13. Kesempatan Emas
Ryan mengulum senyum seraya melirik ke kanan ke kiri berulang kali. Merasakan bagaimana sekarang Vanessa kembali memeluk dirinya. Merengkuh pinggangnya dengan erat.
Ehm ... tangan Ryan kembali bergerak. Mengelus-elus punggung Vanessa yang tertutupi rambut panjanganya dengan lembut. Hingga untuk beberapa lama kemudian rasanya lidah Ryan ingin bersenandung.
Timang ... timang ... Dindaku sayang. Jangan menangis, Kanda di sini.
Ah sudah deh!
Ryan perlu menahan napasnya sejenak di dadá daripada benar-benar terlepas menyanyikan itu.
Hahahaha.
Mendehem, Ryan lantas melirik pada Vanessa yang benar-benar menenggelamkan wajah di dadanya. Seketika saja sifat usilnya timbul lagi.
Kapan lagi coba kan bisa ngerjain ini cewek? Kesempatan nggak boleh disia-siakan dong. Mubazir. Dan mubazir itu temannya setán.
Iiih ....
Beberapa saat, Ryan menarik napas dalam-dalam. Penting untuk menenangkan dirinya terlebih dahulu sebelum benar-benar mengerjai Vanessa lagi. Dan ketika ia merasa bahwa dirinya sudah siap lahir dan batin, maka bersuaralah dia.
"Perasaan kemaren ada sih yang ngomong kalau di rumah harus kayak orang asing gitu. Jangan sampe nganggu satu sama lain. Ya ... semacam orang yang kebetulan tersasar di tempat yang sama. Kayak yang nggak saling kenal. Nggak ada hubungan. Kalau perlu hidung ketemu hidung juga nggak boleh bersuara."
Vanessa menggeram.
"Eh, tapi ... ternyata belum sampe 24 jam, omongan itu udah nggak berlaku lagi. Wah! Hebat sekali!"
Tapi, gadis itu tidak bisa membantah apa pun. Yang dikatakan Ryan kan memang benar.
Ryan menjulurkan lidahnya, walau jelas Vanessa tak bisa melihatnya. Bahkan cowok itu meleletkannya berulang kali. Senang sekali ia rasanya bisa mengejek Vanessa seperti itu.
"Aku jadi bertanya-tanya deh. Apa sebenarnya sikap kamu ke orang asing itu emang kayak gini, Sa?" tanya Ryan kemudian. "Suka meluk-meluk sembarangan gitu."
Hihihi.
"Diam, Yan."
"Loh? Orang aku nanya baik-baik kok. Eh, malah disuruh diam," kata Ryan mencibir. Lalu cowok itu meraih pundak Vanessa. Mendorongnya pelan. "Bisa lepasin aku?"
Sejenak, Vanessa diam. "Dia masih ada?"
"Dia siapa?"
"Kamu tau yang aku maksud, Yan. Nggak usah pura-pura nggak tau. Setán itu."
Ryan geli mendengar gerutuan Vanessa. "Oh ... ngomong yang jelas dong, Sa. Nggak usah kode-kode." Ryan mendehem. "Udah nggak ada lagi kok."
"Bener? Kamu nggak bohongin aku kan?"
"Eh?" Mata Ryan menyipit dalam keinginan untuk semakin menggoda gadis itu. "Bentar deh. Aku mendadak jadi penasaran." Ia tampak menjeda sebentar perkataannya dengan satu tarikan napas sejenak. Baru deh ia kembali berkata. "Ini sebenarnya kamu beneran takut atau cuma lagi nyari alasan buat meluk-meluk aku?"
"Sreet!"
Sedetik setelah Ryan mengatakan itu, seketika saja Vanessa langsung menarik dirinya dari tubuh Ryan. Melepaskan pelukannya dan langsung menciptakan jarak di antara mereka.
Dengan jarak itu, Ryan bisa dengan jelas melihat Vanessa. Wajahnya terlihat memerah. Lalu, matanya melotot.
"Eh ... ckckckck. Nggak boleh ribut, Sa," kata Ryan seraya melirik ke arah luar. "Nanti kalau dia kesal lagi gimana? Tadi itu aja dia udah ngebanting jendela. Kamu mau dia malah ngebanting unit kita jatuh sampe ke lantai dasar?" Ryan geleng-geleng kepala. "Ssst. Jangan ribut."
Perkataan Ryan membuat Vanessa meneguk ludahnya. Merasa tak bisa berbuat apa-apa karena dirinya benar-benar merasa takut. Kalau yang dikatakan Ryan benar-benar terjadi bagaimana dong?
Ryan mengulum senyum melihat Vanessa yang tampak gemetaran seraya menggigit bibir bawahnya. Sejurus kemudian, cowok itu bangkit. Eh, ternyata Vanessa ikut bangkit juga. Hingga membuat Ryan mengernyit. Heran.
"Kamu mau ke mana?" tanya Vanessa dengan tatapan menyelidik.
"Ya ke kamar dong. Aku baru balik nih. Mau mandi dulu. Emang kamu meluk aku dari tadi nggak kecium bau keringat? Ah ... I see I see ..." Ryan manggut-manggut. "Keringat aku juga baunya wangi sih."
Tak menghiraukan perkataan Ryan, Vanessa justru tampak mengerutkan dahi. Terlihat bingung dan bimbang.
"Kenapa? Mau ikut aku mandi? Kalau mau ayoh. Aku nggak keberatan kok."
Mata gadis itu melotot. "Ya nggak lah."
"Ya udah kalau gitu," kata Ryan seraya berlalu dari sana. "Padahal kan kita bisa mandi bareng."
Tapi, walaupun Ryan mengatakan itu dengan lirih, tetap saja telinga Vanessa mendengarnya. Hingga telinganya terasa panas.
"Apa kamu bilang barusan?"
"Ups." Ryan menutup mulutnya dengan satu tangan. "Tan ..., kami nggak ribut kok. Ini cuma becanda doang."
Seketika saja Vanessa lirik kanan kiri. Merasa bulu kuduknya meremang langsung.
Dasar, Ryan!
Sementara itu sebelum masuk ke kamarnya, Ryan menyempatkan diri untuk kembali ke ruang tamu. Mengambil tas ranselnya yang terjatuh ketika ia spontan berlari saat mengira Vanessa adalah setán.
Ck. Dasar!
Sejenak ia melihat ke sudut ruangan. Meneliti sejenak keadaan di sana.
Nggak ada CCTV kan di dalam unit? Kalau ada bisa malu dong aku. Masa iya ntar orang-orang ngeliat rekaman cowok secakep aku lari terbirit-birit gara-gara ngira istri sendiri setán.
Hahahaha.
Ryan masuk ke dalam kamarnya. Mengambil sehelai kaos oblong dan celana pendek, berikut celana dalam tentunya. Dan ngomong-ngomong soal pakaian, tadi pagi setelah tragedi mangkok dan tangan yang melayang, Ryan memang memindahkan semua pakaiannya dari kamar utama ke kamarnya sendiri. Dengan misuh-misuh pastinya. Kurang lebih dia ngedumel seperti ini.
Nikah belum ada sebulan eh udah pisah ranjang aja. Ya kali seumur nikah baru sekali bobok bareng. Mana bangunnya pake acara Vanessa yang jerit-jerit lagi. Untung Pak RT nggak datang ngegrebek kami di kamar.
Ck.
Tak sampai lima menit kemudian, Ryan keluar dari kamarnya seraya membawa sehelai handuk putih. Tadi sih sebenarnya Ryan terpikir untuk membawa serta pakaian gantinya ke kamar mandi, tapi tidak jadi ia lakukan. Bukannya apa. Ryan pikir ribet untuk ganti pakaian di kamar mandi. Tidak leluasa. Salah-salah dia bisa terpleset saat memakai celana. Kan tidak lucu tuh kalau kepala atasnya benjol depan belakang.
Jadi, hanya dengan sehelai handuk yang mengalung di lehernya, Ryan pun melenggang ke kamar mandi. Ia cuek saja melihat Vanessa yang duduk di kitchen island yang posisinya tak jauh dari kamar mandi itu. Tanpa ia sadari, Vanessa memang sengaja duduk di sana karena masih terpikir soal setán tadi yang jelas-jelas tidak ada.
Maka tidak heran bila ketika Ryan keluar dari kamar mandi, cowok itu kaget yang mendapati Vanessa masih duduk di sana. Tapi, ia masih saja sok cuek.
Sementara itu Vanessa tampak melotot melihat Ryan yang keluar dari kamar mandi hanya mengenakan sehelai handuk di pinggangnya. Beberapa tetes air tampak berjatuhan dari rambutnya yang basah. Tapi, seolah tak memedulikan dirinya, cowok itu melengos saja meninggalkan dirinya.
Vanessa bangkit. Mengekori Ryan dari belakang. Dan hal itu disadari sepenuhnya oleh Ryan sehingga membuat cowok itu mengerjap-ngerjapkan matanya seraya terus berjalan menuju ke kamarnya.
Lalu, di satu waktu yang mendadak, Ryan menghentikan langkah kakinya. Menyebabkan Vanessa kaget dan tanpa antisipasi justru menabrak punggung lembab cowok itu.
"Aduh."
Vanessa mengaduh seraya mengusap dahinya. Ia mendapati Ryan telah berbalik menghadap dirinya.
"Ngapain sih ngekori aku?" tanya Ryan.
Vanessa geleng-geleng kepala.
Hal itu membuat Ryan bersedekap di depan dada. Melihat Vanessa yang melarikan tatapannya ke arah lain. Bagaimanapun juga, Ryan yang bersedekap membuat dadá bidangnya terlihat lebih menonjol. Dan itu terpadu sempurna dengan otot bisep di kedua lengannnya.
Glek.
Seketika saja membuat Vanessa merasa salah tingkah. Ya, jujur saja. Penampilan cowok yang seperti itu selama ini hanya pernah ia lihat di drama-drama. Bukan di kehidupan nyata seperti saat ini.
Mengabaikan wajah jengah Vanessa, Ryan terlihat sedikit melangkah mendekati gadis itu. Wajahnya terlihat sedikit menunduk untuk mencari sepasang mata Vanessa. Tapi, Vanessa kembali mengelak.
"Sekarang aku jadi bertanya-tanya," lirih cowok itu. "Sebenarnya di antara kita siapa yang ngekori siapa sih?"
"Eh?" Spontan Vanessa membawa matanya untuk menatap Ryan dengan sorot tak percaya.
"Kamu bilang tadi aku ngekori kamu, nyatanya? Kamu kan yang ngekori aku ke mana-mana?" Mata Ryan membesar dan lalu mengurai tangannya yang bersidekap menjadi posisi menyilang di depan dadá. "Apa kamu jadi terpesona ngeliat tubuh polos aku ya?"
Mata Vanessa lantas turut membesar.
"Wah! Wah! Wah!" Ryan geleng-geleng kepala seolah baru menyadari sesuatu sesaat kemudian. "Aku nggak nyangka," katanya dengan nada geli. "Ternyata kamu suka badan aku. Oh! Apa tadi kamu ngintip aku di kamar mandi? Ckckckck. Kelakuan dosen ya? Ngintipin mahasiswa polos kayak aku lagi mandi."
"Sembarangan aja kalau ngomong!" tukas Vanessa tajam.
Ryan tergelak. "Hahahaha. Aku tau. Kamu pasti di dalam hati muji badan aku yang kayak model gini kan? Ck. Kamu nggak usah heran. Sering nyangkul di depot soalnya."
Cowok itu lantas melepaskan tangannya dari dadanya sendiri, berpindah untuk berkacak pinggang. Alis Ryan kemudian tampak naik sebelah dengan gerakan menggoda.
"Nih nih nih! Karena aku baik hati, puas-puasin deh ngeliat aku nggak pake baju."
Tapi, Vanessa dengan cepat langsung memalingkan wajahnya kembali. Membuat Ryan tergelak-gelak semakin parah. Hingga membuat perut cowok itu sakit.
"Udah ah! Aku mau pake baju. Apa kamu mau ikut aku ke kamar buat makein aku baju? Iya? Iya? Iya? Boleh kok."
Vanessa benar-benar merasakan wajahnya memanas.
Kalau aja aku nggak ketakutan gara-gara setán itu, ogah banget aku ngikutin dia ke mana-mana kayak gini!
Seraya mengepalkan kedua tangannya, Vanessa lantas memilih masuk ke dalam kamarnya sendiri seraya mengumpat.
"Makein kamu baju? In your dream!"
Ketika pintu kamar Vanessa terbanting di depan wajahnya, Ryan langsung tergelak kecil dan masuk pula ke kamarnya sendiri yang memang bersebelahan dengan kamar gadis itu.
"Ah, Vanessa .... Vanessa ...."
Ryan mendesahkan nama itu seraya mengenakan bajunya. Rasa geli belum juga benar-benar hilang dari perut dan wajahnya.
"Ternyata benar ya, setiap orang itu pasti memiliki kelemahan. Eh, ternyata kelemahan dia itu setán."
Ryan tergelak-gelak.
"By the way, kayaknya itu juga kelemahan aku sih. Hihihi. Tapi, ya seenggaknya gara-gara tadi aku bisa ngerasa Vanessa yang nempel-nempel dengan sukarela gitu ke aku."
Tangan Ryan meraih handuk dan mengacak-acak rambutnya yang lembab. Lalu handuk itu berakhir di punggung kursi. Berpikir untuk nanti saja ia menggantungnya kembali ke kamar mandi.
Ryan memilih untuk berbaring di tempat tidur seraya bermain ponsel. Eh, ternyata dia cuma ingin melihat foto-foto Vanessa di akun Instagram cewek itu.
"Di depan orang lemah lembut kayak putri keraton. Pas dengan aku langsung berubah galak garang kayak barong. Eh, tapi ternyata barongnya takut setan."
Ryan kembali cekikikan. Lalu tangannya meraba dadanya, perutnya, tangannya ... wah! Mata Ryan jadi merem melek karenanya.
Nggak nyangka banget malam gini dapat rezeki nomplok gara-gara setán gadungan.
Lantas, mata Ryan terbuka. Mulutnya miring ke kanan miring ke kiri berulang kali ketika berpikir.
"Ehm .... Apa aku manfaatin aja ya setan gadungan ini buat bikin dia lengket sama aku?"
Ryan tergelak.
"Hahahaha."
Langsung saja tangannya meraih bantal guling dan memeluknya erat seraya masih tergelak-gelak.
"Hahahaha. Aduh, Yan. Kok otak kamu pinter banget sih? Hahahaha. Ya siapa tau kan gara-gara takut, dia jadi deket sama aku. Udah deket, eh terus jadi lengket. Eh terus ..."
Ah, sudahnya.
Sepertinya cowok seperti Ryan ini lebih berbahaya ketimbang setán betulan.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro