Chapter 45- Hukum I Kirchhoff?
Libra hanya bisa terdiam dengan binar mata penuh tanda tanya. Awalnya, dia dan Fisika hanya duduk bersama sambil berbincang ringan.
Akan tetapi, bunyi panggilan masuk entah dari mana terdengar dan mendadak, sebuah ponsel sudah berada digenggaman tangan Fisika.
Wanita itu memencet tombol menerima dengan cepat. Fisika seolah tidak percaya dengan apa yang terjadi. Bahkan saat mendengar suara Sagi menyebut namanya secara lengkap.
"Fisika!" Libra merampas ponsel Fisika. Mematikan sambungan tersebut dan menyimpannya dalam saku celana belakang.
"Libra? Apa yang lo lakukan? Kembalikan ponselku! Ini sangat penting!" Fisika merasa kesal. Ia tidak menduga bahwa Libra akan melakukan tindakan seperti itu.
"Kekasihmu?" tanya Libra dingin. Fisika hanya mengganguk.
"Berikan ponselku, Libra. Baginda pasti mencemaskanku."
Fisika berusaha merebut ponselnya kembali. Namun, Libra urung mengembalikannya. Ia tidak akan membiarkan Fisika kembali pada Sagi.
"Mengapa? Mengapa lo melakukan ini?" Emosi Fisika mulai terpancing. "Kembalikan ponselku!"
"Lo enggak boleh pergi," tukas Libra penuh makna. "Lo milik gue Fisika. Bagaimana dengan janjimu? Lo bilang bakal bantu gue ciptakan vaksin. Apa karena pacar lo udah datang menjemput ... lo melupakan rencana kita berdua?"
Fisika terdiam sejenak. Tetapi dia rasa, seharusnya ia tidak menyembunyikan sesuatu.
"Lo benar. Jika Baginda udah menjemput gue. Itu artinya, gue enggak bisa tinggal lebih lama di sini. Libra, maafin gue. Tapi, gue bakal ngomong sama Izar dan Baginda, buat ngizinin lo ikut kami."
Libra menggeleng. Dia tidak mengiginkan apa pun. Tujuannya cuma satu sekarang, memastikan Fisika tidak akan pergi ke mana pun. Maka, ia pun melangkah mendekati Fisika perlahan-lahan.
"Libra?" seru Fisika dengan waswas.
Semuanya terjadi begitu cepat. Fisika hanya bisa melihat semuanya samar-samar saat pandangan matanya mulai menggelap.
Setelah berhasil menumbangkan Fisika dengan membuatnya tidak sadarkan diri. Libra mulai mempersiapkan rencana baru.
...
Ponsel yang dipegang Sagi hampir remuk. Dia bisa mendengar suara seorang pria di sebrang sebelum panggilan dimatikan.
"Sial!" umpat Sagi. Dia menatap Izar dengan emosi yang menggebu-gebu. "Seseorang sedang berbuat sesuatu pada Fisika. Kita harus cepat."
"Kita tidak akan mampu berlari Bigbos. Energi kita akan terbuang percuma. Kita sudah menggunakannya tadi."
Izar mencoba memikirkan cara lain untuk bergerak menjemput Fisika. Sesuatu yang tidak akan memancing zombie maupun tentara militer.
"Bagaimana dengan portal? Kalian berdua kan bisa sihir? Pasti mudah melakukannya?" Haggins menyela, seingatnya penggunaan portal sering dilakukan dalam dunia fantasi.
"Tidak semudah itu," ucap Izar, "portal hanya bisa dilakukan, jika lokasi yang kita tuju telah kita kenal sebelumnya."
"Ah, sial. Sekarang bagaimana?" tanya Haggins. Sagi seperti ingin menerkamnya, itulah yang saat ini mereka pikirkan.
"Sementara ini, kita berjalan menyusuri lokasi keberadaan Fisika. Barangkali ada sesuatu yang bisa kita temui di antara bangunan yang rata dengan tanah."
Sagi telah mengambil keputusan. Izar dan Haggins setuju, mereka bertiga pun mulai berjalan perlahan-lahan di bawah cahaya bulan. Sebisa mungkin, mereka menghindari titik yang ada kumpulan pemakan otak.
Dari yang Sagi pelajari. Zombie-zombie ini hanya akan bereaksi pada suara-suara dan bau amis darah. Selama mereka bisa menghindari hal ini. Itu artinya mereka aman.
Namun, dia tetap mewaspadai keberadaan Haggins yang bisa mengacaukan apa pun.
"Lihat, ada becak motor!" Haggins menunjuk ke arah sebuah tiang listrik.
Alis Sagi bertaut bingung. Itu adalah becak yang biasanya menggunakan sepeda. Namun telah dimodifikasi menjadi motor.
Sagi sendiri tidak biasa melihat kendaraan seperti itu. Izar pun berlari mendekati dan memeriksanya.
"Bigbos, sepertinya ini bisa digunakan." Izar menarik kendaraan itu keluar di antara balok-balok kayu yang menimpa atapnya.
"Gue tidak mau mengendarai kendaraan itu," tukas Sagi yang merasa tidak cocok mengendarainya.
"Bigbos dan Haggins bisa duduk di dalamnya. Biar gue yang mengendarai benda ini. Asal Bigbos mengisinya dengan kekuatan listrik Bigbos."
"Hah? Memangnya bisa?" sela Haggins. "Ini becak pakai motor. Artinya harus diisi bahan bakar bensin. Ini bukan motor listrik. Gila nih, Baginda Kaisar Sihir dan Izar."
"Ck. Lo enggak tahu hukum Hukum I Kirchhoff?" tanya Sagi. Dialirkan listrik dari telapak tangannya sebagai daya penggerak. Sembari tetap menjawab argumen Haggins.
"Dalam kehidupan sehari-hari, kadang kita sendiri harus memasang lampu-lampu secara seri, tetapi dalam keadaan yang lain kita harus memasang lampu secara paralel. Kuat arus listrik dalam suatu rangkaian tak bercabang, besarnya
selalu sama. Lampu-lampu di rumah, pada umumnya terpasang secara paralel. Pada kenyataannya rangkaian listrik biasanya terdiri banyak hubungan sehingga akan terdapat
banyak cabang maupun titik simpul. Titik simpul adalah titik pertemuan dua cabang atau lebih. Penyelesaian dalam masalah rangkaian listrik yang terdapat banyak cabang atau
simpul itu digunakan Hukum I dan II Kirchhoff."
Haggins rasa, ini bukan saat yang tepat mendengar Sagi ceramah. Dia tidak mengerti dan tidak mau tahu.
Sementara itu di kejauhan, seorang zombie sedang berjalan terseok-seok mendekati mereka dengan penuh minat.
Deru mesin motor berbunyi nyaring. Cahaya lampunya bersinar terang memecah kegelapan malam. Izar terlambat menyadari, suara bising tersebut memancing puluhan zombie untuk mendekat.
"GASSS!!!" Haggins melompat duduk di dalam becak. "Tancap gas, Izar! Buruann!! Gue gak mau mati jadi zombie!!"
Sagi pun menghempaskan tangannya ke arah sisi bagian kanan. Percikan listrik dan petir menyambar zombie-zombie terdekat. Setelahnya, ia pun segera duduk di dalam becak.
Izar pun memainkan gas dengan bunyi mesin yang meraung-raung. Mengendarai sesuatu yang tidak pernah dicoba membuat Izar cukup kesulitan. Puluhan zombie mulai berkumpul.
Setir pun diputar ke kanan. Sagi sendiri masih sempat memanggil petir menyambar zombie yang terdeteksi mendekat. Haggins berkomat-kamit merapalkan sesuatu yang mirip mantra.
Sementara itu, lautan zombie kian banyak. Mereka bergerak bagai kumpulan serangga dalam satu koloni. Izar tetap menancapkan gas. Pikirannya cuma satu, yaitu sebisa mungkin menabrak apa pun yang menghalangi.
Menyadari bahwa eksistensi dengan duduk manis dalam becak tidak akan menguntungkan. Sagi berusaha berdiri dan memutar badan naik ke atas atap becak.
"Bigbos!" seru Izar yang arah pandangannya tertutup.
"Terus jalan ke depan," titah Sagi, "kita akan mati konyol."
Tangan-tangan kotor dan kuku jari tangan yang penuh sisa-sisa daging manusia bercampur tanah, mulai menggapai-gapai tiga pria ini. Haggins terus saja berteriak, memaki dan memarahi Izar agar bertindak sesuatu.
Petir terus menyambar tanpa henti. Namun, semakin Sagi membunuh mereka. Zombie-zombie ini semakin beringas dan terus bertambah.
"Sial!" Sagi mulai berdiri secara tegap di atas atas becak. Izar punya firasat buruk tentang ini.
Di telapak tangan kiri Sagi, mengalir sebuah api berwarna merah yang menari-nari. Dia lalu melemparkan api itu bagai sedang menyiram tanaman. Petir, listrik dan api menjadi satu.
Malam itu penuh cahaya berwarna-warni yang sangat-sangat menarik atensi siapa pun dari kejauhan.
Haruto yang melihat titik cahaya tersebut dari perkampuan A1. Mulai memerintahkan seluruh pasukannya untuk pergi memeriksa.
"Cepat! Cepat! Petir dan cahaya itu mencurigakan!"
Haruto mengambil beberapa senjata laras panjang dan segera melompat je dalam mobil jeep.
Dia akan bergerak mencari tahu dan membalaskan dendamnya pada Libra dan Fisika atas insiden tempo hari. Tujuan Haruto hanya satu, dia akan merebut Fisika dari Libra bagaimana pun caranya.
___///_/___
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro