11. Perjuangan Dimulai
"Ehem."
Vanessa mendehem. Wanita itu berusaha untuk menjaga raut wajahnya untuk tetap netral sekuat tenaganya, padahal itu ya ampun. Susah sekali. Terutama karena matanya mampu melihat dengan jelas bagaimana memerahnya wajah Ryan saat itu.
Tentu. Tentu saja wajahnya memerah karena cowok itu merasa malu berkat ucapan Vanessa tadi.
Astaga.
Sejurus kemudian setelah ia merasa telah mampu mengendalikan dirinya sendiri, pelan-pelan bibir Vanessa bergerak. Membentuk seuntai senyuman. Manis sekali. Bahkan mungkin bisa membuat semut berkumpul dalam sekejap mata. Dan dengan senyuman itulah ia berkata pada Ryan.
"Maaf ya, Ryan? Saya hanya kaget karena saya pikir kamu sudah mau fokus skripsi saja saat ini. Saya nggak ngira kalau kamu masih mau masuk kelas." Ia tampak berkedip sekali. "Nggak ada maksud lain kok."
Oh ... bukan hanya senyuman wanita itu yang manis. Lihat saja cara bicara dan tutur katanya. Ya ampun .... Seandainya saja Ryan tidak kepalang mengenal Vanessa seperti apa, dijamin deh. Cowok itu pasti sudah terbang ke nirwana saat ini.
Ryan memutar bola matanya sekilas. Tampak bibirnya cemberut. "Iya, Bu. Maaf juga kalau buat mata ibu jadi gatal gara-gara ngeliatin saya terus. Tapi, saya cuma rugi ngeluarin uang semesteran mahal-mahal cuma buat skripsi. Kepalang aja buat pendalaman sekalian."
"Hahahaha."
"Pendalaman?"
"Bilang aja ngulang, Yan."
"Ya elah pake sok ngomong pendalaman."
"Mau jaim di depan siapa kamu di sini, Yan?"
"Oh ... ada gebetan Ryan ternyata di kelas ini."
"Hahahaha."
Ryan meringis. Satu kelas menertawai dirinya. Terutama ketika ia melihat ke sebelah. Abid tampak terpingkal-pingkal menertawakan ia.
"Emang dasar teman nggak ada akhlak kamu, Bid," gerutu Ryan.
Tak menghiraukan gerutuan Ryan, Abid justru semakin tergelak-gelak. "Sudahlah wajah babak belur, eh pake acara diketawai satu kelas lagi. Hahahaha." Abid menepuk-nepuk punggung Ryan. "Kamu ada buat dosa apa, Yan?"
"Itu juga yang sebenarnya lagi aku pertanyakan," gerutu Ryan sebal. "Kok nasib aku yang kayak sial terus sekarang sih?"
Sejurus kemudian Vanessa kembali mendehem demi mendamaikan tawa yang menggelegar itu. Ia tampak berkata tanpa menghapus senyum di wajahnya yang cantik.
"Sudah ya? Kalau kalian ketawa terus kita nggak bisa belajar siang ini."
Mendengar Vanessa berkata seperti itu, sontak saja membuat Ryan merutuk habis-habisan di dalam hati.
Liat kan?
Di depan gini dia lembut banget. Tebar senyum ke mana-mana. Kayak Putri Indonesia lagi menghadapi dewan juri aja.
Nah, pas giliran sama aku di rumah? Bukan senyum yang keluar, tapi tanduknya yang keluar. Ditambah juga dengan cakar dan taring.
Dasar!
Dan Ryan masih saja merutuk di dalam hati sementara Vanessa lanjut untuk mengabsen semua peserta kelas siang itu. Hingga selesai, wanita itu kemudian menutup map absen dan beranjak ke meja. Mengeluarkan laptop dan menayangkan powerpoint materinya. Dalam hati cewek itu mengumpat salah tingkah.
Mau sampai kapan sih dia ngeliatin aku kayak gitu?
*
Vanessa terburu-buru merapikan perlengkapan mengajarnya setelah ia menutup kelas Genetika Tanaman siang itu. Tanpa basa-basi setelahnya ia langsung melesat keluar. Kakinya melangkah menuju ke gedung sebelah di mana gedung jurusannya berada. Gedung jurusan itu mencakup pula dengan laboratorium di belakangnya.
Setibanya wanita itu di sana, ia dengan cepat menuju ke ruangannya. Langsung saja ia membuka laptopnya yang tadi tidak ia padamkan, melainkan hanya dalam mode sleep.
Vanessa duduk. Menyambungkan laptopnya dengan internet kampus dan segera membuka portal mahasiswa. Selagi menunggu laman yang ia tuju terbuka, Vanessa menggigit bibir bawahnya dengan jantung berdebar.
Laman terbuka. Ia memasukkan username dan kata sandinya dengan cepat. Lalu ia mengarahkan kursor ke menu data mahasiswa. Mengetik nama Rizki Adryan Wicaksana di sana. Dan ia hanya menunggu dua detik lamanya.
Sreeet!
Data Ryan keluar dan Vanessa segera menekan menu Kartu Rencana Studi cowok itu. Ingin mengetahui mata kuliah apa saja yang Ryan ambil di semester itu selain skripsinya. Dan kemudian, Vanessa tercengang.
"Botani .... Genetika Tanaman .... Biokimia Tanaman .... Bioteknologi Tanaman ...."
Wanita itu bahkan sampai mengucek-ucek matanya berulang kali. Kembali membacanya, namun tulisan di sana tidak berubah. Lalu ia menutup laptopnya dengan kesal.
*
Anton dan Sahrul sama-sama tercengang ketika melihat kedatangan Ryan sore itu. Terutama ketika Ryan terlihat dengan begitu pelan dan berhati-hati saat melepaskan helm dari kepalanya. Walau tak urung juga, ringisan pelan tetap keluar dari mulut cowok itu.
Kedua cowok itu sontak saja menghampiri Ryan dengan wajah khawatir dan cemas.
"Bos? Itu kenapa wajah babak belur gitu?"
"Bos dikeroyok siapa? Bilangin deh. Gini-gini aku mantan jawara, Bos. Biar kita serang balik, Bos."
Ryan melirik mereka dengan malas. Tangannya terangkat sekilas. "Nggak usah khawatir. Aku baik-baik aja kok."
"Tapi, wajah Bos nggak keliatan baik-baik saja loh."
Ryan menarik napas dalam-dalam. Melirik kembali pada Anton dan Sahrul yang sebenarnya memiliki umur yang lebih tua dibandingkan dengannya.
"Udah, tenang aja kok. Aku nggak bakalan mati cuma gara-gara mangkok."
"Mangkok?"
Anton dan Sahrul kompak menanyakan hal itu dengan dahi berkerut. Membuat Ryan tersadar dan lantas meneguk ludahnya. Matanya berkedip berulang kali.
"Apa hubungannya dengan mangkok, Bos?" tanya Anton dengan raut bingun.
Ryan geleng-geleng kepala. Memutar otak dan ia justru menunjuk ke belakang. "Aku mau ngeliat stok bibit dulu di rumah kawat," katanya sembari melangkahkan kaki. "Kalian lanjut aja lagi."
Sementara itu, Anton dan Sahrul yang tangannya sama-sama kotor karena tengah memindahkan bibit mawar ke pot tampak saling pandang. Lalu keduanya mengangkat bahu sekilas dan memutuskan untuk melanjutkan pekerjaan mereka.
Di belakang, Ryan tampak menuju satu rumah kawat yang berukuran setidaknya sekitar 3 x 5 meter. Ia mendorong pintunya dan masuk.
Cowok itu tampak mengamati beberapa tanaman hias yang di dalam polibag berukuran 10 x 20 sentimeter. Ada aglonema, puring, lidah mertua, suplir, dan banyak jenis lainnya. Setiap tanaman hias itu pun memiliki beberapa varietas berbeda. Dan untuk mempermudah pekerjaan, Ryan dengan teliti memisahkan tiap jenis dan varietasnya di barisan-barisan yang berbeda. Lengkap dengan labe namanya malah. Dan itu sedikit banyak ia lakukan juga untuk mempermudah pekerjaan Anton dan Sahrul.
Sementara itu, di tempat terpisah ada satu rumah kawat lainnya yang berukuran lebih kecil. Ryan pergi ke sana untuk memeriksa keadaan tanaman induknya karena rumah kawat yang satu itu memang ia peruntukkan untuk tanaman-tanaman induk. Dengan kata lain tanaman yang menjadi sumber perbanyakan tanaman-tanaman lainnya.
Khusus untuk rumah kawat tanaman induk, Ryan memang mewanti-wanti Anton dan Sahrul agar tidak sering mendatanginya selain untuk menyiram dan memupuknya. Bahkan terkadang kalau Ryan tidak sibuk, ia sendiri yang akan melakukan segala jenis perlakuan perawatan untuk tanaman di sana. Bukannya apa, tapi Ryan sangat menjaga agar tidak ada kontaminasi dari luar yang bisa mengganggu kesehatan tanaman induknya.
Terserang penyakit satu saja pada tanaman di sana, Ryan yakin dirinya bisa mencak-mencak. Sumber penghasilannya yang terancam. Belum lagi karena beberapa tanaman induknya itu memiliki harga beli yang tinggi. Ryan sudah mati-matian mengumpulkan uang beasiswanya untuk membeli tanaman-tanaman itu dan tidak ingin kehilangannya.
Cowok itu lantas berjongkok, tepat di satu pohon induk aglonema sumatra yang kemaren sudah habis terjual. Tangan cowok itu terulur untuk melihat pohon tanaman itu. Memperkirakan apakah tanaman itu siap untuk diperbanyak dalam waktu dekat atau tidak.
"Ehm .... Apa baiknya aku tungguin sekitar sebulan lagi ya?" tanya Ryan pada dirinya sendiri. "Soalnya kasihan juga sih. Semua aglonema sumatra juga baru mau tumbuh lagi."
Ryan bangkit. Melihat-lihat tanaman puringnya, talas-talasannya, dan pokoknya semuanya deh. Beberapa saat kemudian cowok itu meletakkan sejenak tas ranselnya berikut dengan jaketnya. Ia mengambil gembor dan menyiram tanaman di sana. Setelahnya ia memangkas daun-daun tua dari setiap pohon.
Ryan menikmati hal itu sampai nyaris tak sadar waktu. Ketika ia menengadah, langit terlihat semakin jingga. Dan itu mendorong Ryan untuk menyudahi pekerjaannya, lalu ia pun kembali ke depan.
"Ton .... Rul ...." Cowok itu memanggil Anton dan Sahrul yang tengah beres-beres.
"Iya, Bos?"
"Ada apa, Bos?"
"Ini ntar kan kayaknya aku bakal jarang lagi tinggal di sini," kata cowok itu menjawab pertanyaan Anton dan Sahrul.
"Emang kenapa, Bos?" tanya Anton.
Sahrul menyikut perut Anton. "Ya kan Bos mau fokus buat wisuda," kata Sahrul. "Iya kan, Bos?"
Ryan menyeringai. Padahal sebenarnya tadi ia tengah memikirkan jawaban yang tepat dan aman untuk menjawab pertanyaan Anton. Eh, malah Sahrul yang secara tak langsung membantu dirinya.
Hahahaha.
Ryan menepuk-nepuk Sahrul. "Kamu memang pengertian sekali, Rul."
Anton cemberut.
"Hahahaha." Ryan lantas tergelak. "Nah, karena aku bakal jarang balik ke sini, jadi aku minta tolonglah ya ke kalian."
"Tolong apa, Bos?"
"Cariin orang yang bisa buat jaga malam di sini," kata Ryan. "Buat istirahat kan bisa pake pondok di sebelah."
Anton dan Sahrul kompak melihat pondok yang dimaksud oleh Ryan. Sebenarnya bangunan itu tidak bisa juga disebut pondok. Justru lebih mirip rumah panggung mini. Kemaren sih Ryan membangun itu dengan maksud kalau pelanggannya merasa capek dan ingin sekadar beristirahat sejenak. Tapi, bangunan bermaterial papan itu nyatanya menjelma menjadi bangunan yang terlihat menarik.
"Ehm ... ada gajinya, Bos?" tanya Sahrul.
"Ya ada dong," tukas Anton. "Masa nggak digaji."
"Hahahaha. Ada. Aman saja. Kenapa? Kamu mau?" tanya Ryan.
"Ya nggak, Bos. Orang aku udah kerja seharian, masa sampe malam juga. Tapi, ada kakak sepupu aku lagi nyari kerjaan. Nanti aku suruh ke sini."
Ryan mengangguk. "Besok aja ya suruh temui saja. Agak sorean ginilah. Dan sebelum besok, aku minta tolong deh satu di antara kalian buat jaga malam ini. Aku kasih lembur kok."
"Aku siap, Bos!" serobot Anton cepat.
Sahrul hanya bersungut-sungut mendapati dirinya yang kalah cepat dibandingkan Anton. Ryan hanya terkekeh kecil.
Sejurus kemudian, setelah berbincang beberapa hal tak penting lainnya, Ryan pun melajukan motornya meninggalkan tempat itu. Tujuannya? Ya sudah barang tentu adalah unit apartemennya yang baru dong. Tempat di mana perjuangan hidupnya akan dimulai.
Hiks.
Jarak antara depot dan apartemen itu lumayan jauh. Dan karenanya tak heran bila Ryan sampai tepat ketika matahari telah bersembunyi di atas sana.
Cowok itu dengan segera menaiki lift menuju ke lantai di mana unitnya berada. Di dalam lift, cowok itu bersiul-siul seraya melihat nomor lantai yang berubah-ubah.
"Ting!"
Lift berhenti dan pintunya terbuka. Ryan melangkah keluar. Berbelok ke sebelah kanan dan berhenti di depan pintu dengan nomor 201. Ia segera memasukkan kata sandi pintu itu.
Ketika ia masuk, ia mendapati lampu yang belum menyala hingga membuat pandangan Ryan gelap. Kedua tangannya tampak meraba dinding seraya mencari keberadaan saklar lampu.
Lalu, langkah kaki Ryan terhenti seketika. Matanya melotot saat mendadak saja di depan sana, keluar dari balik dinding sesosok tubuh yang mengenakan gaun putih selutut dengan rambut panjang terurai.
"SETAAAN!!!"
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro