BAB 10: COLLABORATE
Tan sengaja mengatur pertemuan untuk mereka bertiga. Kini setiap kuliah Kritik Sastra, Yaya selalu berangkat dengan Tan. Kali ini gazebo fakultas yang mereka pilih sebagai tempat. Awal pencarian pun di mulai.
Namun, mereka bertiga masih termenung. Entah langkah apa yang akan diambil. Di gazebo itu mereka duduk terpisah dengan pandangan yang saling berlawanan.
"Kenapa malah ngelamun? Ini kita mau ngapain?" celetuk Tan.
"Lhah, gue kira lu udah ada rencana. Ngapa malah nanya?" Yanu menyanggah.
"Ya, belumlah. Gue kan nggak ada petunjuk sama sekali."
Merasa bising, Yaya menutup telinganya dan menggeleng sebentar. "Stop! Berisik, Kakak-Kakak." Yaya berucap sambil mengajukan tangannya.
Perhatian Tan dan Yanu kini ke arah adik tingkatnya. Yaya menata posisi duduknya untuk mencari kenyamanan. Begitu pula kedua cowok itu yang duduk berdampingan membentuk pagar di hadapan Yaya.
"Kak Tan, kan, belum tahu cerita lengkapnya-"
Kalimat Yaya yang belum selesai pun terpotong. "Gue juga belum," celetuk Yanu lagi.
Yaya menggulir bola matanya kesal. "Iyaa, Kak Yanu juga belum."
Sahabat Tan itu cengengesan mendengarnya. Tan yang berada di sampingnya juga menyikut--tanda Yanu harus diam. Yaya mencondong, diikuti Tan dan Yanu yang semakin mendekat hingga tak ada wajah yang terlihat dari luar.
Yaya melirik pacar dan sahabat pacarnya. "Kak, terlalu dekat. Malah mencurigakan."
Kalimat gadis 19 tahun itu sontak membuat Tan dan Yanu mundur--mencari posisi senatural mungkin. Setelah dirasa nyaman, Yaya memulai ceritanya.
Cerita Yaya di mulai ketika gadis yang saat itu masih SMA pulang lebih malam dari biasa karena tugas kelompok. Saat itu Yaya belum memiliki karier sebagai penulis. Setelah turun dari angkot, ia berjalan dari gerbang perumahan menuju rumah yang terpaut beberapa gang.
Malam itu begitu sepi, lampu-lampu rumah mati. Memang belum banyak yang menghuni perumahan itu. Gadis itu menyusuri jalan yang tersusun dari paving block sendirian. Hari itu Yaya merasa lebih merinding dari biasanya.
Seorang wanita menyalip Yaya dengan berlari. Wanita umur 20-an itu memakai kemeja putih dengan rok hitam selutut. Rambutnya bergelombang terurai dan sedikit acak-acakan. Entah mengapa seketika Yaya menggir dan bersembunyi di balik semak pinggir jalan. Badannya yang mungil membuatnya mudah untuk tidak terlihat.
Benar saja, tak seberapa lama seorang berpakaian serba hitam bertopi dan jaket kulit juga berlari ke arah wanita itu. Kemudian, terdengar suara wanita berteriak. Yaya tersentak, dadanya berdebar tak karuan. Namun, rasa penasaran yang besar membuat siswa itu mendekat hingga terlihat pemandangan yang seharusnya tidak ia lihat.
Beberapa kali terlihat lelaki bertopi itu melayangkan pukulan. Tidak ada yang mendengar teriakan wanita itu--semakin keras hingga membuat sekujur tubuh Yaya gemetar di balik semak. Tanpa sadar ia juga menitihkan air mata. Saat itu ia memegang ponsel, sengaja kamera dihidupkan hingga adegan itu pun terekam.
Suara wanita yang awalnya teriak karena pukulan, kini seperti rintihan karena susah untuk bernapas. Akhirnya suara sang wanita hilang. Lelaki itu terlihat menarik kain lentur berwarna hitam dan meletakkan di atas badan korbannya.
Lelaki itu membalikkan badan. Seketika Yaya menunduk hingga membuat semak sedikit bergetar. Ia membungkam mulutnya sendiri untuk menahan suara yang keluar. Air matanya kian mengalir deras. Suara pertemuan sepatu dengan jalan itu semakin nyaring di telinga Yaya.
"Woi!" Beruntung, ada teriakan seseorang yang entah datang dari mana.
Yaya selamat. Gadis itu tak menghiraukan wanita yang tergeletak di tengah jalan. Ia berlari menuju rumah yang berada di ujung gang.
Gedoran di pagar dilayangkan. Berharap kakaknya segera membukakan pintu. Syukurlah Yaya tidak lama menunggu. Pintu pagar terbuka dan Ika melihat adiknya begitu acak-acakan. Sekujur tubuh Yaya lemas. Ia pun pingsan.
"Dan wanita itu kakak lu, Yan?" tanya Tan.
Yanu mengangguk menanggapi sahabatnya. Kini mata cowok itu tertuju pada Yaya yang tidak menangis lagi seperti pada saat itu.
"Kamu nggak apa-apa cerita seperti ini lagi?" tanya Yanu.
Di balik mata yang berkaca-kaca, Yaya berusaha melayangkan senyum yang membuat pipinya naik. "Nggak apa-apa, kok, Kak," ujarnya.
"Jadi, sejak itu kamu pakai masker dan topi?" Sang pacar bertanya lagi.
Yaya mengangguk tanpa melunturkan senyum. "Aku kira saat itu dia melihatku."
Yanu dan Tan saling pandang. Mereka sepakat untuk mengakhiri sesi pertanyaan yang mungkin saja memanggil ingatan kelam sang penulis. Tan tersentak sendiri tanpa ada apapun.
"Gimana kalau kita mulai dari pencarian informasi di koran tiga tahun lalu?" Ide Tan muncul.
"Tumben encer otak lu." Yanu mengejek. Namun, ia menyetujui gagasan sahabatnya.
Tujuan selanjutnya adalah perpustakaan kampus. Tidak mungkin kampus sebesar itu tidak menyimpan koran. Mereka menuju komputer yang disediakan di setiap depan rak buku untuk mahasiswa mencari bacaan.
Kata kunci koran bulan September 2019 pun diketik. Muncul informasi jika koran 3 tahun lalu dikumpulkan di lantai paling atas ruang pojok baca. Perpustakaan itu unik dengan fasilitas khusus untuk membaca koran. Beberapa koran beberapa tahun lalu dipilih dan di pajang mengelilingi ruangan.
Terlihat ada tulisan tahun 2019 di atas lampiran koran-koran. Penataan sengaja diperlihatkan tanggal dan bulan untuk mempermudah. Yaya, Yanu, dan Tan mengambil beberapa koran dengan bulan September.
Benar saja, sebagian koran yang mereka ambil menghadirkan berita utama mengenai kematian seorang wanita di perumahan sepi. Berhubung koran itu tidak bisa dicoret, mereka mengeluarkan buki catatan. Kini masing-masing dari mereka sibuk mencari informasi di koran yang mereka pegang.
Terdengar suara pengumuman bahwa perpustakaan kampus hampir tutup. Tak terasa mereka sudah mencari informasi selama itu. Rambut Yanu dan Tan sudah tak berbentuk. Pandangan pun menjadi suram karena terlalu lama memandang tulisan kecil.
Mereka bertiga berjalan keluar perpustakaan.
"Bagaimana kalau Minggu besok kita ke lokasi yang diceritakan Yaya?" ujar Tan sambil merangkul sang pacar.
Yaya dan Yanu sepakat dengan ajakan Tan. Kini saatnya kembali ke rumah masing-masing. Tugas Tan belum selesai, ia harus mengantar pacarnya pulang.
Begitu sampai di rumah, Yaya langsung turun. "Kak Tan nggak mampir?" tanyanya.
Tan tersenyum mendengar tawaran dari pacar mungilnya. Ia kembali mengacak rambut berponi Yaya dengan gemas. "Kapan-kapan, ya, Mut."
Panggilan asing itu membuat dahi Yaya berkerut. "Apa?"
"Imuut." Tan mengulang dengan lebih menekan.
Senyum Yaya merekah mendengarnya. Hatinya semakin mekar. Tak bisa dipungkiri rasa gadis itu membalas pacarnya. Tan melambaikan tangan tanda akan berjumpa kembali. Begitupun dengan Yaya.
Ika sudah menunggu di sofa ruang tamu. Ia menyambut sang adik pulang. "Lumayan, nih, Kakak bisa santai tiap Rabu," canda Ika.
Gelak tawa keluar dari mereka.
"Tapi, kenapa pulangnya sore banget hari ini?" tanya Ika.
"Tadi ke perpus dulu, Kak. Ada yang mau dicari."
Ika menepuk sofa di sampingnya. Yaya paham maksud sang kakak memintanya duduk.
"Setelah dipikir, Kakak takut, Ya."
Yaya memiringkan kepala. "Takut apa, Kak?"
"Kamu jangan mengutik masa lalu, ya? Kamu nggak ingat butuh waktu lama buat kamu sembuh?"
Yaya mengembuskan napas kencang. "Nggak apa-apa, Kak. Yaya udah lebih kuat, kok. Udah ya, Yaya mau istirahat."
Belum sempat Ika membalas kalimat adiknya. Ia sudah ditinggalkan masuk kamar. Rasa tidak nyaman menumpuk di dada wanita 25 tahun itu.
1106 kata
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro