Eyang ingin menikahkan kamu dengan gadis yang terbaik. Biar hidup kamu bahagia."
Cowok itu nyaris menyerah ketika melihat wajah tersenyum Gusnandar. Seakan-akan ingin menunjukkan pada cowok itu kalau Gusnandar memang sangat bahagia dengan pernikahan itu.
"Ya ampun, Eyang ...." Ryan tak memedulikan entah tangannya kotor atau apalah, yang pasti detik selanjutnya ia mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya. "Pernikahan bukan hal yang main-main seperti ini."
"Main-main?"
"Aku bahkan nggak kenal dengan siapa aku bakal nikah."
"Tentu saja." Senyum terbit di wajah pria tua itu. "Tentu saja nanti kamu akan bertemu dengan dia. Kamu pasti akan terpesona dengan dia walaupun dia lima tahun lebih tua dibandingkan kamu."
"Eh?"
Mata Ryan kembali membesar.
"Di-di-dia lima tahun lebih tua dibandingkan aku, Yang?"
Gusnandar mengangguk. "Tapi, tenang saja. Dia masih kelihatan muda. Masih segar. Tidak terlihat lebih tua dibandingkan kamu."
Ryan meneguk ludahnya berulang kali.
Sudah cukup kaget dengan rencana perjodohan dan pernikahan? Oh, belum kaget sampai Eyang ngebahas soal bayi. Dan sekarang? Fakta baru lagi. Aku bakal nikahi cewek yang lebih tua?
What?
Aku semacam brondong gitu?
Ryan geleng-geleng kepala.
"Nggak, Yang. Nikahi cewek yang lebih tua pasti bakal benar-benar berat. Dia mungkin nggak bakal nerima keadaan aku yang masih nyusun skripsi dan nggak punya pekerjaan."
"Eh? Depot bunga sebesar ini kamu bilang bukan pekerjaan?" tanya Gusnandar. "Coba Eyang tanya. Satu pot mawar merah kamu itu harganya berapa?"
Ryan menahan lidahnya untuk tidak menjawab.
"Kamu bahkan sudah punya depot sebesar ini dengan dua karyawan dibilang nggak punya pekerjaan?"
"Ehm ... beberapa orang cewek menginginkan cowok yang punya kerja kantoran, Yang. Semacamg gengsi kalau ngeliat pasangannya pake jas dan dasi."
"Hehehehe. Eyang bisa pastikan kalau cewek ini tidak seperti itu. Lagipula dia sudah cukup dewasa untuk nggak lagi menilai cowok dari sekadar gengsi pekerjaan."
Ucapan Gusnandar membuat tubuh Ryan semakin meremang. Mendorong benaknya sehingga bertanya-tanya.
Apa mendadak ada hantu gitu di depot ini? Kok aura mistisnya jadi makin menegangkan sih?
"Tapi, ya ... tetap aja, Yang. Ini seperti yang nggak masuk akal aja."
Gusnandar menatap Ryan. "Tolong kabulkan permintaan Eyang, Cu. Demi tubuh tua renta ini."
"Eh?" Ryan horor menatap Gusnandar yang mengatakan hal tersebut.
"Kamu nggak akan menyesal kok menikahi gadis ini karena bagaimanapun nanti malam kita akan bertemu dengan orang tua dia. Kamu bisa bertanya banyak hal pada mereka malam nanti."
"What? Ketemu dengan dia dan orang tuanya?"
"Nggak. Kita nanti cuma ketemu dengan orang tuanya saja dulu karena gadis itu sekarang masih ada sedikit urusan."
"Urusan?" tanya Ryan menunjukkan wajah yang tak habis pikir. "Apa ada hal yang lebih penting dari urusan perjodohan dan pernikahan sehingga dia nggak datang?"
Kepala Gusnandar mengangguk-angguk. "Bagaimanapun kamu kan pasti nggak mau nilai kamu semester ini ada yang bolong."
"Eh?" Mata Ryan mengerjap-ngerjap. "Maksudnya, Yang?"
Lalu mata Gusnandar menatap begitu lekat pada Ryan ketika ia berkata dengan begitu jelas.
"Dia itu dosen kamu."
Beberapa detik Ryan hanya bisa melongo. Merasakan angin yang berhembus dan membelai wajahnya. Sebagai tanda kalau ia tidak sedang berada di dalam dunia mimpi.
Ini kenyataan.
Kenyataan yang seketika membuat ia melonjak.
"What?"
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro