Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1. Asal Mula Pernikahan

Sebulan yang lalu.

Vanessa menarik napas dalam-dalam. Mencoba mencerna dengan baik apa yang telinganya dengar saat ini. Dan demi benar-benar bisa memaknai kalimat demi kalimat yang ia dengar, ia pun mengangkat wajah. Menatap wajah kedua orangnya dengan saksama. Mencoba mencari. Mungkin saja ia menemuk jejak geli di wajah orang tuanya yang menjadi indikasi bahwa mereka berdua tengah bercanda.

Tapi, astaga.

Vanessa mengerjapkan matanya.

Masa Mama dan Papa becanda tentang hal sepenting ini di akhir bulan sih?

Pelan-pelan, Vanessa mengembuskan napasnya. Menyadari bahwa hal itu tidak ada kaitannya sama sekali dengan tanggal tua. Tapi ....

"Ma .... Pa ...." Vanessa mengerutkan dahinya ketika akhirnya berhasil mempertanyakan keraguan pikirannya saat ini. "Mama dan Papa tadi ngomong apa ya?"

Ilana, seorang wanita paruh baya yang telah menginjak usia ke empat puluh lima tahun itu tampak menarik napas dalam-dalam. Sejenak ia melirik ke sebelah. Pada suaminya yang bernama Herman. Seorang pria yang lebih tua tiga tahun dibandingkan dengan dirinya. Pria yang walau rambut hitamnya mulai diselipi beberapa helai rambut bewarna putih itu, namun ternyata masih terlihat gagah di usianya.

Herman turut menoleh. Menatap istrinya untuk beberapa saat. Terlihat dari wajah keduanya bahwa kedua orang tua tersebut tampak berat ketika mengatakan hal itu. Tapi, mereka seperti tidak memiliki jalan keluar lainnya. Melihat putri semata wayang mereka dengan wajah yang selalu murung adalah hal yang tidak diinginkan oleh mereka berdua. Mereka berdua tak percaya, tapi begitulah yang terjadi. Vanessa yang terkenal cantik dan pintar, serta yang dipuji dan disanjung orang dengan predikat wanita sempurna itu ternyata masih menyimpan rasa sakit hati karena perbuatan tunangannya.

Ralat.

Mantan tunangannya.

Di bulan-bulan menjelang pernikahan mereka, Vanessa justru mendapati Anthony berselingkuh dengan wanita lain. Mungkin Vanessa masih bisa memberikan kesempatan kedua bagi pria itu seandainya saja Vanessa memergoki perselingkuhan itu di mall atau bahkan ya di restoran-restoran. Tapi, bagaimana ceritanya Vanessa bisa memaafkan perselingkuhan itu bila Vanessa memergoki Anthony dan wanita itu di apartemen pria itu? Dengan keadaan yang benar-benar tak mampu wanita itu bayangkan sebelumnya.

Tentu saja, ketika Vanessa meminta pembatalan pertunangan mereka, keluarga pihak pria tak ada yang bisa menampik. Masalahnya adalah bukan hanya Vanessa yang memergoki perbuatan pria itu. Melainkan Susan –ibu Anthony- juga melihat dengan mata kepalanya sendiri kejadian tersebut. Bahkan Susan pun sangat terguncang harus mendapati perselingkuhan anaknya di saat ia dan Vanessa mengunjungi apartemennya kala itu. Dan untuk itulah, Susan menyadari bahwa sangat wajar bila keputusan itulah yang diambil oleh Vanessa.

Bukti yang ada terlalu valid untuk Anthony bisa mengelak dari tuduhan tersebut seandainya bila pria itu memang ingin mempertahankan hubungan mereka. Tapi, ternyata pria itu memang tidak menginginkan hubungan itu lagi. Anthony bahkan dengan senang hati menerima keputusan Vanessa. Membatalkan pertunangan mereka.

Lebih dari itu, di saat Vanessa tengah bersedih. Tidak percaya dengan kenyataan yang sekarang menimpa dirinya, Vanessa melihat satu postingan di Instagram. Tentu saja itu bukan postingan Anthony, karena bagaimanapun juga, Vanessa telah memutuskan untuk memblokir semua hal yang berkaitan dengan pria itu. Tapi, hari itu salah seorang temannya memosting undangan pria itu.

Gila!

Vanessa benar-benar ingin meneriakkan satu kata itu di depan muka Anthony. Wanita itu benar-benar tidak percaya dengan apa yang ia lihat.

Ketika aku lagi sibuk menata hati. Berusaha untuk melupakan rasa sakit hati aku, eh dia malah sudah segitu lincahnya buat ngurus pernikahan?

Ya Tuhan.

Vanessa pikir dia akan mati sebentar lagi. Atau paling tidak, mungkin dia yang akan gila.

Wanita itu benar-benar tertekan.

Tidak ingin makan, tidak ingin minum, bahkan yang ia lakukan sehari-hari hanyalah menangis dan mengurung diri di kamar seharian. Beruntung saat itu setelah libur antar semester. Vanessa yang berprofesi sebagai dosen bisa sedikit mengambil cuti dengan alasan kesehatan.

Ya, kesehatan mentalnya sedang terguncang.

Dan sebagai orang tua, Ilana dan Herman menjadi pihak yang terpukul dengan kejadian itu. Putri satu-satunya. Anak kebanggaan dan kesayangan mereka harus mengalami hal seperti itu. Bukan hal yang mudah untuk mereka berdua terima.

Kalau mereka sebagai orang tua yang merupakan orang terpenting di kehidupan Vanessa saja sebisa mungkin menjaga agar putrinya itu selalu bahagia, lantas mengapa Anthony begitu kejam dan tidak berperasaannya sehingga tega membuat Vanessa menderita?

Ilana dan Herman berdiskusi singkat. Mencoba menenangkan Vanessa pun terbukti tidak memberikan banyak manfaat bagi gadis itu. Hingga kemudian, bisik-bisik kanan kiri kerabat mereka sampai pula ke telinga mereka berdua.

Buat Vanessa melupakan Anthony.

Cari pria lain yang bisa membahagiakan gadis itu.

Toh bukannya obat patah hati yang paling mujarab adalah jatuh cinta lagi?

Tapi, Vanessa terlalu tertutup. Walau ia terlihat sebagai pribadi yang ceria dan bersahabat pada siapa pun, nyatanya dia adalah gadis yang tidak mudah menerima orang baru. Ia nyaris benar-benar tidak memiliki banyak teman karena terlalu terfokus pada studi dan karirnya.

Maka dari itulah, kedua orang tua Vanessa sepakat mengambil keputusan itu. Mungkin akan terlihat memaksa, tapi mereka merasa itu adalah pilihan yang paling tepat.

"Ehm ..., Mama dan Papa ingin kamu menikah, Sa," kata Ilana kemudian. Tangan Ilana tampak diremas pelan oleh Herman.

Vanessa mengernyit. Terlihat bingung. "Menikah?" tanyanya membeo perkataan Ilana barusan. "Mama dan Papa ingin aku menikah?"

Ilana dan Herman mengangguk sekali dengan kompak. Dan anggukan itu membuat kerutan di dahi Ilana semakin banyak.

"Ehm ...."

Vanessa membawa satu tangannya untuk memijat pelipisnya. Entah mengapa mendadak saja ia merasa pening.

"Menikah?" ulang Vanessa bertanya. "Menikah itu ... ehm ... yang merupakan acara mengucapkan janji di depan pemuka agama gitu kan ya, Ma? Pa? Pake saksi, terus ...." Vanessa melotot. "Aku menikah?"

"Iya, Sa."

Vanessa terlonjak dari kursinya. Seketika saja ia merasa napasnya menjadi kacau balau. Keringat memercik di dahinya.

"Aku menikah? Aku mau menikah dengan siapa?" tanya Vanessa bingung. "Dengan Anthony? No! Aku nggak mau nikah sama cowok itu. Lagipula, hubungan kami udah selesai. Mama dan Papa juga udah setuju dan bahkan mendukung keputusan aku waktu itu."

"Iya, Sayang," kata Ilana mengangguk. "Kami paham. Dan tentu saja kami nggak mau kamu menikah dengan pria seperti itu."

Herman kemudian berkata. "Duduk dulu, Sa. Dengarkan dulu apa yang akan Mama dan Papa katakan."

Berusaha mengatur napasnya, Vanessa perlahan mendekati kursinya lagi. Duduk. Walau dengan perasaan yang tidak tenang. Vanessa menyadari itu, terutama ketika ia mendapati kedua telapak tangannya telah lembab karena keringat.

"Jadi," kata Herman seraya menarik napas dalam-dalam. "Mama dan Papa nggak tega ngeliat kamu selalu seperti ini, Sa. Kamu selalu bersedih dan menyalahkan diri sendiri. Sedangkan perasaan kami berdua kamu lupakan. Kalau kamu seperti ini terus menerus, kami yang sakit."

Vanessa tertegun untuk beberapa saat.

Mengerti dengan baik maksud perkataan Herman. Dan Vanessa menyadari. Tak ada orang tua yang tahan untuk melihat anaknya sedih sepanjang waktu. Terlebih lagi kalau itu anak tunggal mereka. Satu hal yang sempat terlupakan oleh Vanessa yang terlalu berkubang dalam kesedihannya sendiri.

Ilana mencoba tersenyum ketika kemudian menimpali perkataan Herman. "Karena itu, Sayang. Kami berdua hanya ingin kamu kembali menjadi Vanessa yang dulu. Kami ingin kamu melupakan Anthony. Menikmati kembali kehidupan kamu."

"A-a-aku ...." Vanessa menarik napas dalam-dalam. Wajahnya tertunduk lemas. "Aku minta maaf karena sudah ngebuat Mama dan Papa khawatir selama ini. Tapi ..."

"Itu bukan salah kamu, Sa," potong Ilana. "Tapi, kamu berhak untuk bahagia lagi. Kamu perlu cinta yang baru."

Senyum sendu terukir di wajah Vanessa. "Cinta yang baru?"

Seandainya saja melakukannya semudah dengan mengatakannya. Kalau mencari cinta yang baru memang mudah, aku pasti dengan senang hati jatuh cinta lagi.

"Kami berdua sudah mencarikan calon suami untuk kamu, Sa."

Suara Herman membuat wajah Vanessa yang tertunduk sontak terangkat kembali. Kali ini mata Vanessa menyiratkan ketidakpercayaan yang begitu besar.

"Calon suami untuk aku?"

Ilana dan Herman mengangguk. Mereka berdua tampak saling pandang sekejap ketika Herman melanjutkan perkataannya.

"Ada teman Papa, memiliki seorang putra. Eyangnya meminta agar ia segera menikah. Ia cucu kesayangan dan Eyangnya takut ia tidak sempat melihat cucunya itu menikah karena kesehatannya yang sudah begitu menurun."

Mata Vanessa mengerjap-ngerjap tak percaya. "A-aku ...."

"Pria ini memang masih muda."

Mata Vanessa berhenti mengerjap. Kali ini melotot. "Masih muda? Maksudnya?"

"Usianya memang lebih muda dibandingkan dengan kamu. Kalau tidak salah saat ini ia baru berusia dua puluh dua tahun."

"Apa?" Vanessa merasa sesak napas sekarang. "Dua puluh dua tahun?" Vanessa benar-benar tidak percaya. "Jadi, aku akan menikah dengan cowok yang lebih muda lima tahun?"

Kalau Vanessa belum cukup terkejut dengan pemberitahuan mendadak Ilana dan Herman mengenai keinginan mereka yang akan menikahkan dirinya dengan putra teman orang tuanya, maka mungkin di saat inilah Vanessa akan lebih terkejut lagi.

Disuruh menikah dengan cowok yang lebih muda?

Oke.

Sudah cukup ngebuat aku terkejut.

Ilana dan Herman menarik napas dengan berat. Terlihat raut wajah keduanya yang menyorotkan rasa salah tingkah.

"Oke ..., menikah dengan cowok yang lebih muda?"

Vanessa membuang napasnya. Ia nyaris merasa gila karena hal tersebut. Dan Vanessa tidak perlu berpikir dua kali untuk menebak bahwa dia pasti akan lebih gila lagi kalau sampai menerima pernikahan itu. Vanessa memutuskan dalam waktu yang sangat singkat. Ia akan menolak pernikahan itu. Oke, ia memang patah hati dan bersedih. Tapi, bukan berarti ia harus menikah demi menyembuhkan rasa sakit hati yang ia rasakan saat ini. Tidak masuk akal sama sekali.

Sejurus kemudian Vanessa menarik napas. Mencoba mengambil perbedaan umur sebagai alasan pertama untuk dia menolak pernikahan itu.

"Ehm ... dua puluh dua tahun. Dengan umur yang masih semuda itu, apa mungkin dia siap menikah? Ini bukan hubungan sekilas seperti pacaran, Ma .... Pa .... Nggak bisa putus terus nyari yang lain. Aku nggak yakin umur segitu dia udah ngerti segala macam tentang pernak-pernik rumah tangga yang kompleks."

Ilana tersenyum. "Kami nggak akan ngomongi hal ini ke kamu, Sayang, kalau seandainya dia nggak mengatakan siap untuk menikahi kamu. Dia sudah ngomong langsung ke Mama dan Papa kalau dia siap menikahi kamu."

"Benar itu, Sa." Herman menarik napas. Kedua tangannya mengusap sekilas ke pahanya. "Sebenarnya Papa kemaren memang sempat ragu untuk menerima pinangan keluarga mereka. Yaaah ... karena usia dia yang masih muda. Tapi, hari itu dia sendiri yang datang menemui Papa di kantor. Dan Papa terkesan dengan keberaniannya. Terlihat rasa tanggungjawab dari tindakannya."

Vanessa meneguk ludahnya. Berusaha untuk tetap bisa bernapas. Berusaha untuk tetap tenang ketika pada akhirnya kembali berkata setelah mendapatkan satu alasan penolakan lagi di benaknya. Hal yang begitu krusial dalam pernikahan. Apalagi kalau bukan soal uang.

"Aku khawatir dia bahkan belum tau bagaimana susahnya mencari uang di usia semuda itu. Jangan-jangan dia masih suka happy-happy." Gadis itu menatap Ilana dan Herman. "Apa aku harus menafkahi anak muda ini setelah kami menikah nanti?"

"Ya nggak dong, Sa," kata Herman sedikit geli. "Kamu nggak bakal menafkahi dia. Tenang saja. Walau dia masih muda, tapi dia sudah ada usaha sendiri. Usahanya itu sudah berdiri beberapa tahun. Ehm ... mungkin baru sekitar dua tahun sih yang booming-nya, tapi tetap saja. Usahanya itu pasti bisa menafkahi kalian berdua."

Ilana mengangguk. "Kamu tau kan tanaman-tanaman yang ada di taman kita? Yang selalu kamu puji karena bunga-bunganya yang cantik?"

Dahi Vanessa berkerut mendengar perkataan Ilana. "Hubungannya apa, Ma?"

"Mama beli itu di depot milik dia. Itu usaha dia. Depot bunga." Ilana tersenyum, "Mama beberapa kali ke sana. Awalnya sih nggak tau kalau itu punya dia. Baru akhir-akhir ini saat membahas pernikahan kalian Mama baru tau. Dan untuk kamu tau aja, depot bunganya itu besar. Mama bisa pastikan kalau dia benar-benar telaten mengurusi depotnya. Usahanya itu bisa menjamin kehidupan kamu kalau kamu benar-benar mempermasalahkan soal hal itu. Kamu nggak perlu khawatir dia tidak bisa menafkahi kamu. Bunga di zaman sekarang benar-benar memiliki prospek yang cerah loh."

Vanessa kembali meneguk ludahnya.

Perkataan demi perkataan yang orang tuanya katakan bukannya membuat ia tidak khawatir lagi melainkan semakin merasa takut.

Berusaha mengulur waktu dengan menarik napas dalam-dalam, gadis itu kemudian mencoba mencari celah lainnya. Hal apa pun untuk menentang ide gila tersebut.

Aku bukan kucing yang bisa disuruh nikah dengan cara kayak gini.

"Tapi, menikah nggak cuma sekadar siap dan ada pekerjaan, Ma. Pa," kata Vanessa nyaris putus asa. "Aku nggak tau apa aku bisa menikah dengan cowok yang jelas aku tidak tau dia siapa."

Ilana dan Herman saling lirik mendengar perkataan Vanessa.

"Apa mungkin aku bisa menikahi cowok ini? Hanya bermodalkan kata Papa dia berani dan bertanggungjawab? Dengan informasi Mama tentang pekerjaan dia?" Vanessa geleng-geleng kepala. "Aku tau kalau ini adalah bukti Mama dan Papa sayang sama aku. Peduli dengan aku. Mengkhawatirkan kebahagaiaan aku. Tapi, Ma .... Pa ...."

Vanessa menarik napas.

"Mama dan Papa nggak perlu sampai melakukan ini semua. Aku yakin nanti aku akan melupakan ini semua dan kembali menjalani hidup dengan baik. Aku hanya perlu waktu sebentar lagi."

Sorot mata Ilana tampak meredup. "Berapa lama lagi waktu yang kamu butuhkan, Sayang? Ini sudah terlalu lama bagi Mama dan Papa harus melihat kamu bersedih terus menerus."

Herman meraih tangan Ilana. Meremasnya lembut dan mengusapnya berulang kali. Berusaha untuk menenangkan istrinya itu yang terlihat semakin bersedih wajahnya. Berusaha untuk tetap tersenyum di depan istrinya agar wanita paruh baya itu terhibur sedikit hatinya.

Dan pemandangan itu menusuk jantung Vanessa.

Ia memang bersedih.

Masih berduka karena pengkhianatan atas hubungan selama sembilan tahun yang ia alami. Tapi, ketika melihat wajah kedua orang tuanya yang juga menyiratkan kesedihan, hati gadis itu bagai diketuk sesuatu.

Merasa tidak adil bila kesedihannya justru berimbas pada kedua orang tuanya. Hal yang kemudian mencoba untuk menyadarkan sedikit akal pikiran Vanessa. Orang tuanya hanya ingin melihat ia bahagia. Dan itulah solusi yang mereka tawarkan saat ini pada Vanessa.

"Ma .... Pa ...."

Suara Vanessa terasa tercekat di pangkal tenggorokan ketika ia melirih dengan pelan. Membuat mata kedua orang tuanya itu tertuju kompak padanya.

"Apakah menurut Mama dan Papa, dia adalah cowok yang baik dan tepat untuk aku?"

Bola mata Ilana dan Herman tampak membesar. Sorot harapan terlihat memancar dari sana. Keduanya kompak mengangguk.

"Kamu tau betapa kami sayang kamu, Sa."

"Kami nggak mungkin sembarangan memilihkan calon suami untuk kamu."

Vanessa menarik napas dalam-dalam. Mencoba untuk menguatkan hatinya. Sekilas ia menggigit bibir bawahnya.

"Aku ... aku ...."

Vanessa membuang napasnya. Ternyata untuk mengatakan hal itu lebih menguras tenaganya. Membuat gadis itu lantas mengepalkan kedua tangannya dengan begitu erat hingga jari tangannya terlihat memutih pucat dan dingin karenanya.

"Aku akan menerima pernikahan ini."

Ilana dan Herman tersenyum lebar.

"Benar?"

"Kamu nggak bohong kan, Sa?"

Kepala Vanessa mengangguk. "Benar. Aku akan menerima pernikahan ini."

Perkataan itu sontak membuat Ilana menghambur jatuh ke dalam pelukan Herman. Kedua orang paruh baya itu terlihat mengucapkan syukurnya berulang kali. Dan itu membuat perasaan Vanessa benar-benar terenyuh.

Mungkin kalau aku memang nggak bisa ngerasain kebahagiaan pernikahan, seenggaknya aku nggak ngebuat kesedihan untuk Mama dan Papa.

"Tapi ...."

Satu kata itu menginterupsi kebahagiaan Ilana dan Herman. Membuat keduanya kembali berpaling dan melihat pada Vanessa.

"Apa, Sa?"

"Kamu menginginkan sesuatu untuk pernikahan itu?"

Vanessa mengangkat bahunya sekilas. Tak yakin apa yang akan ia katakan termasuk keinginan atau bukan.

"Tapi, seenggaknya aku pikir aku ingin ketemu dulu dengan calon suami aku, Ma, Pa." Gadis itu menarik napas sekilas. "Bagaimana pun juga, dia harus kenal aku dulu sebelum benar-benar merasa yakin untuk menikahi aku."

Ilana tersenyum. "Dia sudah yakin dengan keputusannya untuk menikahi kamu, Sayang."

"Ehm?" Vanessa bingung. "Bahkan tanpa sempat ketemu aku dulu? Ehm ... itu kayaknya ngebuat aku takut, Ma. Aku takut dia berharap terlalu tinggi ke aku. Jangan-jangan aku nanti tidak sesuai dengan harapannya."

"Tidak mungkin," kata Herman. "Lagipula, walau bagaimanapun juga, dia sudah mengenal kamu dengan cukup baik. Dan mungkin kamu juga sebenarnya sudah mengenal dia, Sa."

Vanessa bingung. "Maksud Papa apa ya? Aku nggak ngerti."

"Kamu mungkin mengenal cowok ini sebagai seorang mahasiswa kamu di Universitas Cakraloka."

Mata Vanessa membesar mendengar perkataan Herman. "A-a-apa, Pa?"

Kali ini Ilana yang menjawab untuk mempertegas hal tersebut.

"Dia mahasiswa kamu, Sa."

Vanessa terdiam.

Sesaat hanya bisa melongo dan lalu justru histeris.

"Apa?!"

*

"Sebagai salah satu dari tiga organ utama tumbuhan, daun memiliki kedudukan yang sangat penting. Seperti yang kita ketahui, daun memiliki banyak fungsi. Tempat terjadinya proses fotosintesis, untuk proses respirasi, untuk proses transpirasi, untuk proses sekresi, dan juga tempat absorpsi, terutama untuk menyerap karbon."

"Nah! Jadi bisa dikatakan bahwa daun memiliki fungsi yang tidak dapat digantikan oleh organ tumbuhan yang lain."

"Sama seperti bunga, di daun pun kita bisa melihat bahwa ada daun lengkap dan daun tidak lengkap. Hal yang menjadi pedoman ketika kita mengklaim satu daun itu termasuk daun lengkap atau tidak lengkap adalah kelengkapan dari 3 bagian daun ini. Yaitu: helaian daun atau lamina, tangkai daun atau petiolus, dan pelepah daun atau vagina."

Penjelasan itu sedikit terjeda oleh kikik geli para mahasiswa yang ada di ruang praktikum tersebut. Membuat dosen cantik yang terlihat masih muda yang berdiri di depan kelas itu tampak mengulum senyumnya.

"Bisa saya lanjutkan?"

"Bisa, Bu!"

Dia tersenyum dan menarik napas sebelum kembali melanjutkan penjelasannya.

"Satu daun akan dikatakan daun lengkap apabila dia memiliki ketiga bagian ini. Helaian, tangkai, dan juga pelepah. Ketiadaan salah satu saja bagian dari daun itu, maka daun tersebut termasuk ke dalam golongan daun tidak lengkap. Dan seperti yang kalian lihat di sekitar kita, ternyata di sekeliling kita lebih banyak ditemukan daun yang tidak lengkap ketimbang daun yang lengkap."

Para mahasiswa dan mahasiswi yang mendengarkan penjelasan tersebut manggut-manggut. Sesekali mereka melihat ke luar. Ke pepohonan yang tampak tumbuh di sekitar laboratorium tersebut. Melihat pada daunnya.

"Oke, sebelum kita masuk ke penjelasan lebih lanjut. Ada yang bisa membantu saya dengan mengangkat tangannya? Kira-kira, salah satu contoh daun lengkap itu apa?"

"Bu Vanessa, saya!"

Semua mata langsung menoleh ke belakang. Pada seorang cowok yang tampak mengangkat tangannya. Termasuk Vanessa.

"Ya, silakan."

"Nama saya Rizki Adryan Wicaksana dengan NIM A1A017017."

"Jawabannya?"

"Daun kelapa, Bu."

Vanessa mengangguk. "Oke, jawabannya benar," kata wanita itu seraya tersenyum. "Jadi, saya lanjutkan lagi."

Untuk beberapa saat lamanya, mungkin sekitar sepuluh menit Vanessa kembali melanjutkan penjelasan materinya tentang daun tunggal tersebut. Sebagai salah satu dosen di Fakultas Pertanian Universitas Cakraloka, dosen wanita yang bernama lengkap Vanessa Mariska adalah dosen yang mengambil konsentrasi di bidang morfologi dan molekuler tanaman. Maka tak heran bila wanita yang masih berstatus lajang di usianya yang menginjak angka 27 tahun itu dipercaya untuk memegang mata kuliah Botani untuk mahasiswa semester awal. Termasuk untuk kelas praktikumnya.

"Oke, jadi di meja kalian sudah ada nampan berisi berbagai jenis daun tanaman. Kalian gambar dan beri keterangan yang tepat. Bila kalian menemukan kesulitan, kalian bisa memanggil saya atau asisten saya."

"Baik, Bu."

Lalu Vanessa menoleh. Pada asistennya yang merupakan mahasiswa tahun ketiga yang bernama Farrel. Seorang mahasiswa yang aktif dan juga dikenal pintar oleh Vanessa. Wanita itu tampak mengisyaratkan pada Farrel untuk membantu para mahasiswa praktikan tersebut.

Selagi praktikum dimulai, Vanessa beranjak ke mejanya. Duduk dan terlihat membuka-buka modul praktikum. Kemudian beranjak untuk membaca buku laporan praktikum. Melihat-lihat apakah ada perintah di buku laporan tersebut yang sekiranya membingungkan mahasiswa.

Selama beberapa saat, kelas hening. Semua mahasiswa tampak serius mengerjakan perintah Vanessa tadi. Hingga kemudian, Farrel tampak mendekati Vanessa.

"Bu ...."

Vanessa mengangkat kepalanya. "Ya?" tanyanya seraya melihat Farrel yang menarik kursi ke mejanya.

Farrel duduk. "Saya mau konsul dikit nih, Bu."

"Tentang?"

"Ini saya kan udah semester enam, jadi rencananya akhir semester ini atau ya paling lama awal semester depan, saya mau mengajukan judul penelitian, Bu."

Vanessa manggut-manggut. "Oh, bagus itu. Mau cepat tamat."

"Iya dong, Bu," kata Farrel. "Siapa tau nanti bisa langsung lanjut S2 seperti Ibu."

"Oh, rencananya mau langsung lanjut?"

"Kalau ada jalannya, Bu," jawab Farrel. "Jadi, boleh kan ya, Bu, kalau saya konsul sama Ibu?"

"Boleh," kata Vanessa seraya mengangguk sambil tersenyum. "Kalau kamu mau, kita bisa konsul sekarang selagi anak-anak ngerjain tugas atau kalau mau lebih leluasa dan lama bisa di ruangan saya pas jam istirahat nanti."

"Kalau gitu ntar aja deh ya, Bu, di ruangan ibu aja. Biar lebih puas konsulnya."

Vanessa tanpa sadar tertawa kecil. "Oke." Selanjutnya mata wanita itu menangkap seorang mahasiswi yang tampak mengangkat tangannya. Ia berkata pada Farrel. "Itu kayaknya ada yang mau nanya, Rel." Vanessa melirik Farrel. "Coba kamu lihat."

Farrel segera bangkit dari duduknya. "Saya lihat dulu, Bu."

"Ya."

Tepat ketika Farrel telah beranjak dari meja itu, Vanessa lantas melihat merasakan getar ponselnya di atas meja. Diiringi oleh layarnya yang menyala. Menampilkan satu pemberitahuan yang masuk ke dalam ponselnya.

Vanessa segera meraih ponselnya dan membuka pesan tersebut.

[ X ]

[ Istriku Sayang, jangan terlalu dekat ya dengan cowok lain. ]

[ Walaupun itu mahasiswa sendiri. ]

[ Aku nggak suka. ]

Sedetik Vanessa membeku. Ia tak bermaksud, tapi refleks saja tubuhnya bergerak. Mengangkat wajah dan langsung menoleh ke satu titik di seberang mejanya.

Tampak satu wajah mahasiswa yang tengah melakukan tugas praktikum itu tersenyum padanya.

Ryan.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro