Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 20: REVEAL THE IDOL

Yaya berdiri di depan cermin menata rambut, yang awalnya lurus ia ubah sedikit bergelombang di bawah. Sebuah gaun marun selutut juga dikenakan, ditambah aksen jaket denim berwarna putih. Tak lupa topi putih yang kerap ia gunakan ketika keluar rumah. Selesai, saatnya ia menemui sang kakak. Gadis mungil itu melihat Ika duduk dengan kaki menyilang di sofa ruang tamu sembari bermain ponsel.

"Kak," panggil Yaya.

Ika mendongak. Ketika melihat adiknya pun ia terdiam. Penampilan yang cukup mencolok dan pertama kali dilihat.

"Ya, kamu benar berpakaian begini?" tanya Ika.

"Kenapa, Kak? Aneh?" Mata Yaya menyusuri tubuhnya, jika memang benar ada yang salah.

Wanita 25 tahun itu menggeleng. "Nggak, kok. Nggak biasanya aja."

"Kata Kak Ika kita mau ketemu direktur, kan?"

Jawaban adiknya membuat Ika tertawa kecil. "Kamu cantik, kok. Syukurlah kamu sudah kembali menjadi Yaya lagi."

Ika berdiri. Ia merangkul adiknya menuju mobil merah yang biasa mereka naiki. Kalimat sang kakak membuat Yaya protes, tetapi hanya sekadar canda.

Perjalanan mereka ke gedung penerbitan juga cukup ramai dengan perbincangan. Mulai dari rencana masa depan, hingga candaan ringan. Waktu tempuh menjadi tak terasa, tahu-tahu sudah ada di depan gedung 9 lantai. Bagian direksi ada di lantai paling atas. Ika dan Yaya menemui bersama.

Ruangan berpintu kaca doff yang selalu tertutup itu dimasuki setelah mendapat izin. Seorang pria 30 tahunan awal menatap lekat layar komputernya. Di meja kayu yang mengkilat itu tertera nama Sandi dengan jabatan direktur. Begitu pintu kaca itu tertutup lagi, barulah Sandi sadar ada dua tamu yang menunggu.

"Silakan duduk Hera Andara dan-" Sandi keluar dari bangkunya menuju sofa khusus untuk tamu.

"Ika," jawab Ika dengan memberi sedikit tundukkan.

Ketiganya duduk di sofa. Tak seberapa lama seorang wanita mengantar minuman hangat untuk Yaya dan Ika. Suasana sudah pas untuk berbincang.

"Saya sudah mendapat kabar kalau Hera Andara akan menerbitkan buku lagi?" Sandi memulai pembicaraan.

"Betul, Pak. Saya sedang dalam proses menulis."

"Sudah berapa persen?"

"Sekitar 80 persen. Tinggal klimaks dan anti-klimaks."

Sandi mengangguk pelan, kemudian menyandarkan badannya pada sofa. "Cukup cepat, ya? Rencana mau awal tahun depan?"

"Jika itu memungkinkan." Ika membantu menjawab.

"Saya ingin tanya, kamu mengambil judul Taman Bermain?"

Yaya mengangguk.

"Apakah ini seperti Terowongan yang kisahnya sama dengan kasus pembunuhan?"

"Kurang lebih begitu. Karena ada teka-teki yang ingin saya kembangkan." Yaya menjawab lugas.

Jawaban Yaya membuat Sandi puas. Direktur itu menuju mejanya dan kembali membawa map kuning. Diletakkan map itu di atas meja sofa.

"Itu ada surat penerimaan sponsorship. Saat kamu mengajukan judul dan outline, ternyata ada teman saya yang tertarik. Ia pun mengajukan untuk membantu promosi dalam bentuk iklan maupun jumpa penggemar di berbagai tempat."

Penjelasan direktur itu membuat Ika dan Yaya mengembangkan senyum. Baru pertama seorang Hera Andara mendapat hal seperti itu setelah debut dari 2 tahun yang lalu.

"Kalau boleh saya tahu, alasan beliau memberi sponsor pada naskah saya kali ini apa, ya, Pak?" tanya Yaya.

"Potensi untuk booming lagi seperti Terowongan," jawab Sandi yang mempu membuat Yaya semakin yakin.

Sebagai orang yang lebih dewasa, Ika membaca dokumen yang berisi kontrak dan ketentuan yang berlaku. Merasa ada yang janggal, ia menanyakan pada direktur.

"Jadi, Yaya harus mengungkap identitasnya kali ini?"

"Betul, tidak jadi masalah, kan? Toh, dulu kamu pernah melakukan itu walaupun dengan pakaian yang serba tertutup. Kali ini, biarkan publik melihat wajahmu."

Yaya mengembangkan senyum. "Tidak masalah, Pak. Saya bersedia."

Melihat keyakinan penulis itu, untuk apa lagi Ika ragu. Ia menyerahkan dokumen itu pada Yaya. Setelah sekilas membaca, gadis 19 tahun itu juga tidak keberatan. Ia pun mengambil pulpen yang sudah tersedia di meja dan menandatangani kontrak.

Usai menerima dokumen bertandatangan itu, Sandi menjabat tangan keduanya. "Semoga kerjasama kita terus berlanjut."

"Kalau boleh tahu, siapa yang memberi ini kepada saya?" tanya Yaya.

"Saya diberi pesan untuk tidak memberitahukan identitasnya sebelum buku terbit. Tapi, tenang saja, saya sudah kenal dengan dia dari masa kuliah."

Penjelasan Sandi membuat penulis muda itu percaya. Yaya dan Ika keluar tanpa menanyakan hal lain lagi. Senyum di wajah direktur itu tak luntur. Ia mengambil ponsel di saku jasnya. Ponsel itu disematkan ke telinga seperti sedang menelepon seseorang.

"Hei, Anton. Hera Andara sudah setuju. Saya yakin kamu tidak akan menyesal," ucap Sandi, dilanjutkan dengan tawa canda saat berbincang dengan rekan kuliahnya.

Keesokan harinya, sebuah pengumuman pun tersebar di media sosial. Walaupun waktu terbit masih lama, tentu para penggemar juga butuh persiapan untuk memeriahkan buku ke-4 yang akan dirilis. Tan yang mengikuti media sosial penerbit itu tentu tidak ketinggalan.

Sudah lama ia tidak mendengar kabar dari mantan pacarnya. Mungkin memang untuk mempersiapkan perilisan bukunya. Memanglah sudah menjadi mantan, tetapi jiwa penggemar tak padam. Apalagi mereka putus bukan karena Tan kehilangan rasa cinta.

Tak lama Yanu menghampiri dengan membawa dua gelas es kopi susu untuk mereka berbincang di kantin fakultas. Melihat raut sahabatnya, tentu Yanu paham ada yang tidak beres. Terlebih di atas meja ada novel milik Hera Andara alias mantan pacar Tan.

"Kenapa lu lemes amat?" tanya Yanu.

Tanpa menjawab, Tan menjulurkan ponselnya. Poster pengumuman novel milik Hera Andara akan rilis tertera di sana.

"Bagus, dong. Berarti dia nggak terlalu larut sedihnya," ucap Yanu.

Tan tidak menjawab lagi. Ia menggeser ke halaman selanjutnya mengenai pembongkaran identitas penulis idolanya. Yanu yang melihat itu terdiam sejenak. Ia memandang mata sahabatnya yang sayu.

"Ada yang lu takutin?" tanya Yanu.

"Orang yang kita cari belum ketemu, apakah aman jika dia bongkar identitas? Terlebih novelnya tentang pembunuh itu."

"Gue juga nggak yakin. Saat ini Pak Reynal juga lagi melacak keberadaan Pak Anton. Semoga sebelum itu, kita udah aman."

Tan mengangguk lemas. Ia meraih novel kesukaannya kemudian membuka halaman secara acak. Tentu bukan pertama kali dia membaca novel berjudul Terowongan itu.

Yanu memberikan waktu pada sahabatnya tanpa pertanyaan lagi. Ia memilih membuka laptop untuk mengerjakan tugas. Saat fokus, pandangan Yanu teralihkan pada gadis berpakaian gaun putih tulang selutut dengan jaket berwarna cokelat. Rambut berwarna senada bergelombang gantung tidak asing.

Yanu menurunkan novel yang menutupi wajah sahabatnya. Diberikan isyarat untuk menoleh ke belakang. Walau ragu, Tan menurut kata sahabatnya. Benar saja, sang mantan ada di sana. Berbincang dengan mahasiswa lain yang asing. Sangat jarang kakak tingkat bisa mengenali adik tingkat kecuali ada hubungan tertentu.

Wajah ceria Yaya saat berbincang dengan teman sebayanya menambah lega di dada mahasiswa 20 tahun itu. Tak apa tidak bisa mendekat, melihat senyumnya saja sudah cukup. Mungkin sadar dilihat dari jauh, Yaya menoleh ke arah Tan. Seketika Tan berpaling, begitupun gadis mungil itu tidak peduli.


1053 kata

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro