Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Relung Hati

Setelah bertengkar hebat dengan Kuas, Kanvas akhirnya kembali menyendiri.

Disudut paling sunyi area perpustakaan Kanvas termenung. Memikirkan setiap perkataan Kanvas juga realita yang ada di sekitarnya.

"Gue otoriter karena gue gak suka dianggap lemah, tapi gue juga capek kalau terus ditekan kayak gini!" keluh Kanvas.

Kanvas hanya remaja yang sedang sibuk memperjuangkan harga dirinya. Mempertahankan eksistensinya dan menunjukkan pada dunia jika dia ada.

Menjadi bagian dari jajaran murid berprestasi merupakan satu dari jutaan mimpi Kanvas.

"Lo harus bertahan! Lo pasti bisa!" ucap Kanvas menyemangati dirinya sendiri.

Jika bukan karena status sosial yang meletakkan padanya, mungkin ambisi Kanvas tidak akan sebesar ini.

Seandainya dia terlahir dari keluarga menengah ke bawah, seandainya dia bisa memutusakan jalan hidupnya. Hidup sesuai dengan kemampuan dirinya dan berjuang di jalan yang dia sukai mungkin hidupnya akan jauh lebih berwarna.

"Sendiri aja neng," celetuk Biru-Sahabat terbaik Kanvas.

Kedua ujung sudut bibir Biru terangkat, senyum manisnya mampu mencairkan hati para gadis diluar sana tapi tidak pada Kanvas.

"Ngapain? Lo mau laporan kalau tadi anak-anak pada ngomongin gue?" tanya Kanvas judes.

Wajahnya yang sempat mendongak kini kembali menunduk. Lantai pualam yang bersih itu jauh lebih menarik untuk dilihat dibandingkan dengan wajah tampan Biru.

Walaupun Kanvas tahu, Biru datang untuk menghibur hatinya yang sedang lelah.

"Tenang, gue masih mau pulang ke rumah. Jadi gak ada waktu buat gue cerita omongan anak-anak tadi. Gue cuma mau duduk aja di sini, nemenin lo yang sok kuat itu!" balas Biru.

Oh ayolah, satu kesedihan pun tidak akan pernah luput dari pandangan mata Biru terutama jika kesedihan itu berhubungan dengan Kanvas.

Rasa cinta dan sayangnya terhadap Kanvas melebihi rasa kecewa. Cinta yang dimiliki Biru memang tidak berjalan mulus. Tetapi bukan itu alasan yang tepat untuk menjauhi Kanvas.

"Gak usah sok peduli!" gerutu Kanvas.

Jauh dalam lubuk hatinya, derai air mata yang tertahan bisa saja tumpah detik itu juga. Tetapi Kanvas kekeh mempertahankan harga dirinya.

Tidak akan ada yang bisa melihat tangis Kanvas karena jika tangis itu jatuh berarti rasa sakit yang diterima Kanvas sangatlah parah.

"Nangis aja, gak papa kok! Aku di sini..." Sebelum melanjutkan kalimatnya Biru lebih dulu pindah. Duduk tepat di samping Kanvas dan menyeret pelan kepala Kanvas agar bersandar di bahunya.

"Bahu aku selalu ada buat kamu. Jangan takut dihakimi, aku gak akan bilang sama siapapun," sambung Biru.

Tangan kanannya pelan mengelus lembut lengan tangan kanan Kanvas.

Sekujur tubuh Kanvas tiba-tiba kaku, tapi bukan karena gugup! Dia sedang menahan gejolak air mata yang siap membahasi pipi. 

Perhatian Biru, kasih sayang Biru harus dengan apa Kanvas membalasnya?

"Aku tahu kamu, Kanvas. Aku tahu kesedihan yang kamu rasa tanpa kamu repot bercerita, aku cuma minta kamu buat nangis. Jangan ditahan, aku tahu hampir setiap malam kamu nangis sendirian. Jadi! Aku mohon, sekarang nangis ya. Aku ada di samping kamu, jangan pernah merasa kesepian lagi!" bujuk Biru.

Tidak ada yang bisa mengalahkan cinta Biru. Cinta yang tulus tapi belum juga berakhir mulus.

Mau seribu bujukan pun, Kanvas tetap kekeh. Dia tidak boleh menangis. Air mata ini tidak boleh jatuh dihadapan manusia lain. Cukup dirinya yang tahu rasa sakit yang dia simpan selama ini.

"Aku gak papa," sahut Kanvas gemetar. 

Pelan kepala Kanvas mendongak siap untuk tegak kembali tetapi tangan kanan Biru sigap mencegahnya.

"Jangan pura-pura kuat! Aku bosan dengan itu!" cegah Biru. Suara Biru menggema dan tegas.

Maka, kini Kanvas memilih untuk kalah. Menyandarkan kepalanya di bahu Biru sambil berkali-kali membenarkan posisi duduk dan tangannya yang digenggam tangan kiri kiri Biru.

Bagian depan dan belakang semuanya ada di dalam perlindungan Biru. Di titik ini Kanvas menyadari jika dirinya tidak akan bisa sekuat sekarang tanpa adanya Biru.

Pemuda yang selalu ada di sampingnya. Biru yang siap melindungi tanpa berharap lebih. 

"Aku gak mau kamu terluka sendirian," cicit Biru yang lagi-lagi mengundang sesak.

Gemuruh didada Kanvas semakin kencang. Raut kesedihan jelas tampak di kedua bola matanya. Bibir bagian bawah dan atas terlipat rapat. Gigit ikut menggeram.

"Ada ak..." belum selesai Biru berbicara Kanvas sudah lebih dulu berbalik dan memeluk erat leher Biru.

"Makasih Bi, makasih karena lo selalu ada di saat tersulit hidup gue. Maaf karena gue masih nyusahin lo!" jawaban Kanvas telak mengakhiri suasana sendu yang sempat terjadi.

Tidak ada yang bisa memaksa Kanvas! Sebuah keajaiban jika Kanvas berhasil mengungkap isi hatinya di hadapan manusia lain.

Dorongan emosi saja kadang tidak bisa menjelaskan betapa Kanvas ingin memaki disertai derai air mata tanda jika dia sedang tertindas.

Dalam hangatnya dekapan Kanvas, Biru justru terdiam dalam lautan nestapa.

"Aku tetap gagal jadi tempat kamu pulang. Rumahku ternyata tidak senyaman itu," gumam Biru dalam hati.

Tak ayal genggam tangan Biru ikut terlepas dan diganti dengan lembutnya belaian di punggung Kanvas.

Momen romantis itu terabadikan jelas di cctv ruang perpustakaan dan juga di mata elang milik Kuas.

"Romantis banget ya! Sampe pelukan segala! Best friend banget ya kalian sampe lupa kalau ini masih di  sekolah! Teletubbies aja kalah sama kalian!" teriak Kuas membuat beberapa murid yang sedang asik membaca terganggu.

Kini bukan hanya satu, tapi juga sepuluh sorot mata yang melihat drama dua remaja itu.

Kanvas buru-buru menjauh dan bangkit lantas tanpa berkata apapun dia pergi meninggalkan Biru yang masih saja duduk santai menatap tajam Kuas serta murid lainnya.

"Apa salahnya gue pelukan sama Melodi? Dia sahabat gue!" jawab Biru tak terima. Masih dengan sorot matanya yang tajam, Biru bangkit lantas mendekati Kuas yang sedang berdiri tepat diantara lorong rak-rak buku.

Tanpa rasa takut, Kuas diam menanti Biru. Sorot matanya juga tak kalah tajam ditambah dengan kedua tangan yang terlipat di depan dada.

Murid-murid tadi sempat terganggu aktivitas membacanya kini justru terhibur dengan debat sengit yang terjadi.

Dua murid tampan saling memperebutkan satu wanita. 

"Cih!" desis Kuas berhasil membuat beberapa murid menelan ludah.

"Nama dia Kanvas bukan melodi! Kuas Kanvas bukan Biru melodi!" sambung Kuas memperjelas alasan mengapa dia tadi membentak Biru dan Kanvas.

Api kecemburuan berkobar di ke empat bola mata itu. Tidak ada satupun yang ingin mengalah. Terutama Biru yang sejak dulu mencintai Kanvas.

"JANGAN MIMPI!" tegas Biru. Jari telunjuk menghantam telak bagian dada kanan Kuas membuat aura di perpustakaan semakin mencekam.

Senyum simpul sempat Kuas berikan sebagai tanda perlawanan.

"Bukankah setiap kemenangan besar diawali dengan mimpi? Jangan salahkan mimpi jika langkahmu yang kurang lebar. Selamat datang pecundang!" jawab Kuas.

Diantara dua cinta manakah yang berhasil memikat hati Kanvas?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro