Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

10. Bertubi-Tubi

Vanessa menutup mulutnya yang spontan menganga dengan kedua tangannya. Ia syok. Tak percaya dengan apa yang tengah terjadi di hadapannya saat ini.

Di depan sana, Ryan terlihat lunglai jatuh ke lantai seraya melirih pelan. Pada akhirnya cowok itu terbaring tak bergerak dengan kedua tangan di area selangkangannya. Ryan terlihat begitu kaku dan kemudian malah tidak bersuara lagi.

Pose yang benar-benar memalukan.

Tapi, mata Vanessa membesar. Tak sedikit pun menganggap pose Ryan yang tergeletak itu adalah hal yang lucu dan memalukan. Yang ada malah ia cemas seketika.

Astaga, Tuhan.

Kenapa dia mendadak diam gitu?

Dia nggak mungkin mati cuma gara-gara dilempar mangkok kan ya?

Masa dia mati semudah itu sih?

Ragu, tapi pada akhirnya dengan langkah takut-takut, Vanessa mendekati tubuh Ryan. Ia mengulurkan kakinya. Jari jempol dan telunjuk kakinya menyentuh jari kaki Ryan. Menyenggolnya berulang kali.

"Yan .... Yan .... Yan ...."

Tapi, Ryan tak merespon. Membuat pikiran buruk merasuki benak Vanessa.

"Yan ..., kamu nggak apa-apa kan ya?"

Tapi, Ryan tak menjawab pertanyaan itu. Jangankan menjawab, melirihkan sedikit suara pun ia tidak. Dan itu membuat Vanessa semakin ketakutan.

Gawat!

Dia pingsan atau beneran mati?

"Ryan!"

Vanessa akhirnya menjeritkan nama itu dan lantas menghampiri tubuh Ryan. Mengenyahkan sedikit rasa jengah di wajahnya saat melihat Ryan tanpa busana dengan dua tangan menutupi organ intimnya tengah terbaring di lantai.

Glek.

Vanessa turun dan berjongkok di sebelah tubuh Ryan. Mengulurkan tangannya dengan ragu dan kemudian mencolek tubuh cowok itu dengan jari telunjuknya. Tapi, Ryan benar-benar tidak bergerak.

"Kamu nggak mati kan, Yan? Masih hidup kan?"

Tapi, masih tak ada jawaban yang wanita itu dapatkan. Lantas, Vanessa memutuskan untuk mengambil risiko.

Vanessa menguatkan diri untuk mengabaikan segala macam rasa malu dan jengah yang ada. Pikiran buruk membuat ia dengan segera menurunkan wajah dan menempelkan telinganya di dadá polos Ryan yang bidang. Dan Vanessa dengan jelas bisa mendengar detak jantung Ryan.

Vanessa mengembuskan napas lega.

Ternyata dia nggak jadi mati.

Tapi, kenapa dia nggak gerak?

Dia pingsan gitu?

Di saat Vanessa masih bertanya-tanya mengenai kemungkinan yang terjadi pada Ryan dengan posisi telinganya yang masih menempel di dadá kiri cowok itu, mendadak saja terdengar lenguhan dan lantas Ryan bertanya dengan suara rendah.

"Kamu mau memperkosa cowok yang sedang lemah tak berdaya kayak gini, Sa? Tega amat sih."

"AAAH!"

*

"Kamu abis berantem atau abis dikeroyok, Yan? Kok mendadak datang-datang muka yang udah kayak petinju abis kena KO sih?"

Ryan meringis mendengar pertanyaan Abid siang itu. Cowok itu baru saja datang beberapa menit dan langsung mendapat komentar tentang keadaan wajahnya yang mengenaskan.

Abid semakin meneliti wajah Ryan. "Berantem itu bukan tipe kamu banget. Jadi, mending jujur deh. Cewek mana yang ngebuat kamu sampe babak belur kayak gini?"

Mata Ryan melotot. Pelan-pelan ia menarik wajahnya dari topangan tangannya di atas meja. Ia menoleh pada Abid.

"Kok kamu tau aku babak belur gini gara-gara cewek?"

Abid melotot. "Sial!" umpatnya. "Ternyata beneran gara-gara cewek."

Ryan meringis. Menyadari kalau ia terlepas jujur.

"Gila kamu, Yan! Cewek siapa yang kamu ganggu? Lagian ya, ngapain juga pake acara ngangguin cewek orang? Kayak yang kamu nggak laku banget jadi cowok."

"Kamu yang gila!" tukas Ryan. "Yang ngomong aku babak belur gara-gara ngangguin cewek orang siapa emangnya? Sembarangan aja."

"Lah! Tadi kamu sendiri yang bilang kamu emang babak belur gara-gara cewek."

Ryan benar-benar ingin mengumpat, tapi kalau ia membuka mulutnya lebih lebar lagi, pipinya akan terasa nyeri.

Aduh!

Sudahlah dahi benjol karena mangkok, eh pipi nyeri karena ditampar.

Sarapan yang benar-benar tiada duanya.

Hanya ada satu di dunia.

Ryan mengembuskan napas panjang.

Sabar sabar sabar.

Orang sabar lancar rezeki.

Pada akhirnya, Ryan pun berkata. "Ini muka aku memang babak belur gara-gara cewek. Alias aku kena hajar cewek."

"Eh?" Mata Abid melotot. "Kenapa kamu sampe dihajar cewek sampe segininya? Kamu ngapain dia? Kamu ngegrepein dia? Wah. Ckckckck. Nggak nyangka aku kamu bisa gitu juga."

Ryan menatap Abid sambil geleng-geleng kepala. "Tadi itu, seujung kuku pun aku nggak sempat nyentuh dia, Bid. Sumpah deh. Yang ada malah dia yang ngapa-ngapain aku."

"Enak dong! Kamu pasti yang pasrah gitu!" tukas Abid. Lalu ia tertawa terbahak-bahak.

Mau banget aku pasrah seandainya tadi itu tangan dia nggak melayang di pipi aku.

Ryan berdecak sekali. Tak berniat meneruskan perbincangan itu. Karena mau bagaimanapun juga, Abid tidak menganggap serius perkataannya. Lagipula, membicarakan hal itu membuat perasaan cowok itu jadi kesal.

Udahlah aku dilempar pake mangkok, eh terus aku juga ditampar.

Di mana logisnya coba?

Ah! Benar-benar deh. Lama kelamaan bisa hancur beneran ini badan aku.

Harusnya tadi itu kan aku yang marah-marah, eh tapi kenapa malah dia yang ngamuk-ngamuk ke aku?

Pake acara jerit-jerit segala lagi.

Ya kalau nggak suka mah jangan dilihat. Tapi, tadi kan yang ada dia malah melotot lebar.

Dan setelah ia membatin seperti itu, mata Ryan langsung memejam. Baru tersadar akan sesuatu.

Astaga, Tuhan!

Ngomong-ngomong pagi tadi adek aku nggak yang lagi bangun kan ya? Soalnya bukan apa. Aku ya masih rada ngantuk dan nggak sadar juga kalau tadi itu aku pake celana dalam low-rise briefs.

Ya ampun, Ryan!

Wajar aja kalau dia jadi jerit-jerit histeris kayak gitu.

Ah!

Kok goblok banget sih aku sampe nggak nyadar hal kayak gitu?

Tapi, ya mau gimana lagi?

Udah kebiasaan tinggal sendirian di depot kan? Udah biasa banget aku mondar-mandir cuma pake pakaian dalam aja.

Ryan mengembuskan napas panjang.

Ternyata kehidupan pernikahan nggak semudah yang aku pikirkan. Awalnya aku pikir nikah itu enak, apalagi nikahnya sama cewek sebangsa Vanessa. Tapi???

Rasa-rasanya Ryan ingin menepuk dahinya andai ia tidak ingat kalau dahinya sebelah kanan sekarang benjol. Lengkap dengan warna merah-merah ungu begitu sih.

Ehm ....

Akhirnya Ryan mengerti mengapa orang sering berkata bahwa menikah itu benar-benar butuh persiapan mental. Terutama kalau wanita yang dinikahi itu seperti Vanessa. Yang terlihat lembut di luar, tapi ternyata garang di dalam.

Butuh mental yang kuat. Hanya cowok terpilih saja yang mampu mengemban tugas dan amanah ini. Dan cowok itu adalah aku. Ha ha ha ha.

Eh?

Kenapa aku yang mendadak bangga kayak gini?

Sepertinya efek mangkok tadi belum hilang seluruhnya dari kepala Ryan. Lihat saja. Pemikiran dia sedikit aneh siang itu.

"Oh iya, hampir lupa."

Ryan menoleh saat mendengar suara Abid bicara padanya lagi. Ia melirik sedikit. "Apa?"

"Itu ... kemaren aku main ke sekre sebelum balik, ngumpul bentar. Dapat kabar. Kata anak-anak, Ozy mau jual mobilnya. Kayaknya sih dia mau ganti baru gitu."

"Terus? Hubungannya ke aku apa?" tanya Ryan. "Aku bukanya depot bunga ya, bukan dealer mobil."

Abid sedikit mencibir pada Ryan. "Kan kemaren kamu bilang lagi kepengen nyari mobil. Katanya capek kehujanan."

Mata Ryan mengerjap-ngerjap. Kepalanya tampak meneleng ke satu sisi. Berpikir. Mengingat kapan ia mengatakan hal itu.

"Iya aku pernah ngomong gitu?"

"Sial! Kayaknya benjol itu ngebuat kamu lupa ingatan," ujar Abid seraya geleng-geleng kepala. "Itu loh kamu ngomong pas kamu flu gara-gara pulang kuliah jam enam terus kehujanan sampe ke depot."

"Aaah ...."

"Ingat?"

"Nggak."

Sekuat tenaga Abid menahan dorongan jiwanya untuk menjitak kepala Ryan. Ia tidak ingin otak sahabatnya itu semakin bermasalah.

"Ck. Intinya, kalau kamu mau beli ya hubungi aja dia. Masih baru juga sih sebenarnya mobil itu anak. Belum ada setahun kayaknya," kata Abid. "Mesinnya masih pada bagus."

Ryan geleng-geleng kepala. "Aku nggak jadi mau beli mobil."

"Eh? Kenapa? Bukannya kemaren kamu sendiri yang bilang capek bawa motor? Udah berat, tangan kaki sibuk semua, eh kehujanan kepanasan lagi." Abid mengingatkan setiap perkataan Ryan kala itu. "Iya kan?"

"Hehehehe."

Bukannya menjawab, Ryan malah terkekeh. Hingga membuat Abid jaga-jaga. Jangan-jangan mendadak ada makhluk halus yang merasuki tubuh Ryan.

Sial!

Atau benjol itu ngebuat Ryan jadi nggak waras lagi?

Sejurus kemudian, Ryan menghentikan tawanya. Dan ia berkata.

"Kayaknya aku nggak jadi ah mau ganti mobil. Aku mau setia bawa motor aja."

"Kenapa? Masih mau buat leb kultur jaringan?"

"Hahahaha. Tabungan aku aja udah ludes, Bid."

"Eh?"

"Aku malah rencananya mau nanya, kira-kira bisa sewa leb di jurusan buat kepentingan komersial nggak. Hahahaha. Mau memperbanyak anggrek dulu aku kayaknya. Biar bisa dapat duit banyak dalam waktu singkat."

"Perbanyak ganja sono," tukas Abid. Tapi, sejurus kemudian ia mengerutkan dahinya ketika menyadari perkataan Ryan. "Emang tabungan kamu ke mana? Beneran udah habis semua?"

"Ya nggak habis beneran sih. Pas aku cek pagi tadi ternyata masih bisa dapat Nmax tunai kok."

"Terus?"

"Tapi, kan emang aku lebih prioritas mau buat leb kultur si. Apalagi nih ya ... aku mikir sepertinya cowok itu memang harus bawa motor aja deh, Bid. Udah yang cocok banget cowok dan motor itu. Beneran. Percaya deh sama aku."

Abid hanya bisa geleng-geleng kepala. Bingung melihat Ryan yang berkata seperti itu dengan raut wajah yang tampak tersenyum malu-malu.

Beneran deh.

Ini anak gara-gara benjol kenapa jadi menakutkan gini sih?

Sementara itu, Ryan terlihat menarik napas ketika selesai dengan senyum geli-geli di wajahnya itu. Bagaimanapun juga, pembahasan motor itu membuat ia teringat lagi dengan kejadian semalam.

Coba aja kalau aku bawa mobil, mana mungkin aku bisa ngerasain yang kayak gitu. Iya kan? Hihihi.

Dan ketika Ryan telah berusaha menenangkan dirinya dari kenangan malam itu, suasana riuh di kelas menjadi hening seketika saat terdengar suara hak sepatu yang memukul-mukul lantai. Beberapa orang mahasiswa yang masih berkeliaran terlihat langsung berlari dan duduk di kursi. Semua kompak menciptakan suasana hening untuk menyambut dosen yang akan mengajar.

"Selamat siang semuanya!"

"Selamat siang, Bu!"

Ryan tersenyum di tempatnya duduk.

Tuh kan. Kalau ngeliat dia begini kan enak. Tersenyum, manis, dan keliatan anggun. Nggak kayak di rumah.

Di depan, dosen yang tak bukan adalah Vanessa terlihat meraih absen dan beranjak ke depan papan tulis.

"Seperti biasa, sebelum mulai saya akan absen terlebih dahulu," kata Vanessa.

"Baik, Bu."

Vanessa membuka absen dan mulai menyebutkan satu persatu nama mahasiswa yang ada di sana. Dan kemudian, mulutnya memanggil.

"Rizki Adryan Wicaksana."

"Hadir, Bu!"

Vanessa mengangkat wajahnya. Menganga melihat bagaimana Ryan benar-benar duduk di antara mahasiswa lainnya dan cowok itu mengangkat tangan dengan begitu semangat. Membuat Vanessa sungguh tidak habis pikir. Dan hal itu tanpa sadar menyebabkan dirinya menyeletuk.

"Kamu lagi?"

Ryan mengerjap-ngerjapkan matanya. Bingung. Terutama ketika peserta kelas yang hampir 90% merupakan juniornya itu kompak menatap dirinya.

Tapi, di saat ia sendiri bingung dengan Vanessa, maka di saat itu pula Vanessa kembali melirih dengan dahi berkerut.

"Sebenarnya kamu ini ngulang berapa mata kuliah sih?"

Dan sekejap saja Ryan menjadi bahan tertawaan seisi kelas.

Sial!

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro