Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 23: FINDING OF YOU

Tan tergeletak di kamar indekos. Lengan kekar menutupi wajahnya. Ia menutup mata, tetapi tak benar-benar tidur. Kepala cowok itu terasa pening, terlebih saat mendengar kegagalan para detektif untuk menemukan Yaya.

Ketukan pintu membuatnya bangkit. Yanu datang membawakan makanan. Ia mendekati sahabatnya.

"Lu nggak apa-apa? Pucat banget," ujar Yanu.

Tan hanya menggeleng, tetapi napasnya kian berat. Tak percaya, Yanu mencoba memegang leher yang basah dengan peluh. Sontak Yanu menarik tangannya, lalu mengibaskan.

"Gila, panas banget. Lu sakit, Tan. Ayo ke dokter."

"Nggak apa-apa, gue, mah. Lu pulang aja, gue mau tidur bentar." Tan menyangkal.

"Nggak apa-apa pala, lu? Badan udah kaya tripleks begitu." Yanu tidak terima.

Begitu Tan ingin berdiri, tubuhnya tak kuat menahan. Ia kembali terduduk. Yanu dengan sigap menangkap sahabatnya. Karena kesal, ia pun menjitak kepala Tan. Cowok berambut poni itu pun mengaduh.

"Lu ngeyel banget dibilangin. Udah, nurut sama gue ke dokter. Katanya mau selamatin Yaya, badan udah letoy begini."

Walaupun mengomel, Yanu tetap membopong sahabatnya menuju mobil yang sudah terparkir di depan bangunan indekos. Akhir-akhir ini ia memang diperbolehkan untuk mengendarai mobil. Perjalanan ke rumah sakit tidak terlalu jauh dari kampus. Lebih tepatnya, rumah sakit itu milik kampus yang menyediakan potongan harga untuk mahasiswanya.

Daripada ke poli, Yanu memilih mengantar sahabatnya ke UGD untuk mendapat perawatan lebih cepat. Benar saja, tak lama perawat datang membawa perlengkapan, disusul dengan dokter. Jarum infus di pasang pada tangan putih milik Tan.

Yanu yang menunggu di luar UGD langsung bangkit melihat dokter keluar dan menyebut nama Tan.

"Panasnya memang tinggi, untunglah tekanan darah yang lain normal. Ada kemungkinan dehidrasi. Begitu cairan infusnya habis dan panasnya turun, saudara Tan sudah boleh pulang. Saat ini kita biarkan dia tidur," jelas dokter.

Belum sampai dua jam, Tan sudah menghampiri sahabatnya di ruang tunggu. Ia duduk di sebelah Yanu yang tertidur di kursi. Bahu Yanu digoyangkan hingga terbangun.

"Lu nungguin dari tadi?" tanya Tan begitu sahabatnya membuka mata.

"Udah sehat?" Yanu langsung duduk tegap.

Tan mengangguk. "Temenin gue tembus obat, abis itu pulang."

Yanu langsung menurut. Usai mendapat obat dari apotek rumah sakit, tujuan selanjutnya indekos Tan. Dalam perjalanan, ponsel Tan berdering. Nomor baru menelepon yang mahasiswa itu mengangkat dengan ragu.

"Halo, Tan." Suara itu tidak asing di telinga Tan.

Tan dan Yanu saling menatap. Sambil menyetir, Yanu memberi isyarat untuk memperkeras suara dan merekam. Kemudian, Tan menjawab sapaan dari telepon itu.

"Aku yakin kamu rindu dengan penulis idolamu."

Amarah Tan mencuat. "Bajingan! Lepaskan Yaya!"

"Bukankah itu tidak sopan untuk diucapkan pada seorang dosen?" Suara dosen itu terdengar kalem.

"Sudi sekali menganggap pembunuh sepertimu sebagai dosen."

Gelak tawa keluar dari telepon. "Aku menelepon bukan untuk berkelahi. Mari kita saling menguntungkan. Aku antar gadis penulis yang berbakat ini, dan kembalikan kalung milik keponakanku."

"Baiklah jika itu yang kamu mau. Di mana? Ayo kita ketemu."

"Nanti malam, di terowongan. Oh, iya. Kau datang berdua dengan Yanu. Aku ingin memberi hadiah padanya. Jangan berani membawa polisi."

Setelah saling tatap. Tan menyetujui kesepakatan dengan Anton.

"Berani sekali, baiklah."

Usai kalimat itu, telepon langsung mati. Kata umpatan seketika keluar dari mulut Tan.

"Tenang, Tan, tenang."

"Tenang gimana? Itu cewek gue ada di sana!" Emosi mahasiswa Sastra itu tidak terbendung.

"Iya, gue tahu. Makanya lu tenang dulu. Jangan kemakan omongan dia. Gue yakin itu jebakan."

Mendengar perkataan sahabatnya, napas Tan kini lebih pelan.

"Gue yakin Pak Reynal punya solusi. Kita ke kantor sekarang," ucap Yanu.

Tanpa aba-aba, Yanu putar balik menuju kantor polisi. Sampai sana, Tan menghubungi Reynal untuk bertemu. Kantin kantor menjadi tempatnya.

Begitu Tan dan Yanu keluar mobil, terlihat detektif berjaket kulit hitam sedang duduk di salah satu kursi kantin. Dapat dikenali bahwa itu Reynal, kedua mahasiswa itu langsung menghampiri. Mereka menceritakan hal yang terjadi di mobil tadi.

"Kamu yakin ingin menemui secara langsung?" tanya Reynal pada Tan.

"Bagaimana lagi? Itu yang dia minta. Aku tidak ingin terjadi apa-apa dengan Yaya." Tan menjelaskan.

Reynal duduk bersandar dengan menyilangkan tangan di dada. Matanya bergantian menatap dua mahasiswa di hadapan. Ia terdiam sejenak.

"Baiklah, kalau begitu. Temui dia nanti malam," ucap Reynal.

Lega, akhirnya keputusan dibuat.

Matahari sudah terbenam, daerah terowongan itu sudah sepi. Memang tidak ada yang bisa melewatinya lagi setelah kejadian 3 tahun lalu. Secara pelan Yanu dan Tan memasuki terowongan bawah tol itu. Mereka memang sudah pernah menginjakkan kaki di sana, tetapi tidak dalam keadaan segelap itu.

Sorot lampu senter mengenai wajah mereka yang membuat silau. Sosok lelaki yang lebih tinggi dari mereka, mengenakan jubah hitam dan topi muncul. Seringainya dapat dikenali, walaupun mata lelaki itu tertutup bayangan topi.

"Mana Yaya?" tanya Tan.

"Santai anak kecil. Dia masih aman, kok. Kamu sakit? Wajahmu pucat sekali?" Anton menjawab dengan santai. Kemudian wajahnya teralihkan ke Yanu. "Hai, wajahmu mirip sekali dengan wanita itu," ucapnya.

"Nggak usah kamu basa-basi. Apa yang kamu inginkan?" ujar Yanu.

Gelak tawa terdengar dari mulut lelaki itu. "Sederhana, mana liontin itu?"

Yanu mengeluarkan liontin biru safir itu dari saku jaketnya. "Kembalikan Yaya pada kita. Akan aku lemparkan liontin tidak berguna ini."

"Mau tahu cerita di balik liontin yang menurutmu tidak berguna itu?"

Tan dan Yanu terpaku. Tidak ada kalimat lagi yang keluar dari mulut mereka. Keduanya membiarkan lelaki itu mencurahkan apapun yang ada di benaknya.

"Kalung itu milik keponakanku yang saat itu berumur 9 tahun. Dia berhati lembut dan cukup penakut, hingga saat ke kamar mandi saja harus ku antar. Dia bidadari kecilku. Ku patri namaku di belakang, aku bilang padanya aku akan terus melindunginya. Namun, suatu hari dia hilang di taman bermain. Itu pertama kalinya aku tidak mengantar ke kamar mandi, dan menjadi yang terakhir kali. Tidak lama kemudian, seseorang menemukan dia tewas di belakang pagar taman bermain dengan luka jeratan di leher. Sadis sekali, bukan?"

"Jadi, ini alasan kamu untuk membunuh orang, termasuk kakakku?" tanya Yanu.

"Ya, tepat sekali. Karena pada saat kehilangan keponakanku, aku seumuran dengan kakakmu."

"Kenapa harus menaruh dendam? Ada pihak lain yang lebih berwajib." Tan menyangkal.

"Bagaimana aku bisa percaya dengan polisi? Bahkan sampai sekarang mereka tidak pernah menuntaskannya."

"Tapi, yang Pak Anton lakukan ini tidak benar," ujar Yanu.

Lelaki dewasa itu tersenyum lebar dengan tetesan air mata yang sudah membasahi pipi. Batin kedua mahasiswa itu turut terenyuh mendengar cerita dari dosennya. Anton berbalik, ia kembali dengan membawa Yaya di hadapan Tan dan Yanu.

"Sebelum ini, tidak ada yang mau mendengar ceritaku. Ku kembalikan penulis jelita ini."

Anton sedikit mendorong Yaya untuk berjalan menuju kedua kakak tingkatnya. Begitu pula Yanu, ia melempar liontin biru safir yang disimpan selama ini. Yaya berjalan pelan dengan senyum ceria di pipi tembam nan pucat.

Sayang, senyum manisnya tidak bertahan lama. Usai mendapat liontin biru yang hilang 3 tahun lalu itu, ia menarik pistol dari balik jubah hitamnya. Ia meluncurkan peluru tepat di punggung gadis 19 tahun itu.

Begitu suara tembakan terdengar. Para polisi keluar dari persembunyiannya serta meringkus Anton. Yanu dan Tan masih tercengang. Perlahan kaki Yaya tidak seimbang. Melihat penulis idolanya roboh, Tan segera menangkap. Yanu pun menghampiri mereka berdua.

"Ya, Yaya," panggil Tan pelan sambil menepuk pelan pipi tembam gadis itu.

Matanya sulit untuk terbuka. Napas gadis itu pun kian berat. Ia menggenggam tangan Tan kuat, menahan sakit yang bersumber dari peluru yang menembus punggungnya. Bibirnya bergerak ingin mengatakan sesuatu. Namun, suara Yaya begitu lemah.

Ambulans pun datang untuk mengangkut mereka bertiga menuju rumah sakit. Di dalam kendaraan itu, dipasang masker oksigen untuk membantu Yaya bernapas. Perlahan matanya terpejam, darah dari punggung gadis itu merembas ke kain yang menahan.

Tan terus memegang tangan penulis idola yang menjadi cintanya. Pacaran dengan Yaya memang tak lama. Namun, kisah indah banyak terpatri di hati mahasiswa 20 tahun itu. Ia berharap penulis idolanya bisa bertahan.


1257 kata

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro