14. Berubah Sekejap
Kala itu jarum jam nyaris menunjukkan jam delapan malam saat Ryan memutuskan untuk keluar dari kamarnya. Dan hal itu ia lakukan lantaran panggilan alam yang semakin tak mampu perutnya tahan. Ya mau bagaimana lagi. Kan dia memang belum makan malam.
Belum makan malam, eh tadi ditambah jerit-jerit sambil lari-lari. Semuanya komplit untuk benar-benar menguras sisa tenaga cowok itu hingga habis tak tersisa lagi.
Jadi, seraya bersiul-siul, Ryan melenggang. Eh, tapi belum terlalu jauh ia melangkah, mendadak saja ia mendengar suara pintu terbuka.
Dan jelas itu tidak mungkin pintu kamarnya.
Ryan menghentikan langkah kakinya. Menoleh dan mendapati pintu kamar Vanessa terbuka. Tapi, gadis itu tidak keluar. Melainkan menahan pintu dan hanya mengeluarkan kepalanya.
Membuat Ryan geleng-geleng kepala jadinya.
Cowok itu lantas bertanya.
"Kenapa?"
"Ehm ...." Vanessa menggigit sejenak bibir bawahnya. "Kamu mau ke mana, Yan?"
Ryan melirik sekilas ke belakang. "Mau ke dapur. Mau makan. Kenapa?"
"Ehm ..., aku ikut."
Mata Ryan mengerjap-ngerjap melihat Vanessa yang kemudian menutup pintu kamar dan menghampiri dirinya. Membuat cowok itu di dalam hati berkata geli.
Gini yang namanya kayak orang asing?
Ckckck.
Mereka kemudian pun beranjak ke dapur. Sementara Vanessa duduk di kitchen island, Ryan beranjak untuk membuka kulkas. Dia mendehem melihat isi kulkas itu.
"Keadaannya sama kayak pagi tadi. Sama persis. Nggak ada yang berubah sedikit pun. Kosong," gumam Ryan. "Kosongnya ini sama persis kayak kulkas pajangan di toko elektronik. Bedanya yang ini udah dicolokin ke listrik."
Vanessa menopang dagunya melihat Ryan yang menggerutu. "Kan memang nggak ada isinya. Kamu juga udah tau nggak ada isinya, eh masih aja dibuka."
Ryan menutup pintu kulkas itu dan berkacak pinggang pada Vanessa. "Ya aku kira kan kamu udah belanja atau apa gitu kek. Soalnya kan tadi kamu duluan sampe di unit. Ya mana aku tau kalau ternyata tetap aja kosong."
"Aku nggak belanja," kata Vanessa sambil geleng-geleng kepala.
"Nggak usah dikasih tau lagi. Aku juga udah tau itu sekarang," kata Ryan lesu. Lalu mata cowok itu menatap mangkok kotor di wastafel. "Kamu udah makan?"
"Tadi sore sih. Pas balik dari kampus aku langsung makan. Laper soalnya."
Ryan beranjak melihat mangkok kotor itu. Tak yakin, tapi ia tetap bertanya dengan nada ragu di suaranya. "Kamu makan mie instan lagi?"
"Iya. Emangnya kenapa? Nggak boleh? Siapa yang ngelarang?"
Ya salam ini cewek.
Aku ngasih satu pertanyaan, eh dia langsung ngebalas tiga pertanyaan sekaligus.
Ckckck.
Namun, alih-alih menjawab pertanyaan itu, Ryan justru berkata dengan rasa bingung. "Pagi tadi kita kan udah sarapan mie instan, Sa. Masa malamnya makan mie instan lagi sih? Kalau makan mie ayam mah masih mending. Ini sepanjang hari makan mie instan aja. Berasa kayak yang kita hidup dengan keuangan ngos-ngosan aja."
Selesai Ryan mengatakan itu, rasa-rasanya Vanessa yang mendadak jadi ngos-ngosan.
"Kamu itu sadar nggak sih, Yan? Kamu itu cerewet banget jadi cowok."
"Dan kamu itu sadar nggak sih, Sa? Kamu itu galak banget jadi cewek."
Vanessa diam. Ryan mengangkat dagunya.
"Kruuuk."
"Aduh!"
Seketika saja Ryan memegang perutnya yang sudah bergemuruh karena minta untuk diisi. Membuat ia berdecak.
"Kamu nggak kepikiran buat belanja bahan dapur gitu, Sa?"
Kedua bahu Vanessa naik. "Kenapa harus belanja bahan dapur kalau ada mie instan?"
"Wah ...." Ryan geleng-geleng kepala. "Jangan bilang ke aku kalau selama ini kamu makan mie instan doang."
"Emangnya kenapa?"
"Pantas kamu kurus."
Mata Vanessa melotot. Tangannya dengan cepat meraih gelas yang berada tak jauh darinya di atas kitchen island itu. Bersiap untuk melemparkan benda itu pada Ryan. Tapi, mendadak saja ia tertegun.
Ryan mengulum senyumnya. "Kamu mau nyuruh setan itu balik lagi ke sini? Iya? Kalau iya ..., ya udah. Lempar itu gelas ke aku." Cowok itu menyodorkan kepalanya. "Nih nih nih! Buat lagi benjol di kepala aku."
Vanessa bergeming. Sama sekali tidak melakukan apa yang ditantang oleh Ryan. Dengan kesal Vanessa meletakkan kembali gelas itu. Tampak menggerutu tak jelas.
Bibir bawah Ryan maju beberapa sentimeter. Mencibir pada gadis itu. Terlihat jelas sekali di mata Vanessa bahwa saat itu Ryan tengah berada di atas angin.
Kalau bukan gara-gara setán sialan itu.
Dan entah mengapa, eh detik selanjutnya gelas yang baru saja diletakkan oleh Vanessa terjatuh. Gelas itu membentur lantai dan pecah berderai-derai.
"RYAAAN!"
Ryan seketika kaget melihat Vanessa yang langsung turun dari kursinya. Tapi, detik selanjutnya ia justru bingung saat mendapati Vanessa yang memutari kitchen island dan menghambur memeluk dirinya.
Eh?
Ini cewek jadi kecanduan meluk aku atau gimana sih?
Dia yang jatuhin gelas, eh tapi malah dia yang langsung lari buat meluk aku?
Ryan bingung.
"Makanya, Sa," gerutu Ryan kemudian. "Kalau ngeletakin gelas itu jangan keping---"
"Setannya balik lagi ya?" tanya Vanessa memotong ucapan Ryan. Takut-takut ia mencoba menarik sedikti wajahnya dari dadá Ryan. "Padahal aku cuma ngumpatin dia di dalam hati doang."
Ryan melongo. Dan ia akhirnya menyadari penyebab mengapa Vanessa langsung berlari menghambur pada dirinya.
Oalah!
Cowok itu langsung geleng-geleng kepala.
Geli iya.
Lucu pun iya.
Segitunya ini cewek jadi kepikiran soal itu setán.
Hahahaha.
Padahal jelas banget itu gelas jatuh gara-gara dia naruhnya kepinggir banget.
Tapi, dibandingkan ingin menjelaskan fakta logis mengenai penyebab jatuhnya gelas itu, Ryan sih memilih untuk semakin menakutinya.
"Kamu sih. Dikira setán nggak bisa dengar omongan kita di dalam hati?"
Tangan Vanessa mencengkeram Ryan. Wajahnya menengadah pada Ryan. "Dia bisa denger ya?"
"Ya iyalah." Mata Ryan membesar. "Jangankan omongan kita, pikiran kita pun dia bisa tau. Makanya---"
"Kruuuk!"
Aduh.
Seketika saja ucapan cowok itu terputus. Ryan memejamkan matanya. Meringis.
Kok aku nggak keren banget sih? Cakep-cakep perutnya bunyi mulu dari tadi.
Vanessa menurunkan pandangannya. Melihat perut Ryan yang ia peluk. Ia bertanya pelan.
"Kamu lapar?"
Bola mata Ryan berputar ketika ia membuka matanya. "Udah dua kali bunyi ini perut aku dan kamu masih pake acara nanya aku lapar atau nggak? Wah. Ckckckck."
Kepala cowok itu geleng-geleng. Kedua tangannya menahan pundak Vanessa. Menciptakan sedikit jarak agar gadis itu bisa mengangkat wajah dan menatap matanya.
"Kamu mungkin nggak tau, but lemme tell you something ya, Sa."
"What's that?"
Ryan menampakkan raut wajah yang benar-benar serius ketika berkata. "Negosiasi sama makhluk halus itu benar-benar nguras tenaga. Soalnya bukan apa, Sa, tapi itu komunikasi dua makhluk yang berbeda dengan dua alam yang berbeda juga. Makanya aku sampe kelaparan kayak gini. Semua tenaga aku habis terkuras buat ngomong sama itu setán tadi."
Vanessa terdiam.
Melihat itu, Ryan segera melepaskan diri dari pelukan Vanessa. Semula ia ingin keluar dari dapur, tapi ia teringat dengan gelas yang jatuh tadi. Maka dengan cepat ia meraih sapu dan membersihkan pecahan gelas yang berhamburan di lantai.
"Jangan ke sini dulu. Biar aku bersihkan dulu pecahan kacanya."
Vanessa diam saja selagi matanya melihat Ryan yang tampak cekatan membersihkan beling tersebut. Lalu membuangnya ke tempat sampah.
Setelahnya Ryan membilas tangannya dengan cepat di wastafel sebelum ia benar-benar melangkah meninggalkan dapur itu. Sementara ia beranjak, di dalam hati cowok itu tau dengan pasti, Vanessa pasti akan mengekori dirinya.
Dan benar saja.
Gadis itu seraya berlari-lari kecil menyusul Ryan yang melangkah dengan langkah yang lebar-lebar. Ya bukannya apa. Kan Ryan memang tinggi. Wajar sekali kalau langkah kakinya lebar.
"Kamu mau ke mana, Yan?"
Ryan menahan tangannya di daun pintu kamarnya. Belum membuka pintu itu. Ia menoleh.
"Aku mau keluar dong. Mau nyari makan. Ntar kalau setannya datang lagi pas aku nggak ada tenaga gimana?"
"Eh?"
"Aku kan jadi nggak bisa ngelindungi kamu, Sa. Lah boro-boro mau ngelindungi kamu,orang tenaga aku aja udah nggak ada lagi."
Hihihi.
Ryan tertawa di dalam hati.
Bahkan perutnya terasa geli.
"Ehm ..., jadi kamu mau makan di luar?"
"Kalau ada makanan di sini ya aku nggak bakal keluar," kata Ryan dan ia dengan cepat mengangkat tangan. "Mi instan itu nggak bisa disebut makanan kalau pagi, siang, dan malam cuma itu yang dimakan." Cowok itu cemberut. "Mana ada ceritanya orang ngelawan setán pake tenaga mie instan?"
"Ehm ...."
"Apa lagi, Sa? Ya ampun. Bentar lagi aku bakal pingsan kelaparan deh."
Vanessa menggigit bibir bawahnya. Tampak menguatkan diri. "Aku ikut!" serunya.
Mata Ryan mengerjap-ngerjap. "Ikut?"
"Iya. Aku mau ikut kamu keluar deh." Bola mata Vanessa berputar melihat ke sekeliling. "Daripada aku di sini sendirian, Yan. Aku takut."
Ryan mendengkus kecil.
Satu ujung bibirnya naik sekilas dengan perlahan.
"Tapi, dengan satu syarat."
Mata Vanessa mengerjap-ngerjap saat mendapati Ryan menundukkan wajah ke arahnya. Membuat tubuh mereka nyaris sejajar. Dan tentu saja dengan jarak yang tak seberapa.
Vanessa meneguk ludah. "Sya-syarat apa?"
"Sekalian kita keluar, sekalian kamu belanja bahan dapurlah," kata Ryan.
Dan ketika terlihat ada tanda-tanda bahwa Vanessa akan membantah, seketika saja Ryan mengeluarkan jurus andalannya saat itu.
"Kamu mau itu setán datang pas aku lagi kelaperan?"
Vanessa mendengus. "Fine! Aku belanja. Puas kamu?"
"Banget," kata Ryan tersenyum geli. Lalu, ia mengamati Vanessa. Pada kakinya yang terlihat anggun di mata cowok itu. "Ngomong-ngomong, ganti dulu deh baju kamu sebelum kita pergi."
Kali ini Vanessa tak membantah. Ia dengan segera masuk ke dalam kamarnya dan mengganti pakaian dengan mulut yang menggerutu.
"Gara-gara kejadian itu, sekarang Ryan malah jadi besar kepala sama aku. Dasar."
Vanessa memutuskan mengganti gaun putihnya itu dengan kaos lengan pendek yang longgar. Untuk bawahannya, gadis itu memilih untuk mengenakan celana katun tiga perempat. Setelahnya, ia meraih karet rambut dan mengikat rambutnya walau sedikit asal. Sebelum beranjak keluar, ia mengambil dompetnya.
Ketika Vanessa keluar dari kamar, ternyata Ryan sudah menunggu dirinya. Berdiri seraya bersandar di dinding. Cowok itu menoleh.
"Udah?"
Vanessa mengangguk seraya memegang dompetnya. Dan ketika ia menutup pintu, mendadak saja tangan Ryan terulur pada dirinya. Vanessa melihat Ryan menyodorkan sesuatu padanya.
Bingung, tapi Vanessa tetap menyambut benda itu yang tak lain adalah satu kartu debit.
"Apa ini?" tanya Vanessa.
Ryan menggaruk kepalanya sekilas. Terlihat sedikit salah tingkah. "Bukannya kalau udah nikah itu artinya cowok ya yang harus ngebiayai kebutuhan rumah? Ehm ... aku emang nyuruh kamu buat belanja, tapi bukan berarti pake duit kamu."
Mata Vanessa mengerjap. "Oh ...." Ia mengangguk. Paham maksud Ryan, tapi ia justru berkata. "Nggak apa-apa. Duit aku ada kok. Lagian kamu kan masih kuliah, belum kerja."
Raut tersinggung segera saja tersaji di wajah Ryan. "Aku emang masih kuliah, tapi bukan berarti aku belum kerja. Nggak tau siapa yang punya depot yang tahun lalu dikunjungi sama orang Fakultas? Itu kan punya aku," gerutunya. "Sembarangan aja ya kalau ngomong."
"Ehm."
Vanessa mendehem.
Apa aku udah nyinggung dia ya? Tapi, kan maksud aku baik sih.
"Yan ..., aku nggak maksud nyinggung kamu, tapi kamu nggak perlu ngerasa buat nafkahin aku atau---"
"BRAKKK!"
Vanessa mengerjapkan mata seraya melangkah mundur dengan terburu ketika mendadak saja Ryan beranjak menuju dirinya dengan menahan satu tangannya di dinding di belakang tubuhnya. Cowok itu benar-benar membuat kaget dirinya, terutama ketika tangannya terlihat seperti memukul dinding itu.
Glek.
Ryan menatap mata Vanessa.
"Karena aku lebih muda dibandingkan kamu, jadi kamu ngerasa aku nggak bisa nafkahin kamu? Iya?"
Vanessa meneguk ludahnya. Kedua tangannya sontak naik ke depan dadá. Mendekap dompet dan kartu debit yang diberikan oleh cowok itu kepadanya.
"Apa perlu banget aku ngasih liat pembukuan depot aku kayak gimana?" tanya Ryan tanpa melepas tatapan matanya dari mata Vanessa. "Kamu nggak tau? Satu pot mawar yang aku jual itu harganya bisa ratusan ribu? Masa sih dosen pertanian nggak tau hal semacam itu?"
Vanessa mengerjapkan matanya lagi. Terdiam membeku. Wajah merah Ryan karena tersinggung, matanya yang menatap tak berkedip, dan suara berat cowok itu yang terdengar serius, kompak membuat tubuh Vanessa mendadak seperti tidak ada kekuatan sama sekali untuk bergerak. Seperti otot dan sendinya lumpuh mendadak.
Terutama ketika Vanessa menyadari bahwa tak terlihat tanda-tanda bahwa Ryan akan melepaskannya dalam waktu dekat. Cowok itu terlihat masih ingin bicara padanya. Dan itulah yang terjadi. Ryan kembali bersuara.
"Aku memang lebih muda dari kamu, Sa, tapi bukan berarti aku masih anak-anak. Kamu tau?"
Susah payah Vanessa memaksa lidahnya untuk bergerak demi bisa bicara, walau terbata. "A-a-apa?"
Sepasang bola mata Ryan bergerak. Mencari-cari di dalam bola mata Vanessa. Lalu ia berkata dengan penuh keseriusan di wajahnya.
"Aku bahkan yakin kalau aku udah lebih dari dewasa untuk bisa ngebuat seorang atau dua orang anak."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro