Chapter 44- Wifi
"Lo enggak bisa bunuh gue!" ketus Haggins sambil berjalan mendekati Sagi. "Kalau gue mati, lo enggak bakal bisa pulang."
"Siapa bilang?"
"Kan lo yang sendiri ngomong."
Izar hanya tersenyum tipis. Sagi yang tidak ingin ada pertengkaran lagi, menarik Haggins menjauh dari Izar.
"Kita harus segera pergi dari sini. Ada mobil patroli yang akan mendekat. Lo bisa berlari?" tanya Sagi.
Haggins mengganguk. "Bisa lah."
"Baiklah, ayo! Kita tidak punya banyak waktu."
Dengan Izar berlari memimpin pencarian, lalu disusul Sagi dan Haggins dari belakang. Tidak diduga, Haggins mampu menyamahi langkah kakinya. Walau sesekali tertinggal di belakang, Haggins selalu berhasil untuk menyusul.
Area benteng, memiliki tanah tandus dengan sisa-sisa puing bangunan yang telah diratakan dengan tanah. Hal ini menyebabkan jarak pandang dari beberapa titik menara pengawas bisa terlihat lebih jelas.
Di belakang mereka, dua mobil patroli telah mendekat ke bekas kawah yang diciptakan oleh Sagi. Di jarak terjauh, terdapat beberapa zombie yang terkapar. Jumlah mereka tidak banyak, namun, tetap saja, hal tersebut membuat pasukan militer bertanya-tanya. Apa yang sebenarnya terjadi dan satu mobil patroli lain mulai mengejar mereka dari belakang.
"Kita terkejar!" Haggins berseru panik. Ia semakin mempercepat larinya. Saat lampu dari mobil samar-samar menyinari mereka.
"Pergi ke arah kawanan zombie di arah jam 2," titah Sagi segera.
"Terlalu berbahaya! Zombie itu akan bereaksi melihat kawanan daging segar mendekat." Izar rasa, itu adalah ide yang salah.
Malam memang tidak terlalu gelap. Angin malam menerbangkan partikel pasir yang bisa masuk ke dalam mata. Izar tidak punya pilihan, ia menuntun Sagi dan Haggins ke arah makhluk-makhluk pemakan otak.
"Baginda Kaisar Sihir Gila! Baginda sadar enggak sih? Kita masuk lubang buaya!"
Haggins memilih jalannya sendiri. Dia terus berlari ke arah depan, sedangkan Izar dan Sagi mulai mendekati target. Sadar akan keberadaan Haggins yang melenceng, Sagi dan Izar berhenti berlari.
Napas mereka memburu. Sagi segera menarik paksa kerah Izar hingga mereka berdua tiarap di atas pasir.
"Apa yang sebenarnya Bigbos rencanakan?" Izar mencoba mengatur napasnya yang naik turun. Haggins masih terus berlari.
"Mobil patroli tidak akan mendekati zombie-zombie itu. Mereka tidak akan mau membuang peluru secara cuma-cuma. Ini sudah di luar area zona pembersihan. Mereka akan putar arah."
"Lalu Haggins?" tanya Izar
"Akan kukirim dia petir."
Dan benar saja. Di tengah kegelapan malam. Petir kembali menyambar tepat di titik Haggins berada. Pria itu seketika tersandung dan jatuh tengkurap di atas tanah. Bukan hanya satu petir yang menyambar.
Ada sampai sepuluh titik petir di lokasi berbeda-beda. Zombie yang masih punya insting merasakan berbahaya. Semuanya mulai bergerak menjauh titik sambaran. Bahkan, mobil patroli yang mengejar mereka pun segera memutar arah. Sebab, mereka mengira akan turun hujan badai yang besar.
Haggins yang trauma dengan petir dan zombie. Hanya bisa meringkuk di atas pasir dengan tubuh gemetar. Apalagi menyadari bahwa tidak ada Sagi dan Izar di dekatnya.
"Bro?" Izar menepuk pundak Haggins dengan lembut. "Lo enggak papa?"
"Kenapa kalian ninggalin gue?!" hardik Haggins kasar. Tentu saja, Izar yang tidak terima memberi sebuah bogem mentah pada Haggins.
"Lo kalau dibilang belok ya belok! Bukan lari dengan rencana lo sendiri."
"Gue enggak mau masuk ke sarang zombie!"
"Bigbos enggak akan buat lo mati konyol di sana!"
Sagi hampir merasa terkena darah tinggi. Namun, ia tetap mencoba sabar dan bijak di antara kedua rekannya.
"Zombie-zombie di sini tidak akan mengejar kalau kita tidak menarik perhatian mereka. Asal lo gak lari dengan darah menetes. Zombie-zombie ini enggak bakal mengejar lo."
Haggins hanya bisa terdiam menatap Sagi dan mendadak, ia kepikiran sesuatu. "Gue mau pulang sekarang juga."
"Enggak semudah itu Ferguso," sindir Izar. "Lo akan tetap di sini—"
Kalimat Izar terpotong, terdengar notifikasi pesan masuk. Ia pun buru-buru mengeluarkan ponsel dari dalam mana.
"B- Bagaimana lo bisa dapat sinyal?" tanya Haggins yang terganga lebar.
"Kami punya wifi portabel antar dunia paralel," sahut Sagi enteng. Mendadak, air wajah Sagi berubah. Dia menatap Izar dengan wajah serius.
"FISIKA!" seru Sagi dan Izar bersamaan.
"Cepat telepon, Fisika! Wifiku terkoneksi dengan ponsel Fisika."
Sagi merasa bodoh. Harusnya, sejak awal dia mengingat hal ini. Karena jika mereka cepat bertindak, urusan tidak akan semakin panjang.
Lalu, Sagi pun merasa sadar. Dia menatap Haggins lekat-lekat. Jika Haggins tidak berbuat rusuh, tentu saja semua ini tidak akan terlambat di sadari.
"Izar?" panggil Sagi gemas. Pasalnya, hanya Izar yang memiliki nomor Fisika.
"Bigbos harus baca ini."
Izar pun menunjukkan pesan pertama yang dikirimkan oleh Fisika. Di awal-awal ia terhenpas ke dunia paralel 1817.
Halo, Izar.
Gue harap pesan ini bisa terkirim kepadamu.
Cepat jemput gue ya? Baginda bagaimana? Apa dia baik-baik saja
Gue terlempar ke paralel lain, apa F5 ya? Ini dunia penuh zombie. Gue lebih takut zombie dari pada setan.
Gue baik-baik aja, iya hari ini. Enggak tahu hari esok.
Dada Sagi terasa sesak membaca pesan tersebut. Dia seolah bisa merasakan rasa kecewa dan kesedihan yang bercampur satu pada Fisika. Kemudian, Sagi melanjutkan pesan kedua yang dikirimkan oleh Fisika.
Izar,
Di dunia ini, enggak ada ponsel.
Gue harus pergi bersama teman gue buat mencarinya.
Tadi gue baru pertama kali melihat zombie dari jarak dekat dan melihatnya mati mengenaskan.
Kapan kalian datang buat gue? Bilang sama Baginda, gue rindu berat sama dia. Gue kangen banget sama dia.
Jujur, gue merasa hampir gila di sini. Tapi, lo jangan bilang sama Baginda, kalau teman baru gue ini cowok.
Sulit untuk merasa tidak cemburu. Namun, setidaknya Sagi merasa lega bahwa Fisika dalam keadaan baik-baik saja. Lagipula, pria itu jika berbuat nekat menyentuh Fisika, ia akan merasakan sengatan seperti kejut listrik.
Tidak perlu waktu lama. Sagi segera menekan tombol panggilan untuk menelepon Fisika.
"Tunggu! Jelaskan bagaimana bisa wifi portabel bisa bekerja sejauh ini untuk bisa saling mengirimkan pesan dan melakukan panggilan?"
Haggins menuntut penjelasan dari Izar dan Sagi. Baginya, itu mustahil.
"Sederhananya, Wifi memang bekerja dengan memafaatkan gelombang radio. Berbagai data yang diminta atau dikirimkan pengguna melesat di udara menggunakan gelombang radio," ujar Sagi yang masih menunggu panggilannya terhubung. "Agar dapat menerjemahkan data atau dokumen yang dikirim melalui gelombang radio ini, sebuah komputer harus memiliki adaptor wireless sehingga terhubung dengan Wifi."
"Gelombang radio yang berupa sinyal ini kemudian dikirim menuju router yang berfungsi sebagai decoder atau penerjemah kode," imbuh Izar yang melihat Sagi gelisah menunggu panggilan Untuk tersambung. "Setelahnya, kemudian diterjemahkan, data tersebut dikirim ke jaringan internet dengan memanfaatkan koneksi ethernet.
Jaringan Wifi bekerja dua arah, setiap data yang diterima melalui internet juga dalam waktu bersamaan melewati router untuk kemudian dijadikan kode olehnya pada setiap paket data, kemudian dikirimkan kembali dalam bentuk sinyal radio yang diterima oleh adaptor komputer nirkabel."
"Walau cara kerja wifi seperti itu. Wifi portabel yang dikembangkan oleh Malakai, bisa digunakan untuk semua pengguna yang sudah terkoneksi signalnya. Singkat kata wifi portabel ini seperti satelit komunikasi. Siapa pun bisa menggunakannya dan kapan pun dia mau. Jadi ... wifi portabel milik Malakai ini memiliki kegunaan sebagai satelit pemancar yang berperan sebagai wifi portabel. Paham?" tanya Sagi dan di ujung panggilan. Terdengar suara Fisika yang menangis terisak-isak.
"Izar?" tanya Fisika dari sebrang
"Arshavina Heera Fisika," ucap Sagi dengan suara penuh kerinduan.
"B- Baginda?"
___/_/___
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro