Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Sepuluh

Selama berjam-jam kami mendapatkan omelan pedas dari sang bos. Akhirnya, kami diperbolehkan ke meja masing-masing. Syukurlah, bos tidak mengeluarkan kami. Tapi, cuti tahunan yang harus dikorbankan.

"Fhi?" Hadnan memanggil.

"Kenapa?" Aku menoleh ke arah Hadnan.

Hadnan bangkit dari duduknya dan menghampiri mejaku.

"Aku punya sesuatu buat kamu!"

Aku menyipitkan mata, meneliti Hadnan. Pria di hadapanku ini tampak mencurigakan. Sebelum aku menjawabnya, Hadnan langsung mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna merah yang begitu lembut dengan tekstur beledu.

"Nih!" Hadnan menyodorkannya.

Aku tidak dulu mengambilnya. "Itu apaan sih, Nan?"

"Masa gitu aja gak tau sih, Fhi!"

Terdengar suara Meta dari belakang. Wanita itu berjalan dan menghampiri kami.

"Kamu ambil aja! Kapan lagi bisa dapet hadiah kayak gitu dari Hadnan?" Meta bersuara lagi.

Aku menggelengkan kepala. Semakin tidak mengerti dengan gelagat mereka.

"Fhi. Ikut aku, yuk!" ajak Hadnan.

Alisku menukik. "Ikut ke mana, Nan? Gak, ah. Kita kan harus kerja, udah cukup ya bos marah-marah. Aku gak mau dimarahin lagi!"

"Bukannya itu emang kemauan kamu, Fhi?" Meta bertanya dan diakhiri tawa.

"Berdiri dulu, dong!" Hadnan memaksa.

Aku menghela napas panjang. "Oke!"

Hadnan membawaku ke tengah-tengah meja dari para karyawan. Ada sedikit ruangan yang kosong di sana. Tanpa kuduga, pria di depanku ini langsung melipat lutut kiri dengan sebelah kaki kanan yang setengah berjongkok.

"Fhi. Serumah denganmu aku rasa akan lebih indah!" Hadnan mengucapkannya dengan sungguh-sungguh, kemudian dia membuka kotak kecil itu sehingga aku melihat jelas kilauan permata berwarna putih itu berada di tengah-tengah lingkaran kecil. "Izinkan aku menjadi imammu, Fhi!"

Deg! Deg! Deg!

Jantungku berdebar hebat dengan mata yang terbuka lebar. Alisku menukik dengan tajam. Aku menunduk sambil menggeleng pelan. Tidak aku sangka kalau Hadnan akan seperti ini.

"Fhi?"

Aku menatap Hadnan, kemudian memandang Meta yang sedang mengangguk di belakang. Semua orang di ruangan ini sedang menonton kami.

"Eummm ...," aku menggigit bibir bawah. Semua kata-kata mama kembali melintas di otak. Mungkinkah ini cara terbaik yang mau Tuhan kasih dan tunjukkan? Mungkinkah orang yang harus aku banggakan di depan mama itu adalah Hadnan? Hadnan? Dia kan, temanku. "Kayaknya ...," aku kembali menggantung ucapanku.

Tubuh Hadnan gemetar. Aku melihat itu dengan jelas. Matanya berbinar, penuh harapan. Wajahnya juga menegang. Aku yakin Hadnan pasti lebih deg-degan. Tapi, dia masih tetap tersenyum.

"Fhi. Selama ini aku memendam perasaan ini sama kamu. Mungkin, sejak dari kecil. Tapi, ya aku tau kalo waktu kecil disebutnya cinta-cinta monyet, sih." Hadnan tersenyum. Aku heran, bisa-bisanya dia tersenyum di saat keadaan lagi tegang-tegangnya. "Lama kelamaan, rasa nyaman, rasa cinta, juga rasa sayang ini terus bertambah, Fhi. Sebenarnya, aku nunggu waktu yang tepat. Namun sayang, Alden lebih dulu memilikimu."

Aku diam mendengarkannya.

"Tapi, aku yakin kalo Tuhan pasti kasih aku jalan, karena tidak ada usaha dan doa yang sia-sia! Kamu mau kan, Fhi? Biar aku sembuhkan lukamu dan kita mulai menulis buku baru. Jangan lembaran baru dari buku yang lama, karena aku takut suatu saat lukamu akan kembali menganga."

Jleb!

Ibarat anak panah yang tepat mengenai sasaran. Begitupun dengan ucapan Hadnan barusan, tepat di hati.

Aku masih belum menjawabnya. Semua perhatian-perhatian Hadnan kuputar kembali. Ibarat sebuah kaset memori. Dari hal-hal kecil seperti dia membukakan penutup dari minuman, kamudian memberikannya kepadaku.

Sewaktu kami di Yogyakarta, seharusnya aku sadar kalau marahnya Hadnan itu ada alasannya. Seorang pria yang melihat "teman wanitanya menangis" tidak akan semarah itu, jika tidak mempunyai perasaan apa pun.

Harusnya aku sadar semua itu. Ada yang lebih menyayangiku, ada yang lebih ingin menjagaku, dan ada yang lebih menghargai perasaanku. Semuanya menuju ke orang yang tepat—Hadnan.

Aku menghela napas dalam. Tuhan memisahkan hambanya dengan orang baik dan mempertemukan hambanya juga dengan orang yang lebih baik. Kita memang tidak akan pernah tahu rencana Tuhan. Dan benar, kadang hidup itu penuh dengan plot twist.

Hadnan. Orang yang selama ini ada di sampingku, tapi kenapa selama ini tidak pernah aku sadari kalau dia menyimpan perasaan yang begitu dalam?

Aku melirik Meta yang sedang menggumamkan. "Terima dong, Fhi. Hadnan adalah jodohmu!" Setelah itu aku menatap Hadnan. Pria di depanku ini masih tersenyum. Mungkinkah jika aku menolaknya, Hadnan akan tetap tersenyum? Tapi, lagi-lagi aku teringat sama mama. Manusia akan selalu bertambah tua, seiring berjalannya waktu.

Selama ini kukira kau jodoh, Alden. Namun, ternyata salah. Aku malah menjaga jodoh orang lain. Aku mengangguk yakin, setelah mencari jawaban yang tepat.

"Aku mau menjadi makmum-mu, Hadnan!" kataku dengan yakin, lalu tersenyum dengan lebar. Senyuman tulus yang aku berikan untuk Hadnan.

Tubuhku refleks tersentak, karena kaget mendengar suara terompet yang begitu keras.

"Barakallah, Fhia."

"Selamat menempuh hidup baru!"

"Jangan lupa. Undang kita, ya!"

Semua orang-orang di sini mengucapkan kata yang sama.

Aku langsung menepuk kening. Aku tidak menyangka sama sekali tentang ini.

Hadnan berdiri dan menatapku, kemudian tersenyum lega. "Alhamdulillah. Makasih, Fhi."

"Dipake dong cincinnya!" Meta menghampiri kami.

"Selamat ya, Fhi. Selamat!"

Semua orang menyalami aku dengan Hadnan seperti di acara pernikahan. Aku hanya bisa tersenyum membalasnya.

"Oh iya, Fhi. Sebenarnya, sejak pulang dari rumah kamu. Hadnan gak bisa tidur gara-gara mau nyiapin semua ini! Sebelumnya dia udah bilang juga sih, sama aku!" terang Meta sambil menunjuk Hadnan. "Dia sebenarnya juga bingung, Fhi. Takut ditolak kamu. Ya, kataku apa salahnya sih nyoba dulu. Kalau enggak ditolak, ya pasti diterima!" Meta tertawa bahagia. "Eh. Kayak gitu lah pokoknya."

Aku mengangguk sambil melirik Hadnan yang sedang menggaruk tengkuk.

***

Tepat pukul delapan malam. Rumahku ini sangat ramai. Sanak saudara hadir di sini, menyaksikan acara lamaranku dengan Hadnan. Setelah kejadian tadi pagi, rasanya aku tidak pernah berhenti tersenyum. Bahkan, sampai detik ini.

Aku memakai gaun dan kerudung berwarna putih yang dihiasi permata-permata kecil di sekitar gaun. Aku berjalan didampingi mama, karena tadi aku sedang merias wajah.

Seorang pria berkemeja putih sedang menungguku. Dia berdiri di tengah-tengah kerlip lampu—hiasan acara lamaran. Aku berjalan perlahan dan berdiri di sampingnya.

"Fhi. Tuhan anugerahkan bidadari terindah kedua, setelah mama!" Hadnan mengucapkannya sambil melirikku.

Aku tersenyum sambil menunduk. Tidak biasanya Hadnan menggombal seperti ini. Lantas, aku langsung menoleh. "Hadnan. Terima kasih karena kau adalah jodohku!" ucapku.

Hadnan mengangguk sambil tersenyum tulus.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro