19. Semua Karena Sayembara
Surya tampak duduk kembali di kursinya setelah selesai memaparkan hasil penelitiannya. Hal tersebut langsung disambung oleh moderator yang bernama Intan untuk berkata.
"Demikianlah pemaparan dari saudara Surya. Selanjutnya kita akan masuk ke sesi tanya jawab mahasiswa. Di sini akan saya buka dengan dua sesi, di mana setiap sesi akan saya persilakan kepada dua orang penanya. Yang ingin bertanya, saya persilakan untuk angkat tangan. Silakan sebutkan nama dan NPM."
Keempat orang dosen yang meliputi Vanessa, Nathan, Suwanto, dan Rahmat tampak memutar kepala melihat seisi ruangan. Mengamati siapa kiranya yang akan bertanya. Namun, tak ada tanda-tanda akan ada yang bertanya. Hingga kemudian Suwanto, dosen senior yang rambutnya sudah hampir memutih semua itu terdengar mendehem.
"Ini sebenarnya yang terjadi kalau mahasiswa yang datang mayoritas anak tahun pertama." Suwanto terkekeh pelan. "Mereka hanya datang untuk melihat bagaimana cara seminar, tapi belum bisa bertanya atau memberikan kritik saran."
Nathan mengangguk. Berbisik pelan. "Teman-teman seangkatan Surya kan sudah tamat semua, Pak. Jadi, ya mau tidak mau yang datang adalah anak-anak tahun pertama."
Suwanto tergelak. Sementara itu Rahmat selaku dosen penguji pertama terlihat mengangkat tangan.
"Pak, bagaimana kita buat sayembara saja? Biar ada yang mau bertanya."
Suwanto menoleh. "Sayembara apa, Pak?"
"Yang mau bertanya, akan diperbolehkan berfoto bersama Bu Vanessa selepas seminar ini," jawab Rahmat seraya tersenyum lebar.
Perkataan Rahmat langsung membuat tawa meledak.
Semua isi ruangan, dari mahasiswa hingga ke tiga orang dosen yang duduk di depan, semuanya tertawa. Terutama mahasiswa yang langsung tampak bersemangat karena hal tersebut. Tapi, ada satu orang yang tidak tertawa. Tentu saja orang itu adalah Ryan.
Ehm ... sebenarnya Vanessa juga tidak tertawa sih, melainkan tersenyum kecil sedikit.
"Benar juga sih ya? Ini semacam penyemangat buat mahasiswa. Kapan lagi loh bisa foto bareng sama Bu Vanessa?" tanya Suwanto tertawa. Lalu ia menoleh ke depan. "Hayo! Siapa yang mau bertanya? Angkat tangannya? Ini kesempatan langka bisa berfoto dengan beliau."
Ryan seketika saja misuh-misuh.
Eh, ini Bapak udah tua juga malah mau ngorbanin istri orang demi seminar senior sepuh.
Tapi, misuh-misuh Ryan belum terlalu parah hingga kemudian di saat yang masih santai dengan kekehan yang tetap terdengar, mendadak saja cowok itu melihat sesuatu yang membuat matanya melotot seketika. Itu adalah ketika Ryan melihat bagaimana justru Nathan di depan sana yang mengangkat tangan sedikit dan berkata.
"Kalau saya yang bertanya boleh nggak ya, Pak?"
Suwanto dan Rahmat tertawa.
"Kok pembimbing malah mau nanya sih?" tanya Rahmat.
Suwanto mengangkat tangan. Jari telunjuknya bergerak-gerak menunjuk. "Ini mah alasan."
Perkataan Suwanto membuat keriuhan ruangan itu semakin menjadi-jadi. Terutama karena para mahasiswa yang ada malah terdengar mengompori mereka. Membuat Ryan rasa-rasanya ingin menelan Abid di sebelahnya. Bukannya apa ya. Soalnya di saat seperti itu Abid justru memberikan komentar yang membuat Ryan semakin mendidih darah mudanya.
"Udah terang-terangan banget ini mah serangan Pak Nathan ke Bu Vanessa. Ckckckck. Kalau dilihat dari situasi, sepertinya agak mustahil kalau kita nggak ngeliat undangan atas nama mereka berdua dalam waktu dekat."
"Sreeet!"
Ryan menoleh dan menatap Abid dengan tajam hingga membuat cowok itu mengerutkan dahi. Sedikit ngeri dengan aura Ryan.
"Ka-kamu kenapa, Yan?" tanya Abid sedikit was-was. "Sembelit atau ambien atau wasir atau susah pup?"
"Sreeet!"
Ryan kembali menoleh ke depan. Tapi, tak menghiraukan jejak-jejak tawa yang masih tersisa, Ryan kali ini justru membuat Abid yang menoleh padanya. Tepat ketika Ryan berseru seraya mengangkat tangannya.
"Saya mau bertanya, Pak!"
Abid mengerjap-ngerjap.
Tipe orang sebangsa Ryan yang suka duduk di belakang, eh justru mendadak angkat tangan? Wah wah wah! Emang efek sayembara foto bareng Bu Vanessa benar-benar ampuh.
Di depan sana, keempat orang dosen segera menghentikan tawa dan menoleh ke sumber suara. Termasuk pula dengan Intan dan Surya. Dan ketika itulah Vanessa melotot tak percaya.
Vanessa mengerjap-ngerjapkan matanya. Ingin mengucek mata, eh dia malu. Tentu saja itu tidak terlihat elegan di hadapan orang-orang. Sekuat tenaga ia bertahan untuk tidak melakukan tindakan yang akan menarik kecurigaan orang-orang di sana. Tapi, tak urung juga dahinya mengerut heran.
Itu Ryan?
Astaga.
Beneran dia?
Ya Tuhan.
Ini Ryan sebenarnya manusia atau makhluk halus sih?
Kok perasaan dia ini ada di mana-mana.
Dari yang di kelas, di lab, eh sampai di ruang multimedia pun dia ada.
Wah wah wah!
"Mau bertanya?" tanya Suwanto pada Ryan. Seolah ingin meyakinkan kembali pendengarannya tadi.
Ryan mengangguk mantap. "Iya, Pak."
"Tuh kan!" kata Rahmat bangga. "Karena Bu Vanessa akhirnya kita dapat satu penanya. Silakan moderator."
Ucapan Rahmat membuat wajah Vanessa memerah. Sebisa mungkin ia berusaha untuk menatap ke arah lain, alih-alih pada Ryan yang ternyata melirik pada dirinya dari tadi.
Itu cowok! geram Vanessa di dalam hati.
Intan tersenyum. "Silakan perkenalkan nama dan sebutkan pertanyaannya."
Mengabaikan beberapa mata yang melihatnya, terutama mata Vanessa, Ryan mencoba untuk fokus mengalihkan matanya pada Surya.
"Perkenalkan nama saya Rizki Adryan Wicaksana dengan NIM A1A017017," kata Ryan. Ia menarik napas sekilas sebelum bertanya. "Sebelumnya saya mengucapkan selamat karena Saudara Surya yang sudah melaksanakan seminar hasilnya, semoga saya bisa menyusul secepatnya. Aamiin ..."
"Eh?"
Tawa sontak meledak di ruangan itu karena mendengar perkataan Ryan.
"Biasanya itu orang kan ngomong: semoga lancar hingga sidang skripsi. Ini kok malah semoga saya bisa menyusul secepatnya?"
"Hahahaha."
Abid tergelak-gelak sementara Ryan mendehem.
"Itu doa, Pak ..., Bu," kata Ryan kemudian. "Maaf kalau saya kelepasan."
"Iya iya."
"Nggak apa-apa."
"Silakan dilanjutkan."
Ketiga orang dosen itu manggut-manggut seraya tersenyum geli sementara Vanessa hanya memilih menghirup napas dalam-dalam. Diam dan tak berkomentar apa pun. Hanya mengamati situasi saat itu.
"Judul Saudara adalah Keragaan 15 Hibrida Cabai di Tanah Ultisol. Dan yang ingin saya tanyakan adalah apa landasan Saudara menggunakan kapur dolomit dalam pengolahan tanah awal? Juga saya ingin menanyakan di bagian hasil dan pembahasan, di tabel 4.2 di mana ada rekapan hasil analisis data. Yang ingin saya tanyakan adalah apa maksud dari bintang satu, bintang dua dan bintang tiga pada hasil analisis data tersebut?" Ryan mengangguk sekali. "Itu saja, terima kasih."
Intan selesai menulis pertanyaan itu dan memutar pandangannya lagi.
"Apa ada yang mau bertanya lagi?"
Untuk beberapa saat hening, hingga kemudian Inta berkata.
"Baiklah. Karena tidak ada lagi yang ingin bertanya maka langsung saja saya persilakan kepada Saudara Surya untuk menanggapi pertanyaan dari Saudara Rizki."
Surya tampak bangkit dari duduknya. "Terima kasih kepada Saudara Rizki untuk pertanyaannya," ujar Surya kemudian. "Untuk pertanyaan pertama adalah mengapa saya menggunakan kapur dolomit dalam pengolahan tanah? Itu karena seperti yang kita ketahui bahwa tanah ultisol adalah tanah yang kekurangan unsur P di dalam tanah. Yang mana P adalah hara makro yang dibutuhkan oleh tanaman untuk bisa tumbuh dengan bagus. Maka karena itulah saya melakukan pengapuran dalam proses pengolahan tanah agar hasil yang didapatkan menjadi lebih maksimal."
Ryan manggut-manggut mendengar jawaban Surya.
"Selanjutnya, bintang satu, bintang dua, dan bintang tiga itu maksudnya adalah untuk menunjukkan bahwa perlakuan tersebut memang memberikan pengaruh yang nyata pada tanaman. Dengan kata lain, ada perbedaan yang signifikan antara hibrida yang diuji berdasarkan tanah ultisol tersebut."
Ketika Surya selesai memberikan jawabannya, Intan menoleh pada Ryan yang terlihat sudah menatap dirinya.
"Bagaimana Saudara penanya? Apakah ada pertanyaan yang belum dijawab oleh Saudara Surya?"
"Sudah dijawab semua. Tapi, maaf, Moderator. Saya belum puas dengan jawaban yang diberikan."
"Sreeet!"
Ryan kembali berhasil mencuri perhatian seluruh mahasiswa di sana.
"Saya tau apa fungsi dari penggunaan kapur dolomit pada tanah. Tapi, yang jadi pertanyaan saya sebenarnya adalah apakah penggunaan kapur di sini tidak membiaskan penelitian Saudara?" tanya Ryan kembali.
Abid mengerjap-ngerjapkan matanya.
Ini anak kenapa yang mendadak segini ngototnya buat nanya? Ini salah makan atau mendadak kerasukan makhluk halus penghuni Gedung Jurusan sih sebenarnya?
"Sementara tujuan Saudara adalah untuk menentukan hibrida yang paling toleran terhadap tahah ultisol. Kalau Saudara menggunakan kapur dolomit, bukankah itu artinya semua hibrida bisa tumbuh dengan sama bagusnya? Bukankah kalau kita ingin mencari hibrida yang memang toleran kekurangan P, seharusnya kita biarkan saja tanah itu seperti apa adanya?"
Surya terlihat membaca makalahnya. Walaupun Ryan sudah bisa menebak. Tidak ada jawaban pertanyaannya di makalah tersebut.
"Selanjutnya," kata Ryan kemudian. "Kalau memang bintang satu, bintang dua, dan bintang tiga hanya untuk menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh pada tanaman, mengapa jumlah bintangnya bisa sampai berbeda? Atau kenapa nggak sekalian saja tulis ada bintangnya sepuluh kalau nggak ada beda sama sekali?"
Perkataan Ryan seketika langsung membuat para mahasiswa di sana tergelak kompak.
"Hahahaha."
Ryan hanya melongo melihat tawa yang pecah di ruangan tersebut. Membuat cowok itu garuk-garuk kepala. Ia menoleh pada Abid dan berkata dengan wajah polos.
"Yang aku bilang bener loh, Bid."
Abid hanya cengar-cengir. "Kamu ini emang hobi banget jadi bahan tertawaan sekelas akhir-akhir ini, Yan. Hahahaha. Berasa malu aku punya temen kayak kamu. Tapi, mau gimana lagi ya? Kayaknya aku udah ketularan nggak ada malu kayak kamu."
Ryan meringis. Lalu ia justru mengatupkan mulutnya dengan rapat dengan benak yang bertanya-tanya.
Kan yang aku bilangin bener loh.
Lalu, ketika tawa itu belum berhenti, mendadak saja terdengar suara halus yang menginterupsi.
"Memangnya ada yang salah ya dengan yang Ryan katakan?"
"Sreeet!"
Tawa terhenti dan semua menatap ke arah sumber suara.
Vanessa.
Wanita itu terlihat mengangkat satu tangannya untuk merapikan sedikit rambutnya yang tampak melonggar dari jepitnya. Lalu ia berkata.
"Saya yakin bahwa yang dikatakan Ryan itu benar. Kalau bintang hanya sekadar menunjukkan ada pengaruh atau tidak, lantas apa dasar Saudara memberikan jumlah bintang yang berbeda? Ada satu, ada dua, dan ada tiga?"
Surya meneguk ludahnya. Sementara di tempat duduknya Ryan tercengang tak percaya.
Ya Tuhan.
Ini beneran?
Vanessa yang biasanya jadiin aku bahan tertawaan di kelas justru ngebela aku kali ini?
Hiks.
Ryan terharu dengan mata yang berbinar-binar.
"Ehm .... Maaf, Bu," kata Nathan kemudian bersuara. "Yang bertanya tadi sepertinya Rizki."
Mata Ryan menyipit.
Ini cowok nyari alasan aja ya buat ngobrol sama Vanessa?
Lagi perkara nama aku aja bisa jadi bahan buat dia ngobrol sama Vanessa.
Vanessa melirik sekilas pada Nathan. "Rizki Adryan Wicaksana itu nama panggilannya Ryan, Pak."
Jawaban tegas dari Vanessa membuat Ryan sekejap mata langsung menegapkan punggungnya. Mengangkat dagunya. Menyugar sedikit rambutnya. Lalu matanya melirik ke sekeliling. Melirik dengan tatapan sombong.
Apa lo apa lo?
Pada heran kan Vanessa tau nama panggilan aku?
Ya iyalah dia tau nama panggilan aku.
Malah pernah gitu manggilnya sambil rada manja karena takut sama setán.
Hahahaha.
Kembali beralih pada Surya, Vanessa kembali berkata. "Dan saya sependapat dengan apa yang dikatakan Ryan ..."
Wah!
Ryan tersenyum semakin lebar di tempat duduknya. Membuat Abid jadi ketakutan.
Aku khawatir bentar lagi wasir Ryan makin gede ini mah. Beneran bakal tambah parah.
"... kalau ingin melihat potensi tanaman di tanah ultisol, mengapa harus dilakukan pengapuran? Kalau begitu sama saja kan dengan hibrida lainnya? Jadi apa dong bedanya antara hibrida ini dengan hibrida yang telah dilepas di pasaran?" Vanessa menarik napas dalam-dalam. "Dan saya justru bertanya-tanya, ini benar analisis data kamu sampai menghasilkan tiga bintang? Tiga bintang itu toleransi errornya sebesar 0,1% dan itu biasanya digunakan untuk ilmu kedokteran. Pertanian? Pakai 0,1%?" Vanessa geleng-geleng kepala dan beralih pada semua mahasiswa di sana. "Itu maksud pertanyaan dari Ryan tadi yang sebenarnya."
Di saat semua mahasiswa di sana manggut-manggut mendengar penjelasan Vanessa, di saat itu pula Ryan merasa hatinya yang berbunga-bunga. Ada bunga mawar, bunga melati, semuanya indah.
Hiks.
Dia ngebela aku di hadapan semua orang.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro