Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 6: GUARDIAN

Tan terdiam di depan layar komputer. Pandangannya kosong dengan kedua tangan memegang kepala. Yanu sedang berbaring santai di kasur indekos milik sahabatnya. Ia memaku matanya pada ponsel yang memainkan sebuah film. Tersadar ada yang tidak beres dengan Tan, mahasiswa sastra berkacamata itu bangkit.

"Lu sehat?" tanya Yanu.

Tidak ada jawaban dari cowok 19 tahun itu. Malah kedua tangan terlihat lebih kencang meremas rambutnya. Kini Yanu semakin mendekat.

"Woy! Sadar!"

Tan pun tersentak. Ia mengelus dadanya yang berdegup lebih cepat.

"Niat amat bikin temen lo cepet mati," gerutu Tan.

"Abisnya ngelamun mulu dari tadi. Ada apaan??"

"Gue nggak selesai-selesai mikirin Yaya."

Yanu kembali ke kasur yang membuatnya nyaman. "Gue kira apaan. Kan tiap hari emang penulis kesayangan lu itu yang lu pikirin."

Tan memurar kursinya hingga berhadapan dengan sang sahabat. "Tapi ini beda. Gue mandang Yaya bukan sebagai penulis idola sekarang, tapi-"

"Lu pengen nembak dia?" celetuk Yanu.

Mahasiswa 20 tahun itu mengangguk. Ia menggaruk kepala yang padahal tidak gatal.

"Tapi apa gue pantas?" Tan meragukan dirinya sendiri.

Yanu mendengkus mendengar kalimat sahabatnya. "Kalau belum nyoba, ya, mana tahu, Tan."

Mendengar perkataan Yanu, Tan semakin merasa frustrasi. Kepalanya serasa ingin meledak, padahal perkara hati yang menjadi pertanyaan. Melihat hal itu, Yanu menghampiri lagi.

"Tenang, bro. Gue kan udah bilang kemarin kalau mau bantu. Pelan-pelan aja. Anak kaya Yaya agak susah berbaur sama orang lain."

Tan memandang wajah sahabatnya. "Jadi-"

"Jadi, kecil kemungkinan Yaya ditikung." Yanu melanjutkan.

Jarak wajah kedua sahabat itu cukup dekat. Tan yang masih bergelut dengan pikirannya pun baru sadar dengan posisi itu. Seketika ia menjauh dan bergidik sendiri. Yanu hanya tertawa dengan tingkah sahabatnya.

"Tenang, gue bukan pelangi." Yanu menyeletuk, lalu dilanjutkan dengan tawa.

Di belahan dunia lain, Yaya dan Ika sedang asyik menyantap kudapan. Hari itu Ika tidak sibuk dengan urusan penerbitan sehingga masih bisa menemani sang adik. Roti tawar panggang yang garing terbalur madu dan es krim menjadi penyejuk kala cuaca yang panas.

Pekerjaan Ika sebagai editor tidak membuatnya sibuk. Terlebih antrean edit buku tidak terlalu banyak. Ia masih bisa menikmati masa senggang.

"Kamu nggak mau nulis lagi?" tanya Ika pada adiknya.

Yaya berpikir sejenak. "Aku belum dapat ide, Kak. Belum mood nulis juga."

Ika mengangguk mengerti. Wajar saja, novel 'Terowongan' karya adiknya itu baru terbit dua bulan lalu. Walaupun nulisnya sudah dari tahun lalu. Wanita 25 tahun yang belum menikah itu terpikir sesuatu.

"Ya, Kakak mau tanya."

"Tanya apa, Kak?"

"Bagaimana perasaan kamu waktu nulis 'Terowongan'? Wajah wanita itu terpangku mendekati Yaya.

Yaya termenung mendengar pertanyaan kakaknya. Mengingat isi ceritanya, tak sadar napas semakin cepat. Pandangan gadis itu pun kosong.

"Ya, Yaya!" Ika menyadarkan.

Senyuman terlukis di wajah tembam gadis mungil itu. Ia membuang napas panjang, kemudian menjawab pertanyaan kakaknya.

"Karena cerita awalnya hanya mengarang, aku masih menikmati, Kak. Baru saat masuk konflik mendadak aku teringat kejadian itu."

Ika mendengar adiknya dengan saksama. "Lalu? Bagaimana cara kamu selesaikan itu?"

"Sebenarnya dari awal psikolog itu bilang untuk dicoba nulis, jadi aku paksa buat selesai. Ternyata bisa selesai." Yaya melanjutkan.

Gadis mungil itu juga menjelaskan bahwa 'Terowongan' ini karya pertamanya sebelum bergulat di dunia penulisan. Hanya saja butuh waktu lebih lama dibanding karya lain yang sudah lebih dulu terbit. Ika terharu mendengar cerita adiknya. Ia pun membelai rambut lurus Yaya.

"Adikku memang sekuat ini," ucap Ika dengan bangga.

Hari ini Yaya kembali menjalani perkuliahan yang sekelas dengan kakak tingkat. Ia pun bersiap dengan perlengkapannya. Ponsel yang ada di meja rias itu bergetar. Nama baru tertera di layar dengan pesan di bawahnya.

'Kak Tan', begitu Yaya menamai. Ini kali pertama gadis bernama asli Freya itu mendapat pesan selain dari kakaknya atau bagian penerbitan. Alisnya bertaut karena heran.

Kak Tan
Yaya, nanti pulang kuliah mau bareng?

Pesan Tan yang to the point itu sedikit membuat Yaya keheranan. Bagaimana tidak? Sebelumnya tidak ada yang memberikan pesan seperti itu. Terlebih sejak ia menjadi penulis misterius dengan nama Hera Andara.

Yaya beranjak keluar mencari kakaknya di rumah satu lantai itu. Ika keluar dari kamar dengan keadaan sudah siap mengantar sang adik.

"Kakak udah siap aja," ucap Yaya.

"Iya, lah. Kan, mau nganter penulis terkenal." Ika meledek.

Gadis mungil itu tertawa kecil mendengar kalimat kakaknya.

"Kak, e--" Pandangan Yaya beralih. Jari telunjuknya pun ditepukkan di depan dada.

"Ada apa? Kamu abis ngelakuin apa?" celetuk Ika melihat gelagat adiknya.

Seketika Yaya menurunkan kedua tangannya dengan cepat. " Yaya nggak ngelakuin apa-apa, Kak. Yaya cuma mau tanya," ucapnya kesal.

Ika memegang pundak adiknya. "Terus ada apa? Ngomongnya aja gagap gitu."

"Itu, Yaya nanti boleh pulang bareng temen?"

Wanita 25 tahun itu menyipitkan matanya. "Temen apa temen?"

Senyum canggung menghiasi wajah gadis mungil itu. "Temen," ucapnya diiringi dengan tawa canggung.

Ika menyilangkan tangan setelah mendengar jawaban adiknya. Ia terdiam sekian menit. Melihat itu Yaya juga gemetar. Mana bisa dia bareng orang sembarangan.

"Oke."

Ucapan itu membuat mata Yaya membelalak. "Benar?"

Anggukan itu seketika disambut dengan pelukan. Merah di pipi tembam gadis 19 tahun itu tidak bisa disembunyikan. Entah, Yaya sendiri juga aneh dengan perasaannya yang sesenang itu mendapat izin dari kakaknya.

Sudah siap, Ika mengantar adiknya ke kampusnya dengan mobil. Senyum Yaya tak luntur sepanjang jalan. Begitu pula Ika yang baru kali itu melihat senyum lebar sang adik setelah sekian lama.

Berhenti di depan gerbang. Tidak seperti awal membuka masker dan topi, Yaya lebih siap dan menganggap dirinya sama seperti yang lain. Mahasiswi itu turun dan bersiap menyeberang. Terlihat cowok yang tidak asing menunggu di samping gerbang masuk kampus. Ika memanggil adiknya.

"Itu, ya?" kata Ika sambil menunjuk cowok bertopi dengan tas ransel.

Padahal baru pertama bertemu saat jumpa penggemar. Namun, Ika sudah hafal dengan wajah orang yang dekat dengan adiknya. Yaya mengangguk. Dipastikan tidak ada kendaraan yang melintas, mahasiswi itu menyeberang.

Yaya berlari kecil hingga sampai di hadapan cowok bertopi itu. Tidak seperti biasanya, kali ini ia hanya sendiri.

"Kak Yanu mana?" tanya Yaya begitu sampai.

"Itu, Yanu udah duluan." Tan terlihat menggaruk tengkuknya. Tingkahnya tak beraturan. Padahal ini bukan kali pertama ia sedekat ini dengan penulis idolanya.

Yaya pun bersikap biasa. Ia memang menganggap Tan sedekat itu. Gadis itu seketika menggandeng tangan Tan menuju ruang kelas. Semakin ambyar hati cowok itu. Lesung pipinya terlihat saat ia menahan senyum. Beruntung topi itu membantu menyembunyikan wajahnya. Berusaha bersikap biasa, ia pun ikut berjalan.


1029 kata

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro