Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

12. Di Sini Ada Setan

"SETAAAN!!!"

"AAAH!!!"

Ryan menjerit sekuat tenaga seraya kelabakan. Panik. Terutama ketika ia melihat bagaimana setán itu juga ikut-ikutan menjerit.

"HWAAA!!!"

"Setannya juga ikut jerit! Mama tolong!"

Mata Ryan melotot. Nyaris bola matanya melompat saat melihat setán itu berlari ke arah dirinya.

Semakin panik, Ryan secepat kilat memutar badan. Bersiap untuk berlari dan keluar dari unit apartemen itu.

Dasar, Eyang!

Katanya ini rumah penuh berkah! Berkah apaan?

Ryan berlari dan tangannya berusaha menggapai daun pintu di saat mulutnya masih sibuk jerit-jerit.

"Eyang, di sini ada setán! Hwaaaa!"

"Mana setannya?"

"Itu di belakang!"

"Jangan tinggalin aku, Yan!"

"Hwaaa! Setannya mau ikut aku, Eyang!"

Tangan Ryan lalu meraih daun pintu. Tubuhnya gemetaran.

"Ini buka pintunya gimana?" tanya Ryan menggerutu seraya mendorong-dorong pintu itu.

"Tungguin aku, Yan! Jangan tinggalin aku!"

"HWAAA! Sekalinya digombalin cewek, kok malah setán yang godain nggak mau ditinggalin aku?! HWAAA!"

Ryan kembali menjerit di sela-sela keputusasaan dirinya karena pintu itu tidak mau terbuka. Dan ketika ia memberanikan diri untuk menoleh ke belakang, di saat itulah ia melihat sosok bergaun putih berambut panjang itu menghambur ke arahnya.

"HWAAA!!!"

Ryan menjerit lagi dan memejamkan mata sedetik setelah ia melihat sosok itu yang benar-benar telah mendekati dirinya. Mendorong pintu itu pun ternyata tidak membuahkan hasil. Pintu itu sama sekali tidak mau membuka. Jangankan membuka, bergeser sedikit pun tidak. Seolah ada lem super kuat yang merekatkan pintu itu dengan kusennya. Seperti sepasang kekasih yang saling berjanji untuk tidak berpisah.

Ryan putus asa.

Ini pasti karena kekuatan supranatural hantu itu!

Tidak salah lagi!

Ternyata aku berhadapan dengan setán yang kekuatannya hebat. Mampu mempengaruhi benda padat.

Dan sekarang, mampuslah aku!

"HWAAA!!!"

"Jangan tinggalin aku, Yan!"

Dan jeritan itu Ryan dengar bersamaan dengan saat di mana ia merasa ada sepasang tangan yang melingkar di perutnya. Tak hanya itu. Ada wajah juga yang menempel di dadanya.

"Mampus aku dipeluk setán!" jerit Ryan panik. "Sekalinya dipeluk cewek, yang meluk malah setán. Tolong! HWAAA! HWA---"

Namun, sedetik kemudian jeritan Ryan terhenti. Seolah-olah ia baru menyadari sesuatu. Dengan kondisi mata yang masih memejam, otak Ryan berpikir.

Tu-tu-tunggu dulu deh. Kok aku kayak yang ingat ya sama yang kenyal-kenyal empuk di perut aku kini?

Lantas, mata Ryan terbuka. Mengerjap-ngerjap, ia kemudian menunduk dan mendapati kenyataan yang membuat ia melotot.

Va-Va-Vanessa?

Ini Vanessa yang lagi meluk aku?

Glek.

Pantasan rasa kenyal-kenyal empuknya nggak asing.

Eh?

"Yan ..., setannya ada di mana, Yan? Jangan kabur sendirian, Yan."

Mata Ryan kembali mengerjap-ngerjap. Dengan dadá yang naik turun karena berlari sambil jerit-jerit tadi, Ryan memaksa otaknya untuk berpikir.

Ini jadi ceritanya yang meluk aku bukan setán? Tapi, Vanessa?

Terus berarti yang ngejar-ngejar aku tadi juga bukan setán? Tapi, Vanessa?

Lah berarti yang pake gaun putih rambut panjang tadi?

Mata Ryan melotot besar. Cuping hidungnya berkedut gara-gara kesal menyadari ketololannya sendiri.

Itu juga bukan setán? Tapi, Vanessa?

Ya ampun.

Kok aku begok banget sih?

Sementara Ryan sibuk mengumpat habis-habisan di dalam hati, Vanessa justru semakin mengeratkan pelukannya pada pinggang cowok itu.

"Yan? Setannya masih ada di belakang, Yan?"

Glek.

Ryan meneguk ludahnya.

Lah terus aku bilang apa coba?

Sorry, Sa. Aku salah ngira. Ternyata setán yang aku maksud itu kamu.

He he he he.

Dan seketika saja bayangan tangan Vanessa yang melayang dalam berbagai bentuk melintas di benaknya. Ya pukulan, ya tinjuan, ya tamparan.

Glek.

Bisa-bisa ntar aku langsung dilarikan ke UGD lagi.

Iya kalau tulang belulang aku nggak patah?

Lah tadi pagi cuma pake mangkok melamin aja dahi aku bisa benjol tiga sentimeter. Gimana ceritanya kalau malam ini dia beneran menghajar aku?

Ryan merinding.

Kan nggak lucu masuk kolom berita nasional berita dengan judul: Tragis, Seorang Suami Meregang Nyawa Karena Mengira Istrinya adalah Setán.

Ryan tidak ingin dirinya diberitakan dengan judul memalukan seperti itu. Harga dirinya sebagai seorang pria akan jatuh!

Eh?

Ngomong-ngomong soal harga diri seorang pria ... ehm, sepertinya Ryan mendapat ide brilian di benaknya.

"Yan? Kamu kok diem aja?" tanya Vanessa dengan sedikit terisak. Dan ia semakin menempel pada Ryan. "Kamu nggak kerasukan setannya kan?"

Ryan mendehem. "Ehm."

"Yan?"

"Tenang, Sa," kata Ryan kemudian dengan suara yang sangat berbeda dengan suaranya saat menjerit-jerit minta tolong tadi. "Ada aku di sini."

Hahahahaha.

Ryan merasa geli sendiri. Tapi, sebisa mungkin ia bertahan untuk tidak tertawa. Di benaknya, ia mengultimatum dirinya sendiri.

Ini kesempatan emas buat kamu, Yan.

Kamu harus bisa memanfaatkan skill aktor figuran pentas seni waktu SMA dulu.

Hahahaha.

Yang namanya pejuang sejati itu adalah orang yang bisa memanfaatkan rintangan menjadi peluang.

Dan ini kesempatan kamu.

"Ka-ka-kamu masih Ryan kan? Bukan setannya kan?"

"Ehm ...." Ryan mendehem lagi. Berusaha mengeluarkan suara sok berwibawanya ketika berkata. "Tenang, Sa. Setán itu nggak bakal bisa merasuki aku. Nggak segampang itu. Aku adalah pria yang kuat."

Hahahaha.

Ya ampun, Tuhan. Tolong! Jangan sampe aku kelepasan buang angin gara-gara nahan ketawa.

Ryan menahan senyumnya ketika merasakan wajah Vanessa terasa sedikit bergerak di dadanya. Terutama ketika bagian perutnya ditekan sesuatu yang ... ehm.

Ryan! Fokus!

"Se-setannya masih ada, Yan?"

Kali ini Ryan berkata dengan suara lirih. "Diem dulu, Sa. Dia masih ngeliatin kita."

"Ya-yang bener?"

"Ssst!" desis Ryan.

Desisan itu membuat Vanessa memejamkan matanya dan semakin menenggelamkan wajahnya di dadá Ryan. Dan seolah ingin mendramatisir suasana mencekam itu, Ryan kemudian mengangkat tangannya. Di kegelapan ia justru membawa tangannya untuk balas mendekap tubuh Vanessa. Kedua tangannya merangkul punggung gadis itu dengan sama eratnya.

Lantas, Ryan berbisik dengan suara yang sangat lirih.

"Tenang, Sa. Aku nggak bakal ngebiarin setán itu nyentuh kamu. Seujung rambut pun nggak bakal."

Hahahaha.

Tolong sutradara, ada yang lagi nyari aktor dadakan?

Di sini ada seorang.

Tawa Ryan nyaris pecah ketika ia justru mendapati wajah Vanessa yang sedikit bergerak di dadanya tatkala gadis itu mengangguk. Bahkan Ryan bisa merasakan jantung gadis itu yang berdebar-debar karena takut. Walau sebenarnya jantung Vanessa yang berdebar-debar tidak berbeda jauh dengan keadaan jantung Ryan.

Ehm ... bagaimana ya ngomongnya? Tapi, ketika Ryan memeluk balik Vanessa untuk mendramatisir keadaan yang mencekam, ia justru mendapati bahwa memeluk balik Vanessa berefek spontan bagi jantung cowok itu. Di balik dadanya, organ tubuhnya yang satu itu seketika saja melompat-lompat kegirangan. Hip hip hura hura gitu deh.

Kemudian, demi menambahkan sedikit bumbu menegangkan dalam sandiwara dadakannya, Ryan pun berinisiatif untuk mengatakan sesuatu yang membuat ia geli sendiri. Tapi, ia bertekad untuk benar-benar menjiwai perannya saat itu.

Ryan mendehem sebelum ia berkata dengan suara lantang.

"Kami bukan pasangan meśum, Tan! Kami udah nikah. Dia ini istri sah aku!"

Dan sebagai efek dari ucapannya itu, sontak saja ia merasakan pelukan Vanessa semakin mengerat di perutnya. Bahkan Ryan sempat berpikir.

Jangan-jangan bentar lagi usus aku bakal kegenjet keluar lagi.

"Dia ... dia ... masih ada ya, Yan?"

"Ssst ... kamu diem aja, Sa. Biar aku ngomong bentar dengan dia."

"Kamu bisa ngomong dengan makhluk gituan?"

"Eyang udah ngajarin aku, Sa. Jadi, kamu diem dulu. Biar aku negosiasi sama makhluk ini."

Negosiasi?

Hah? Aku kira ada śetan mau nawar bunga aku gitu?

Hiks.

Vanessa mengangguk. Dan karena itulah kemudian Vanessa memilih untuk benar-benar diam. Ia tidak ingin kalau ia bersuara śetan itu justru semakin mendekati dirinya. Terutama kalau sampai mengganggu negosiasi Ryan dengan śetan itu, seperti yang cowok itu katakan tadi. Dan itu ternyata memakan waktu yang cukup lama. Nyaris membuat kaki gadis itu pegal karena kelamaan berdiri.

Tapi, ya ... sebenarnya lama itu bukan karena Ryan sedang bernegosiasi dengan śetan. Kan setannya tidak ada. Yang sebenarnya adalah Ryan dengan sengaja memanfaatkan kesempatan untuk bisa merasakan pelukan Vanessa, balas memeluk gadis itu, termasuk dengan menghirup aroma wangi rambutnya.

Wah!

Ini mah bukan śetan, tapi bidadari.

Waktu berputar, nyaris mendesak Vanessa untuk bersuara. Hingga kemudian, Vanessa justru merasakan napas yang berembus di satu telinganya. Tepat ketika ia mendengar Ryan berbisik.

"Setannya udah mulai balik badan, Sa. Bentar lagi dia bakal pergi kok."

Kepala Vanessa mengangguk-angguk sementara ia merasakan kedua tangan Ryan mengusap-usap punggungnya.

Ryan mengulum senyum ketika merasakan sensasi mengusap punggung Vanessa.

Aku beruntung banget malam ini.

Hihihi.

Sejurus kemudian, Ryan kembali berbisik. "Setannya udah pergi, Sa. Kamu udah aman."

"Bener?"

Kepala Ryan mengangguk di atas kepala Vanessa. "Percaya aku deh," lirihnya. "Sekarang yuk kita masuk. Dia udah nggak ada lagi."

Pelan-pelan, Vanessa mengurai pelukannya walau kedua tangannya masih berada di pinggang cowok itu. Ia mengangkat wajahnya. Berusaha untuk menatap mata Ryan di kegelapan.

"Beneran udah nggak ada lagi?"

Ryan mengangguk. "Beneran nggak ada."

Ya memang nggak ada sih.

Hahahaha.

"Aku nyalain lampu bentar," kata Ryan seraya ingin beranjak. Tapi, ia mendapati Vanessa yang merengkuh tangannya hingga membuat Ryan mengernyit mendapatinya. "Eh?"

Vanessa tampak meringis takut. "Jangan tinggalin aku, Yan."

Ryan mengangguk. Menepuk-nepuk tangan Vanessa yang melingkari tangannya. Ia berkata dengan penuh wibawa hingga membuat perutnya sendiri terasa mual karenanya.

"Nggak bakal, Sa. Aku nggak bakal ninggalin kamu. Sampai kapan pun. Apalagi kalau ada setán."

Hiks.

Kayak yang aku lupa aja kalau tadi aku nyaris lari ninggalin dia.

Vanessa mengangguk.

Mereka berdua kemudian bersama-sama berjalan sementara satu tangan Ryan meraba-raba dinding. Ia menemukan saklar lampu dan menekan benda itu. Seketika saja ruangan menjadi terang benderang.

Dan ketika lampu itu menyala, maka Ryan bisa dengan jelas melihat bagaimana Vanessa yang menempel erat padanya hingga tangannya tertekan oleh dadá Vanessa.

Ehm ... kenyal-kenyal empuk.

"Kamu kenapa senyum-senyum?" tanya Vanessa menggugah kesadaran Ryan.

Cowok itu geleng-geleng kepala. "Nggak. Cuma keingat sama setán tadi."

Mata Vanessa melotot. "Di-dia emangnya kenapa?"

"Ehm ... sebenarnya setán itu ngerasa keganggu aja sih."

"Karena kita?"

Ryan mengangguk dengan sok serius. "Karena kemaren kita datang-datang nggak pake permisi dan langsung berantem. Setannya kaget."

"Kaget?"

Ryan mengembuskan napas panjang. Kakinya kembali melangkah dan Vanessa mengikuti dirinya. Tanpa melepaskan rengkuhan tangannya. Hingga mereka sampai ke ruang menonton.

"Iya, dia kaget gitu. Makanya dia datang malam ini."

Wajah Vanessa pucat pasi. "Ke-kenapa dia sampe datang?"

"Kan kayak yang aku bilang tadi, dia itu kaget. Ngerasa ketenangan dia terusik. Makanya dia mampir buat nunjukin diri." Ryan menarik napas dalam-dalam. Lalu ia mengangkat wajah dan melihat ke jendela yang terbuka. Angin bertiup dan melambai-lambaikan hordeng di sana.

Hal tersebut tak luput dari perhatian Vanessa, membuat gadis itu melihat ke arah yang sama. Pelan, ia berbisik.

"Dia masih ada di sana ya, Yan?"

Ryan mengangguk pelan. "Dia masih ngeliatin kita sih."

Jawaban itu serta merta membuat Vanessa memalingkan mukanya.

"Tapi, kamu nggak usah khawatir. Dia nggak bakal ke sini lagi."

"Gimana aku nggak khawatir kalau ada setán yang lagi liatin kita?"

Tangan Ryan kembali menepuk-nepuk tangan Vanessa. "Bentar. Biar aku tutup dulu hordengnya."

Vanessa mengeratkan tangannya. Ia melihat Ryan cemas.

"Bentar aja," katanya seraya mengangguk-angguk.

Maka dengan berat hati, Vanessa melepaskan tangan Ryan. Membiarkan cowok itu melangkah ke jendela dan menutup hordeng di sana.

Ryan lalu menghampiri dirinya kembali. "Udah. Sekarang kita udah aman."

Mata Vanessa terpejam spontan seraya tangannya yang mendekap dadanya. Ia mengembuskan napas panjang. Merasa lega.

Sementara itu, Ryan yang geli melihat Vanessa memutuskan untuk duduk di sofa. Terutama karena ia menyadari bahwa berdiri tadi itu lumayan lama juga. Rasa-rasanya lututnya jadi tak ada tenaga saat itu.

Menyadari Ryan yang duduk, Vanessa pun ikut-ikutan duduk. Walau di sofa yang berbeda.

Ketika Vanessa duduk, di saat itulah Ryan mampu melihat penampilan Vanessa dengan jelas. Membuat ia meneguk ludah dan menggeleng sekilas.

Ya ampun.

Pantas banget kalau tadi aku nyangka dia setán.

Lah penampilan dia saja begini.

Mata Ryan menelusuri keseluruhan penampilan Vanessa malam itu. Melihat potongan gaun santai yang dikenakan oleh Vanessa dan menyadari bagaimana gaun katun putih itu tampak polos tanpa ada satu motif pun di sana. Persis seperti gaun putih yang sering dipakai oleh tokoh setán di film-film horor.

Ryan meneguk ludahnya.

Menyadari bukan hanya warna gaun itu yang jadi sumber masalah, melainkan juga potongannya. Gaun itu memiliki potongan yang begitu sederhana. Terlihat lurus mengembang saja ke bawah. Pita atau renda atau semacamnya pun tidak ada.

Ya ampun.

Ini desainer mana coba yang kepikiran buat gaun santai dengan aura horor kayak gini?

Ryan mengembuskan napasnya.

Dan sebagai pelengkap, malam itu Vanessa justru mengurai rambut sepunggungnya yang bergelombang tanpa satu jepit pun di sana.

Ya ampun.

Komplit nggak sih?

Ini kalau ada yang nyari artis dadakan buat jadi hantu, beneran deh. Vanessa cocok 100%.

Kepala cowok itu geleng-geleng lagi. Benar-benar tidak percaya dengan apa saja yang baru terjadi di antara mereka.

Lalu, setelah puas geleng-geleng kepala, tanpa sengaja tatapan Ryan bertemu dengan Vanessa. Terlihat wanita itu mengerjap-ngerjapkan matanya.

"Kenapa?" tanya Ryan.

Vanessa geleng-geleng kepala. "Nggak, aku cuma masih takut aja," katanya. "Apa kita nggak sebaiknya pindah aja ya dari sini? Aku nggak mau diganggu setan."

Tangan Ryan melambai sekali di depan wajahnya. "Sebenarnya ya, di semua tempat pasti bakal ada makhluk gituan. Cuma ya kita jaga sikap aja biar dia nggak ngangguin kita."

"Tapi, kan kita nggak nggangguin dia. Orang malah dia yang ngangguin kita!"

Wah!

Ryan tercengang.

Lihat?

Belum ada sepuluh menit, ini cewek udah balik lagi sifat garangnya. Malah sekarang dia protes ke setán coba.

Ya ... walau setannya bohongan sih. Tapi, tetap saja Ryan tak percaya.

"Ck. Dia bukan ngangguin kita. Dia cuma mau ngomong ke kita kalau dia nggak suka ada keributan di sini. Dia cuma pengen tempat dia aman, damai, dan sentosa."

Ryan mengatakan hal itu dengan penuh raut kebijaksanaan di wajahnya. Bahkan saat itu tangannya bersidekap di depan dada.

Vanessa terdiam. Menggigit bibir bawahnya.

"Tapi, kita kan nggak ribut ..."

"Eh?" Ryan tercengang. "Orang kita pertama datang ke sini langsung berdebat. Terus pagi tadi kamu ngelempar mangkok ke dahi aku. Mana pake nampar pipi aku lagi."

Vanessa syok. Mulutnya membuka, tapi tak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya. Sementara itu mata Ryan membesar padanya. Terlihat seperti menantang argumen sanggahan cewek itu. Pada akhirnya, Vanessa mengembuskan napas panjang. Pundaknya jatuh lemas. Membuat Ryan tersenyum penuh kemenangan.

"Lagian ya, kamu itu bawaannya ke aku kasar banget." Tangan Ryan terangkat menunjuk ke jendela. "Itu setán mikir kamu itu lagi ngelawan cowok yang berusaha untuk melakukan pelecehan sama kamu."

Mata Vanessa membesar.

Dan Ryan berkata dengan raut kesedihan di wajahnya. "Setán itu korban pemerkosaan yang meninggal di tempat. Dia nggak mau ngeliat ada cewek lain yang mengalami itu di daerah kekuasaannya."

"Yang bener?"

Ryan manggut-manggut.

Ya Tuhan.

Mudah-mudahan tinta pencatat dosa aku lagi habis ya? Ini kayaknya aku banyak banget bohong dalam semalam.

Ckckckck.

"Kamu bohong ...."

"Aku nggak maksa buat kamu percaya sama aku, Sa." Ryan memejamkan matanya, tetap bersidekap. "Aku bahkan bisa merasakan kesedihan dia. Kekhawatiran dia dengan keselamatan kamu di sini. Dan karena itu aku bilang ke dia kalau kamu itu istri aku."

Ckckckck.

Harusnya aku masuk Fakultas Film aja, Tuhan.

Kenapa nyasar ke Pertanian?

Sejurus kemudian, Ryan membuka matanya. Melihat bagaimana raut wajah Vanessa yang masih tampak tegang.

Hiks.

Ryan nyaris tertawa karenanya.

"Karena itu, biar dia nggak datang lagi, ada baiknya kita jangan sampe ribut lagi. Dia masih bakal ngeliatin kita soalnya."

Vanessa meraba tekuknya. "Ya ... ya ... mau gimana lagi. Aku juga nggak mau ribut, tapi kan kamu yang mancing-mancing buat ribut."

Telunjuk Ryan menunjuk hidungnya sendiri. "Aku?"

"Iya, kamu." Vanessa cemberut. "Seandainya aja kamu nggak buat ulah, ya kita nggak mungkin ribut."

"Contoh aku yang buat ulah itu apa coba?"

Vanessa menatap Ryan kesal. "Kita lihat hari ini. Kamu ngambil Mata Kuliah Genetika Tanaman."

"Emang masalah?"

"Kan kamu udah dapat B."

"Emang salah ngulang biar dapat A?"

"Eh?"

"Lagipula aku emang mau pendalaman kok."

"Terus? Botani kamu juga B."

"Aku juga mau ngubah jadi A."

"Terus Biokimia dan Bioteknologi?'

"Aku juga mau ngu---"

Mata Ryan mengerjap-ngerjap.

"Apa?" sentak Vanessa. "Mau ngubah nilai A jadi A kuadrat atau A kubik?"

Ryan nyengir. "He he he."

Vanessa mendengus. "Kamu sengaja kan ngambil semua mata kuliah aku?" tanyanya dengan nada kesal. "Kenapa? Mau ngekori aku? Atau sebenarnya mau kamu apa sih? Kenapa kamu---"

"Deggarrr!!!"

"AAAH!!!"

Ryan pun tak kalah kagetnya dengan Vanessa yang meloncat dari tempat duduknya. Menghambur seketika memeluk tubuh cowok itu ketika angin membanting jendela.

Dahi Ryan mengernyit.

Kayaknya tadi aku nutup hordeng lupa nutup jendelanya deh.

Hehehe.

Sementara itu, Vanessa justru berbisik di dadá Ryan. "I-itu kenapa, Yan?"

"Kan? Udah aku bilangin jangan ribut, eh masih aja ribut," kata Ryan dengan nada geram walaupun sebenarnya ia geli. "Noh liat! Dia datang lagi."

"Hwaaa!"

Dan Ryan berusaha sekuat tenaga untuk tidak tertawa.

Hahaha.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro