Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

17. Tak Dapat Dipercaya

Jangankan dua kantung belanjaan, dua anak gajah pun sepertinya sanggup Ryan bawa saat itu. Efek dari perasaan senang mendengar gunjingan orang di warung pecel lele tadi sih. Ehm, gunjingan bukannya ya namanya? Soalnya Ryan sedikit bingung. Orang di warung pecel lele tadi kan memang membicarakan mereka, tapi yang dikatakan justru hal yang membuat perasaannya menjadi melayang seketika. Terbang ... jauh ... sampai ke langit gelap sana.

"Yan!"

Ryan tersentak dari lamunannya karena seruan dan tarikan tangan Vanessa. Wanita itu terlihat mengerutkan dahi.

"Kamu mau balik jalan kaki atau gimana sih?"

Ryan mengerjap-ngerjapkan matanya. Lalu melihat sekeliling dan baru tersadar bahwa saat itu dia hampir saja menyeberang dengan dua kantung belanjaan di masing-masing tangannya.

"Kalau kita balik jalan, terus motor kamu gimana?" tanya Vanessa bingung.

"Ha ha ha ha."

Ryan segera putar badan dan menghampiri motornya. Meletakkan sejenak kantung belanjaan itu di tanah, Ryan berkacak pinggang. Bingung.

Vanessa melirik Ryan. "Susah banget loh punya motor gede. Nggak cocok banget buat bawa barang belanjaan segini banyak."

Ryan manggut-manggut. "Terus kamu mau aku ganti mobil gitu?"

"Eh?"

Ryan menoleh. "Kalau iya, aku bakal ganti mobil. Tapi, dengan syarat."

Vanessa bingung. "Syarat?"

"Iya." Ryan mengangguk. "Ntar kamu temeni aku sambil teriak: Senen, Sahari, Kota! Ayo, Neng! Mau ke mana?"

Vanessa melongo. "Itu angkot."

"Angkot juga mobil, by the way," ujar Ryan cengar-cengir.

Bola mata Vanessa berputar dengan malas. "Tapi, ini gimana kita balik? Lagian ya, nggak harus juga kamu ganti mobil biar bisa bawa belanjaan kayak gini."

"Terus? Ganti becak?"

Vanessa mendengus. "Kamu ganti motor matic juga bisa kali, Yan. Malah lebih enak kalau bawa belanjaan kayak gini."

"Eh? Ogah!" tukas Ryan. "Masa kuda aku yang segagah ini mau ganti matic." Ryan geleng-geleng kepala. "Nggak ah."

"Lagian kan enak pake matic juga. Kamu nggak perlu capek-capek."

Ryan kembali geleng-geleng kepala. Tak menghiraukan orang yang lalu lalang di sekitaran mereka, ia kembali bersuara.

"Kamu nggak tau kenapa aku nekat mau pake motor ini?" tanya Ryan menepuk jok motornya.

Bingung, Vanessa menjawab seadanya. "Biar kamu kelihatan keren kan? Biar mudah nyari cewek."

Jawaban Vanessa membuat bibir bawah Ryan langsung maju. "Sembarangan aja kalau ngomong. Perlu kamu tau ya, aku paling males yang namanya pacaran."

"Ehm ... masa?" Raut wajah Vanessa menunjukkan ketidakpercayaan.

"Serah deh kalau nggak percaya. Dan buat kamu tau aja ya, aku itu orangnya suka ketiduran."

"Terus hubungannya dengan matic?"

"Naik matic cuma tangan kanan doang yang kerja. Dulu, aku pernah kecelakaan gara-gara ketiduran di atas motor."

"Eh?" Mata Vanessa melotot. "Yang bener?"

Ryan mengangguk. Ia membungkukkan badannya pada Vanessa. Mengangkat sedikit wajahnya di hadapan gadis itu. Menunjukkan bekas luka di bawah dagunya.

Vanessa menunduk. Meraih dagu Ryan. Melihat bekas luka itu dengan lebih dekat lagi.

"Wah wah wah! Mereka bukannya yang mau ciuman di pinggir jalan kan ya?"

Baik Vanessa maupun Ryan saling mengerjapkan mata mendengar perkataan itu. Dengan salah tingkah, Vanessa menjauhkan diri. Begitu pula dengan Ryan yang dengan kaku langsung menunjuk ke motor.

Wajah keduanya terlihat sama merahnya sementara orang-orang yang melihat mereka tampak cekikikan menahan geli. Ryan mendehem.

"Ki-kita coba dulu. Mudah-mudahan bisa deh."

Ryan beranjak ke motornya. Menyalakannya dan menatap bergantian antara Vanessa dan juga belanjaan mereka. Berulang kali sementara otaknya berusaha menemukan solusi untuk masalah mereka saat itu.

Ah ....

Mungkin itu alasan mengapa ketika bekeluarga rata-rata cowok langsung berganti motor.

*

Sesaat setelah Vanessa mendorong pintu unit apartemen mereka agar terbuka, gadis itu menatap Ryan. Cowok itu menatap bingung pada Vanessa dengan wajah yang memerah karena mengangkat dua kantung belanjaan yang berat itu. Heran mengapa Vanessa tidak benar-benar membuka pintu itu.

"Sa ..., ntar aku kelepasan pup di sini loh. Ini berat soalnya."

Mata Vanessa berkedip-kedip. "Aman kan, Yan?"

Ya elah.

Ini pasti gara-gara setán.

Dasar Setán!

Ryan mengangguk.

"Tenang aja. Selagi kita tenang, damai, dan nggak pake acara ribut-ribut, setannya nggak bakal nongol kok."

Lalu Vanessa membuka pintu itu. Langkah kaki cewek itu sedikit pelan, tapi ketika ia menyadari Ryan yang langsung melaju masuk, mau tak mau Vanessa dengan cepat menutup pintu dan menyusul Ryan.

Cowok itu dengan napas terengah-engah meletakkan belanjaan mereka di kitchen island. Lalu justru membuka pintu kulkas dan mengambil minum. Hal itu tak luput dari perhatian Vanessa.

"Katanya sih sering nyangkul di depot, tapi bawa ginian aja udah ngos-ngosan," ejek Vanessa seraya mengeluarkan semua barang belanjaan mereka.

Ryan meneguk air sepuasnya, baru ia berkata. "Nyangkul dengan bawa barang belanjaan tuh beda. Ini bukan masalah berat atau ringannya. Tapi, masalahnya adalah telapak tangan aku pedih gara-gara kantung plastiknya." Ryan melihat kedua telapak tangannya. Menunjukkan pada wanita itu. "Tuh kan. Jadi merah gini."

Vanessa mencibir saja seraya melihat-lihat semua hasi belanjaan mereka. Sementara Ryan duduk di kitchen island, Vanessa dengan serta merta merapikan semua barang-barang itu di tempat yang seharusnya.

Ia memasukkan daging dan ayam di freezer. Sementara untuk sayuran hijau, Vanessa justru mengeluarkannya dari kemasan. Setelah itu, Vanessa beranjak sejenak dari dapur.

Semula Ryan pikir Vanessa meninggalkan saja pekerjaannya seperti itu tanpa menyelesaikannya dan hal itu hampir membuat ia berseru untuk memprotes. Tapi, sejurus kemudian Vanessa kembali lagi dengan beberapa lembar kertas koran dan satu spidol. Dengan telaten Vanessa membungkus sayuran itu dan menulis nama sayurannya. Kemudian baru ia menyimpan sayuran itu di rak bawah kulkas.

"Perlu banget ya dibungkus koran dan ditulis nama?"

Vanessa beranjak mengambil aneka makanan beku tadi. "Aku tau sih. Kalau nggak salah mata kuliah Panen dan Pasca Panen kamu dapat C kan?"

"Uhuk!"

Ryan tersedak minumnya.

"Aku nggak heran kalau kamu jadi nggak tau cara nyimpan sayuran yang baik itu gimana," tukas Vanessa. "Itu untuk memperpanjang usia simpannya aja sih. Terus juga itu aku tulis biar ntar kalau kamu mau masak, kamu juga nggak perlu bongkar-bongkar semua kertas itu. Tinggal baca dari luar sayuran mana yang kamu mau."

Ryan mencibir.

Tak menghiraukan Ryan, wanita itu kemudian menyimpan beberapa camilan di kabin dapur. Dan yang terakhir, Vanessa menyimpan buah-buahan pula di dalam kulkas. Melipat kantung plastik, Vanessa kemudian berkata seraya menyimpan kantung plastik itu di dekat rak piring.

"Udah semua kan? Kalau udah aku mau tinggal nih."

Buru-buru Ryan bangkit dari duduknya. "Kamu mau ke mana?"

"Ya ke kamar dong," jawab Vanessa dengan cepat.

Ryan bermaksud untuk mengatakan sesuatu, namun keburu Vanessa sudah berlalu dari sana. Meninggalkan dirinya seorang diri. Namun, beberapa saat kemudian, Ryan pun beranjak ke kamarnya.

Ryan menghabiskan waktu malamnya dengan membuka laptop dan menonton film di sana. Ketika jam nyaris menunjukkan jam sepuluh malam, Ryan merasa menonton film tanpa didampingi camilan adalah hal yang menyedihkan. Dan teringat dengan banyaknya camilan yang mereka beli tadi, Ryan dengan semangat pergi ke dapur.

Cowok itu baru saja sampai ke ambang pintu ketika mendapati Vanessa yang keluar dari dapur. Di tangannya, gadis itu membawa secangkir kopi hitam.

"Eh? Malam-malam gini minum kopi?" tanya Ryan.

Vanessa melengos saja seraya bergumam. "Justru kopi itu dibutuhkan pas malam. Kalau pagi apa gunanya kopi?"

Ryan mengerjap-ngerjapkan matanya. Mengangkat bahunya sekilas dan beranjak membuka kabin dapur. Ketika ia meraih sebungkus keripik kentang, di saat itulah ia menyadari sesuatu.

"Kami tadi itu ngeborong kopi atau gimana ceritanya ya?"

Di dalam kabin, berbagai macam merk kopi tersusun dengan begitu rapi.

*

Total ada dua film yang selesai ditonton oleh Ryan malam itu. Tepat ketika jam menunjukkan setengah satu dini hari, cowok itu menguap seraya memadamkan laptopnya.

Bangkit dari tempat tidur, Ryan menaruh kembali laptop itu ke atas meja belajarnya. Ia membersihkan remah-remah keripik dari atas kasur dan beranjak keluar seraya membawa plastik keripik tadi untuk dibuang di tempat sampah. Sekalian ke kamar mandi juga sih.

Ketika melewati kamar Vanessa, Ryan tertegun sejenak. Melihat cahaya terang dari bawah pintu.

"Dia belum tidur?" tanya Ryan pada dirinya sendiri. "Apa udah tidur? Ehm ..., tapi perasaan dia kan tidur selalu padam lampu."

Termenung beberapa saat di depan pintu kamar Vanessa, pada akhirnya cowok itu tetap memilih untuk tak mengusik Vanessa. Ia masuk ke kamarnya dan langsung tidur.

Sementara itu, di kamarnya Vanessa masih berkutat di depan laptop. Matanya mengerjap perih di balik lensa kacamata anti radiasi yang ia kenakan.

Tangannya terulur, meraih cangkir kopinya. Tapi, ketika cangkir itu menyentuh bibirnya ia baru menyadari kalau isinya telah habis. Membuat gadis itu menghela napas panjang.

Vanessa melihat powerpoint yang baru saja ia kerjakan dan berjuang untuk tetap membuka mata hingga ia benar-benar merasa tak ada kekeliruan di sana. Sejurus kemudian, ia menyimpan file tersebut.

Vanessa menguap. Memadamkan laptopnya dan serta merta langsung merebahkan tubuhnya yang terasa letih di atas tempat tidur. Tak butuh waktu lama untuk gadis itu jatuh terlelap dalam tidurnya.

Pagi harinya, Vanessa tersentak seketika dari atas kasur. Langsung terduduk dan otomatis melihat ke jam dinding.

Sial!

Udah jam enam?

Vanessa dengan terburu-buru pergi ke dapur tanpa memedulikan penampilannya seperti apa. Sesampainya ia di dapur, ia melihat magic com yang kabelnya tidak dicolok. Cukup menjadi bukti bahwa tak ada nasi di dalam sana. Lagipula, memangnya kemaren ada yang menggunakan alat itu?

Dengan kaki yang sedikit menjinjit, Vanessa membuka pintu kabin. Mengambil satu plastik roti tawar. Bermaksud untuk menikmati roti tawar dengan selai coklat, Vanessa justru mendapati segel botol selai itu yang terlalu kuat. Gadis itu meringis seraya menyisihkan selai itu. Menyerah.

Beranjak ke kulkas, Vanessa kemudian mengeluarkan sosis dan sebuah timun. Tanpa basa-basi wanita itu menggoreng sosis sementara ia mengiris timun yang sebelumnya ia cuci di wastafel.

Tak butuh waktu lama, Vanessa kemudian menata sosis goreng dan timun di selembar roti. Menuangkan saos dan mayonaise di atasnya sebelum ia menutupnya dengan roti lainnya.

"Kreeek!"

Vanessa menoleh. Mendapati Ryan yang keluar dari kamar mandi. Tapi, untungnya pagi itu Ryan mengenakan pakaian yang lengkap. Karena kalau tidak, Vanessa pikir ia akan melempar kepala Ryan dengan botol kaca mayonaise kali ini.

Ryan mendekati Vanessa. Melihat apa yang Vanessa buat.

"Apa ini?"

"Sarapan," kata Vanessa seraya mengecup saos yang menempel di ujung jari jempolnya. "Kamu mau?"

Ryan meneguk ludah melihat makanan yang Vanessa bilang sarapan itu. Lantas, ia menggeleng.

Tak menghiraukan Ryan, Vanessa lantas merapikan semua peralatan yang ia gunakan dan langsung mengambil roti isi yang ia buat. Langsung memakannya.

Ryan mengerutkan dahinya. "Beneran itu sarapan kamu? Roti tawar pake saos dan sosis?"

Dengan mulut mengembung Vanessa berkata. "Ini roti isi."

Ryan geleng-geleng kepala. Dan hanya bertopang dagu melihat Vanessa yang makan dengan keadaan yang ... Ryan melotot.

Ia baru menyadari penampilan Vanessa pagi itu.

Apa dia sadar gimana penampilan dia sekarang? tanya Ryan di dalam hati.

Dan bukannya tanpa alasan Ryan sampai bertanya-tanya seperti itu. Yah, memang sih kemaren dia juga tampil dengan keadaan yang memalukan di hadapan Vanessa. Pakai celana dalam doang, tapi Vanessa?

Ehm ... cewek itu masih berpakaian lengkap sih. Tapi, seumur-umur Ryan baru sekali itu melihat Vanessa dengan mengenakan gaun tidur sementara rambut panjangnya terikat dengan asal hingga awut-awutan di atas kepala. Dan sebagai pelengkap, ada kacamata yang hampir melorot dari hidungnya.

Ryan termenung melihat Vanessa dan lamunannya buyar ketika melihat bagaimana lidah gadis itu keluar dan menjilat sisa mayonaise di sudut bibirnya.

Glek.

Kok aku berasa pengen makan mayonaise juga sepagi ini?

Vanessa menyudahi sarapan kilatnya. Ia lantas mencuci tangannya dengan cepat dan minum segelas air putih. Tanpa kata-kata, di detik selanjutanya ia langsung berlari menuju ke kamarnya.

Ditinggal sendirian oleh Vanessa membuat Ryan menghela napas panjang.

Kepalang ngeliat dia sarapan, aku sekalian aja buat sarapan untuk aku deh.

Ryan lantas mengeluarkan sepapan mie telur. Merebus mie itu sementara ia mengeluarkan wortel, kol, telur, dan sosis. Dengan penuh ketelatenan Ryan mengiris bawang, cabe, dan daun bawang di telenan.

Sekitar sepuluh menit kemudian, semua bahan itu telah tercampur di wajah dan Ryan mengaduk-aduknya hingga rata. Tepat ketika ia memadamkan kompor, Ryan mendengar suara sedikit gaduh. Seketika saja membuat cowok itu meninggalkan masakannya.

Ia keluar dari dapur dan mendapati Vanessa yang telah berpakaian rapi terlihat memperbaiki sepatu hak di kaki kirinya. Ryan tercengang ketika Vanessa pergi tanpa menoleh ke belakang sedikit pun. Mungkin mengira tak ada Ryan di sana.

Mata Ryan mengerjap.

Dia cuma butuh waktu lima belas menit buat siap-siap ke kampus?

Wah!

Lebih cepat dari aku.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro