Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Parasit

"Non!" teriak seorang pria di balik pintu ruang kelas Kanvas.

Ruang kelas yang sepi membuat suara pria bertubuh kekar itu menggema.

"Sebentar Pak. Saya beres-beres buku dulu," sahut Kanvas tidak bersemangat.

Waktu berjalan begitu cepat, baru tadi Kanvas bertengkar dengan Kuas lalu didetik berikutnya dia mendapatkan perhatian Biru kini saatnya memenuhi ambisi keluarga.

Kanvas bergegas membereskan buku sekolahnya. Memasukannya ke dalam tas lalu bangkit dan berjalan mendekati pria bertubuh kekar itu.

"Sekarang langsung pulang aja ya Pak. Saya capek!" pinta Kanvas yang sayangnya ditolak mentah-mentah oleh pria itu.

"Maaf Non, hari ini ada les matematika. Nyonya tidak menerima keluhan apapun. Jadi non tetap harus masuk les," tegas pria itu.

Helaan napas panjang ditambah decak sebal akhirnya keluar dari mulut Kanvas. Mau tidak mau suka tidak suka Kanvas tetap mengangguk.

Tidak ada pilihan lain, bukan? Menurut atau beban pikiran bertambah dua kali lipat.

Sebenarnya apa yang Kanvas kejar saat ini merupakan buah dari harapan kedua orang tuanya. Status sosial lagi-lagi jadi masalahnya.

Dengan kondisi hati yang tidak baik, Kanvas berjalan lebih dulu menuju area parkiran. Mobil berwarna hitam keluaran terbaru dari salah satu merek perusahaan mobil ternama terparkir rapih di sana.

"Tit!"

Bunyi pintu mobil terbuka.

"Silahkan non," ucap pria itu.

"Terima kasih Pak Imam," sahut Kanvas.

Pak Imam hanyalah seorang supir yang ditugaskan untuk mengantarkan Kanvas menuju tempat-tempat les. Tetapi secara tidak langsung Pak Imam juga salah satu bagian dari kesuksesan Kanvas. Kesuksesan semata yang membuat hidup Kanvas tidak lagi berwarna.

Tidak banyak yang bisa Kanvas ceritakan. Masa kecilnya dilalui dengan berbagai macam permainan yang berguna untuk mengasah kecerdasannya.

Memang pola asuh kedua orang tuanya itu baik, tetapi Kanvas kehilangan masa bermainnya. Dia kehilangan warna pelangi terindah saat usianya 5 tahun.

"Non mau makan siang dulu?" tanya Pak Imam.

Di jok bagian belakang, Kanvas yang sedang duduk sambil bersandar balas menggelengkan kepalanya, "Gak nafsu," balas Kanvas singkat.

Makan siang makan malam rutinitas itu tidak lagi berarti saat menu makanan yang disajikan jauh dari kata kesenangan.

Jam makan, jam tidur semuanya diatur. Kanvas hidup bagai seorang narapidana. Dia hanya bisa bergerak sesuai perintah sipir penjara.

"Tapi non..."

"Okey! Kita makan sebelum les dimulai. Makanya udah disiapin, kan?" potong Kanvas.

Ya, dia tahu. Menolak itu tidak mungkin. Kanvas harus makan agar dia bisa fokus belajar. Biaya les ini tidak murah. Orang tuanya mengeluarkan banyak uang jika dia gagal maka kemana uang itu lari?

Pak Imam juga tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya seorang kepala keluarga yang sedang mencari rezeki dari balik tangan tuannya.

"Pak Imam juga punya anak seusia aku, ya? Dia sibuk les juga? Rencana dia mau kuliah di mana?" tanya Kanvas sekedar basa-basi mengisi kekosongan selama perjalanan.

Pertanyaan yang sama sejak beberapa bulan terakhir. Sayangnya, Kanvas tidak pernah bisa menyesuaikan gaya hidupnya dengan gaya hidup anak Pak Imam.

Kanvas tetap ada di bawah. Karena kebebasannya direnggut paksa demi sebuah gelar di masyarakat.

"Iya Non. Enggak dia gak les, katanya dia mau kerja aja. Bantu-bantu Bapak sama Ibu. Non yang sabar ya, tuan sama nyonya hanya menginginkan yang terbaik untuk Non," jawaban yang diberikan Pak Imam juga selalu sama.

Apakah benar kedua orang tua Kanvas hanya menginginkan kehidupan yang terbaik di masa depan bagi Kanvas? Lantas mengapa mereka merenggut satu persatu kebahagiaan yang ingin Kanvas raih?
Apakah kebahagiaan yang Kanvas impikan hanya sebuah delusi mata?

"Sudah sampai Non. Tapi, maaf non itu ada motor yang dari tadi ngikutin kita, apa pemuda itu teman non?" ucap Pak Imam memberitahu.

Seorang pemuda baru saja memarkir motornya di parkiran depan dekat pintu masuk tempat les yang biasa Kanvas ikuti.

Pemuda itu juga mencopot helm dan mengambil kunci motornya lalu memasukkannya ke dalam saku celana.

"Iya, makanannya mana Pak? Saya makan di ruang les aja!" jawab Kanvas singkat sambil meminta box tempat makan siangnya.

Jam sekolah berakhir cepat. Pukul dua belas siang seluruh siswa dibolehkan pulang. Ada rapat guru, maka les matematika Kanvas dimajukan.

Tentu hal itu bukan berita yang baik, hari ini jadwal les seharusnya hanya satu tapi karena ada waktu senggang jadwal les ditambah.

"Kanvas!" teriak pemuda yang sejak tadi membuntuti mobil Kanvas.

"Lo kurang kerjaan atau apa sih? Belum cukup debat disekolah? Belum puas lo marah-marah? Sekarang, lo mau apalagi?" sahut Kanvas yang jelas tidak suka dengan kehadiran pemuda sok tampan, sok baik, sok pengertian yang selalu menempel padanya.

Pemuda itu bukannya marah, dia justru tersenyum dan sengaja mendekati Kanvas lalu merangkul mesra bahu Kanvas.

"Hari ini les? Gue temenin. Tenang! Gue udah izin kok, mulai  gue sama lo bakalan les bareng. Seneng kan lo?" jawab pemuda itu.

Siapa yang bahagia? Kanvas? Tentu tidak, dia justru menyingkirkan tangan pemuda itu.

"Galak amat neng!" keluh pemuda itu.

Tapi Kanvas tidak peduli. Dia memilih beranjak pergi.

Hari yang dilalui Kanvas benar-benar sempurna. Bertengkar dengan teman se-organisasi, dijadikan bahan gosip esok hari dan kini harus duduk berdua bersama pemuda aneh ini.

"Kanvas! Tunggu dong!" teriakan pemuda itu membuat beberapa murid, staf pengajar dan pegawai di tempat les terganggu. Mereka melempar tatapan tajam lalu kembali berkutat dengan pekerjaan masing-masing sementara Kanvas tetap berlari mengabaikan sorot mata semua orang juga rengekan pemuda yang kehadirannya tidak diizinkan.

Pemuda itu juga tidak menyerah, dia tetap berlari mengejar Kanvas. Aura bahagianya kembali walau Kanvas menolak kehadirannya.

Ini baru awal dari ribuan perjuangan yang akan dilakukan pemuda itu. Dia tidak akan menyerah hanya karena satu penolak halus.

"Aku yakin kamu mulai suka sama aku," ucapnya dalam hati kala kecewa mulai merajai diri.

Mungkin bukan hari ini, tapi suatu hari nanti dia bisa melukis indahnya warna diatas Kanvas pilihannya.

Saat langkah kakinya semakin lebar, ditengah jalan Kanvas tiba-tiba saja berhenti, pemuda itu hampir saja menabrak tubuh Kanvas beruntung karena dia berhasil menghentikan langkah kakinya.

Saat napasnya masih tersengal-sengal, tubuh Kanvas berbalik, kedua bola matanya sempurna membulat bahkan nyaris keluar saking tajamnya dia memandang. Jari-jari kukunya juga memutih, Kanvas marah, kesal dan jengkel.

"KENAPA SIH? KENAPA LO HARUS TERUS NEMPEL SAMA GUE? APA YANG LO SUKA DARI GUE? ASAL LO TAHU YA!" kalimat Kanvas terhenti. Dia lebih dulu menarik napas dan kembali menatap tajam mata pemuda di hadapannya.

"GUE GAK PERNAH SUKA SAMA LO DAN SELAMANYA GUE GAK AKAN PERNAH SUKA SAMA LO!" tegas Kanvas yang sayangnya tidak dianggap serius si empunya.

Pemuda di hadapan Kanvas justru tersenyum senang, "Pembohong...."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro