Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

16. Omongan Orang

Di dadá Ryan, wajah Vanessa yang tenggelam bergetar karena tawa. Padahal di saat itu Ryan justru terlihat akan mengeluarkan taring dan tanduknya untuk menghajar dua orang remaja cewek itu. Bahkan Vanessa sampai bisa merasakan tubuh Ryan yang menegang. Hingga pada akhirnya Vanessa mengelus dadá Ryan tanpa sadar.

"Hahahaha. Kamu nggak kepikiran buat narik mereka terus ngegantung mereka hidup-hidup kan ya?"

Ryan mendengus dengan cemberut. Lalu melepaskan diri dari Vanessa yang masih ketawa.

Berusaha untuk menyingkirkan emosinya, Ryan dengan tanpa pertimbangan memasukkan berbagai jenis sayuran ke troli. Hingga troli itu akhirnya penuh dan menggunung. Hasilnya ya Ryan yang sedikit kesusahan mendorongnya. Dan itu membuat Vanessa semakin merasa lucu.

Sampai mereka berdua keluar dari supermarket itu, Ryan ternyata masih saja misuh-misuh sementara Vanessa masih tertawa geli. Ryan merasa tidak terima bila dikatakan seperti itu loh. Dan naas, ketika Ryan membawa dua kantung belanjaan mereka, eh mereka ketemu lagi dengan dua orang remaja cewek itu yang ternyata sama-sama menuju ke parkiran.

"Dih! Cuma bawa belanjaan gitu aja udah manyun sepuluh sentimeter itu mulut suami."

"Amit-amit ya. Mudah-mudahan ntar aku dapat suami nggak kayak dia."

"Bener banget. Jangan cari yang cuma cakep muka aja."

"Iya iya iya. Percuma muka cakep kalau sama istri nggak pengertian."

"Sedih banget aku ngeliat istrinya. Sumpah."

"Mudah-mudahan aja si Mbaknya bisa sabar ngadepin suami kayak gitu."

Wajah Ryan sudah tidak tau bentuk lagi ketika mendengar percakapan itu. Rasanya itu cowok benar-benar bersiap untuk menyeret dua orang remaja cewek itu untuk ditenggelamkan di akuarium terdekat. Atau kepalang mungkin Ryan ingin meminjam pisau daging dan langsung menjagal keduanya.

Sembarangan aja ngevonis aku. Kenal nggak tau nggak, eh tapi ngerasa sok ngerti tentang aku.

Tapi, di saat Ryan semakin mengelam, eh ternyata ada loh orang yang justru bahagia karena hal tersebut.

"Hahahaha."

Vanessa tergelak begitu kencang ketika menyadari bagaimana ucapan itu membuat murka Ryan. Hingga perut wanita itu terasa sakit sementara matanya berair. Mendapati itu, Ryan hanya bisa terbengong tak percaya.

"Wah! Aku seneng deh kalau ini lucu buat kamu. Seneng banget ngeliat kamu bisa ketawa selepas ini."

"Hahahaha." Vanessa berusaha untuk menghentikan tawanya, tapi sulit sekali. "Emang menurut kamu ini nggak lucu?"

"Hah?"

"Hahahaha." Vanessa meneguk ludahnya. Berusaha untuk menekan sedikit saja rasa geli di perutnya."Makanya lain kali sama istri itu yang pengertian. Percuma dong punya muka cakep kalau sama istri nggak pengertian. Beruntung banget aku ini tipe istri yang sabar untuk ngadepin suami kayak kamu."

Ada dua beban yang sama beratnya di kedua tangan Ryan, lalu ada dua orang remaja cewek yang usil mengomentari dirinya, dan sekarang, cewek yang ia nikahi yang sering berkata galak padanya justru bisa tertawa lepas saat melihat dirinya jadi bahan pergunjingan orang yang tak dikenal. Semuanya sudah cukup membuat Ryan merasa perutnya semakin lapar.

Cowok itu terlihat gusar dan berjalan dengan langkah kesal.

"Udah! Aku mau nyari makan aja! Puas-puasin deh kamu ketawa di sini sampe pagi."

Vanessa menyusul langkah kaki Ryan yang menuju ke parkiran. Cewek itu berkata dengan geli.

"Dih! Ngambek. Katanya udah dewasa, tapi gitu aja ngambek. Hahahaha."

Rasa-rasanya isi kepala Ryan sedang dalam tahap untuk mendidih sekarang ini.

Kok ya malam ini mendadak aku kena olok sih? Dari yang dikomentari sama orang nggak dikenal, eh sekarang malah diketawai istri sendiri di tempat umum.

Ck.

Ehm ... apa ini balasan karena aku ngibulin dia soal setán tadi ya?

Ryan mendengus. Menganggap dua hal itu tidak berhubungan sama sekali dan tetap melajukan kakinya dengan cepat sementara Vanessa mengekori dirinya dari belakang. Wanita itu terlihat mengimbangi langkah lebar Ryan dengan berjalan seraya melompat-lompat kecil. Tangannya bertepuk pelan demi mengompori cowok itu.

"Cakep cakep nggak pengertian. Cakep cakep suka ngambekan. Hihihihi."

Lalu, mendadak saja Ryan menghentikan langkah kakinya. Tepat di motornya sih sebenarnya. Kedua tangannya melepas kantung belanjaan mereka dan cowok itu membalikkan badan. Melihat pada Vanessa yang masih terkikik geli.

Ryan berkacak pinggang. "Aku baru sadar sesuatu deh."

Tangan Vanessa mengusap kedua matanya yang basah. Masih dengan bibir yang tersenyum lebar, ia bertanya.

"Sadar apa?"

Ryan mencondongkan tubuhnya pada Vanessa. "Ternyata di mata kamu aku keliatan cakep juga."

Seketika saja kikik geli Vanessa hilang entah ke mana. Tergantikan langsung dengan longoan yang membuat ia terlihat seperti sedang kerasukan roh halus.

"Ya?"

Tangan Ryan mengusap ujung dagunya. Sudut bibirnya naik satu, menyeringai. "Emang sih. Nggak mungkin banget kamu sampe nggak ngeliat pesona aku. Ck." Ryan mengedipkan matanya dengan menggoda. "Sejak kapan kamu mulai terpesona sama aku?" Mata Ryan membesar. "Sejak kamu ngeliat aku pake celana dalam aja?"

"Eh?"

"Atau sejak ngeliat aku pake handuk aja?" Kali ini Ryan yang terkikik geli. "Keliatan kayak model kan ya?"

"Iya! Model majalah Trubus," tukas Vanessa.

"Cie ... yang terpesona sama kecakepan aku. Hihihihi."

Mata Vanessa mengerjap-ngerjap, berniat untuk tidak meladeni lagi omongan Ryan. Lalu tangannya terangkat ke satu titik.

"Buruan makan deh sebelum kamu tambah stres. Di sana ada warung pecel lele kayaknya."

Ryan mencibir. "Dih! Cakep cakep gengsian. Cakep cakep malu ngungkapin perasaan."

"Perasaan perasaan ..., perasaan aku kamu mendadak makin nyebelin ya?"

"Hahahaha. Cie cie cie ...." Ryan tergelak-gelak seraya merogoh kontak motor dari dalam saku celananya. "Cakep cakep bisa merah juga mukanya."

"Udah ah! Kamu mau makan nggak?" tanya Vanessa kemudian dengan wajah yang semakin memerah.

"Cakep cakep ternyata perhatian juga ya. Hihihihi," goda Ryan lagi seraya naik ke atas motor. Dan ia berkata. "Wahai cakep cakep, ayoh kita makan pecel lele."

Vanessa sih sebenarnya tidak mau, tapi entah mengapa perkataan Ryan itu membuat ia tertawa.

*

"Mari mari, Mas ..., Mbak .... Ini masih ada bangku kosong."

Seorang Bapak tampak menyambut kedatangan Ryan dan Vanessa dengan begitu ramah. Bapak tukang pecel lele itu terlihat menyapa mereka seraya mengelap meja yang baru saja ditinggalkan oleh pelanggán sebelumnya. Membersihkannya dengan begitu cepat.

"Ini bangku kosongnya."

Vanessa melangkah di depan Ryan sementara cowok itu masuk seraya menenteng belanjaan mereka. Bukannya apa, daripada isinya ada yang hilang karena ditinggal di pinggir jalan kan?

Vanessa duduk. Dan selagi Ryan menyusun belanjaan mereka di bawah, cowok itu terdengar.

"Sa ..., hati-hati. Terakhir kali ada yang duduk di bangku kosong, dia sering digangguin makhluk halus. Harusnya sih bangku kosong itu diletakin di pojok kelas. Nggak tau ini kenapa malah diletakin di depan gini."

Mata Vanessa melirik pada Ryan yang duduk di sebelahnya. "Itu film. Lokasi kejadian di kelas. Bukan di tenda pecel lele pinggir jalan."

"Hehehehe. Ternyata kamu tau ya?" tanya Ryan menggoda. "Kirain kamu nggak pernah nonton."

Vanessa tak menghiraukan godaan Ryan. Ia justru sibuk membaca menu yang ada di atas meja.

Tukang pecel lele menghampiri mereka. "Pesan apa?"

"Saya mau ayamnya aja, Pak. Paha yang krispi," jawab Vanessa.

"Paha yang krispi?"

Di luar dugaan Ryan mengomentari pesanannya.

"Paha mah bukan krispi, Sa. Tapi ---"

Vanessa melotot.

Tukang pecel mengulum senyum.

Dan Ryan akhirnya cengar-cengir.

"Kalau saya mau lelenya, Pak. Ya masa masuk ke tenda pecel lele malah pesen ayam. Kan nggak lucu."

"Hahahaha."

Tukang pecel lele tertawa.

"Ada yang lain? Minum? Sayur?"

Vanessa menjawab. "Es teh aja, Pak."

"Saya juga sama, Pak. Es teh yang nggak panas ya?"

"Hahahaha."

Vanessa menoleh lagi pada Ryan.

"Ya kan bener kali, Sa. Es teh nggak panas." Mata Ryan berkedip-kedip. "Ehm, sama cah kangkung udangnya ya, Pak."

Pesanan mereka telah dicatat dengan lengkap oleh Bapak itu dan dia permisi untuk menyiapkan pesanan mereka.

Sementara menunggu, Vanessa dan Ryan sama-sama mengeluarkan ponsel mereka. Melihat-lihat pesan atau berbagai sosial media yang mereka ikuti. Dan ketika itulah Vanessa baru menyadari bahwa aplikasi Whatsapp miliknya sudah penuh dengan pesan. Maka gadis itu menggulirkan jarinya di layar. Memeriksa pesan dari yang bawah dan segera membacanya.

[ Sukma ]

[ Selamat malam ibu. Maaf mengganggu waktunya. ]

[ Saya ingin bertanya untuk tugas apakah wajib mengumpulkan pribadi dengan ibu atau bisa diwakilkan? ]

[ Saat ini saya sedang sakit dan mungkin besok tidak bisa ke kampus, Bu.]

[ Terima kasih sebelummnya.]

Pesan dari mahasiswi itu dengan segera Vanessa balas. Lalu, ia beralih pada pesan selanjutnya.

[ Teguh ]

[ Selamat malam. ]

[ Maaf mengganggu waktu istirahat ibu. ]

[ Saya ingin memberitahukan bahwa perbaikan proposal telah saya kirimkan ke email ibu. ]

[ Mohon koreksian dari ibu. ]

[ Terima kasih. ]

[ Surya ]

[ Selamat malam dan maaf mengganggu waktu istirahatnya, Bu. ]

[ Saya hanya ingin memberitahukan bahwa seminar hasil saya akan dilaksanakan besok pukul 10.00 WIB bertempat di ruang multimedia jurusan. ]

[ Besar harapan saya agar ibu bisa hadir untuk memberikan saran dan kritik untuk penelitian saya. ]

[ Terima kasih banyak, Bu. ]

Tak terhitung ada berapa pesan yang masuk ke ponsel wanita itu. Vanessa membalasnya dengan cepat tanpa disadari bahwa dari tadi kedua mata Ryan ikut membaca semua pesan yang Vanessa buka. Bahkan ketika gadis itu membalasnya, Ryan pun turut membaca.

"Permisi, Mas ..., Mbak. Ini pesanannya."

Ryan menoleh. "Eh, iya, Pak."

Tukang pecel lele membawa nampan berisi pesanan mereka. Ryan dengan sigap membantu Bapak itu menyajikan pesanan mereka. Hingga dua porsi nasi, ayam krispi, lele goreng, cah kangkung udang, dan dua gelas es teh tersaji, Ryan lantas menoleh.

"Sa ..., ini pesanan kita udah sampe. Kita makan dulu."

Mata Vanessa melirik sekilas. "Oh iya."

Ryan mencuci tangannya, begitu pun dengan Vanessa dan mereka mulai menikmati makan malam mereka. Dan di saat Ryan mengunyah nasi di dalam muutnya, cowok itu menyadari sesuatu. Vanessa makan dengan masih mengurusi ponselnya.

Wanita itu perlahan menyuap nasi ke mulutnya sementara ponsel yang ia letakkan di atas meja masih dalam keadaan menyala. Dengan menggunakan tangan kiri, Vanessa membalas pesan di sana. Ryan diam saja melihatnya. Padahal di dalam hati ia berkata.

Nggak bisa berenti dulu apa dengan ponselnya? Ckckckck.

Dan ketika Ryan masih geleng-geleng kepala melihat Vanessa, mendadak saja telinganya mendengar suara Taylor Swift dalam lagu Begin Again.

And you throw your head back laughing like a little kid ....

I think it's strange that you think I'm funny 'cause he never did ....

I've been spending the last eight months thinking all love ever does ....

Ryan memutar kepalanya, mencari sumber lagu itu. Bukannya apa. Setau Ryan tidak pernah ada warung pecel lele di pinggir jalan yang memutar lagu Taylor Swift sebagai hiburan para pelanggannya. Lalu, Ryan tau sumber lagu itu. Ternyata dering ponsel Vanessa.

Ryan menoleh dan mendapati gadis itu mengangkat panggilan tersebut.

"Selamat malam, Bu Heti," sapa Vanessa cepat.

Tak mengalihkan mata dari Vanessa, Ryan memilih untuk menikmati makan malamnya dengan kepala setengah miring ke samping.

"Ah ... iya, Bu. Ini lagi di luar makanya kedengaran agak ramai. Ada apa ya, Bu?"

" ..."

"Iya, Bu. Untuk pengajuan kurikulum baru kemaren memang sudah dibuat blangkonya. Rencananya mau dirapatkan besok di Jurusan."

" ..."

Vanessa mendengarkan dengan menyuapkan nasi ke mulutnya. Mengunyahnya dengan pelan. Kepalanya terlihat mengangguk-angguk beberapa kali. Seolah sedang menarik kesimpulan dari perkataan lawan bicaranya.

" ..."

"Ah, iya, Bu. Malam ini bisa saya kirimkan ke e--- hukk!"

Ryan mengerjapkan matanya.

"Uhuk! Uhuk! Uhuk!"

Vanessa terbatuk karena tersedak oleh makanannya. Ia melihat ke arah es teh miliknya, namun bingung untuk menjangkaunya. Tangan kirinya memegang ponsel sementara tangan kanannya berlumuran sambal. Dan ia tak bisa melepaskan ponsel itu karena di seberang sana suara Bu Heti masih terdengar menjelaskan.

Lalu, seketika saja gelas es teh itu melayang di wajah Vanessa. Dengan mata yang berair dan hidung yang memerah, Vanessa melirik.

Ryan menaikkan satu alis matanya. Mengisyaratkan pada Vanessa untuk minum.

Gadis itu tak berpikir dua kali dan langsung meminum es teh itu melalui sedotannya. Seketika saja rasa lega menjalari tenggorokannya.

Ketika sudah, Ryan meletakkan kembali gelas es teh itu dan membiarkan Vanessa untuk melanjutkan teleponnya.

"Iya, Bu. Nanti akan segera saya email," kata Vanessa kirim lagi sementara dahinya mengernyit. Ia merasakan ada sesuatu yang ganjil. Dan ketika ia menoleh, ia tau apa itu.

Di sebelahnya, seraya tetap menikmati makanannya, Ryan membawa tangan kirinya ke punggung Vanessa. Mengusap-usap punggung gadis itu dengan lembut. Seolah-olah ingin memastikan bahwa sumber batuk Vanessa tadi tidak menyangkut ke mana-mana lagi.

Di saat panggilan itu berakhir, mendadak terdengar celetukan di meja sebelah yang membuat keduanya membeku jiwa raga.

"Idih ..., kok mereka mesra banget sih?"

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro