Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 13: I THINK I

Sesuai janji, hari ini Tan dan sahabatnya akan ke lapas untuk menemui tersangka pembunuhan 3 tahun lalu. Cowok berponi itu bersiap dengan kemeja kotak. Sedang asyik berkaca merapikan rambut, denting ponsel berbunyi. Pesan dari penulis idola diterimanya.

Yaya
Kak Tan, jemput aku setelah kuliah, ya?

Cowok 20 tahun itu terdiam. Tak seberapa lama, ponsel yang dipegangnya pun berdering.

"Kak Tan, kok, lama balasnya?" Suara gadis mungil itu terdengar.

"Ini juga mau ngetik, kamu udah telepon. Nggak sabar banget." Tan menyanggah.

"Gimana, Kak? Bisa?"

Tan bergumam beberapa detik. "Sepertinya tidak bisa. Tapi, nanti sore aku ajak makan es krim mau?"

"Memangnya Kakak mau ke mana?"

"Rahasia, dong," jawab Tan cengengesan.

Jantung cowok itu berdetak tidak beraturan. Ia masih kepikiran, apakah yang ia lakukan ini benar?

"Pasti mau jalan sama Kak Yanu." Gadis bernama asli Freya itu berkata ketus.

"Iya. Aku mau sama Yanu. Makanya nggak bisa jemput. Tapi, nanti sore giliran kamu." Cowok itu mencoba meyakinkan.

Yaya pun luluh. Ia mengizinkan Tan untuk bersama sahabatnya. Napas lega keluar setelah penulis idola yang kini menjadi pacarnya menutup telepon. Ternyata ada pesan lagi dari Yanu yang mengatakan bahwa dia sudah siap.

Tan bergegas menghampiri sahabatnya di rumah. Sampai di sana, ternyata sang sahabat sudah menunggu dengan menenteng helm fullface. Terlihat juga pintu rumah yang terbuat dari kayu tertutup rapat.

"Yang lain ke mana?" tanya Tan.

"Nyokap ke rumah saudara, Bokap ada tugas di kantor." Yanu menjawab sambil menaiki jok belakang motor sahabatnya.

Mereka pun melaju menuju lapas yang ada di pinggiran kota. Butuh waktu hampir setengah jam untuk sampai.

"Yan, bokap lu kan polisi juga. Apa nggak bisa minta tolong?" celetuk Tan sambil menyetir.

"Kalau bisa, mah, udah dari dulu kasus kakak gue selesai. Persidangan aja ruwet dan tersangkanya belum dijatuhi hukuman."

"Selama itu?"

Yanu mengangguk. Walaupun anggukannya tak terlihat oleh Tan, tetapi diam menandakan kebenaran.

"Lagian bokap gue bukan bagian kriminal," lanjut Yanu yang membuat Tan tak bertanya lagi.

Tak terasa mereka sudah memasuki wilayah lapas. Halaman yang tertutup paving cukup luas. Dari gerbang sampai ke bangunan kantornya saja akan terasa lelah jika jalan kaki. Beruntung tempat parkirnya tidak bertempat di dekat gerbang.

Hanya beberapa kendaraan yang terlihat. Lapas itu tidak terlalu ramai pengunjung. Di dalam dekat pintu masuk kantor terdapat rak berisi lembar pengajuan untuk bertemu dengan penghuni lapas.

"Lu aja, kah, yang masuk?" tanya Tan pada sahabatnya.

Yanu terdiam sejenak. "Iya, kayanya gue aja. Gue coba korek informasi sebanyak mungkin."

Setelah sepakat, Yanu menulis di blangko itu. Kepala sipir diam sambil membaca blangko yang diterima. Yanu dan Tan pun yang mengucap satu patah kata. Mereka merasa kecil di sana.

"Kalian yakin mau mengunjungi dia?" tanya kepala sipir itu.

"Iya, Pak. Saya adik korban pembunuhan 3 tahun lalu. Ada yang ingin memastikan sesuatu." Yanu menjawab.

Kepala sipir pun mengizinkan Yanu untuk masuk, sedangkan Tan menunggu di ruang itu. Waktu yang diberikan tidak banyak. Ia harus mendapatkan informasi.

Ruang pertemuan dipisahkan oleh kaca berlubang yang digunakan untuk jalur suara. Mata Yanu menyapu ruang yang baru pertama kali dimasuki. Tidak sadar detak jantungnya lebih cepat dari biasa.

Tak lama salah seorang sipir membawa tahanan berbaju oranye cerah. Wajahnya terlihat keriput dengan rambut ikal sebahu. Entah mengapa melihatnya membuat Yanu meneteskan keringat. Mata mahasiswa itu pun memerah.

Seringai terlontar dari tahanan bernomor dada 3567. Kepalan tangan Yanu semakin kuat, padahal belum ada kata yang terlontar. Mereka kini duduk berhadapan.

"Sepertinya kita belum pernah bertemu?" ucap tahanan itu.

Bibir Yanu terasa berat untuk terbuka. Kalimat makian sudah sampai di ujung tenggorokan. Ia memejam sejenak, napas panjang pun dikeluarkan. Beruntung cara itu berhasil untuk meredam sedikit amarahnya.

"Iya. Tapi, kamu sudah bertemu dengan kakakku." Yanu menjawab dengan nada datar.

Mereka melanjutkan pembicaraan. Mengenang masa lalu saat cowok 20 tahun itu kehilangan kakak perempuannya. Setelah sekian basa-basi. Cowok itu mengeluarkan benda kecil dari dalam sakunya. Ditunjukkan liontin berwarna biru safir pada sang tahanan. Wajah tahanan itu begitu datar saat melihat.

Di ruang tunggu Tan duduk membungkuk dengan kedua lengannya di paha. Mustahil kalau ia tidak ikut berdebar. Pasalnya ini juga pertama kali ia masuk ke lapas walau bukan sebagai penghuni. Sesekali cowok berambut poni menoleh ke arah kepala sipir berwajah datar. Setelah itu ia langsung berpaling.

Ponsel Tan berdering. Nama penulis kesayangannya tertera pada layar. Ia pun keluar kantor dan mengangkat teleponnya.

"Kak Tan di mana?" tanya Yaya.

Pertanyaan yang ditakutkan Tan pada saat itu pun muncul. "Ini, ini lagi sama Yanu. Ada apa, Ya?"

"Kakak ada rencana apa sama Kak Yanu?"

"Rencana apa, sih? Kamu kenapa tiba-tiba tanya gitu?" Cowok itu terheran dengan pertanyaan pacarnya yang tiba-tiba curiga.

"Jangan-jangan kalian ada rencana buat nggak ngajak aku lagi. Aku nggak terima, ya!"

Tan mengembuskan napas panjang. "Nggak, Mut. Nggak aku tinggalin. Udah, ya? Nanti sore, kan, kita ketemu."

Setelah mendapat persetujuan dari sang pacar, Tan menutup teleponnya. Dari gerbang terlihat sebuah mobil yang melaju dan parkir di halaman lapas. Cowok itu hanya sekilas melihat, lalu ia kembali masuk ke kantor.

Ternyata sang sahabat belum keluar. Tak lama, seseorang memasuki kantor. Seperti tidak asing, lelaki berpostur tegak memakai jas hitam. Tan mendekat untuk memastikan.

"Pak Anton?" ujar Tan.

Sontak lelaki itu menoleh ke sumber suara. Dosen itu menyipitkan mata--mencoba mengingat seseorang di hadapannya.

"Saya Tan, Pak. Mahasiswa kelas Kritik Sastra."

"Oh, Tan. Kamu ada apa di sini?" tanya Pak Anton.

"Ngantar teman, Pak. Ada tahanan yang ditemui. Kalau Bapak sendiri?"

"Itu, mau jenguk saudara."

Percakapan mereka terpotong seiring dengan Yanu yang keluar dari ruang pertemuan. Ia terlihat sedikit pucat setelah bertemu dengan tahanan itu. Tan yang melihat segera menghampiri. Di hadapan Pak Anton pun Yanu tidak bersuara.

Tan membungkuk sedikit dan pamit untuk pulang lebih dulu. Pak Anton mengiakan, lalu melanjutkan kegiatannya.

"Yan, lu nggak apa-apa?" tanya Tan.

Tidak ada jawaban. Yanu hanya menggeleng. Lelaki berambut poni itu menawarkan untuk berhenti kafe atau langsung pulang pada sahabatnya.

"Langsung pulang aja. Gue lemes," ujar Yanu singkat.

Tan menuruti permintaan sahabatnya. Di kala seperti ini ia juga tidak bisa meminta Yanu untuk bercerita. Mungkin butuh waktu untuk menenangkan diri.

Mereka pun tiba di depan rumah Yanu. Terlihat pintu rumah model lama itu sedikit terbuka. Seseorang keluar dari rumah--itu ayah Yanu.

"Dari mana?" tanya ayah Yanu setibanya sang anak ada di hadapan.

Belum sempat menjawab, Yanu sudah ambruk tepat di pelukan sang ayah. Tan yang awalnya ingin langsung pulang pun sontak turun dan menolong ayah Yanu membopong anaknya yang pingsan. Mahasiswa 20 tahun itu ditidurkan di kamar.

"Sudah, Tan. Kamu boleh pulang. Nanti Om kabari kalau Yanu sudah siuman."

Tan pun mengikuti perintah ayah sahabatnya. Ia pun pulang dalam keadaan kurang tenang. Pikirannya berkecamuk mengenai pacar dan sang sahabat. Rencana untuk bertemu dengan Yaya pun dibatalkan.


1102 kata

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro